Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 25 Mei 2011

Ketika Sukses "Menggenggam" Dunia, Eddie Redzovic Rindu Islam








CHICAGO - Cobalah ketik laman web http://www.thedeenshow.com// di mesin pencari Anda. Maka, Anda akan menyaksikan video berisi kisah-kisah inspiratif tentang orang-orang yang menemukan Islam dan perjuangan mereka untuk tetap menjadi seorang Muslim. The Deen Show adalah sebuah perusahaan Muslim yang berusaha untuk memberikan infomasi tentang Islam secara benar dan komprehensif dengan berdasarkan sumber otentik, Alquran dan Sunah. Informasi itu tidak hanya ditujukan pada umat Muslim saja, tetapi juga non-Muslim.

Perusahaan tersebut menyatakan diri tidak berafiliasi dengan organisasi manapun, dan mereka mengutuk keras terorisme serta segala tindakan fanatik atas nama Islam. The Deen Show mulai tayang pada 2006.

Orang yang berada di balik munculnya tayangan tersebut adalah Brother Eddie. Nama aslinya adalah Eddie Redzovic. Dia lahir di New York dari orang tua yang merupakan imigran asal Yugoslavia, tetapi sebagian besar hidupnya lebih banyak dihabiskan di Chicago.

Sebelum mendapatkan cahaya terang dari agama Islam, dunia bawah tanah Chicago adalah teman akrab bagi Eddie. Pada umur yang belum genap 30 tahun, dia sudah berhasil menikmati apa pun yang diimpikan pemuda Amerika, mulai dari uang, mobil, sampai wanita.

Meskipun telah mencapai apa yang diimpikannya, jiwa Eddie masih saja tidak tenang. Pada masa-masa kelamnya, dia menjadikan jalanan dan klub malam sebagai tempatnya mencari ketenangan. Dia menghabiskan masa mudanya di dunia yang penuh dengan kekerasan. Teman-temannya berasal dari geng-geng yang berkuasa di jalanan.

Hingga akhirnya, Eddie menyadari bahwa selama ini dia sendiri. Tidak ada yang benar-benar menjadi teman-temannya. Suatu hari, ketika dia berada di dalam penjara, Eddie menyadari bahwa teman-teman satu geng-nya itu tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Ia pun mulai mempertanyakan tujuan hidupnya.

Hidup di penjara membuatnya sadar. Ia mulai belajar agama, khususnya Islam. Ia menyadari, mungkin islam lah yang selama ini dirindukannya.

Namun, ketika dia sudah mulai memeluk Islam, perang belum juga usai. Dia masih harus meyakinkan dirinya tentang agama yang baru dipeluknya itu. Saat ini, Eddie merasa sudah memeluk Islam secara utuh. Dia sudah mengerti tentang konsep Islam itu sendiri.

Islam, menurutnya, adalah bahasa Arab yang artinya menyerahkan diri kepada Sang Pencipta Bumi dan Surga. Setiap manusia di dunia ini menyerahkan hidupnya untuk sesuatu hal, mulai dari bosnya, uang, wanita, fashion, dan berbagai macam gaya hidup. Menurut dia, Islam sebenarnya adalah tempat yang tepat untuk benar-benar menyerahkan diri.

Islam merupakan panggilan untuk menyerah pada pemilik dari segala yang ada di bumi dan langit. “Sebelum saya memeluk Islam, saya tidak melakukan itu,“ ujar Eddie dalam sebuah wawancara dengan saudilife.net. Dia menyadari bahwa hidupnya sebelum memeluk Islam adalah hidup yang menyenangkan, tapi kosong, tanpa adanya kedamaian dan ketenangan.

Lalu, Islam memberikannya harapan dan tujuan hidup yang baru.
“Saya langsung shalat setelah saya mengetahui kebenaran tentang Islam,“ ujarnya. Untuk mencapai ilmu tentang shalat dan seluk-beluk Islam, dia mengaku harus belajar terus-menerus dan banyak membanding-bandingkan.

Meskipun dia memiliki keluarga yang sudah memeluk Islam lebih dulu, dia melihat mereka hanya memeluk Islam sebagai sebuah budaya saja, tanpa mengerti sepenuhnya tentang Islam itu sendiri.

Saat ini, selain menjadi presenter The Deen Show, Eddie juga mengelola sekolah bela diri. Dia mengajarkan Jiujitsu dari Brasil.

Karimah Duffy: Ya! Saya Dulu Ratu Clubing dan Pesta









Meski berjilbab, orang dengan mudah menebak: Karimah Duffy adalah gadis Irlandia asli. Kulitnya putih, matanya hijau keabu-abuan. Dia menyapa ramah siapa saja yang dikenalnya.
Karima lahir tahun 1979, dengan nama asli Carol Concepta Duffy. Namanya, dijadikan orangtuanya peringatan - pada tahun yang sama dengan kelahiran dirinya, Paus Johannes Paulus II berkunjung ke negerinya.  Lulus SMA di Dundalk, ia melanjutkan kuliahnya di Universitas Slingo, mengambil jurusan ekonomi.
Di Slingo inilah, ia menemukan kebebasan. "Saya tipikal mahasiswa yang hobi clubing dan pesta, walau saya tak pernah terlalu banyak minum. Seingat saya, hanya dua kali saya mabuk sepanjang usia saya," katanya.
Ia juga gemar mentato tubuh. Punggung, adalah kanvas tatonya. "Ada gambar malaikat ukuran besar di punggung saya," katanya, yang kini berniat menghapusnya.
Akhir 1990-an, ia "lelah" dengan gaya hidupnya. Tepatnya, setelah ia selesai kuliah dan mulai bekerja sebagai pengawas mutu di sebuah perusahaan pengolahan makanan di Monaghan. Alih-alih pergi ke bar atau kelab malam, ia memilih menghabiskan waktu di kamar.
Di antara rekan kerjanya, beberapa beragama Islam. Dari merekalah ia tahu, bagaimana agama bernama Islam itu. Apalagi setelah ia mendapatkan Alquran dari salah seorang dari mereka. "Banyak ayat yang ketika saya baca, saya berpikir 'ada sesuatu di dalamnya bagi saya'," katanya.
Sebelumnya, ia hanya tahu Islam adalah agama Timur Tengah. "Dan Timur Tengah yang ada dalam bayangan saya hanyalah padang pasir, onta, dan orang-orang yang mengenakan gaun panjang, baik laki-laki maupun perempuan," ujarnya.
Hanya butuh tiga pekan baginya untuk bertanya pada hatinya tentang ajaran Islam. "Semua cocok dengan saya," katanya. Ia pun meminta bersyahadat, menjadi Muslim.
Keluarganya geger dengan putusan Karimah berpindah keyakinan. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena sang ibu "pasang badan" untuknya, setelah ia menjelaskan keputusannya memilih Islam. "Dia sangat mendukung. Jika ia mendengar kata buruk tentang saya, dia yang berdiri pertama membela saya," katanya.
Soal pilihan nama Karimah, ia tersenyum menceritakannya. Nama itu dipilihkan temannya sesaat setelah ia tiba di masjid untuk bersyahadat. "Karimah artinya penyayang, murah hati," katanya.
Kini, ia mantap berislam. Meski jilbab bukan hal yang umum di kotanya, ia memilih untuk mengenakannya. Baginya, sikap dan perilaku dirinya akan membuat dirinya diterima dimanapun dia berada, bukan karena pakaiannya. "Seorang pria yang mengatakan bahwa jilbab adalah bentuk kehinaan sementara ia mempromosikan ketelanjangan dan kecabulan   bahkan dalam keluarganya sendiri, maka  tak seorangpun akan menggubris apa yang dikatakannya.... serius," ujarnya.