Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 24 Juni 2011

Dari Guantanamo ke Makkah, Kisah Mualaf Penjaga Penjara yang Berumrah


































Masjidil Haram di Makkah adalah jarak yang sangat jauh, jika disandingkan dengan Kamp Delta milik Angkatan Laut AS, yang  terkenal sebagai pusat tahanan di pangkalan di Teluk Guantanamo. Tetapi, menjadi dekat ketika hati sudah berniat. Begitulah yang dirasakan  mantan penjaga penjara Guantanamo,  Terry Holdbrooks.

Terry, sekarang dikenal sebagai Mustafa, memeluk Islam pada tahun 2003. Berita dia bersyahadat segera menyebar di kalangan para prajurit di Guantanamo, apalagi tugasnya saat itu adalah mengawasi tahanan terorisme.

Namun ia bertekad menghadapi segala risiko, dan tak akan berbalik ke belakang, mengingkari syahadatnya. Ia diberhentikan tak lama kemudian.

Darimana Terry menerima cahaya Islam? Seorang tahanan dari Maroko, andil memberikan pengetahuan keislaman padanya.
Sebelumnya, ia telah terpesona pada peran  Morgan Freeman memainkan karakter Muslim di film Robin Hood: Prince of Thieves. Meski bukan cerita utama, namun Muslim dalam film itu tergambar secara semestinya.

Interaksi dengan para tahanan mendorongnya untuk melihat  Islam lebih dalam dan mempelajarinya untuk dirinya sendiri. "Semakin banyak membaca semakin saya yakin akan kebenaran Islam," akunya.

Sebagai anggota militer, ia tak merasa berat dengan ajaran disiplin dalam Islam. "Aku menikmati militer, dan aku menikmati Islam; keduanya memerlukan kedisiplinan."

Berhenti dari sipir penjara, ia menangani urusan sipil. Tak masalah baginya. Yang jadi masalah: ia ingin segera bertamu ke Tanah Suci, berhaji atau berumrah. Namun jarak dan biaya tidaklah sedikit.

Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari, ia mendapatkan surat dari Canadian Da’wah Association (CDA). Isinya: undangan untuk menunaikan umrah.

Ia diundang oleh Shazaad Muhammad, presiden dan pendiri Kanada dakwah Association (CDA), untuk melakukan ibadah haji kecil, umrah. Dia terlonjak girang. "Kegiatan ini terinspirasi oleh Nabi Muhammad SAW yang mengirimkan undangan kepada para pemimpin daerah dan mengundang mereka untuk memeluk Islam," kata Shazaad Mohammed, pimpinan CDA Celebrity Relations Program, yang juga Duta Besar PBB.

Terry tak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika izin atasan sudah di tangan, ia segera berangkat.

"Ketika saya pertama kali melihat Mekah dan melihat Ka'bah, saya sedikit terkejut," katanya. "Saya  terpesona dan menyadari bahwa ini adalah pusat dunia saya sekarang. Mungkin bukan pusat dunia semua orang,  tetapi itu adalah pusat dunia saya. Saya ingin hidup berguna dalam Islam."

Selama kunjungannya ke Tanah Suci, ia  bertemu dengan Sheikh Faisal Al-Ghazzawi, salah satu imam Masjidil Haram. Ia mengungkapkan kegembiraannya menerima nasihat cara menjaga iman dari sang imam.

Ia juga mengunjungi pabrik kiswah, penutup  Ka'bah di Makkah dan mendapat kehormatan meletakkan beberapa jahitan di kiswah baru yang akan ditempatkan di Ka'bah di musim haji pada akhir tahun ini. Hanya sepekan dia di sana dan "Waktu terlalu singkat. Saya ingin tinggal lebih lama," ujarnya, yang mengaku nyaman berdoa di Makkah dan Madinah.

Pulang umrah, ia menemukan batinnya makin kaya. "Batin saya seperti diremajakan kembali," ujarnya.

Refleksi Mualaf Lucy Bushill-Mathews: Kita Tak Bisa Memaksa Orang untuk Masuk atau Keluar dari Islam

































Lucy Bushill-Matthews, Muslimah mualaf dan ibu dari tiga orang anak, membawa khazanah baru dalam dunia Islam. Ia wanita berpendidikan, dan gemar menulis. Beberapa tulisannya dibukukan, yang terbaru tentang hal-hal keseharian menjadi Muslimah, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Lentera Hati menjadi "AKU SEORANG MUSLIMAH MUALLAF: Kisah Lucu dan Sedih Menjadi Muslimah di Tanah Eropa".

Kepada Majalah Wanita Emel, dia menuliskan refleksinya tentang pilihan berislam. Berikut ini buah pikirannya:

Berita terbaru adalah tentang bersyahadatnya  Lauren Booth, ipar Tony Blair. Muslim hampir secara universal gembira bahwa 'saudara perempuan' lain telah memilih untuk memeluk Islam. Walau diakui Booth: banyak yang suka, banyak pula yang tak suka dengan pilihannya.

Alquran menjunjung tinggi prinsip: "Tak ada paksaan dalam menganut Islam." (2:256) Pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, mengikuti hati nurani dan tuntunan agama." Hal ini termasuk kebebasan untuk memilih agama, kebebasan untuk memilih bagaimana untuk menjalani hidup kita dengan iman sebagai kompas penuntun, kebebasan untuk membesarkan anak-anak kita dalam kerangka itu, dan - dari sudut kontroversial - kebebasan meninggalkan agama itu.

Ketika Nabi Muhammad mulai berkhotbah kepada masyarakat sekitar dia tahun 610 M, hanya dia  sendiri sebagai seorang Muslim. Meskipun telah ada sepanjang sejarah kaum muslim (dengan 'm' kecil), secara harfiah berarti orang-orang yang beriman kepada Tuhan, namun belum ada yang percaya pada kredo lengkap, "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya".

Di era itu, setiap Muslim setelah Muhammad adalah mualaf. Muslim bersukacita ketika orang lain menerima Islam, dan para pemimpin suku politeistik dari Quraisy menjadi semakin gelisah, pada satu titik mengusir seluruh masyarakat Muslim ke sebuah lembah tandus selama tiga tahun.

Hari ini, mengubah juga disambut dengan reaksi campuran, meskipun tanpa koreaksi yang sama dilontarkan jika ada Muslim baru. Masing-masing berlomba-lomba mencari tahu mengapa ia menerima Islam. Saya terkesan dengan jawaban Yusuf Islam alias Cat Stevens tiap kali ditanya tentang mengapa ia masuk Islam, "Yah mengapa Anda mengikuti Islam? Saya seorang Muslim untuk alasan yang sama seperti Anda."

Sayangnya, banyak umat Islam yang tak menyadari, mengapa ia beragama Islam. Banyak Muslim yang menjadi Muslim hanya karena orang tua mereka Muslim.

Bagaimanapun, adalah wajar bagi orangtua untuk memilih  membesarkan mereka dalam iman mereka sendiri. Sayangnya, jika kita mengalami pendidikan budaya yang ketat, ini bisa bingung dengan dan menyalahkan semua pada agama kita. (Padahal, mungkin itu pola asuh orang tua yang salah, red).

Anak-anak saya sudah protes pada cara saya mendidik mereka, yang mencoba untuk memasukkan nilai-nilai moral dan kebiasaan serta dasar teologis Islam. "Saya ingin memiliki kehendak bebas saya," kata putri saya yang menginjak pra-remaja, saat tertekan dengan desakan orangtuanya untuk memastikan kamarnya rapi.  "Hidupku akan sangat jauh lebih baik jika aku bukan Muslim," lanjutnya. "Islam menyuruh aku harus berdoa dan memberi makan kelinci, membaca Alquran dan kamarku rapi."

Anak saya yang berusia delapan tahun juga sangat percaya pada kebebasan pribadi. Dia menulis dalam diarinya, "Itu membuat saya sedih saya harus melakukan apapun yang saya diberitahu untuk melakukannya. Saya senang jika saya mendapatkan apa pun yang saya inginkan."

Kita pasti harus mengakui dan menghormati pilihan anak-anak kita sendiri. Saya telah ditanya beberapa kali oleh orang-orang, beberapa dari mereka Muslim, "Kapan Anda akan membuat anak Anda memakai jilbab?" Seolah-olah masalah itu ada di tangan saya, bukannya pilihan yang sangat pribadi.

Anak tertua saya, dia telah memutuskan dia ingin membuat pilihan sendiri. "Ketika aku dewasa," katanya, "Aku akan melihat semua agama dan melihat mana yang paling masuk akal bagiku." Saya hanya bisa berharap dia seorang 'peneliti' terbaik dan jeli, walaupun sebagai seorang Muslim, wajar saja bahwa saya berharap dia memilih Islam.

Sebuah kasus baru-baru di AS melibatkan remaja Fatimah Rafiqah Barry yang memilih agama Kristen, kemudian melarikan diri dari orang tuanya yang Muslim. Ia menyatakan akan dibunuh jika ia kembali. Namun dikatakan dalam Alquran (4: 80) "Dan orang-orang yang berpaling, kami tidak mengutus kamu sebagai wali mereka" .

Ubaydallah ibn Jahsh pada zaman Rasulullah meninggalkan Islam dan menganut Kristen. Ia hidup bebas sebagai seorang Kristen sampai dia meninggal. Kita mungkin tidak setuju dengan pilihannya, tetapi dalam hal ini setiap orang bertanggung jawab pada akhirnya kepada Allah, dan bukan untuk orang lain.

Alquran menantang kita, "Jika telah menjadi kehendak Tuhanmu bahwa semua orang di dunia harus beriman, maka semua orang di bumi akan beriman!" (10:99)

Saya hanya bisa terus berdoa, semoga anak-anak saya tetap tumbuh dalam keimanan, dan ketika besar, tetap memilih Islam sebagai agamanya.

 

Nuh HA Mim Keller Tertarik pada Islam karena Lebih Utuh dan Sempurna

































Nuh Ha Mim Keller masyhur sebagai seorang pakar hukum Islam. Bahkan, ia ditabalkan menjadi seorang teolog dan pakar tasawuf terkemuka di Barat. Keller pun menerjemahkan sederet kitab ke dalam bahasa Inggris. Di balik semua pencapaiannya itu, siapa sangka, ia adalah seorang penganut Katholik Roma yang kemudian memeluk Islam.

Keller terlahir pada 1954 di Northwestern, Amerika Serikat (AS). Ia lalu mengambil studi filsafat dan bahasa Arab di Universitas Chicago dan Universitas California, Los Angeles. Ia mengaku dibesarkan di sebuah daerah pertanian dalam keluarga yang taat menganut Katholik Roma.

“Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu sertamerta menimbulkan persoalan, dalam akidah ataupun amal,“ ujarnya sepeti dikutip dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty.

Sejak kecil, ia mencoba membaca Alkitab. Namun, saat membacanya, ia menilai kitab suci itu bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren. “Sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup,“ tutur Keller. Pandangannya tentang agama yang diwariskan orang tuanya itu semakin terbuka ketika dia mulai masuk kuliah.

“Ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnya Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermeneutik modern kaum Kristen sendiri,“ ungkapnya. Rasa penasaran tehadap kebenaran agama yang dianutnya sangat tinggi. Ia lalu membaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Hal itu dilakukannya agar bisa memahami teologi kontemporer.
Keller pun mulai terpengaruh dengan pandangan Jeremias dan teolog Jerman, Rudolph Bultmann, yang menyatakan bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Menurut mereka, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian Baru secara meyakinkan.

“Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya?“ ujar Keller. Ia lalu belajar filsafat di universitas.
Menurutnya, filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaran­Apa yang Anda maksudkan? Dan, bagaimana Anda tahu?
Ia pun mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agama Katholik Roma yang dianutnya. “Namun, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Barat­yakni mencari makna di balik dunia tak bermakna,“ ungkap Keller.

Dalam masa pencarian kebenaran itulah, ia kemudian mulai mengenal Alquran. Awalnya, ia hanya membaca terjemahan Alquran. Keller mengaku tak begitu tertarik dengan terjemahan Alquran itu. Ia justru penasaran dengan Alquran yang berbahasa Arab.

“Aku tahu kitab aslinya (Alquran) yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia.
Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya,“ paparnya.
Ia pun memutuskan untuk belajar bahasa Arab di Chicago.

Dalam waktu satu tahun, ia berhasil mempelajari tata bahasa dengan nilai yang baik. Meski begitu, ia masih merasa kurang. Keller akhirnya memutuskan untuk mempelajari bahasa Arab ke Kairo, Mesir. Di Mesir, Keller mengaku men emukan sesuatu yang benar-benar membawanya kepada Islam.

“Yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya,“ ujar Keller. Di negeri piramida itu, ia bertemu dengan banyak Muslim, mulai dari yang baik hingga yang buruk.

Selama di Mesir, ada sebuah pengalaman yang berkesan di hati Keller. Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas. Tempat itu biasa dilewatinya. Ia pun mendekati orang itu. Ternyata pria itu sedang shalat di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air.

Awalnya, Keller mengaku akan lewat di depan orang itu. Namun, niat itu diurungkannya. Ia memilih memutar dan berjalan di belakang pria yang sedang shalat itu karena tak ingin mengusiknya. “Aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku.“

Ia pun sempat bertemu seorang remaja di Kairo. Anak itu lalu mengucapkan salam kepada Keller di dekat Khan Al-Khalili. Siswa yang duduk di sekolah menengah pertama yang pandai berbahasa Inggris itu bercerita kepadanya tentang agama Islam. Dia menjelaskan tentang Islam semampunya. “Ketika kami berpisah, kurasa dia berdoa agar aku menjadi Muslim,“ tuturnya.

Saat berada di Kairo, Keller mengaku memiliki seorang teman yang berasal dari Yaman. Ia selalu meminta temannya itu untuk membawa Alquran dan mengajarinya belajar bahasa Arab. Di kamar hotel tempatnya menginap tak ada meja. Sehingga, Keller pun meletakkan Alquran di dekat buku-buku yang berjajar di atas lantai.

Melihat Keller menyimpan Alquran di atas lantai, temannya lalu membungkuk dan mengangkatnya. “Ia memuliakan Alquran. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya,“ ungkap Keller.

Saat berada di Mesir, Keller mengaku mengalami banyak peristiwa dan pengalaman. Setelah melepas agama Katholik Roma yang dianutnya, ia lebih memilih untuk tak beragama sementara waktu. Dalam kondisi tak beragama itulah, pikirannya selalu berkecamuk.

Ia menyadari pun bahwa seorang manusia haruslah beragama.
Pada saat itu, ia mulai terkesan pada pengaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim. Keller menilai agama Islam begitu mulianya tujuan. “Aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna.“

Keller pun kerap merenung. Hingga akhirnya, ia menyadari bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan jalan. Agama yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun benar-benar jatuh cinta dengan Islam.

Hingga akhirnya, seorang temannya di Kairo mengajukan pertanyaan, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim?“ Ketika mendengar pertanyaan itu, Keller telah meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan dirinya untuk menjadi bagian dari agama Islam. “Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tin dakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah,“ tuturnya. Keller pun mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslim pada 1977 di Kairo, Mesir. Hingga akhirnya, ia menjadi seorang pemikir dan ulama terkemuka. Islam dalam Pandangan Nuh Ha Mim Keller Oleh Heri Ruslan Keller adalah pakar hukum Islam yang diakui kehebatannya oleh seorang ulama terkemuka Abd alRahman al-Shaghouri. Tak heran jika Keller pun diakui sebagai seorang Syekh pada tarekat tawasuf Shadhili. Ia menetap di Aman, Yordania. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Islam di abad modern.

Lalu, apa pendapatnya tentang kondisi umat Islam saat ini? Syekh Nuh Ha Mim Keller berpendapat bahwa nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideologi dunia.

“Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya,“ paparnya. Menurut dia, peradaban Islam pernah tergelincir pada harubiru kehancuran akibat serbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 M.

Saat itu, kata dia, bangsa Mongol menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. “Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT, dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlan sung selama berabad-abad,“ ungkapnya.

Menurut dia, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.