Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Kamis, 25 Oktober 2012

Benarkah Umat Selain Islam Bisa Mendapat Surga?



Benarkah Umat Selain Islam Bisa Mendapat Surga?
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh Pak Ustadz,
Saya punya pertanyaan yang sejak dulu selalu mengganjal. Dalam surat Al-Baqarah ayat 62 Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Sabiin barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta mengerjakan amal saleh maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka…. Sedangkan di ayat lain Allah berfirman, Sesungguhnya agama yang diridai Allah adalah Islam. Terlihat dua ayat ini bertentangan. Apa ayat yang pertama telah di-nasakh? Kalau iya, apa asbabun nuzul-nya dari kedua ayat tersebut? Sedangkan apa maksud golongan Sabiin di atas?
Terima kasih atas jawabannya.
WAssalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Julio
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak mereka bersedih hati.
Ayat itu tidak dinasakh, karena tidak ada masalah dengan ayat ini. Yang perlu dinasakh adalah kesimpulan mereka yang menyimpangkan makna dan pengertian ayat ini. Ayat ini tidak pernah menyatakan bahwa agama selain Islam itu benar dan pemeluknya akan masuk surga. Sama sekali tidak. Hanya mereka yang ada penyakit di dalam hatinya saja yang masih saja sampai hati menyelewengkan ayat tersebut untuk membenarkan paham pluralisme bejatnya.
Memang sekilas ayat ini mudah sekali diselewengkanbahwa agama selain Islam itu seolah-olah benar, namun siapapun yang memahami esensi ajaran Islam pasti tahu bahwa ayat ini diturunkan tidak dengan maksud untuk menetapkan bahwa agama-agama itu benar. Maksud ayat ini ingin mengatakan bahwa meski seseorang itu dulunya pemeluk Yahudi, Nasrani atau Shabiin, namun beriman kepada Allah dan beramal shaleh, mereka memang akan masuk surga. Tetapi apa yang dimaksud dengan beriman kepada Allah dan beramal shaleh?
Sebenarnya beriman kepada Allah dan beramal shaleh itu adalah masuk Islam. Mana mungkin orang Yahudi disebut beriman kepada Allah? Sedangkan sepanjang surat Al-Baqarah kita menemukan kutukan yang Allah lontarkan kepada Yahudi.
Tidak mungkin ada orang yang memeluk Yahudi sambil beriman kepada Allah. Sebab makna iman itu bukan sekedar percaya adanya Allah. Kalau hanya sekedar percaya adanya Allah, Abu Jahal cs pun juga percaya bahwa Allah itu ada. Makna beriman kepada Allah adalah mentaatinya, mengikuti petunjuk nabi-Nya, Muhammad SAW serta melaksanakan semua perintah-Nya di dalam kitab suci Al-Quran.
Sedangkan orang-orang Yahudi itu, jangankan menjalankan kitab suci Al-Quran, lha wong kitab suci yang diturunkan kepada mereka sendiri pun diinjak-injaknya. Mana ada orang beriman tapi menginjak-injak kitab suci.
Dan hal yang sama juga berlaku buat agama lainnya, baik Nasrani, Majusi, Musyrikin atau Shabiiin.
Jadi makna ayat itu adalah meski dulunya Yahudi, tapi bila kemudian masuk Islam, maka akan masuk surga. Begitu juga meski dulunya Nasrani atau Shabiiin, kemudian masuk Islam, maka mereka bisa masuk surga.
Ayat ini sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa Yahudi, Nasrani dan Shabiin itu akan masuk surga. Sama sekali bukan dan jauh sekali dari intisari dakwah Rasulullah SAW. Kalau memang mereka bisa selamat dan masuk surga dalam agama lamanya, buat apa nabi SAW meminta Kaisar Heraclius, Kisra dan penguasa dunia saat itu untuk masuk Islam? Buat apa beliau menangis memohon kepada Abu Thalib untuk mengucapkan syahadatain? Buat apa penyiksaan dan perang bertahun-tahun itu?
Bandingkan dengan Ayat yang Lafadznya Mirip
Sebenarnya kalau ketika membandingkan ayat itu ada baiknya dengan ayat yang lafadznya mirip dan mendekati.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memisahkan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa umat Islam, Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi dan orang musyrik memang sama-sama menjalankan agama masing-masing. Akan tetapi semuanya tidak sama di sisi Allah, sebab nanti di akhirat Allah akan memisahkan mana agama yang diterima-Nya, yaitu Islam, dan mana agama yang ditolaknya, yaitu selain Islam.
Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Bila ayat itu dipahami bahwa semua agama adalah benar dan pasti pemeluknya mendapat pahala, maka pemahaman sesat seperti itu bertabrakan dengan sekian banyak ayat dan hadits lainnya. Misalnya:
a. Agama lain selain Islam tidak akan diterima dan rugi
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi..

b. Al-Quran Al-Karim secara tegas menyatakan bahwa Nasrani itu kafir
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam, padahal Al-Masih berkata, Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun..

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih..
c. Nasrani itu Dilaknat Allah SWT
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu..

d. Nasrani dan Yahudi itu Diperangi Allah SWT
Orang-orang Yahudi berkata, Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata, Al-Masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah memerangi mereka, bagaimana mereka sampai berpaling. .

e. Nasrani Itu Celaka karena Menodai Kesucian Kitabnya
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; Ini dari Allah , untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. .

f. Nasrani itu selain menyembah Isa juga menyembah pendeta dan rahib mereka
Mereka menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan..

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
 
TERJEMAHAN  ALQUR’AN 30 JUZ
2.   SURAT 3. ALI 'IMRAN             

PENTING : Jika Anda merasa website ini bermanfaat, mohon do'akan supaya Allah mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur keluarga kami dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya kami dapat memperbanyak amal shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan saudaranya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)

2 Qullah itu Berapa Liter?



2 Qullah itu Berapa Liter?
“2 Qullah itu Berapa Liter?” ketegori Muslim. Assalammu’alaikum,
Pak ustaz, seringkali kita mendengar tentang air 2 qullah. Sebenarnya yang dimaksud qullah itu apakah kolam atau apa? Dan adakah hadits ayat Al-Quran yang membicarakan air 2 qullah ini, ataukah hanya ijtihd pada ulama saja.
Mohon pak ustadz menjelaskan air 2 qullah ini. Terima kasih sebelumnya
Mochamad Soleh

Jawaban:
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, meter kubik atau barrel.

2 Qullah Adalah Ketetapan Hadits Nabawi
Ukuran jumlah air 2 qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi berikut ini:
 وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Apabila jumlah air mencapai 2 qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis.
Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.

Berapakah Ukuran 2 Qullah?
Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati. Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negeri Islam sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat orang Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl. Lucunya, begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci . Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:
a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya.
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Wallahu a’lam bishshawab. wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumberipun
 
TERJEMAHAN  ALQUR’AN 30 JUZ
2.   SURAT 3. ALI 'IMRAN             




PENTING : Jika Anda merasa website ini bermanfaat, mohon do'akan supaya Allah mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur keluarga kami dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya kami dapat memperbanyak amal shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan saudaranya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)