Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 27 April 2011

Pergolakan di Timor Leste Antarkan Orlando Pada Islam








Suasana Timor-Timur, kini Timor Leste, memasuki tahun 1999 begitu mencekam. Saat itu pula diputuskan bahwa Timor-Timur memisahkan diri dari bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili.  Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.

Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.

Di pengungsian,  Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian  mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.

Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.

Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri.  Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando mengisahkan pada Republika.co.id.

Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto,  menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.

Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.

Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana saya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.

Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.

Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz  membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.

Tak  lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.

Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.

Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadits.

Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.

Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus.  “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando.








Pembinaan Mualaf Asing Masih Terganjal Bahasa









JAKARTA - Tak sedikit ekspatriat yang memutuskan memeluk Islam di Indonesia. Namun hingga kini bahasa masih menjadi ganjalan utama pembinaan mualaf asing.

Pasalnya tidak semua Pembina mualaf memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Begitu sebaliknya, hanya sedikit dari ekspatriat yang mahir berbahasa Indonesia. Karena itu, sejumlah pembina mualaf berpikir perlu penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam pembinaan mualaf yang berasal dari ekspatriat.

“Bahasa Inggris juga masih menjadi kendala dalam dakwah kepada para mualaf,” papar Kepala Bidang Pembinaan Mualaf, Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK), Anwar Sujana kepada Republika.co.id, Selasa (26/4).

Anwar menjelaskan pembinaan kepada para ekspatriat biasanya dilakukan oleh keluarga yang bersangkutan yang kadang pengetahuan tentang Islam juga masih terbatas. Alhasil pesan Islam yang disampaikan belum tentu tetap sasaran.

Kini pihaknya tengah mengupayakan adanya program yang khusus memasukkan bahasa Inggris sebagai pengantar pembinaan kepada para mualaf. “Kami bersama paguyuban mualaf MASK berencana untuk membuat  program dakwah dalam bahasa Inggris,” kata dia.

Rencana itu menurut Anwar, akan mulai digodok saat diskusi studi Islam dalam Bahasa Inggris yang diselenggarakan Jumat Besok. Dalam diskusi tersebut, kata Anwar, paguyuban mualaf MASK akan mengundang kalangan kampus seperti Universitas Islam Negeri.

”Tentu program ini diharapkan akan menghilangkan kendala bahasa yang acap kali menjadi ganjalan. Selain itu pula, geliat dakwah Islam kepada para mualaf ekspatriat tentu harus digiatkan kembali." tandasnya.



Berawal Dari Tonton Film, Lianus Mengenal Islam








Hidayah bisa  datang kapan saja dan melalui medium apa saja. Siapa sangka, melalui film tentang peristiwa penyaliban Yesus Kristus, pemuda bernama Lianus Laiya, dipertemukan dengan Islam. Lianus muda yang tengah dipersiapkan untuk menjadi biarawan atau pelayan gereja, terilhami sejumlah pertanyaan yang selanjutnya menuntut dia mengenal dan mendalami Islam. "Karena Allah berkhendak, saya pun mendapatkan hidayah dan diselamatkan saya oleh Allah SWT  untuk menjadi seorang Muslim,” kata dia kepada Republika.co.id.

Lianus Laiya, lahir 25 Oktober 1981 di Nias, Sumatera Utara. Dia lahir di tengah keluarga Katholik yang taat. Sebagian dari keluarganya merupakan pendakwah. Karena itu, tak heran, sebagai anak lelaki tertua, oleh keluarganya, Lianus dipersiapkan untuk meneruskan tradisi keluarga sebagai penggiat gereja.

“Namun, Allah SWT memalingkan langkah saya untuk mendapatkan hidayah,” ungkap dia.

Lianus besar di daerah dimana Muslim hanya sedikit jumlahnya. Inilah yang membuat Lianus tidak pernah mengenal Islam.  Bahkan bila bertemu dengan simbol-simbol Islam seperti pakaian Muslim, maka tak tanggung-tanggung bakal dia bakar.

Suatu hari, ia menonton film penyaliban Yesus Kristus. Saat mengikuti film itu, Lianus melihat adegan Yesus saat memasuki gereja, secara spontan Yesus mengangkat kedua tangannya sembari memberikan ceramah kepada para murid-muridnya. Pertanyaan segera mengemuka dalam diri Lianus.

“Mengapa agama saya dalam kehidupan sehari-hari tidak sama dengan apa yang dilakukan Yesus, Misalnya saja, dalam gereja, Yesus berdoa sembari menengadahkan kedua tangan, bukan bernyanyi,” tanya Lianus dalam hati.

Rasa penasaran iu semakin bertambah ketika Yesus hendak ditangkap. Dalam film itu, cerita Lianus, Yesus mengatakan akan datang yang menggantikannya. Pernyataan Yesusdirenungkan betul oleh Lianus. Lalu dia secara spontan bertanya kepada pastornya. “ Siapa yang akan menggantikan Yesus?” Lalu seketika pastor menjawab “Messiah”. “Lho, Yesus kan Messias juga?” tanyanya kembali.

“Saya pun tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti, setelah itu," ujarnya.


Setamat SMP, Lianus diboyong pamannya ke Medan, Sumatera Utara. Kepindahannya dari Nias ke Medan, Lianus membawa dirinya tiga bekal pertanyaan. Pertanyaan pertama, mengapa cara beribadah agamanya  tidak sesuai dengan Yesus.  kedua,  mengapa Tuhan bisa punya anak, lalu anak itu menjadi Tuhan dan kemudian meninggal. Ketiga, selama di Medan, Dia sering mendengar  rekaman dai kondang yang menceritakan kisah para Nabi mulai dari Nabi Adam hingga ke Muhammad SAW. “Kok Islam bisa punya cerita seperti itu. Saya tidak tahu,” tanya.

Di Medan, Lianus tinggal di dekat Masjid. Secara otomatis, dia selalu mendengarkan pengajian tiap sore. Lianus yang tengah menginjak bangku sekolah menengah begitu senang memperhatikan umat Islam tengah berwudhu.

Tanpa sadar, apa yang dia lihat itu mirip dengan adegan film yang ia tonton. “Lho inikan yang saya lihat dari film tersebut. Saat itu, Nabi Musa AS meminta umatnya untuk membersihkan kaki, muka, tangan,” kenangnya.

Sejak itu, Lianus  aktif mengikuti aktivitas masjid. Ia diterima dengan baik, kendati belum bersyahadat.

Perubahan Lianus dibaca sang paman. ia kemudian memboyong Lianus ke Riau.

Di Riau, Lianus bekerja di sebuah perusahan kertas. Selama di Riau, ia sempat melihat perilaku umat Islam yang tidak konsisten menjalankan ibadahnya. Dia pun memutuskan untuk tinggal dekat masjid. Lagi-lagi melalui masjid tersebut, Lianus mendengar kisah para nabi, termasuk Nabi Isa dan kisah Maryam.

Goncanglah keimanan Lianus. “Ketika saya merenung, ketika malam puncak. Saya tidak tidur. Saya pun minum terakhir kali. Setelah itu, saya niatkan diri untuk bertobat,” kenang Lianus.

Akhirnya, Lianus memutuskan untuk masuk ke dalam masjid. Kebetulan, ada salah seorang pemuda bernama Suryadi di sana. Ia menuntun Lianus pada Alquran. Oleh Yadi, Lianus diperlihatkan surat Al-Imran untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua. Lalu, Yadi, memperlihatkan Alquran surat Al-Maidah untuk menjawab pertanyaan ketiga. “Makin yakinlah saya, Alhamdulillah, saya bersujud kepada Allah SWT. Saya meminta disyahadatkan,” ungkap Lianus.

Dia pun dibimbing oleh Haji Amin dari Masjid Istiqomah mengucapkan dua kalimat syahadat lalu bergantilah nama  menjadi Abdul Aziz Laiya.

Kabar Lianus masuk Islam segera terdengar oleh pamannya. Tak lama,orang tua Lianus mendengar kabar Keislaman Lianus. Keluarganya marah besar. Bahkan, sang paman tak segan memukul dan menendang dirinya. Lalu, oleh sang paman, dia dibawa kembali pada keluarganya. Oleh ayah dan ibunya, Lianus diancam tidak akan lagi diakui sebagai anak.

“Selama tiga bulan pertama memeluk Islam, saya menghadapi tendangan, pukulan, dan diceburkan ke  kolam,” kata dia. Bahkan seorang pamannya menyiramnya dengan darah babi lalu dipaksa makan babi. Menurut sang paman, tindakan itu merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan Lianus kepada jalan yang benar.

"Dalam menghadapi tekanan bertubi, saya hanya bisa mengucapkan laa ilahaillallah dan shalat," kata dia.

Saat itulah, Lianus merasa sendirian. Tidak ada yang membantu dirinya memperjuangkan Islam. “Terguncanglah saya saat itu,” kenang dia. Selama seminggu Lianus tidak shalat, seminggu itu pula iman Lianus babak belur; dirayu untuk kembali kepada ajaran agama sebelumnya.

Seorang Ustad bernama Sahabudin kemudian mendatangi dia dan memberikan nasihat. “Alhamdulillah, kembalilah saya kepada jalan Allah SWT,” ungkap dia.

Lianus kembali mendalami Islam. Dia kembali mengikuti berbagai majelis taklim yang digelar. Dia pun menjadi ketua remaja masjid di lingkungannya. Dia juga bertugas membimbing para mualaf .  Lalu dipertemukanlah dia oleh Ustad Nababan, pengasuh pondok Pesantren Pembina Muallaf Annaba Center, Tangsel, Banten.

Lianus sempat kembali ke Nias lantaran menerima kabar bahwa ayahnya tengah sakit. Ia diminta kembali ke agama sebelumnya, agar sang ayah sembuh.

Ia menggeleng. "Dengan ilmu rukyah yang pas-pasan, hanya mengandalkan bacaan basmalah, surah al-Fatihah, al -Ikhlas, al-Alaq, dan ayat kursi. Subhanallah, ayah saya sembuh. Yang hadir menyaksikan kesembuhan ayah saya terkejut.  Padahal waktu itu saya belum bisa baca Alquran, saya baru belajar mengaji," kenangnya.

Kini, Lianus merasakan ketenangan batin luar biasa dalam memeluk Islam. Dia merasa selalu dimudahkan dalam beraktivitas. “Ketika sedih, dengan berzikir, hilanglah kesedihan.  Ketika tengah bermasalah, saya baca Alquran maka datanglah inspirasi,” kata dia. 

A Sen Semula Melihat Islam Bukanlah Sebuah Agama










Tidak seperti mahluk cipta-Nya yang lain, manusia dibekali akal dan budi untuk berpikir. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim AS,  dengan segenap akal dan budinya, beliau mencari tahu siapa dirinya, dan pencipta-Nya. Dari proses berpikir itu, sang pencipta menuntun Nabi Ibrahim AS kepada satu jawaban, yakni Allah SWT, Dzat Maha Besar yang mengatur segalanya.

Layaknya Ibrahim mencari Tuhannya, begitu pula yang dialami Ahmad Sugiarto alias A Sen sebelum memutuskan memeluk Islam. sesuatunya. Dari rentetan proses yang dialami, A Sen menemukan jalan pada Allah SWT dan Islam. ”Hanya ada satu Dzat  yang mengatur alam semesta ini. Yakni Allah SWT,” papar A Sen kepada Republika.co.id, saat menghadiri syukuran 20 tahun Yayasan Haji Karim Oei, Ahad, (10/4).

Saat masih menganut agama lamanya, A Sen melihat Islam
bukanlah sebuah agama. Karena waktu itu, menurut logika sederhana A Sen, kebanyakan agama yang dia tahu selalu menggunakan medium saat beribadah. Sementara ketika melihat umat Islam baik dalam keseharian ataupun melalui media massa, ia tidak melihat Islam menggunakan medium
berupa patung atau simbol lain saat beribadah. “Semua yang di depan itu (medium patung dan simbol lainnya) disembah.  Tapi Islam, saya pikir, "Apa yang disembah, tak ada. Maka ini bukan agama", demikian pandangan saya waktu  belum mengenal Islam,” ungkap A Sen mengisahkan.

Pemikiran A Sen tentang Islam secara perlahan terbentuk melalui buku-buku Islam dan ilmu pengetahuan. A Sen yang kritis, bertanya-tanya soal bagaimana alam
semesta ini terbangun.

Menurut pemahamannya, segala sesuatu tidak tercipta dengan sendirinya. Sebagai contoh saja, kata A Sen, bumi ini ada kehidupan lantaran keberadaan atmosfer. Dari atmosfer, air laut yang diserap matahari berubah menjadi awan lalu jadilah hujan membasahi bumi. Tanpa atmosfer, air laut bakalan kering, tidak akan ada kehidupan seperti yang terjadi di planet-planet lain. “Yang jadi pertanyaan, air itu tak pernah kering. Rupaya ada yang menahan yaitu atmosfer, lalu kenapa bisa begitu, jadi semua itu perputar, berarti ini ada yang mengatur. Saya saat itu cuma berpikir siapa yang mengatur? Waktu itu saya belum mengenal Allah, “ papar A Sen.

Alam, menjadi media A Sen merenung. Pertanyaan-pertanyaan kritis A Sen segera mengemuka. Misalnya saja, mengapa pohon cabai menghasilkan buah cabai yang pedas. Lalu mengapa
tebu menghasilkan rasa manis. “Kok bisa begitu? Padahal sama-sama diberikan pupuk dan air yang sama. Tidak mungkin diberi gula atau bahan pecampur lain. Lalu rasa manis dan pedas itu dari mana?"

 Lalu, Asen merujuk pada dirinya sendiri. Pertanyaan kritis kembali menyeruak. “Rambut bisa terus tumbuh
panjang, sementara bulu mata tumbuh hingga pada batas tertentu. Lalu, kalau bulu mata tumbuh terus seperti rambut bisa repot manusia. Berarti
ini sudah ada yang mengatur lagi,” kata dia.

Menurut A Sen, pertanyaan-pertanyaan kritis yang lahir dari pikirannya tanpa disadari merupakan ilham atau hidayah. Saat itu, A Sen memang belum mengetahui jawban-jawaban itu sebelum akhirnya membaca kitab suci  Alquran.  Berjumpalah A Sen dengan
Alquran.

Dari Alquran, A Sen menemukan jawaban berupa dzat maha besar yang mengatur alam semesta ini yaitu Allah SWT.  Dari Alquran pula, A Sen mengetahui bahwa apa-apa yang diciptakan manusia seperti asbak
termasuk medium-medium seperti patung tidak bisa melihat penciptanya.

“Kita buat gelas, gelas itu tidak bisa melihat saya,  begitu pula dengan saya yang diciptakan Yang Maha Kuasa, saya tidak bisa melihat pencipta saya. Tapi ada dzat maha kuasa yang menciptakan, suatu saat nanti akan memberikan kesempatan pada manusia untuk melihat dia,” kata A Sen.

Usai mendapatkan jawaban hakiki tersebut, pemikiran kritis A Sen segera mengerucut pada sebuah kesimpulan bahwa agama yang hanya diterima Allah SWT hanyalah Islam. A Sen pun bingung. Sebab ia masih memeluk agama diluar Islam. “Ya, bagi saya, waktu itu, repot nih. Saya  masih memeluk agama lain bukan Islam,” ungkap A Sen.

Berangkat dari kesimpulan itu, A Sen mulai belajar Islam secara sembunyi di kamarnya. Suatu ketika, saat A Sen membaca Alquran, dia mendapat ayat yang menyebutkan perintah kepada setiap Muslim untuk memeluk Islam secara kaffah. “Masuk Islamlah saya secara keseleuruhan. Orang tua saya ngamuk bukan main,” kata  dia.

A Sen yang memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa dibimbing seorang ustadz, tanpa dihadiri Muslim lainnya. Di depan tembok kamarnya, ia berikrar menjadi Muslim.

Iapun menjelaskan pada keluarganya tentang keputusannya memeluk Islam. Ia mengatakan kepada
kedua orang tua, kakak dan adiknya, bahwa agama yang selama ini ia dan keluarganya peluk bukanlah agama. Yang harusnya disembah, adalah pencipta matahari, bulan, dan bintang. Bukan hasil ciptaannya yang disembah. Langkahnya memeluk Islam diikuti sang adik.

Namun, ia masih menyembunyikan keislamannya. Baru pada tahun 1996,  dibimbing Ketua Umum PITI DKI Jakarta, Syarif Tanudjaja, ia mengucapkan dua kalimat syahadat kembali di masjid Lautze. Fondasi keimanan yang dibangun sedari awal kian sempurna ketika ia memperdalamnya di Masjid Lautze.

Di saat itulah, konsekuensi memutuskan menjadi Muslim mulai bermunculan. Sindiran, ejekan dan
sentimen terhadap dirinya berdatangan silih berganti baik dalam lingkup lingkungan sekitar rumahnya dan pekerjaan. Meski begitu, keyakinannya terhadap Islam tidak tergoyahkan. Bahkan kian memantapkan
hati dan pikirannya atas jalan yang ia pilih.

“Setelah masuk Islam, masya Allah, luar biasa. Allah memberikan hadiah kepada saya yang tidak kepalang tanggung," katanya.

Menurut A Sen, Islam memang diakui sulit untuk dipelajari tapi menjamin kebenaran hakiki. Sementara agama lain, kata dia, mudah dipelajari tapi hanyalah membawa pada kerugian.  “Mau yang berat tapi benar atau mau yang mudah tapi salah. Kalau saya tentu memilih yang
berat tapi benar.  Disini, kehidupan manusia tidak berhenti di dunia, tapi ada kehidupan akhirat. Maka saya memilih Islam. Mendingan yang berat tapi menjamin saya kebenaran. Susah-susah dahulu tidak apa-apa,
yang penting bahagia kemudian,” katanya.







Paul Martin bersyahadat di toko es krim









LONDON - Paul Martin masih mahasiswa ketika ia memutuskan untuk masuk Islam di  Manchester empat tahun lalu. Bosan dari apa yang ia lihat sebagai gaya hidup hedonistik dari banyak teman-temannya di universitas, ia mulai tertarik kepada apa yang dia sebut "penekanan Islam pada mencari pengetahuan". Seperti yang dilaporkan situs The Independentpertemuan satu kalinya dengan seorang Muslim telah mengubah hidupnya.

"Aku menyukai cara para mahasiswa Muslim mengatur diri mereka sendiri. Sangat menyenangkan untuk berpikir tentang orang memiliki satu pasangan untuk hidup dan tidak melakukan apapun yang berbahaya untuk tubuh mereka," katanya.

Suatu hari, secara ia iseng-iseng membaca terjemahan Alquran. "Aku kagum melihat penekanan besar Islam pada ilmu pengetahuan," akunya.

"Lalu aku dikenalkan oleh seorang teman Muslim, seorang dokter yang beberapa tahun lebih tua dariku. Kami pergi minum kopi dan kemudian beberapa minggu kemudian berjanji bertemu di kedai es krim," ujarnya.

Dalam pertemuan itu, ia menyatakan ingin menjadi Muslim. "Aku bersyahadat saya di sana, di toko es krim itu," ujarnya. Ia mengakui beberapa orang ingin menjadi semua formal dan melakukannya di masjid, tapi baginya, agama bukanlah hal yang fisik. "Agama adalah tentang apa yang ada dalam hatimu."

Ia mengaku tidak pernah ke masjid sebelum  menjadi seorang Muslim. Baginya, masjid sedikit "menakutkan". Ia pernah mendengar pendapat, ke masjid dilarang mengenakan celana jins, T-shirt, dan jaket. "Sekarang di masjid saya di Leeds, berbagai bahasa yang diucapkan dan ada banyak mualaf," katanya. Dan, dengan beragam penampilan tentu saja.

Ia mengaku tak ada kendala berarti di keluarganya. "Dengan keluarga, aku melakukannya secara bertahap. Tidak hanya pulang dan mengatakan bahwa aku adalah seorang Muslim. Ada proses yang panjang sebelum aku bersyahadat, di mana aku tidak mau makan babi dan minum," ujarnya, yang mengaku selalu menghabiskan akhir pekan dengan makan malam bersama. bahkan, ibunyalah yang berinisiatif selalu mencari daging domba halal untuk keperluan itu.

Paul kini main mantap berislam. Apalagi beberapa tahun setelah bersyahadat, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji.