Suasana Timor-Timur, kini Timor Leste, memasuki tahun 1999 begitu mencekam. Saat itu pula diputuskan bahwa Timor-Timur memisahkan diri dari bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia.
Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili. Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.
Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.
Di pengungsian, Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.
Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.
Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri. Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando mengisahkan pada Republika.co.id.
Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto, menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.
Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.
Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana saya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.
Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.
Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.
Tak lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.
Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.
Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadits.
Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.
Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus. “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando.
Arnaldo Pinto, saat itu masih duduk di sekolah dasar kelas 6, tengah menikmati liburan di kota Dili. Orlando kecil tidak tahu bahwa Timor-timur sudah menjadi negara Merdeka. Liburan belum berakhir, dia dan keluarga tak kembali ke kampungnya, tapi mengungsi ke Nusa Tenggara Timur.
Hijrah mendadak Orlando bersama orang tua angkatnya itu, merupakan awal dari perkenalan Orlando terhadap Islam. Orlando kecil tinggal bersama orang tua angkatnya di pengungsian eks Timor-timur di NTT.
Di pengungsian, Orlando menemukan "dunia" baru; senang mendengar teman-temannya di pengungsian mengaji dan belajar Iqro. Suatu malam, orang tua angkatnya, menyatakan ia harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluknya. Namun, Orlando kecil menolak.
Ia malah datang ke masjid saat Jumat. Hal yang pertama dilakukan, adalah berwudlu. “Karena baru pertama masuk masjid, rasanya sangat aneh. Biasanya saat ke gereja ada nyanyian atau apa, di sini (masjid) tidak ada. Juga harus melepaskan sandal, duduk dengan rapi,” ungkapnya. Tanpa tahu bacaannya, ia mengikuti gerakan shalat. Ia sempat menjadi bahan tertawaan ketika pada rakaan pertama langsung sujud, tanpa ruku terlebih dulu.
Setelah selesai shalat jumat, Orlando mendatangi ustadz minta diislamkan. Sang ustadz sempat kaget dan menanyakan apa motivasinya. "Saya langsung menjawab, karena kesadaran sendiri. Lalu ustad bertanya lagi, usai mengucapkan dua kalimat syahadat apakah Orlandoikhlas mengikuti ajaran Islam? Jawab saya, siap pak ustadz,” kata Orlando mengisahkan pada Republika.co.id.
Sang ustadz menawarkan padanya nama baru. Orlando pun mengiyakan. Nama lama, Arnaldo Pinto, menjadi Muhammad Orlando. “Saya waktu itu mempersilahkan ustad untuk memberikan nama apapun buat saya. Cuma saya bilang waktu itu, banyak teman memanggil saya Aldo, atau sahabat saya memanggil saya Orlando. Saat itu, ustadz akhirnya memberi nama saya Muhammad Orlando,” ungkap dia. Setelah itu, Orlando diajarkan wudhu, shalat, dan doa.
Babak baru keislaman Orlando terus berlanjut, saat orang tua angkatnya mengirim dia ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Di awal, Orlando yang sudah berusia 15 tahun dipanas-panasi agar tidak masuk pesantren."Ada seseorang yang berbisik kepada saya. Kamu nanti, kalau masuk sana bakalan tidak betah. Makan diatur, jam tidur sedikit. Kamu pasti tidak akan betah,” cerita Orlando.
Hasutan-hasutan itu rupanya tidak menggentarkan niat Orlando. "Awalnya saya takut, tapi karena jiwa saya seorang perantau. Maka saya memutuskan berangkat. Di sana saya belajar Iqra, dan Islam setiap hari,” papar dia.
Di pesantren itu, pengetahuan Orlando meluas. Enam bulan mondok, Orlando sudah bisa membaca sejumlah surat Alquran. Tahun 2002, dia pun mahir membaca Alquran. “Di awal, saya banyak ditertawakan teman-teman. Al Fatihah bacaanya tidak jelas. Sudah begitu, Bahasa Indonesia saya juga terbata-bata, baru belajar,” kenang dia. Di pesantren itu pula, Orlando dikhitan.
Setelah mengeyam pendidikan di pesantren Al-Ikhlas, Mojokerto, Orlando segera membantu ustadz-ustadz membimbingmualaf baru. Berkat pengalamannya menjadi mualaf, dia tahu betul cara mendidik saudara-saudaranya yang baru memeluk Islam.
Tak lama, orang tua angkatnya meminta dia kebali ke NTT untuk mengamalkan ilmunya. Kebetulan pula saat itu, ada seorang dermawan, tengah membangun masjid megah berikut wismanya. Selama tujuh bulan Orlando mengabdi di sana. “Saya baru sadar, menghadapi masyarakat itu tidaklah mudah,” kata dia.
Dari situlah, lantaran merasa ilmunya yang kurang, Orlando memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, untuk menempuh pendidikan S1 di LPIA, Jakarta Selatan. Beruntung baginya, lantaran dia berasal dari Timor-timur maka dia dimudahkan masuk LPIA.
Dua bulan di kampus, Orlando bisa bahasa arab, pengetahuan tenang Islam bertambah, begitupula dengan Alquran dan hadits.
Ke depan, usai menyelesaikan studinya, Orlando berharap bisa kembali ke NTT untuk membantu dakwah di sana. Kebetulan orang tua angkatnya tengah membangun masjid. “ Saya juga berharap menghantar hidayah kepada keluarga,” ujarnya.
Keluarganya di Timor Leste masih memeluk agama lama. Namun, ia hubungan mereka tak terputus. “Satu minggu yang lalu, setelah 11 tahun, saya dihubungi ibu. Walaupun saya sudah berpindah keyakinan, mereka tidak masalah. Tapi wajar bila ada yang tidak senang,” ungkap Orlando.