Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Senin, 07 Maret 2011

Microsoft: Selamat Tinggal Internet Explorer 6

Microsoft siap untuk bergerak keluar dari Internet Explorer 6. Raksasa peranti lunak itu sudah meluncurkan situs baru, "The Internet Explorer 6 Countdown", yang berslogan "Memindahkan dunia lepas dari Internet Explorer 6."

Mashable telah menulis panjang lebar mengenai masalah yang diciptakan oleh penggunaan IE6 yang berkelanjutan. Kecuali untuk  lingkungan dan intranet  pemerintah/perusahaan khusus , tak ada lagi alasan terus menggunakan  IE6.

Lewat situs IE6Countdown.com, Microsoft membuat usaha paling terkonsentrasi untuk membuat pengguna pindah dari browser lama itu. Seperti dikatakan situs itu dalam kata pembukanya,"10 tahun lalu sebuah browser lahir. Waktunya mengucapkan selamat tinggal."

Tujuan dari situs itu adalah pengguna IE6 turun kurang dari 1 persen di seluruh dunia. Penggunaan IE6 saat ini pada tingkat global adalah 12%, meskipun di berbagai belahan  dunia, angka itu kurang dari 5 persen.  Di Amerika Serikat, menurut Net Application angka terkini menunjukkan bahwa 2.9 persen pengguna web masih menggunakan IE6.

Situs itu memiliki berbagai link untuk menjelaskan alasan para pengguna harus melakukan upgrade, link  dokumentasi tentang  jaringan perusahaan yang perlu migrasi ke browser baru dan banner-baner yang bisa ditanamkan webmaster di situs mereka. Ini semua untuk memperingatkan para pengguna bahwa mereka harus melakukan upgrade.

Mashable menyarankan agar ada  versi multi bahasa dari kampanye tersebut. Mereka mengatakan pengguna IE6 datang dari China, karena 34.5%  pemakai browser masih menggunakan IE6. Korea Selatan, India, Taiwan, Arab Saudi dan Vietnam juga masih memiliki lebih dari 10% pengguna IE6.

Mashable mengatakan  senang melihat Microsoft  memaksakan kematian IE6.
Sumber:http://bit.ly/gO60c7

Mencari Asal Usul Kata LOL di Internet

Pengguna laman jejaring sosial Facebook, Twitter, dan Yahoo! Mssenger pasti sudah sering mengetik atau melihat kata LOL (Laughing Out Loud). Kata ini sering dinyatakan sebagai bentuk tertawa keras, menanggapi pernyataan lawan bicaranya.

Tapi darimana asal usul kata LOL? Tak semua orang tahu. Menurut penelusuran Associated Press, kata LOL atau akronim tiga huruf maupun beberapa huruf lainnya yang populer kini di internet berasa dari tahun 1980-an.

Bahasa ini akrab dikalangan para peretas (hacker) komputer yang ketika itu belum sepopuler sekarang. Seiring majunya teknologi internet, di masa CompuServe dan Netcom., di pertengahan 1990-an, dan ketika America Online menjadi salah satu laman unggulan, kata LOL menjadi hits di chat room dan instant messaging

Bila awalnya adalah LOL, maka selanjutnya ada turunan. Muncul kemudian akronik
ROFL (rolling on the floor laughing) atau LMAO (laughing my ass out). Di 2004, sebenarnya penggunaan kata ini sempat lesu. LOL dimasukkan ke dalam 'Daftar Kata yang Harus Dihilangkan Karena Terlalu Sering Digunakan, Disalahgunakan, dan Tidak Berguna' yang dikeluarkan oleh Universitas Michigan.

Pakar bahasa yang meneliti bahasa online dan mobile, Naomi Baron, mengatakan penggunana LOL dan sejenisnya merefleksikan lingkaran sosial si individu berada. Ketika batas umur di dunia maya menjadi kabur, maka lingkaran sosial itu akan memudar antargenerasi.

Baron menyurvei aktivitas bahasa mahasiswa ketika mereka online. Ia menemukan sejumlah pola penggunaan kata LOL. Dari temuannya, LOL kini makin luas cakupannya, tidak hanya sebatas tertawa, tapi juga bisa mengekspresikan kata 'Oh', 'Saya paham', 'Saya tahu', dan 'Betulkah?'.

Sebagai bandingan, pada abad-18 dan 19 di Inggris, adalah umum bagi setiap orang untuk menandatangani surat dengan kata
'Yr Hum Serv' yang merupakan kependekan dari 'Your Humble Servant'. "Semua orang tahu maksud pernyataan ini, mereka mengkonvensikannya," demikian Baron.
Sumber:http://bit.ly/dXh7pF

‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam

 
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:  Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”
Sumber:http://bit.ly/ecaGpJ







Bisnis Foto Makanan Yang Semakin Menggoda

Perkembangan dunia kuliner Indonesia mendorong perkembangan usaha foto khusus makanan dan food photography. Tak heran, banyak orang kemudian terjun ke bidang ini. Tugas utama mereka adalah menghasilkan foto makanan yang mengundang air liur.


Air liur Anda menetes saat melihat iklan produk makanan di majalah? Awas, Anda tengah berada dalam pengaruh "hipnotis" ilmu fotografi makanan atau
food photography.

Ya, menggiurkan atau tidaknya sebuah iklan makanan memang sangat tergantung kualitas fotonya. Nah, fotografer makanan memiliki keahlian khusus untuk menciptakan foto-foto makanan atau minuman yang menggugah selera.

Seiring perkembangan zaman, jumlah fotografer yang menekuni food photography ini terus bertambah. Maklum, permintaan pasar terus meningkat. Mengerjakan foto iklan makanan hanya salah satu contoh proyek yang digarap fotografer khusus ini. Ada segudang proyek lain yang biasa mereka garap. Sebut saja foto menu restoran, foto kemasan produk makanan atau minuman, foto katalog produk, foto resep untuk majalah, dan masih banyak lagi.

Foodtograf adalah salah satu contoh usaha yang mengkhususkan diri dalam bidang
food photography. Foodtograf menggandeng dua fotografer, yakni Himawan Sutanto dan Antonius Riva. Mereka juga menggandeng beberapa penata saji food stylist. Maklum, fotografi makanan memang sering membutuhkan jasa penata saji ini. "Target pasar kita adalah pelaku usaha kuliner," ujar Tia Wongso, pemilik Foodtograf.

Tia memasang tarif pemotretan mulai Rp 500.000 sampai Rp 5 juta per paket. Ini belum termasuk bayaran untuk jasa food stylist. Dengan tarif sebesar itu, Tia mengaku mengantongi omzet hingga Rp 40 juta per bulan. Meski pasarnya masih terbatas di Jakarta, jumlah klien tetap Foodtograf sudah mencapai sekitar 10 perusahaan.

Para pengguna jasa
food photography juga mengenal nama Iswanto Soerjanto. Fotografer ini sudah lama malang melintang di dunia fotografi makanan di dalam maupun luar negeri. Selain berkiprah di Indonesia, kini, Iswanto juga menjadi associate photographer The Looop International yang berbasis di Singapura.

Di luar foto menu, Iswanto sudah sangat banyak memiliki pengalaman memotret produk-produk makanan dan minuman kemasan.

Tentu saja, tarif pemotretan produk makanan dan minuman kemasan lebih besar, mulai Rp 5 juta hingga Rp 20 juta per sesi. "Karena makanan resto lebih sederhana dan menonjolkan food illustration, kalau makanan kemasan merupakan ilustrasi produk, jadi produknya harus menonjol, makanannya tidak," ungkap Iswanto.

Pemain lainnya adalah Chandra Setyakusumah. Chandra yang berkecimpung di bisnis pendukung kuliner membangun usaha foto makanan bersama saudaranya dua tahun lalu di Bandung. Mereka mengibarkan bendera usaha bernama Quantum Food.

Ide Chandra bermula saat melihat usaha kuliner berkembang pesat di Kota Kembang. Dengan latar belakang pendidikan tata boga, Chandra menggandeng Andrian yang kebetulan seorang fotografer. Quantum memasang tarif Rp 750.000-Rp 7,5 juta per paket. Angka tersebut sangat tergantung paket dan tingkat kesulitannya.

Dalam sebulan, Chandra bisa mendekap penghasilan dari usaha foto makanan dan minuman sampai Rp 90 juta dari sekitar 25 pelanggan. Pendapatannya bisa meningkat hingga 35% saat memasuki Natal, Tahun Baru, dan hari raya besar lainnya. Pelanggannya banyak berasal dari pelaku usaha kuliner di Bandung, Jakarta, dan Bali

Kepuasan klien menjadi kunci sukses usaha
food photography ini. Karena itu, para fotografer harus selalu mengasah keahlian maupun kreativitas mereka.

Asal tahu saja, memotret makanan dan minuman agar membangkitkan selera membutuhkan trik-trik khusus. Selain agar hasil foto lebih sempurna, banyak hal teknis yang harus menjadi pertimbangan.

Saat memotret produk es krim, misalnya, fotografer tidak memakai es krim asli. Karena, es akan meleleh terkena panas lampu. "Jadi, kami membuat adonan yang mirip es krim aslinya, walau tidak bisa dimakan," katanya.

Untuk mendapatkan efek cipratan air sirup, Chandra bilang, ia juga butuh waktu lama. Untuk produk susu, ia biasa memakai cat tembok.

Agar fokus di penataan angle dan pencahayaan, biasanya, seorang fotografer menggandeng
food stylist sebagai mitra. Nah, penata saji inilah yang bertanggung jawab menata makanan agar siap difoto. Mereka juga membantu fotografer mengatur komposisi objek yang akan difoto. Tentu saja, semuanya harus memperoleh persetujuan dari klien yang menggunakan jasa mereka.

Iswanto melihat, prospek usaha
food photograpy ini masih sangat cerah. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, industri makanan di Indonesia semakin berkembang. Sebagai buktinya, usaha restoran semakin menjamur Kondisi di negara-negara Asia yang lain juga tak jauh berbeda . Makanya, "Banyak juga permintaan (foto) dari Thailand dan Malaysia," kata dia.

Kedua, pemainnya belum banyak. Sebab, tidak banyak orang yang mau menekuni bisnis ini karena membutuhkan ketelitian dan waktu yang lebih lama. "Banyak orang yang juga tidak mempunyai passion di kuliner. Kalau mau terjun harus tahu latar belakang kuliner, jadi harus banyak belajar soal makanan," saran Iswanto.

Daniel Iskandar, fotografer Photopoint juga mengamini pendapat Iswanto. Maklum, seni fotografi makanan dan minuman memang sangat rumit dan detail. Jika tidak memiliki passion, si fotografer pasti tak sabar.

Sumber : http://investasi.kontan.co.id/v2/read/peluang%20usaha/56723/Bisnis-foto-makanan-semakin-menggoda