30
Fatwa Seputar Ramadhan
Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Syekh
DR. Yusuf Al-Qaradhawi.
Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Disusun
dan Diterjemahkan Oleh:
H.
Abdul Somad, Lc., MA.
Pengantar Penterjemah.
Segala puja dan puji hanya milik Allah Swt. Shalawat beruntai salam semoga
senantiasa tercurah ke hadirat junjungan alam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hari berganti musim berubah, akan tetapi berbagai
pertanyaan yang muncul ketika mendekati bulan Ramadhan tetaplah pertanyaan yang
sama, seputar Hisab dan Ru’yah, niat puasa, Qadha’, Tarawih,
Zakat Fitrah dan lain sebagainya. Meskipun berbagai masalah ini telah dibahas,
akan tetapi manusia tetaplah pada keterbatasannya, lupa dan berbagai kesibukan
tetap menjadi faktor penyebab mengapa pertanyaan terus berulang, disamping
tidak adanya dokumentasi yang memadai. Untuk itu dirasa perlu mengumpulkan
berbagai tulisan yang berkaitan dengan masalah ini. Penyusun memilih fatwa tiga
ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi dan
Syekh DR. Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang terus mereka terapkan dalam
fatwa, dengan kekayaan dalil dan referensi bacaan. Semoga fatwa-fatwa ini mampu
memberikan pencerahan dan dijadikan Allah Swt sebagai bagian dari amal shaleh
yang terus mengalir, amin.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Terjemahan
ini masih jauh dari sempurna. Namun, andai ditunggu sempurna, fatwa-fatwa ini
tidak akan pernah muncul ke alam nyata. Kritik dan saran sangatlah diperlukan
dari para alim ulama dan segenap kaum muslimin.
Pekanbaru, 1 Rajab 1432H / 3 Juni 2011M.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
1.
Hilal
Ramadhan
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar
Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 252
[Maktabah Syamilah].
Pertanyaan:
Dalam hadits dinyatakan, “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berhari rayalah kamu ketika melihat bulan”. Apakah kata ‘melihat’ disini boleh diinterpretasikan sebagai melihat secara ilmiah, bukan melihat dengan mata kepala, untuk menyatukan awal bulan Ramadhan?
Jawaban:
Tema penyatuan awal Ramadhan yang selanjutnya mengarah kepada penyatuan hari raya di seluruh negeri-negeri Islam adalah tema yang dibahas para ahli Fiqh pada abad-abad pertama, juga dibahas para ulama di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Riset Islam) pada beberapa tahun terakhir. Semuanya sepakat bahwa tidak ada kontradiksi antara agama Islam dan ilmu pengetahuan, agama Islam sendiri menyerukan ilmu pengetahuan. Dalam masalah kita ini, hadits mengaitkan puasa dan hari raya dengan melihat Hilal, jika tidak terlihat dengan mata kepala, maka kita menggunakan ilmu pengetahuan. Bimbingan agar menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari adalah arahan untuk menghormati Hisab yang merupakan salah satu bentuk ilmu pengetahuan. Mereka yang mengamati Hilal menggunakan teropong yang merupakan peralatan dari ilmu pengetahuan, juga menggunakan alat-alat pengintai Hilal dan peralatan lainnya. Tema ini membutuhkan pembahasan yang panjang lebar, pembahasan ilmu pengetahuan dan agama, dibahas dalam juz kedua kitab Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (Penjelasan Untuk Umat Manusia Dari Al-Azhar Yang Mulia). Disini saya sebutkan bahwa Konferensi Riset Islam ke-III yang dilaksanakan pada tahun 1966M menetapkan sebagai berikut:
1. Ru’yah
adalah dasar untuk mengetahui masuknya bulan Qamariyyah, sebagaimana
yang dinyatakan oleh hadits. Ru’yah adalah
dasar, akan tetapi tidak berpedoman kepada Ru’yah jika tidak ada kepercayaan yang sangat kuat.
2. Penetapan Ru’yah dengan Mutawatir
dan Istifadhah (berita
dibawa oleh banyak orang), juga dengan Khabar
Wahid (berita dibawa oleh satu orang), laki-laki atau perempuan, jika
tidak ada faktor penyebab yang mempengaruhi kebenaran beritanya. Diantara
faktor penyebab yang dapat merusak kebenaran berita Ru’yah adalah jika bertentangan dengan Hisab dari orang yang terpercaya.
3. Khabar
Wahid mesti diamalkan, baik oleh orang yang membawa berita maupun yang
mempercayainya. Adapun mewajibkan semua orang untuk mengikutinya, maka tidak
boleh kecuali setelah Ru’yah ditetapkan
oleh sebuah lembaga yang ditetapkan negara untuk itu.
4. Berpedoman kepada Hisab dalam penetapan masuknya bulan
Ramadhan apabila tidak dapat diwujudkan lewat Ru’yah dan tidak mungkin menyempurnakan jumlah hari bulan
sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
5. Menurut konferensi ini, perbedaan
penampakan Hilal tidak dianggap jika tempatnya berjauhan dan waktu malam
diantara tempat-tempat tersebut masih bersambung, meskipun sedikit. Perbedaan
penampakan Hilal diantara beberapa tempat baru dianggap jika waktu malam
diantara tempat-tempat tersebut tidak bersambung.
6. Konferensi ini merekomendasikan kepada
masyarakat dan negara-negara Islam agar di setiap kawasan negeri Islam memiliki
lembaga penetapan awal bulan Qamariyyah dengan tetap melakukan kordinasi antara
lembaga dan berkordinasi dengan lembaga Hisab
terpercaya.
Mesir mengumumkan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan beberapa keputusan konferensi ini dan tetap berkordinasi dengan negara-negara lain. Demikianlah, saya ingin mengingatkan kaum muslimin bahwa ada unsur-unsur lain yang sangat penting dan memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk menyatukan umat Islam, diantara yang terpenting adalah penyatuan hukum, sistem undang-undang, ekonomi dan budaya berdasarkan agama Islam. Tidak adanya penyatuan ini menyebabkan kaum muslimin semakin menjauh dan menyebabkan kaum muslimin menjadi korban negara-negara lain, menyebabkan keretakan ikatan kaum muslimin. Sungguh benar Rasulullah Saw seperti yang diriwayatkan al-Baihaqi, “Jika kaum muslimin membatalkan perjanjian mereka kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, maka musuh menguasai mereka dan mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Jika pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah, maka akan dijadikan azab di tengah-tengah mereka”.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
2. Mengikuti Ru’yah Negara Lain
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh berpuasa mengikuti Ru’yah di Negara lain, bukan
mengikuti Ru’yah Negara tempat
tinggal?
Jawaban:
Tidak selayaknya penduduk suatu Negara melaksanakan
puasa dan berhari raya mengikuti Negara lain berbeda dengan Ru’yah yang ditetapkan Negara
bersangkutan. Karena kondisi seperti ini menyebabkan perpecahan kesatuan kaum
muslimin. Menanamkan benih-benih fitnah dan berpecahan. Sebagaimana ditetapkan
dalam syariat Islam bahwa hukum yang ditetapkan Ulil Amri mengangkat khilaf
yang terjadi diantara umat manusia. Berdasarkan ini maka jika fatwa telah
dikeluarkan berkaitan dengan hilal bulan Ramadhan atau lainnya di suatu Negara,
maka bagi kaum muslimin di Negara tersebut mesti berpegang kepada fatwa
tersebut, tidak boleh keluar dari fatwa tersebut. Ini berdasarkan riwayat dari
Kuraib bahwa Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awiyah di
negeri Syam, ia berkata, “Saya sampai di negeri Syam, saya menunaikan
keperluannya. Telah terlihat hilal bulan Ramadhan ketika saya berada di negeri
Syam, saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada
akhir bulan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada saya”. Kemudian Kuraib
menyebutkan tentang hilal. Abdullah bin Abbas bertanya, “Kapankah kamu melihat
hilal?”. Saya jawab, “Kami melihatnya malam Jum’at”. Abdullah bin Abbas
bertanya, “Engkau melihatnya?”. Saya jawab, “Ya, orang banyak juga melihatnya.
Mereka melaksanakan puasa dan Mu’awiyah juga melaksanakan puasa”. Abdullah bin
Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu. Kita terus
melaksanakan puasa hingga kita sempurnakan tiga puluh hari, atau hingga kita
melihat hilal (Syawal)”. Saya katakan, “Apakah tidak cukup dengan Ru’yah dan puasa Mu’awiyah?”.
Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan
kita”3. Riwayat ini membuktikan bahwa setiap daerah konsisten menjalankan Ru’yahnya masing-masing. Kami
berfatwa berdasarkan ini. Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
2 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 286.
3 HR. Ahmad dalam
al-Musnad, juz. I, hal. 306; Muslim dalam ash-Shahih, juz. II, hal. 765; Abu
Daud dalam as-Sunan, juz. II, hal. 299 dan at-Tirmidzi dalam as-Sunan, juz.
III, hal. 76.
3. Waktu Puasa Diantara Dua Tempat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Seseorang memulai puasanya
di Mesir sesuai penetapan awal Ramadhan di Mesir. Kemudian ia pergi ke negeri
lain yang hari rayanya berbeda dengan Mesir. Apa yang ia lakukan di akhir
Ramadhan, apakah mengikuti hari raya di Mesir atau mengikuti negeri tempat ia
berada, meskipun jika itu ia lakukan akan menyebabkan puasanya berjumlah 28
hari atau 31 hari?
Jawaban:
Seseorang memulai puasa
Ramadhan di suatu negeri berdasarkan Ru’yah, misalnya hari Jum’at. Kemudian ia
pergi ke negeri lain yang puasa di negeri itu dimulai hari Kamis. Ia menetap
disana hingga akhir bulan Ramadhan. Mungkin saja ia akan menyempurnakan puasa
Ramadhan di negeri kedua selama 30 hari, dengan demikian maka hari Idul Fitri
pada hari Sabtu, dalam kasus ini tidak ada masalah. Mungkin juga negeri kedua
menetapkan puasa 29 hari, jika hari raya pada hari Jum’at. Dengan demikian maka
orang yang memulai puasa Ramadhan pada hari Jum’at di negeri pertama berarti ia
berpuasa selama 28 hari. Apa yang mesti ia lakukan? Negeri kedua tempat ia
menetap melaksanakan hari raya pada hari Jum’at, sedangkan berpuasa di hari
raya itu hukumnya haram. Sedangkan bulan sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah
Saw hanya 29 atau 30 hari. Tidak pernah sama sekali 28 hari. Jika demikian,
kami katakan kepada orang yang mengalami hal seperti ini, “Anda memilih, anda
ikut berhari raya dengan penduduk negeri kedua. Akan tetapi Anda mesti
meng-qadha’ satu hari puasa di hari lain untuk menyempurnakan 29 hari. Anda
juga memiliki pilihan untuk berpuasa pada hari raya itu untuk menyempurnakan
jumlah satu bulan yaitu 29 hari”. Ini pendapat saya, masalah ini adalah masalah
ijtihad. Akan tetapi saya lebih memilih pendapat ikut berhari raya di negeri
kedua dan melaksanakan qadha’ satu hari puasa di hari lain. Ini adalah salah
satu dampak negatif dari banyaknya pemimpin di negeri-negeri Islam.
4 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 296 [Maktabah Syamilah].
4. Niat Puasa
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Saya lupa berniat puasa
pada waktu malam. Kemudian saya teringat setelah fajar bahwa saya belum
berniat. Apakah puasa saya sah?
Jawaban:
Niat merupakan sesuatu yang
mesti ada dalam puasa, puasa tidak sah tanpa adanya niat. Mayoritas ulama
mensyaratkan agar setiap hari mesti berniat puasa, sebagian ulama mencukupkan
satu niat saja pada awal malam bulan Ramadhan untuk niat satu bulan secara keseluruhan.
Waktu berniat adalah sejak tenggelam matahari hingga terbit fajar. Jika
seseorang berniat melaksanakan puasa di malam hari, maka niat itu sudah cukup,
ia boleh makan atau minum setelah berniat, selama sebelum fajar. Imam Ahmad,
Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
“Siapa yang tidak
menggabungkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
Tidak disyaratkan
melafalkan niat, karena tempat niat itu di hati. Jika seseorang sudah bertekad
di dalam hatinya untuk melaksanakan puasa, maka itu sudah cukup. Meskipun hanya
sekedar bangun pada waktu sahur dan berniat akan melaksanakan puasa, itu sudah
cukup, atau minum agar tidak merasakan haus pada siang hari, maka niat itu
sudah cukup. Siapa yang tidak melakukan itu pada waktu malam, maka puasanya
tidak sah, ia mesti meng-qadha’ puasanya. Ini berlaku pada puasa Ramadhan.
Sedangkan puasa sunnat, niatnya sah dilakukan pada waktu siang hari sebelum
zawal (matahari tergelincir).
5 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 266 [Maktabah Syamilah],
5. Menggunakan Siwak dan Pasta Gigi
Fatwa Syekh DR. Yusuf
al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan siwak
bagi orang yang berpuasa? Dan penggunaan pasta gigi?
Jawaban:
Dianjurkan menggunakan
Siwak sebelum Zawal (tergelincir matahari). Adapun setelah tergelincir
matahari, para ahli Fiqh berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan makruh
hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah Saw:
“Demi jiwaku berada di
tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah Swt
daripada semerbak kasturi”. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah). Menurut
pendapat ini, harum semerbak kasturi tidak baik jika dihilangkan, atau makruh
dihilangkan, selama bau tersebut diterima dan dicintai Allah Swt, maka orang
yang berpuasa membiarkannya. Ini sama seperti darah dari luka orang yang mati
syahid. Rasulullah Saw berkata tentang para syuhada’:
“Selimutilah mereka
dengan darah dan pakaian mereka, karena sesungguhnya mereka akan dibangkitkan
dengannya di sisi Allah Swt pada hari kiamat, warnanya warna darah dan harumnya
harum semerbak kasturi”. Oleh sebab itu orang yang mati syahid tetap dengan
darah dan pakaiannya, tidak dimandikan dan bekas darah tidak dibuang. Mereka
meng-qiyaskan dengan ini. Sebenarnya ini tidak dapat diqiyaskan dengan bau
mulut orang yang berpuasa, karena ada kedudukan tersendiri. Sebagian shahabat
meriwayatkan, “Saya seringkali melihat Rasulullah Saw bersiwak ketika beliau
sedang berpuasa”. Bersiwak ketika berpuasa dianjurkan dalam setiap waktu, pada
pagi maupun petang hari. Juga dianjurkan sebelum atau pun setelah berpuasa.
Bersiwak adalah sunnah yang dipesankan Rasulullah Saw:
6 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
329 - 330.
“Siwak itu kesucian bagi
mulut dan keridhaan Allah Swt”. (HR. an-Nasa’I, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq dengan
shighat Jazm). Rasulullah Saw tidak membedakan antara puasa atau tidak
berpuasa.
Adapun pasta gigi, mesti
berhati-hati dalam menggunakannya agar tidak masuk ke dalam sehingga
membatalkan puasa menurut mayoritas ulama. Oleh sebab itu lebih untuk dihindari
dan ditunda pemakaiannya setelah berbuka puasa. Akan tetapi jika dipakai dan
bersikap hati-hati, namun tetap masuk sedikit ke dalam, maka itu dimaafkan.
Allah Swt berfirman:
“Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 5). Rasulullah Saw bersabda:
Diangkat dari umatku;
tersalah, lupa dan sesuatu yang dipaksa untuk melakukannya”. Wallahu a’lam.
6. Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
7 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 291 [Maktabah Syamilah].
Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa
buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan
wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada
dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa
pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk
melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang
tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang
miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh,
diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan
memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum
diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad.
Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183)
turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan
membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan
bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak
berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya.
Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu
orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir
diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar
fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka
semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa
qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari
meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia
berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut
usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang
miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen
seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan
mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan
batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta
yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga
dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat
secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak
wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta
untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan
ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka,
atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh
tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa
qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan
‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah
lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka
boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin
untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya,
maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh
al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang
ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib
membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh
ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu
Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab,
“Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu
hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:
“Sesungguhnya Allah
Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban
shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita
hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para
pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas
maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya,
maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar
fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak
wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi:
wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan
Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika
yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya,
maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib
membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab
dinyatakan:
Menurut
Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu
menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah
sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja,
atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak
wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib
membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau
mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu
menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut
Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu
menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran
tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib
melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu
menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak,
atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’
tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib
melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu
menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap
diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka
wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan
anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i
sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab
Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab
Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i
mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti
pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang
diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada
lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu
Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah
Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu
diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah,
meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam
asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan
Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
7. Menunda Puasa Qadha’
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tidak melaksanakan
beberapa hari di bulan Ramadhan karena uzur, saya tidak mampu meng-qadha’-nya
hingga masuk Ramadhan berikutnya. Apakah saya didenda karena menunda puasa
Qadha’? ketika meng-qadha’, apakah wajib berturut-turut atau boleh
terpisah-pisah?
Jawaban:
Jumhur ulama mewajibkan
fidyah bagi orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan hingga masuk ke Ramadhan
berikutnya. Fidyah tersebut adalah memberikan makan satu orang miskin untuk
satu hari puasa yang ditinggalkan, makanan tersebut cukup untuk makan siang dan
makan malam. Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan tanpa ada uzur. Hukum ini
berdasarkan dalil hadits Mauquf dari Abu Hurairah, artinya ini ucapan Abu
Hurairah, penisbatan ucapan ini kepada Rasulullah Saw adalah dha’if. Hukum ini
juga diriwayatkan dari enam orang shahabat, menurut Yahya bin Aktsam tidak ada
yang menentang pendapat mereka, diantara mereka adalah Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
ra.
Abu Hanifah dan ulama
Mazhab Hanafi berpendapat: tidak wajib membayar fidyah disamping qadha’. Karena
Allah Swt berfirman tentang orang yang sakit dan musafir:
“Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). Allah Swt tidak memerintahkan membayar
fidyah. Hadits yang mewajibkannya adalah hadits dha’if, tidak dapat dijadikan
dalil.
Imam asy-Syaukani berkata
dalam Nail al-Authar, juz. 4, hal. 318, mendukung pendapat ini, “Tidak ada
hadits kuat dari Rasulullah Saw tentang masalah ini. Pendapat shahabat tidak
dapat dijadikan dalil. Pendapat jumhur tidak menunjukkan bahwa itu benar. Hukum
asal tidak ada kewajiban menjadi penetap hukum tidak adanya kewajiban yang
membebani, sampai ada dalil tentang itu. Dalam masalah ini tidak ada dalil yang
mendukung. Maka tidak wajib membayar fidyah)”.
8 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 268 [Maktabah Syamilah].
Imam Syafi’i berkata, “Jika
qadha’ tersebut tidak dilaksanakan karena uzur, maka tidak wajib membayar
fidyah. Jika bukan karena suatu uzur, maka wajib membayar fidyah”. Pendapat ini
penengah antara dua pendapat diatas. Akan tetapi hadits dha’if atau hadits
mauquf tentang kafarat ini tidak membedakan antara ada atau tidak adanya uzur.
Mungkin pendapat ini dapat menenangkan jiwa karena memperhatikan bentuk khilaf
yang ada.
Melaksanakan puasa qadha’
Ramadhan itu wajib dilaksanakan secara tunda, tidak wajib dilaksanakan segera,
meskipun afdhal dilaksakan dengan segera ketika mampu, karena hutang kepada
Allah Swt lebih utama untuk ditunaikan. Disebutkan dalam Shahih Muslim dan
Musnad Ahmad bahwa Aisyah ra meng-qadha’ puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, ia
tidak melaksanakannya segera ketika ia mampu.
Dalam melaksanakan puasa
Qadha’ tidak diwajibkan mesti berturut-turut. Ad-Daraquthni meriwayatkan dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw berkata tentang qadha’ puasa Ramadhan:
“Jika mau dapat
melaksanakannya secara terpisah-pisah dan jika mau dapat melaksanakannya secara
berturut-turut”.
8. Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai Celak
Fatwa Syekh DR. Yusuf
al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apakah orang yang sedang
berpuasa boleh disuntik? Apakah boleh memasukkan obat ke dalam telinga ketika
sedang berpuasa? Apakah perempuan boleh memakai celak pada waktu pagi ketika
sedang berpuasa?
Jawaban:
Kami katakana kepad semua
yang menggunakan jarum suntik pada bulan Ramadhan bahwa jarum suntik terdiri
dari beberapa jenis, ada yang digunakan sebagai obat dan penyembuhan, apakah
pada urat, atau pada otot, atau di bawah kulit. Tidak ada perbedaan pendapat
dalam masalah ini, karena tidak sampai ke perut dan tidak memberikan makanan.
Oleh sebab itu tidak membatalkan puasa dan tidak perlu dibahas.
Akan tetapi ada satu jenis
jarum yang memasukkan nutrisi ke dalam tubuh, seperti jarum Glucose yang
menyampaikan nutrisi ke dalam darah secara langsung. Ulama moderen berbeda
pendapat tentang masalah ini, karena kalangan Salaf tidak mengenal jenis
pengobatan seperti ini. Tidak terdapat tuntunan dari Rasulullah Saw, para shahabat,
tabi’in dan generasi pertama tentang masalah ini. Ini perkara yang baru. Oleh
sebab itu para ulama modern berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat bahwa
ini membatalkan puasa karena menghantarkan nutrisi ke tingkat tertinggi, karena
langsung sampai ke darah. Sebagian ulama menyatakan tidak membatalkan puasa,
meskipun sampai ke darah, karena yang membatalkan puasa adalah jika sampai ke
perut yang membuat manusia merasa kenyang setelah mengalaminya, atau merasa
segar (hilang haus). Yang diwajibkan dalam puasa adalah menahan nafsu perut dan
kemaluan, artinya manusia merasakan lapar dan haus. Berdasarkan ini mereka
berpendapat bahwa jarum ini tidak membatalkan puasa.
Meskipun saya memilih
pendapat kedua (tidak membatalkan puasa), akan tetapi menurut saya lebih
bersikap hati-hati jika seorang muslim tidak menggunakan jarum ini pada siang
Ramadhan, jika ada kelapangan waktu untuk menggunakannya setelah tenggelam
matahari. Jika seseorang sakit, maka Allah Swt memperbolehkannya untuk berbuka.
Meskipun jarum ini tidak benar-benar memberikan makanan dan minuman dan orang
yang menggunakannya tidak merasa hilang lapar dan haus setelah menggunakannya
seperti makan dan minum langsung, akan tetapi paling tidak merasa segar, hilang
lesu yang dirasakan orang-orang yang berpuasa pada umumnya. Allah Swt ingin
agar manusia merasakan lapar dan haus, agar mengetahui kadar nikmat Allah Swt
kepadanya, merasakan sakitnya orang-orang yang sakit, laparnya orang-orang yang
kelaparan dan penderitaan orang lain yang mengalami penderitaan. Kami khawatir
jika kami membuka pintu ini, maka orang-orang kaya yang mampu akan menggunakan
jarum ini pada siang hari Ramadhan agar mereka mendapatkan kekuatan dan merasa
segar, agar tidak merasakan sakitnya lapar dan penderitaan puasa di siang hari
bulan Ramadhan. Jika ingin menggunakannya, maka sebaiknya ditunda setelah
berbuka puasa. Ini jawaban pertanyaan pertama.
Adapun pertanyaan kedua dan
ketiga, yaitu berkaitan dengan meletakkan obat ke telinga, juga memakai celak
pada kedua mata pada siang hari bulan Ramadhan dan obat pada anus, semua ini
adalah sesuatu yang mungkin sebagiannya masuk ke dalam tubuh, akan tetapi tidak
sampai ke dalam perut dari rongga yang normal (rongga masuknya makanan ke dalam
perut), oleh sebab itu tidak disebut memberikan makanan dan orang yang
mengalaminya tidak merasa segar setelah merasakannya. Para ulama zaman dahulu
dan ulama modern berbeda pendapat dalam masalah ini, antara yang sangat ketat
dan yang longgar. Ada ulama yang menyatakan bahwa semua ini membatalkan puasa.
Sebagian ulama berpendapat bahwa rongga-rongga ini bukanlah rongga yang normal
tempat masuknya makanan ke dalam perut, oleh sebab itu tidak membatalkan puasa.
Saya berpendapat bahwa penggunaan celak, tetes mata, obat tetes telinga, obat
pada anus bagi penderita wasir dan sejenisnya. Menurut saya semua ini tidak
membatalkan puasa. Pendapat yang saya fatwakan ini adalah pendapat yang dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah. Beliau
menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, kemudian
beliau berkata, “Menurut pendapat yang kuat, semua itu tidak membatalkan puasa.
Karena ibadah puasa dari ajaran Islam yang perlu diketahui seluruh umat
manusia. Jika perkara-perkara ini diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah
puasa dan merusak ibadah puasa, pastilah Rasulullah Saw wajib menjelaskannya.
Andai Rasulullah Saw menyebutkannya, pastilah diketahui para shahabat dan
mereka sampaikan kepada umat sebagaimana mereka telah menyampaikan semua
syariat Allah Swt. Karena tidak seorang pun ulama meriwayatkan dari mereka
tentang masalah ini, tidak ada hadits shahih maupun dha’if, musnad maupun
mursal, maka dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw tidak menyebutkan masalah ini
walaupun sedikit. Hadits yang diriwayatkan tentang celak adalah hadits dha’if.
Yahya bin Ma’in berkata, “Hadits Munkar”. Inilah fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah, fatwa ini menjelaskan dua dasar:
Pertama, bahwa hukum-hukum
yang bersifat umum yang perlu diketahui oleh semua orang, maka Rasulullah Saw
wajib menjelaskannya kepada umat. Karena Rasulullah Saw itu pemberi penjelasan
kepada umat manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka. Allah Swt
berfirman:
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka”. (Qs. An-Nahl [16]: 44). Umat juga wajib melaksanakan penjelasan
tersebut setelah Rasulullah Saw. Ini adalah dasar.
Dasar kedua, bahwa memakai
celak, obat tetes telinga dan sejenisnya terus digunakan oleh manusia sejak
lama, termasuk kategori perkara yang bersifat umum, sama seperti mandi, memakai
minyak rambut, memakai asap (harum), parfum dan sejenisnya. Andai ini
membatalkan puasa, pastilah Rasulullah Saw menjelaskannya sebagaimana
Rasulullah Saw menjelaskan hal-hal yang membatalkan puasa. Ketika Rasulullah
Saw tidak menjelaskannya, maka dapat difahami bahwa ini termasuk jenis parfum,
asap (harum), minyak rambut dan sejenisnya. Ibnu Taimiah berkata, “Terkadang
asap naik ke hidung dan masuk ke otak, merasuk ke tubuh. Minyak rambut juga
diserap oleh tubuh, masuk ke dalam tubuh dan tubuh menjadi segar. Parfum juga
membuat tubuh menjadi segar. Rasulullah Saw tidak melarang semua itu, maka ini
menunjukkan bahwa boleh memakai parfum, menggunakan asap (harum) dan minyak
rambut, maka demikian juga halnya dengan celak”. Kesimpulan dari pendapat Ibnu
Taimiah dalam fatwa ini bahwa celak tidak memberikan nutrisi dan tidak ada
orang yang memasukkan celak ke dalam perutnya, tidak lewat hidung dan tidak
pula lewat mulut. Demikian juga dengan obat pada anus, tidak memberikan
nutrisi, akan tetapi mengambil tempat di dalam tubuh. Sama seperti seseorang
yang mencium bau sesuatu atau merasa cemas, maka menyebabkannya mual. Padahal
itu tidak sampai ke dalam perut. Ini pendapat yang baik dan pemahaman yang
mendalam terhadap Fiqh Islam. Pendapat inilah yang kami pilih dan kami
fatwakan. Wa billahi at-Taufiq.
9 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
325 - 328.
9. Memanjangkan Jenggot
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum memelihara
jenggot?
Jawaban:
Terdapat perintah
membiarkan (tidak mencukur) dan memelihara jenggot dalam banyak hadits.
Diantaranya hadits:
“Bedakanlah diri kamu
dengan orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (HR.
al-Bukhari dan Muslim). Ulama berbeda pendapat tentang makna perintah
Rasulullah ini, apakah mengandung makna wajib? Atau anjuran? Jumhur ahli Fiqh
berpendapat bahwa perintah ini mengandung makna wajib. Mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa makna perintah ini adalah anjuran. Banyak nash ulama Mazhab
Syafi’i yang menetapkan hukum ini menurut pendapat mereka, diantaranya adalah
sebagai berikut:
Pendapat Syaikhul Islam
Zakariyya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk
memperhatikan orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus”11.
Imam ar-Ramli memberikan komentar terhadap pendapat ini dalam Hasyiyah-nya
terhadap kitab Asna al-Mathalib, “Pendapatnya: makruh mencabutnya. Maksudnya
adalah makruh mencabut jenggot dan seterusnya. Perbuatan yang sama seperti itu
adalah mencukur jenggot. Pendapat al-Hulaimi dalam Minhaj-nya bahwa tidak halal
bagi seseorang mencukur jenggot dan bulu mata, ini adalah pendapat yang
lemah”12.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar
al-Haitsami berkata, teksnya: (Pembahasan Cabang), mereka menyebutkan disini
bahwa jenggot dan sejenisnya, ada beberapa perbuatan makruh, diantaranya:
mencabut jenggot, mencukur jenggot. Demikian juga dengan dua bulu mata”13.
Imam Ibnu Qasim al-‘Abbadi
menekankan pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap Tuhfat al-Muhtaj, ia
berkata, “Pendapatnya: ‘Atau diharamkan, bertentangan dengan pendapat yang
dijadikan sebagai pegangan’. Dalam kitab Syarh al-‘Ubab dinyatakan, “Fa’idah:
Dua Syekh (Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi) berkata, ‘Makruh hukumnya
mencukur jenggot’.”14
Al-‘Allamah al-Bujairimi
berkata dalam Syarh-nya terhadap al-Khathib, teksnya: “Sesungguhnya mencukur
jenggot itu makruh dilakukan laki-laki dewasa, bukan haram”15. Penyebutan kata
ar-Rajul (lelaki dewasa) dalam teks ini bukan sebagai lawan kata perempuan,
akan tetapi sebagai lawan kata asy-Syab ash-Shaghir (remaja). Karena redaksi
kalimat ini mengandung makna: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi remaja.
Komentar: jenggot baru tumbuh. Bukanlah sebagai ikatan. Akan tetapi maknanya:
makruh hukumnya mencukur jenggot bagi pria dewasa.
Pendapat yang menyatakan
makruh hukumnya mencukur jenggot juga dinyatakan oleh ulama dari luar Mazhab
Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam al-Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab asy-Syifa,
salah seorang ulama Mazhab Maliki. Ia berkata, “Makruh hukumnya mencukur
jenggot, memotong dan membakar jenggot”16.
Terlihat bahwa ahli Fiqh
yang mewajibkan memelihara jenggot dan mengharamkan mencukur jenggot, mereka
memperhatikan aspek lain, ada unsur tambahan terhadap teks hadits, bahwa
mencukur jenggot itu sesuatu yang dianggap sebagai aib, bertentangan dengan
bentuk wajah manusia saat itu, orang yang mencukur jenggot pada zaman itu
dipandang hina, ditunjuk di jalan-jalan. Imam ar-Ramli berkata tentang hukum
Ta’zir, bahwa hukum Ta’zir tidak dijatuhkan bagi orang yang mencukur jenggot.
Teksnya: “Ucapannya: Tidak ada hukuman Ta’zir bagi orang yang mencukur jenggot.
Guru kami berkata, “Karena mencukur jenggot itu aib, orang yang melakukannya
sangat dikecam, bahkan terkadang anak-anaknya pun ikut dikecam”17.
Jika hal ini terkait dengan
kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna
perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran. Jenggot itu termasuk
kebiasaan dan tradisi. Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam
nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan
dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
“Rubahlah uban.
Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi).
Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai
hadits perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah
suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak
dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya
dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat
berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan
memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir.
Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan
itu mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian dasi sudah
menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama mengkafirkan orang yang memakainya.
Hukum jenggot pada masa
Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir maupun yang muslim, semuanya
memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk mencukurnya. Oleh sebab itu ulama
berbeda pendapat antara jumhur yang mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab
Syafi’i yang menyatakan bahwa memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi
orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami
pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab Syafi’i, karena tradisi telah berubah.
Mencukur jenggot itu hukumnya makruh. Memelihara jenggot hukumnya sunnat,
mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang
bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
10 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 330 – 333..
11 Syekh Zakariyya
al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
12 Syekh ar-Ramli, Hasyiyah
Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
13 Ibnu Hajar al-Haitsami,
Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
14 Ibnu Qasim al-‘Abbadi,
Hasyiyah Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
15 Hasyiyah al-Bujairimi
‘ala Syarh al-Khathib, juz. IV, hal. 346.
16 Dinukil oleh al-Hafizh
al-‘Iraqi dalam kitabnya berjudul Tharh at-Tatsrib, juz. II, hal. 83;
asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, juz. I, hal. 143.
17 Al-‘Allamah ar-Ramli,
Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. IV, hal. 162.
10. Isbal (Pakaian Menutup Mata Kaki)
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah hukum memanjangkan
pakaian (menutupi mata kaki)?
Jawaban:
Al-Isbal dari kata as-Sabal
artinya bulir. Asbala az-Zar’u artinya tanaman itu mengeluarkan bulirnya.
Asbala al-Matharu artinya air hujan turun. Asbala ad-Dam’u artinya air mata
menetes. Asbala Izarahu artinya si fulan mengulurkan pakaiannya. As-sabalu
adalah penyakit pada mata yang menyerupai katarak, seperti sarang laba-laba
dengan selaput berwarna merah. As-Sabil adalah jalan. Dalam bentuk mudzakkar
dan mu’annats.
Yang dimaksud disini adalah
makna Isbal secara khusus, yaitu berkaitan dengan pakaian. Artinya seseorang
memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya diatas tanah. Atau membiarkannya
terjuntai dari atas kepala tanpa memakainya. Ini makruh dilakukan dalam shalat,
karena menyerupai orang Yahudi dan tidak menutup aurat.
Pada zaman dahulu
memanjangkan pakaian adalah salah satu tanda keangkuhan dan kesombongan.
Perbuatan ini termasuk dosa besar. Tergolong dosa hati yang menyebabkan
penyakit hati dan merusak kehidupan. Hingga orang-orang shaleh mengatakan,
“Berapa banyak perbuatan maksiat menyebabkan kerendahan, lebih baik daripada
ketaatan yang menyebabkan keangkuhan”.
Mengaitkan Isbal dengan
keangkuhan secara syara’ berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
“Siapa yang memanjangkan
pakaiannya karena keangkuhan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari
kiamat”. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian pakaianku panjang,
hanya saja aku tidak melakukannya sengaja”. Rasulullah Saw berkata, “Engkau
tidak melakukan itu karena keangkuhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Jadi sebenarnya memanjangkan
pakaian ke lantai tidaklah haram, yang diharamkan hanyalah keangkuhan yang
menjadi tujuannya. Indikasi bahwa memanjangkan pakaian itu adalah pertanda
keangkuhan telah ada dalam tradisi kaum pada zaman Rasulullah Saw. Oleh sebab
itu para ulama sepakat haram hukumnya angkuh dan sombong, apakah terkait dengan
pakaian atau pun tidak. Mereka berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan
pakaian, jika disebabkan keangkuhan, maka haram disebabkan keangkuhan tersebut.
Jika tidak karena keangkuhan, maka tidak diharamkan.
Para ulama memakruhkannya
karena menyerupai perbuatan orang yang angkuh. Karena orang-orang yang angkuh
pada masa itu melakukan perbuatan seperti ini, oleh sebab itu menyerupai
perbuatan mereka meskipun tanpa ada niat menyombongkan diri tetap dimakruhkan.
Adapun dengan niat untuk keangkuhan, maka hukumnya haram, sebagaimana yang
telah kami sebutkan diatas.
Inilah pendapat para ulama
dan disebutkan para imam secara nash. Syekh al-Buhuti berkata, “Jika seseorang
memanjangkan pakaiannya karena keperluan, seperti menutupi betis yang jelek,
tanpa ada niat keangkuhan, maka itu dibolehkan”. Imam Ahmad bin berkata dalam
satu riwayat, “Memanjangkan pakaian dan selendang dalam shalat, jika tidak
untuk keangkuhan, maka tidak mengapa (boleh)”19.
Imam asy-Syaukani berkata,
“Ikatan yang jelas dengan menggunakan kata “Keangkuhan”, ini menunjukkan
pemahaman bahwa memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan tidak termasuk dalam
ancaman ini. Ibnu Abdilbarr berkata, “Pemahamannya bahwa orang yang
memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan, tidak tergolong dalam ancaman ini.
Hanya saja perbuatan itu tidak baik”. Imam an-Nawawi berkata, “Perbuatan itu
makruh. Ini dinyatakan Imam Syafi’I secara nash”. Al-Buwaithi berkata dalam
Mukhtasharnya dari Imam Syafi’I, “Tidak boleh memanjangkan pakaian dalam shalat
atau pun di luar shalat, jika untuk keangkuhan. Jika tidak untuk keangkuhan,
maka ada keringanan. Berdasarkan ucapan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar”20.
Memanjangkan pakaian bukan
untuk keangkuhan, maka tidak mengapa, itu dibolehkan, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yang diharamkan adalah untuk keangkuhan
dan kesombongan, meskipun tidak terkait dengan memanjangkan pakaian. Inilah
pendapat yang kuat. Tradisi telah berubah, memanjangkan pakaian tidak lagi
menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang yang menyombongkan diri di zaman kita
sekarang ini. Oleh sebab itu memanjangkan pakaian pada zaman sekarang ini tidak
dapat dikatakan menyerupai orang-orang yang sombong. Wallahu Ta’ala A’la wa
A’lam.
18 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 328.
19 Al-Buhuti, Kasysyaf
al-Qina’, juz. I, hal. 276.
20 Asy-Syaukani, Nail
al-Authar, juz. I, hal. 112.
11. Televisi dan Puasa
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa pendapat agama Islam
tentang menonton TV bagi orang yang sedang melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan?
Jawaban:
Televisi adalah salah satu
sarana, di dalamnya ada kebaikan dan hal yang tidak baik. Semua sarana
mengandung hukum tujuan. Televisi sama seperti radio dan sarana informasi
lainnya, di dalamnya ada yang baik dan ada yang tidak baik. Seorang muslim
mesti mengambil manfaat dari yang baik dan menjauhkan diri dari yang tidak
baik, apakah ia dalam keadaan berpuasa atau pun tidak sedang berpuasa. Akan
tetapi dalam keadaan berpuasa ia mesti lebih hati-hati, agar puasanya tidak
rusak, agar pahalanya tidak hilang sia-sia dan tidak mendapatkan balasan dari
Allah Swt.
Menonton TV, saya tidak
katakan halal secara mutlak dan tidak pula haram secara mutlak. Akan tetapi
mengikut apa yang ditonton, jika baik, maka boleh dilihat dan didengar, seperti
acara-acara agama Islam, berita, acara-acara yang membawa kepada kebaikan. Jika
tidak baik, seperti acara tarian yang tidak menutup aurat dan hal-hal seperti
itu, maka haram untuk dilihat di setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan.
Sebagian acara makruh
ditonton, meskipun tidak sampai ke tingkat haram. Semua sarana yang menghalangi
diri dari mengingat Allah Swt, maka haram hukumnya. Jika menonton TV, atau
mendengar radio dan lain sebagainya dapat melalaikan dari suatu kewajiban yang
diwajibkan Allah Swt, seperti shalat, maka dalam kondisi seperti ini hukumnya
haram. Semua perbuatan yang melalaikan shalat maka hukumnya haram. Ketika Allah
Swt menyebutkan sebab diharamkannya khamar dan judi, Allah Swt sebutkan
sebabnya:
“Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
(Qs. Al-Ma’idah [5]: 91).
Maka bagi semua pihak yang
bertanggung jawab terhadap acara televisi agar bertakwa kepada Allah Swt
tentang apa yang layak untuk dipersembahkan kepada khalayak ramai, khususnya di
bulan Ramadhan, untuk menjaga kemuliaan bulan yang penuh berkah, menolong kaum
muslimin untuk taat kepada Allah Swt dan menambah amal kebaikan, agar tidak
memikul dosa mereka dan dosa para penonton, seperti yang difirmankan Allah Swt:
“(Ucapan mereka)
menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari
kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak
mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa
yang mereka pikul itu”. (Qs. An-Nahl [16]: 25).
21 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
319 – 320.
12. Kumur-Kumur dan Istinsyaq Bagi Orang Yang
Berpuasa
Fatwa Syekh DR. Yusuf
al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa
kumur-kumur atau Istinsyaq dalam Wudhu’ berpengaruh terhadap sahnya puasa,
sejauh mana kebenaran pendapat ini?
Jawaban:
Kumur-kumur dan Istinsyaq
dalam wudhu’ adalah sunnat menurut Mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Wajib
menurut Mazhab Imam Ahmad yang menganggapnya sebagai bagian dari membasuh wajah
yang merupakan perintah. Apakah sunnat atau wajib, tidak selayaknya
ditinggalkan ketika berwudhu’, apakah ketika berpuasa atau pun ketika tidak
berpuasa.
Bagi muslim ketika sedang berpuasa
agar tidak terlalu berlebihan dalam berkumur-kumur dan Istinsyaq, tidak seperti
saat tidak berpuasa. Dalam hadits disebutkan:
“Apabila engkau
istinsyaq maka lebihkanlah, kecuali jika engkau berpuasa”. (HR. Asy-Syafi’i,
Ahmad, imam yang empat dan al-Baihaqi). Jika seorang yang berpuasa
berkumur-kumur atau melakukan istinsyaq ketika berwudhu’, lalu air termasuk ke
kerongkongannya tanpa sengaja dan tidak karena sikap berlebihan, maka puasanya
tetap sah, sama seperti masuknya debu jalanan atau butiran tepung atau lalat
terbang dan masuk ke kerongkongannya, karena semua itu kekeliruan yang tidak
dianggap. Meskipun sebagian imam berbeda pendapat dengan ini.
Kumur-kumur yang bukan
karena berwudhu’ juga tidak mempengaruhi sahnya puasa, selama air tidak sampai
ke dalam perut. Wallahu a’lam.
22 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
311.
13. Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw
melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?
Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya
meriwayatkan dari Aisyah ra:
Rasulullah Saw tidak pernah
menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas
rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang
bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau
tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra,
“Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw
mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“Shalat malam itu dua
rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra,
“Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat
Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari
‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
“Rasulullah Saw
melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat
daripadanya”.
Dalam beberapa jalur
riwayat lain disebutkan:
“Rasulullah Saw mengucapkan
salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa
Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir.
Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi
Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan
Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin
melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat,
ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi,
Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata,
“Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari
kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat.
Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian
saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua
puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat
Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam
Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih
pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya
yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan
dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat
Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan
menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir.
Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu
Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan
tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya
panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga
menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa
penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk
menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh
putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk
Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
23 Fatawa al-Azhar, juz.
VIII, hal. 464 [Maktabah Syamilah].
14. Perempuan ke Masjid Melaksanakan Shalat Tarawih
Fatwa Syekh DR. Yusuf
al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Sebagian kaum muslimah
rajin melaksanakan shalat Tarawih di masjid, bahkan ada yang pergi ke masjid
tanpa izin suami, ada juga yang suara mereka terdengar bercerita di dalam masjid.
Apakah hukum shalat mereka? Apakah mereka wajib ke masjid?
Jawaban:
Shalat Tarawih tidak wajib,
baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Hukumnya sunnat, kedudukannya tinggi
dan pahalanya besar di sisi Allah Swt. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah, “Rasulullah Saw memerintahkan mereka dengan tekad yang kuat,
kemudian Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang
melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya
mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Siapa yang melaksanakan
shalat Tarawih dengan khusyu’ dan tenang, penuh keimanan dan hanya mengharapkan
balasan dari Allah Swt, melaksanakan shalat Shubuh pada waktunya, maka sungguh
ia telah melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan dan ia layak mendapatkan
balasan pahala orang-orang yang menghidupkan malam-malam Ramadhan.
Ini mencakup laki-laki dan
perempuan. Hanya saja shalat perempuan lebih afdhal di rumah daripada di
masjid, selama kepergiannya ke masjid itu tidak ada manfaat lain selain shalat
saja, jika ada manfaat lain seperti mendengarkan kajian agama, atau pelajaran
ilmu, atau mendengarkan bacaan al-Qur’an dari qari’ yang khusyu’ dan baik, maka
kepergiannya ke masjid dengan tujuan-tujuan ini lebih baik dan afdhal. Terlebih
lagi kebanyakan suami di zaman ini tidak mengajarkan pendalaman ajaran Islam
kepada istri mereka, andai mereka memiliki kemauan, mereka tidak memiliki
kemampuan di bidang pengetahuan agama Islam. Maka hanya masjidlah sumber utama
untuk itu, oleh sebab itu wanita mesti diberi kesempatan, tidak boleh dihalangi
antara wanita dan rumah Allah Swt. Apalagi banyak wanita jika dibiarkan menetap
di rumah, mereka tidak ada kemauan untuk melaksanakan shalat Tarawih sendirian
di rumah, berbeda jika berada di masjid dan dilaksanakan secara berjamaah.
Keluarnya wanita dari rumah
–meskipun ke masjid- mesti ada izin dari suami, karena suami adalah kepala
rumah tangga, penanggung jawab keluarga. Wajib patuh kepada suami, selama tidak
memerintahkan meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan maksiat, jika
demikian maka tidak wajib mendengarkan perintahnya dan tidak wajib mematuhinya.
Laki-laki tidak berhak
melarang istrinya pergi ke masjid jika istrinya ingin pergi ke masjid, tidak
ada larangan tentang itu. Imam Muslim meriwayatkan:
“Janganlah kamu
larang perempuan-perempuan hamba-hamba Allah Swt (ke) masjid-masjid rumah-rumah
Allah Swt”.
Yang mencegah menurut
syariat Islam, misalnya suami dalam keadaan sakit, sangat membutuhkan agar
istri tetap berada di rumahnya melayani dan melaksanakan semua kebutuhan suami.
Atau ada anak-anak kecil yang mendatangkan mudharat jika ditinggalkan di rumah
selama shalat dan tidak ada yang menjaga mereka, dan uzur-uzur lainnya yang
masuk akal.
Jika anak-anak menimbulkan
keributan di masjid, mengganggu orang-orang yang shalat karena menangis dan
berteriak-teriak, maka selayaknya anak-anak tidak dibawa ketika shalat. Karena
hal itu, meskipun dibolehkan pada shalat lima waktu karena waktunya singkat,
tidak layak dilakukan pada shalat Tarawih karena waktunya panjang dan anak-anak
tidak sabar terhadap ibu mereka pada waktu yang lama tersebut.
Adapun wanita bercerita di
dalam masjid, sama seperti laki-laki, tidak boleh mengeraskan suara kecuali
jika dibutuhkan untuk itu. Terlebih lagi cerita-cerita urusan dunia. Masjid
didirikan bukan untuk itu, akan tetapi untuk ibadah dan ilmu.
Wanita yang memiliki
semangat untuk menjalankan agama agar menjaga lidahnya di rumah Allah Swt agar
tidak mengganggu orang yang melaksanakan shalat atau majlis ilmu. Jika perlu
untuk bicara, maka hendaklah dengan suara yang pelan dan sesuai kebutuhan.
Tidak keluar dari sikap menjaga harga diri dalam hal bicara, pakaian dan cara
berjalan.
Disini saya ingin
menyampaikan kalimat yang santun bahwa sebagian suami terlalu cemburu kepada
istri sehingga menekan, tidak mendukung sikap perempuan pergi ke masjid,
meskipun ada dinding yang tinggi yang memisahkan antara laki-laki dan
perempuan, yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw dan para shahabatnya,
dinding yang dapat menghalangi perempuan mengetahui gerakan imam melainkan
dengan suara dan pendengaran. Ada sebagian laki-laki yang tidak mau bercerita
di masjid, mereka tidak mengizinkan orang lain membisikkan satu kata ke telinga
istrinya, meskipun itu dalam urusan agama. Ini adalah sikap yang kurang santun,
cemburu yang dicela sebabagaimana yang dinyatakan dalam hadits:
“Sesungguhnya
sebagian dari cemburu itu ada yang disukai Allah Swt dan ada pula yang dimurkai
Allah Swt”, yaitu cemburu yang bukan pada sesuatu yang meragukan.
Kehidupan moderen telah
membuka banyak pintu bagi perempuan. Perempuan bisa keluar rumah ke sekolah,
kampus, pasar dan lainnya. Akan tetapi tetap dilarang untuk pergi ke tempat
yang paling baik dan paling utama yaitu masjid. Saya menyerukan tanpa rasa
sungkan, “Berikanlah kesempatan kepada perempuan di rumah Allah Swt, agar
mereka dapat menyaksikan kebaikan, mendengarkan nasihat dan mendalami agama
Islam. Boleh memberikan kesempatan bagi mereka selama tidak dalam perbuatan
maksiat dan sesuatu yang meragukan. Selama kaum perempuan keluar rumah dalam
keadaan menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari fenomena Tabarruj (bersolek
ala Jahiliah) yang dimurkai Allah Swt”. Walhamdu lillah Rabbil’alamin.
24 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
316 – 318.
15. Dzikir Diantara Shalat Tarawih
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Mereka yang melaksanakan
shalat Tarawih berjamaah membaca beberapa zikir yang dibaca di sela-sela dua
atau empat rakaat Tarawih. Sebagian orang menganggap ini perbuatan bid’ah,
tidak disyariatkan. Apa pendapat Islam dalam masalah ini?
Jawaban:
Tidak ada nash yang
melarang zikir atau doa atau membaca al-Qur’an di sela-sela antara dua atau
empat rakaat Tarawih, masuk dalam perintah berzikir yang bersifat umum di semua
kondisi. Bahwa kalangan Salaf tidak melakukannya, tidak berarti larangan,
disamping itu riwayat yang mengatakan bahwa mereka melarang adalah riwayat yang
tidak terpercaya. Pemisah antara dua atau empat rakaat tersebut sama seperti
apa yang dilakukan penduduk Mekah, mereka melaksanakan Thawaf tujuh putaran
diantara dua istirahat (shalat Tarawih), itulah yang membuat orang-orang
Madinah menambah jumlah rakaat Tarawih mereka lebih dari dua puluh rakaat untuk
mengganti Thawaf tersebut. Itu hanyalah cara pengaturan untuk mengetahui jumlah
berapa rakaat yang telah mereka laksanakan, disamping untuk memberikan semangat
kepada orang-orang yang melaksanakan shalat Tarawih, tidak ada larangan sama
sekali, dan tidak pula termasuk dalam istilah bid’ah. Nash-nash secara umum
tidak mendukung pendapat yang melarang dan tidak pula menentang. Andai pun
disebut bid’ah, maka tergolong apa yang dikatakan Umar ra, “Sebaik-baik bid’ah
adalah perbuatan ini”, ketika beliau menyaksikan kaum muslimin berkumpul untuk
melaksanakan shalat Tarawih di belakang Ubai bin Ka’ab.
16. Melaksanakan Shalat Tarawih Terlalu Cepat
Fatwa Syekh DR. Yusuf
al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum melaksanakan
shalat Tarawih terlalu cepat?
Jawaban:
Dalam Shahih al-Bukhari dan
Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
“Siapa yang
melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya
mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah
nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan. Qiyamullail ini
dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan. Akan tetapi
Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang
dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab
dan batasannya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah
satu rukum dari rukun shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud.
Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan
Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya,
“Kembalilah, shalatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum shalat”.
Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt
seraya berkata:
“Ruku’lah hingga
engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau i’tidal
berdiri. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud. Kemudian
bangkitlah hingga thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah itu
dalam semua shalatmu”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab
as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).
Thuma’ninah dalam semua
rukun adalah syarat yang mesti ada. Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menetapkan kadar
thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:
“Maha Suci Tuhanku
yang Maha Tinggi”.
Sebagian ulama seperti Imam
Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud kira-kira
tiga kali Tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan
itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga
kali Tasbih. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun [23]: 1 – 2).
Khusyu’ ada dua jenis:
Khusyu’ tubuh dan khusyu’
hati.
Khusyu’ tubuh adalah
tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti
menolehnya srigala. Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam. Akan tetapi
melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang
disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’
hati.
Makna khusyu’ hati adalah
menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang
dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt. Allah
Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan
hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:
“Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab:
“Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu
mengucapkan:
“Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab:
“Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu
mengucapkan:
“Yang menguasai di
hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt menjawab:
“Hamba-Ku
memuliakan-Ku”.
Ketika hamba itu
mengucapkan:
“Hanya Engkaulah yang
kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs.
Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt menjawab:
“Ini antara Aku dan
hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.
Ketika hamba itu
mengucapkan:
“Hanya Engkaulah yang
kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah
kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6 – 7). Allah Swt menjawab:
“Ini untuk hamba-Ku
dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).
Allah Swt tidak terasing
dari orang yang sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan
permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat
dengan Allah Swt, menghadirkan hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap
waktu shalat dan dalam setiap rukun shalat. Orang-orang yang shalat dan hanya
memikirkan ingin segera selesai melaksanakan shalat dan melemparkan shalat
seakan-akan shalat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang
diharapkan. Banyak orang yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak
dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja.
Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat
mungkin. Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya. Ini sama seperti yang
disebutkan dalam hadits:
“Shalat itu naik ke
langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau
disia-siakan Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”. Shalat yang
khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan
berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu sebagaimana engkau telah
menjagaku”.
Nasihat saya kepada para
imam dan mereka yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan
tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan
tidak dengan ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat
dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat. Yang
dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya. Akan tetapi yang dilihat adalah cara
dan sifatnya. Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang
dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa.
Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang
beriman yang khusyu’.
25 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal.
321.
17. Zikir Dengan Suara Jahr
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah zikir dengan suara
jahr itu bid’ah?
Jawaban:
Dianjurkan bertasbih dan
lainnya dengan suara sedang, demikian menurut mayoritas Fuqaha’ (ahli Fiqh),
berdasarkan firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Qs. Al-Isra’ [17]: 110). Rasulullah
Saw melakukan itu.
Diriwayatkan dari Qatadah,
bahwa Rasulullah Saw keluar pada suatu malam, beliau dapati Abu Bakar sedang
shalat dengan merendahkan suaranya. Rasulullah Saw lewat, beliau dapati Umar
sedang shalat menyaringkan suaranya. Ketika mereka berdua berkumpul bersama
Rasulullah Saw, beliau berkata, “Wahai Abu Bakar, aku lewat ketika engkau
sedang shalat, mengapa engkau merendahkan suaramu?”. Abu Bakar menjawab, “Aku
telah memperdengarkan Dia yang aku seru wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw
menjawab, “Keraskanlah sedikit”. Rasulullah Saw berkata kepada Umar, “Aku lewat
ketika engkau sedang shalat, mengapa engkau mengeraskan suaramu?”. Umar
menjawab, “Wahai Rasulullah Saw, aku membangunkan orang yang tidur dan mengusir
setan”. Rasulullah Saw berkata, “Rendahkanlah sedikit suaramu”. (HR. Abu Daud,
Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Sebagian Salaf menganjurkan
menyaringkan suara ketika membaca takbir dan zikir setelah shalat wajib. Mereka
berdalil dengan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Aku mengetahui bahwa
mereka telah selesai shalat ketika aku mendengar (mereka berzikir dengan suara
nyaring)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Karena menyaringkan suara ketika
berzikir itu lebih banyak dalam pengamalan dan lebih merenungkan makna,
manfaatnya untuk menyadarkan hati orang-orang yang lalai.
Pendapat yang paling baik
dalam masalah ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh pengarang Maraqi
al-Falah setelah menggabungkan hadits-hadits dan pendapat para ulama yang
berbeda pendapat antara keutamaan sirr dan jahr dalam masalah zikir dan doa,
beliau berkata, “Itu berbeda sesuai pribadi masing-masing, kondisi, waktu dan
tujuan. Jika khawatir riya’ atau mengganggu orang lain, maka lebih afdhal
dengan cara sirr. Ketika seseorang merasa kehilangan apa yang sedang ia
zikirkan, maka lebih afdhal dengan cara jahr”.
Dengan demikian maka zikir
dengan cara jahr bukanlah perbuatan bid’ah dan boleh dilakukan. Bahkan
terkadang lebih menguatkan hati dan lebih membuat konsentrasi, jika terhindar
dari riya’. Wallahu a’lam.
26 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 227.
18. Zikir Bersama
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum berkumpul untuk
melakukan zikir bersama dalam sebuah halaqah (lingkaran)?
Jawaban:
Berkumpul untuk melakukan
zikir dalam sebuah halaqah (lingkaran) adalah Sunnah berdasarkan dalil-dalil.
Allah Swt memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia:
“Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya”. (Qs. Al-Kahf [18]: 28).
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya ada
malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka
mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir
kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu
cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke
langit dunia. Sampai pada, Allah Swt berfirman:
“Aku persaksikan
kepada kamu bahwa Aku telah mengampuni mereka”. Malaikat diantara mereka
berkata, “Si fulan bukan bagian dari mereka, ia datang hanya karena ada suatu
keperluan”. Allah Swt berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang duduk yang
tidak menyengsarakan sahabat-sahabat yang duduk bersama mereka”. (HR.
al-Bukhari).
Dari Mu’awiyah, bahwa
Rasulullah Saw melewati lingkaran zikir para shahabatnya, ia bertanya, “Apa
yang membuat kamu duduk?”. Mereka menjawab, “Kami duduk berzikir mengingat
Allah Swt dan memuji-Nya atas hidayah-Nya kepada kami untuk memeluk Islam dan
karunia-Nya kepada kami”. Sampai pada ucapan Rasulullah Saw:
“Malaikat Jibril telah
datang kepadaku, ia memberitahukan bahwa Allah Swt membanggakan kamu kepada
para malaikat”. (HR. Muslim).
Imam an-Nawawi menempatkan
hadits pertama dalam satu bab dalam kitab Riyadh ash-Shalihin, Bab: fadhl hilaq
adz-dzikr (Bab: Halaqah-Halaqah Zikir). Zikir menurut syariat Islam mengandung
banyak makna, diantaranya: pemberitahuan murni tentang dzat Allah Swt atau
sifat-Nya atau perbuatan-Nya atau hukum-hukum-Nya, atau dengan membaca kitab
suci-Nya, atau memohon kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, atau memuji dan
mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya, memuji-Nya, bersyukur dan
mengagungkan-Nya. Tidak ada dalil bagi mereka yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan halaqah-halaqah zikir di sini adalah majlis ilmu.
Imam ash-Shan’ani
menyebutkan hadits Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Tidaklah sekelompok
orang berzikir mengingat Allah Swt, melainkan para malaikat mengelilingi
mereka, rahmat Allah Swt meliputi mereka, turun ketenangan kepada mereka dan
Allah Swt menyebut mereka kepada yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim). Kemudian
Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan majlis-majlis
zikir dan orang-orang yang berzikir. Keutamaan berkumpul untuk berzikir. Imam
al-Bukhari meriwayatkan:
“Sesungguhnya ada
malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka
mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir
kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu
cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke
langit dunia. Ini adalah keutamaan majlis-majlis zikir yang dihadiri para
malaikat setelah para malaikat itu mencari dan menemukan majlis-majlis zikir.
Yang dimaksud dengan zikir
disini adalah tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an dan sejenisnya. Dalam hadits
al-Bazzar disebutkan:
“Allah Swt bertanya
kepada para malaikat-Nya, “Apa yang dilakukan hamba-hamba-Ku?”. Allah Swt Maha
Mengetahui tentang mereka. Para malaikat menjawab, “Mereka mengagungkan
nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu dan memohon
kepada-Mu untuk akhirat dan dunia mereka”. Zikir yang sebenarnya adalah zikir
di lidah, orang yang mengucapkannya akan mendapatkan balasan pahala, tidak
disyaratkan menghadirkan maknanya, yang disyaratkan hanyalah agar tidak
bertujuan selain zikir kepada Allah Swt. Jika zikir lisan ditambah dengan zikir
hati, maka itu lebih sempurna. Jika ditambah lagi dengan menghadirkan makna
zikir, mencakup pengagungan Allah Swt, menafikan kekurangan, maka bertambah
sempurna. Jika itu dilakukan dalam amal shaleh yang diwajibkan seperti shalat,
atau jihad atau yang lain, maka lebih sempurna. Jika arahnya benar dan ikhlas
hanya karena Allah Swt, maka itulah tingkat teratas dari kesempurnaan. Subul
as-Salam karya Imam ash-Shan’ani, juz. 2, hal. 700.
Dari keterangan diatas
dapat diketahui bahwa berkumpul untuk berzikir mengingat Allah Swt, membaca
al-Qur’an, mengkaji ilmu, tasbih, tahlil dan tahmid adalah sunnah yang
dianjurkan Allah Swt dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya yang shahih dan jelas.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
27 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 229.
19. Bersalaman Selesai Shalat
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai
shalat?
Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan
pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu
sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari,
al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi). Ibnu
Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama”.
(Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam
an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).
Banyak ahli Fiqh dari berbagai
mazhab menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka
berdalil dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang
diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
“Saya masuk ke dalam
masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin
‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami
saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).
Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat nabi
itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban).
Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata,
“Rasulullah Saw bersabda:
“Bersalamanlah kamu,
ia menghilangkan dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih
sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).
Adapun bersalaman setelah
selesai shalat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka
menganjurkannya. Bersalaman selesai shalat itu bid’ah hasanah (bid’ah yang
baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas
masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu
belum menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salamannya itu sunnah hasanah.
Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah
(boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Imam al-Hashkafi berkata,
“Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan
dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan
kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun
setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah
mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan
Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi,
juz. VI, hal. 380).
Imam Ibnu ‘Abidin
memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh
secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa
yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan
pendapat ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum tentang bersalaman
menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan
nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).
Mereka berpendapat bahwa
bersalaman setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu
Juhaifah, ia berkata:
“Rasulullah Saw pergi
dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan shalat
Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan
lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah
Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah Saw dan
meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum
daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).
Al-Muhib ath-Thabari
berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang
dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah,
terlebih lagi pada shalat ‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan
dengan menyalami orang shaleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan
lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin
‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah
haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah
mubahah itu memiliki beberapa contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah
shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz
bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).
Imam an-Nawawi berkata,
“Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh
Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak
disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat
pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang telah ada
bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika
ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum shalat, maka
salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnat menurut
Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal.
469 – 470).
Dengan demikian dapat
diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua
kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau
tidak berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa
A’lam.
28 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 262
20. Mengangkat Tangan Ketika Berdoa
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Mengapa tangan diangkat
keatas ketika berdoa?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 115). Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat, beliau dari Mekah menuju Madinah,
beliau berada diatas hewan tunggangannya sesuai arahnya. Lalu turun ayat:
“Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Ini berlaku pada
shalat Sunnat. Maknanya bahwa semua arah milik Allah Swt, siapa yang mengarah
kemana saja dalam ibadahnya, maka Allah Swt memperhatikan dan mengetahuinya.
Yang dimaksud dengan wajah Allah Swt adalah Dzat Allah Swt, karena wajah
mengungkapkan tentang Dzat, karena wajah adalah anggota tubuh yang paling mulia
(pada makhluk), sama seperti firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kami
memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah”. (Qs.
Al-Insan [67]: 9). Maksudnya, kami beramal hanya mengharapkan Allah Swt semata,
bukan kepada yang lain diantara makhluk-Nya. Artinya, kami mengesakan-Nya,
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kami beramal ikhlas, tidak
riya’ dalam amal kami.
Diantara ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah doa. Ketika seorang manusia menghadap
kepada Tuhannya kearah mana pun, maka sesungguhnya Allah Swt ada, tidak pernah
sirna. Allah Swt Maha Mengetahui, tidak pernah lalai. Allah Swt Maha Dekat,
tidak pernah jauh. Artinya, meskipun kedudukan Allah Swt Maha Tinggi, akan
tetapi Allah Swt Maha Dekat dengan manusia dengan pengetahuan-Nya:
“Tidakkah kamu
perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di
bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah
keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau
lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah
mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.
Al-Mujadilah [58]: 7). Oleh sebab itu Allah Swt berfirman:
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 186). Karena dekat-Nya kepada hamba-hamba-Nya,
maka tidak perlu berteriak ketika berdoa kepada-Nya, karena sesungguhnya Ia
mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Allah Swt berfirman:
“Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Jika telah
jelas bahwa Allah Swt Maha Dekat dengan hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya, maka
pada waktu yang sama Allah Swt berada di tempat yang Maha Tinggi dan Agung yang
hanya layak bagi kemuliaan-Nya, terlihat jelas makna mengulurkan kedua tangan
ketika berdoa, memohon dan mengharap kebaikan-Nya, seakan-akan Allah Swt Yang
Maha Tinggi berada di hadapan orang yang berdoa yang berada di bawah yang
menengadahkan kedua tangannya. Tangan yang memberi berada diatas dan yang
menerima berada di bawah. Gambaran berhadapan ini yang diisyaratkan Rasulullah
Saw dalam sabdanya:
“Apabila salah
seorang kamu sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah ia meludah
kearah depan dan ke kanannya”. (HR. Muslim). Rasulullah Saw juga bersabda:
“Mengapa salah
seorang kamu berdiri menghadap Tuhannya, lalu ia meludah kearah depannya.
Apakah salah seorang kamu suka jika ia dihadapi (seseorang), kemudian diludahi
pada wajahnya?!”. (HR. Muslim).
Menengadahkan tangan ketika
berdoa adalah ungkapan biasa diantara sesama manusia ketika meminta dari bawah
ke atas, memohon dan merendahkan diri. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa
Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, ketika shalat Istisqa’
maupun lainnya. Imam al-Bukhari menyebutkan beberapa hadits tentang itu di
akhir kitab ad-Da’awat. Imam al-Mundziri menyusun satu juz tentang masalah ini.
Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Riwayat-riwayat tentang ini
sangat banyak dan tidak terhitung. Saya telah mengumpulkan lebih kurang tiga
puluh hadits dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim atau salah satunya. Saya
sebutkan di akhir bab sifat shalat dalam Syarh al-Muhadzdzab”. (Nail al-Authar,
juz. IV, hal. 9).
Diantara hadits-hadits ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, ia
berkata, “Rasulullah Saw berdoa, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya.
Saya melihat putihnya kedua ketiak Rasulullah Saw”. Juga hadits yang
diriwayatkan Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Salman al-Farisi bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Tuhan
kamu Maha Mulia dan Tinggi, Ia Maha Hidup dan Agung, Ia malu kepada hamba-Nya
apabila hamba itu mengangkat kedua tangannya kepada-Nya dan membiarkannya
kembali dalam keadaan kosong”. (At-Targhib wa at-Tarhib, juz. II, hal. 195).
Berdasarkan ini maka para
ulama berpendapat tentang disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika
berdoa, bahkan dianjurkan, mengikuti Rasulullah Saw. Hanya saja sekelompok
orang memakruhkan mengangkat tangan selain Istisqa’ berdasarkan hadits Anas,
“Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangannya dalam doanya
kecuali pada Istisqa’ ia mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya
kedua ketiaknya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Para ulama yang membolehkan
mengangkat tangan pada selain Istisqa’ menolak pendapat mereka dengan
menyatakan bahwa Anas tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan tidak
berarti bahwa shahabat yang lain tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan
ketika berdoa, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits shahih. Hadits
yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada hadits yang menafikan. Atau
makna hadits riwayat Anas diatas adalah mengangkat tangan sangat tinggi hingga
terlihat putih kedua ketiaknya, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengangkat
kedua tangannya, akan tetapi tidak terlalu tinggi, misalnya Rasulullah Saw
hanya sekedar mengangkat tangan sewajarnya ketika berdoa (tidak seperti saat
Istisqa’).
Sebagian yang lain
memakruhkan mengangkat tangan secara mutlak, baik ketika Istisqa’ maupun dalam
kondisi lain, berdasarkan hadits Muslim dari ‘Imarah bin Ruwaibah, ia melihat
Bisyr bin Marwan diatas mimbar mengangkat kedua tangannya. Maka ia berkata,
“Allah Swt melaknat kedua tangan ini, saya telah melihat Rasulullah Saw, beliau
hanya berkata dan tidak lebih dari menunjuk dengan tangannya seperti ini”. Ia
menunjuk dengan jarinya. (Tafsir al-Qurthubi, juz. VII, hal. 255). Pendapat
mereka ditolak seperti penolakan diatas. Imam al-Qurthubi berkata, “Doa itu
baik bagaimanapun cara yang mudah dilakukan. Yang dituntut dari seseorang
adalah memperlihatkan diri dalam kondisi butuh dan berhajat kepada Allah Swt,
bersikap merendahkan diri kepada-Nya. Jika ia mau maka ia bisa menghadap kiblat
dan mengangkat kedua tangannya. Jika tidak, maka tidak mengapa. Rasulullah Saw melakukan
itu seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Allah Swt berfirman:
“Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Tidak disebutkan
mengangkat kedua tangan dan lainnya. Allah Swt berfirman:
“(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 191).
Allah Swt memuji mereka, tidak disyaratkan seperti diatas. Rasulullah Saw
berdoa dalam khutbah Jum’at tanpa menghadap kiblat.
Demikian juga riwayat dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya
Allah, aku berlepas diri kepada-Mu terhadap apa yang dilakukan Khalid”. Dalam
Shahih Muslim diriwayatkan dari Umar, “Rasulullah Saw mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa pada perang Badar”.
Menurut pendapat yang
mensyariatkan mengangkat kedua tangan ketika berdoa, diriwayatkan beberapa cara
mengangkat tangan, diantaranya mengarahkan punggung telapak tangan kearah
kiblat ketika orang yang berdoa tersebut mengharap kiblat, sedangkan telapak
tangan kearah wajah orang yang berdoa. Ada juga riwayat yang menyebut
sebaliknya. Juga dengan cara telapak tangan keatas dan punggung telapak tangan
kearah bawah. Juga terdapat riwayat yang menyebut sebaliknya. Ini dalam
Istisqa’, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim. (Nail al-Authar, juz. IV, hal.
9).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata dalam Fath al-Bari, “Para ulama berpendapat bahwa sunnat dalam setiap
doa untuk menolak bala agar seseorang mengangkat kedua tangannya, bagian
punggung telapak tangannya kearah langit. Jika berdoa untuk mendapatkan
sesuatu, maka telapak tangannya kearah langit. Demikian dinyatakan Imam
an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, beliau riwayatkan dari sekelompok ulama. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa hikmah memperlihatkan punggung telapak tangan
dalam Istisqa’ -tidak demikian pada doa lain- agar keadaan berbalik,
sebagaimana pendapat tentang Rasulullah Saw merubah posisi selendangnya.
Demikianlah, makruh
hukumnya melihat ke langit ketika berdoa, berdasarkan hadits Muslim dan lainnya
bahwa Rasulullah Saw berkata, “Hendaklah mereka berhenti mengangkat pandangan
mereka keatas ketika berdoa dalam shalat, atau Allah Swt akan mencabut
pandangan mereka”. Ada yang memahami larangan ini berlaku dalam shalat,
sedangkan di luar shalat tidak ada larangan berdasarkan riwayat al-Bukhari,
dalam riwayat tersebut dinyatakan, “Rasulullah Saw melihat ke langit”. Itu
terjadi pada Istisqa’. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 10).
Mengusap wajah dengan kedua
tangan setelah mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Riwayat ini dari Umar bin
al-Khaththab, ia berkata, “Apabila Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa, beliau tidak menurunkan kedua tangannya hingga mengusapkannya ke
wajahnya”. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Gharib”. Artinya,
diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Dari Ibnu Abbas terdapat riwayat yang
sama seperti ini, sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud. Imam
an-Nawawi berkata, “Dalam sanadnya terdapat dha’if”. Al-Adzkar karya
Imam an-Nawawi, hal. 399.
Dalam Bulugh al-Maram Syarh Subul as-Salam, juz. 4, hal. 219 karya al-Hafizh
Ibnu Hajar disebutkan setelah beliau menyebutkan riwayat Umar, “Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi. Terdapat beberapa hadits lain yang semakna dengannya.
Disebutkan Abu Daud dari hadits Ibnu Abbas dan lainnya. Secara keseluruhan maka
hadits tersebut adalah hadits hasan. Hadits tentang ini tidak shahih, akan
tetapi dha’if. Akan tetapi beberapa hadits lain yang semakna denganya mengangkat
derajatnya menjadi hadits hasan, maka dapat diterima.
Kami ulangi lagi bahwa
menengadahkan tangan ketika berdoa sama seperti seorang yang fakir memohon
kepada orang yang kaya dan ia sangat membutuhkan, bahkan mungkin ia akan
berlutut, dengan posisi seperti itu ia ingin mendapatkan kelembutan dari orang
yang ia harapkan. Dalam kondisi merendahkan diri, mengangkat kedua tangan
keatas mengharapkan kebaikan. Maka seorang muslim yang berdoa kepada Tuhannya,
ia mengangkat kedua tangannya sebagai bukti kepatuhannya dan ia sangat butuh
kepada Allah Swt. Oleh sebab itu Rasulullah Saw melakukannya dan bersikap lebih
dari itu pada Istisqa’. Namun bukanlah berarti bahwa Allah Swt berada di
langit, Maha Suci Allah Swt yang disucikan dari bertempat pada sesuatu. Akan
tetapi bukti keagungan kedudukan-Nya.
Dalam al-Adzkar karya Imam
an-Nawawi disebutkan tentang mengangkat kedua tangan dan mengusapkannya ke
wajah, ada tiga pendapat menurut Mazhab Syafi’i: yang paling shahih dianjurkan
mengangkat kedua tangan dan tidak mengusap wajah. Kedua, mengangkat kedua
tangan dan mengusap wajah. Ketiga, tidak mengangkat tangan dan tidak mengusap
wajah.
29 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 12 [Maktabah Syamilah].
21. Doa Qunut
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam
shalat itu disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adakah
lafaz-lafaz tertentu?
Jawaban:
Qunut adalah doa yang
disyariatkan dalam semua shalat lima waktu ketika terjadi bencana, berdasarkan
hadits Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw melaksanakan Qunut dalam shalat lima waktu
selama satu bulan. Beliau mendoakan (laknat) kawasan Bani Sulaim; Ri’l, Dzakwan
dan ‘Ushayyah, karena mereka telah membunuh sebagian shahabat yang dikirim
untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad.
Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa jika Rasulullah
Saw ingin mendoakan yang tidak baik (laknat) atau yang baik untuk seseorang,
beliau membaca doa Qunut setelah ruku’. Dalam riwayat ini disebutkan,
“Rasulullah Saw mengucapkannya dengan suara terdengar (jahr). Beliau
mengucapkan dalam sebagian shalatnya dan dalam shalat Shubuh:
“Ya Allah, laknatlah
fulan dan fulan”, dua kawasan Arab. Hingga Allah Swt menurunkan ayat:
“Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau
mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (Qs. Al
‘Imran [3]: 128).
Berdasarkan ini maka doa
Qunut dalam shalat Shubuh disyariatkan ketika terjadi bencana, sama seperti
shalat-shalat yang lain. Adapun ketika tidak terjadi bencana, maka ada beberapa
pendapat Fuqaha’ (ahli Fiqh) secara ringkas.
Mazhab Hanafi
dan Hanbali: tidak disyariatkan. Mereka
berdalil dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dari Anas,
“Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh,
kecuali untuk mendoakan yang baik atau yang tidak baik (laknat) untuk mereka”.
Mazhab Maliki
dan Syafi’i: disyariatkan. Dalil mereka
adalah riwayat jamaah ahli hadits, kecuali Imam at-Tirmidzi, bahwa Anas bin
Malik ditanya, “Apakah Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh?”.
Beliau menjawab, “Ya”. Dan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni,
al-Baihaqi, al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, dari Anas, ia berkata,
“Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hingga
beliau meninggal dunia”.
Pembahasan dalil-dalil ini
dan penjelasan tarjih-nya dapat merujuk kitab Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim
yang setelah membahas beberapa riwayat beliau menjelaskan bahwa ahli hadits
bersikap pertengahan antara mereka yang mengingkari Qunut secara mutlak bahkan
ketika terjadi bencana dan diantara mereka yang menganggap baik Qunut secara
mutlak, baik ketika terjadi bencana atau pun tidak terjadi bencana. Ahli hadits
tidak mengingkari orang-orang yang terus menerus berqunut dan tidak membenci
perbuatan mereka tersebut, mereka tidak menganggapnya sebagai bid’ah dan
pelakunya tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan yang bertentangan dengan
Sunnah. Ahli hadits juga tidak mengingkari orang-orang yang mengingkari Qunut
meskipun ketika terjadi bencana. Ahli hadits tidak menganggap orang-orang yang
tidak mau berqunut itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Akan tetapi,
siapa yang berqunut, maka ia telah berbuat baik dan orang yang tidak mau
berqunut juga telah berbuat baik, ini termasuk khilaf yang dibolehkan, khilaf
yang tidak perlu bersikap keras di dalamnya, apakah melakukannya atau pun tidak
melakukannya. Sama seperti masalah apakah mengangkat kedua tangan atau tidak mengangkat
kedua tangan dalam shalat. Saya katakan, “Khilaf dalam masalah ini sangat
sederhana, khilaf dalam masalah sunnat, bukan wajib dan agama itu memberikan
kemudahan”.
Imam Ahmad dan beberapa
pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i bahwa ia
mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia melaksanakan shalat Shubuh di
belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan Ali, semua mereka tidak berqunut.
Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Qunut pada shalat Shubuh
itu bid’ah”.
Dapat digabungkan antara
riwayat-riwayat yang menyatakan adanya Qunut Shubuh dan riwayat-riwayat yang
menafikannya, bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat ini terkadang berqunut
dan terkadang tidak berqunut, karena Qunut itu sunnat , bukan wajib. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa riwayat yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada
riwayat yang menafikan. Jika sebagian shahabat tidak berqunut karena karena
tidak melihat Rasulullah Saw berqunut, maka sesungguhnya tidak melihat itu
tidak menunjukkan nafi secara mutlak. Ibnu Hazm menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud
yang tidak berqunut, ia tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan dua tangan
diatas lutut ketika ruku’. Dan Ibnu Umar yang menyatakan tidak mendapatkan
riwayat dari salah seorang shahabat tentang Qunut Shubuh, sebagaimana riwayat
al-Baihaqi, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap dua sepatu Khuff.
Ini tentang Qunut Shubuh,
adapun Qunut Witir, maka hukumnya sunnat menurut Mazhab Syafi’i, dibaca
pertengahan kedua di bulan Ramadhan. Adapun selain waktu ini, terdapat
perbedaan pendapat:
Mazhab
Hanbali: Qunut itu sunnat pada
shalat Witir pada satu rakaat, di sepanjang tahun.
Mazhab Maliki
dan Syafi’i: tidak disunnatkan. Satu
riwayat dari Imam Ahmad juga menyatakan demikian.
Mazhab
Hanafi: sunnat dilakukan sepanjang
tahun.
Ibnu Taimiah berkata dalam
Majmu’ Fatawa, jilid 22, halaman 264 – 269: adapun Qunut Witir, ada tiga
pendapat ulama:
Pertama, tidak dianjurkan
sama sekali, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca
doa Qunut dalam shalat Witir.
Kedua, dianjurkan di
sepanjang tahun, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam
kitab-kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa kepada
al-Hasan bin Ali, doa yang dibaca dalam Qunut Witir.
Ketiga, Qunut dibaca pada
pertengahan kedua (akhir) Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubai bin
Ka’ab.
Qunut Nawazil disyariatkan
dalam shalat selain shalat Shubuh. Imam an-Nawawi berkata –beliau bermazhab
Syafi’i-, “Dalam masalah ini ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih
dan masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa Qunut Nawazil disyariatkan
dalam semua shalat, selama ada bencana. Jika tidak ada bencana, maka tidak
dibaca doa Qunut Nawazil. Menurut Mazhab Maliki, jika dibaca, maka shalat tidak
batal, hanya makruh.
Qunut Nawazil dibaca
setelah ruku’, demikian menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali dan dalam satu
riwayat dari Imam Ahmad beliau berkata, “Menurut saya setelah ruku’. Jika
dibaca sebelum ruku’, maka tidak mengapa”.
Menurut Mazhab Maliki dan
Hanafi: Qunut Nawazil dibaca sebelum ruku’.
Menurut Mazhab Syafi’i: doa
Qunut boleh dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
“Ya Allah, ampunilah
aku wahai Maha Pengampun”.
Doa Qunut yang paling
afdhal adalah:
“Ya Allah, berilah
hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah
kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan
aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah
bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan
yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang
ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri
kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau
wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Diriwayatkan dari al-Hasan
bin Ali bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang
diriwayatkan Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata,
“Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih baik daripada ini
diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
Lafaz pilihan menurut
Mazhab Hanafi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
“Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu,
memohon ampun kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu
dan tidak kafir kepada-Mu. Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang
berbuat dosa kepada-Mu. Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami
shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera dalam beramal dan berbuat
kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya
azab-Mu yang sangat keras menyertai orang-orang kafir”.
Imam Nawawi berkata:
“Dianjurkan menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut
riwayat al-Hasan. Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat
al-Hasan. Disunnatkan membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
30 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 5 [Maktabah Syamilah].
22. Dua Kali Witir dan Qadha’ Witir
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah benar bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada dua Witir dalam satu malam”? apakah shalat
Witir bisa di-qadha’ jika tertinggal?
Jawaban:
Ya, Abu Daud, an-Nasa’i dan
at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, sesungguhnya Ali ra
berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak ada dua Witir
dalam satu malam”.
Imam Ahmad, Abu Daud dan
at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Rasulullah Saw
melaksanakan shalat dua rakaat setelah shalat Witir, beliau laksanakan dalam
keadaan duduk”.
Para ulama berpendapat:
siapa yang melaksanakan shalat Witir setelah shalat Isya’, kemudian ia ingin
melaksanakan Qiyamullail, maka ia boleh melaksanakan shalat malam sebanyak
mungkin, akan tetapi ia tidak boleh lagi melaksanakan shalat Witir, karena ia
telah melaksanakan shalat Witir sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa shalat
Witir dapat dilaksanakan kapan saja pada waktu malam, setelah shalat Isya’
hingga terbit fajar (shalat Shubuh). Jika seseorang khawatir tertinggal
melaksanakan shalat Witir, maka dianjurkan agar ia melaksanakannya di awal
malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu
Majah:
“Siapa yang khawatir
tidak terbangun di akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di
awal malam. Siapa yang sangat ingin bangun tengah malam, maka hendaklah ia
melaksanakan shalat Witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu
disaksikan (para malaikat) dan itu lebih utama”. Makna Masyhudah adalah
disaksikan para malaikat.
Ketika Rasulullah Saw
bertanya kepada Abu Bakar ra, “Kapankah engkau melaksanakan shalat Witir?”.
Beliau menjawab, “Di awal malam, setelah shalat Isya’.” Ketika Rasulullah Saw
bertanya kepada Umar ra, ia menjawab, “Di akhir malam”. Rasulullah Saw berkata,
“Adapun engkau wahai Abu Bakar, engkau bersikap hati-hati. Sedangkan engkau
wahai Umar, engkau bersikap kuat”. Maknanya tekad yang kuat untuk bangun
melaksanakan Qiyamullail. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dinyatakan
shahih oleh Imam al-Hakim, menurut syarat Muslim.
Demikianlah, jika shalat
Witir tertinggal, maka dapat di-qadha’, demikian menurut jumhur ulama,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh
al-Hakim, menurut syarat al-Bukhari dan Muslim:
“Apabila salah
seorang kamu bangun pada waktu shubuh, ia belum melaksanakan Witir, maka
hendaklah ia melaksanakan shalat Witir”. Abu Daud meriwayatkan:
“Siapa yang tertidur
(hingga tidak melaksanakan) shalat Witir, atau terlupa. Maka hendaklah ia
melaksanakannya ketika ia mengingatnya”. Sanadnya shahih, demikian dinyatakan
oleh al-‘Iraqi.
Waktu meng-qadha’ shalat
Witir terbuka, malam atau pun siang, demikian menurut Imam Syafi’i. Imam Abu
Hanifah melarang pelaksanaannya pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan
shalat. Imam Malik dan Ahmad berkata, “Di-qadha’ setelah fajar, selama belum
melaksanakan shalat Shubuh”.
31 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 154 [Maktabah Syamilah],
23. Bacaan Ayat Dalam Shalat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw
memilih surat atau ayat tertentu pada shalat lima waktu atau shalat sunnat?
Jawaban:
Dalam kitab al-Adzkar karya
Imam an-Nawawi disebutkan bahwa sunnat dibaca –setelah al-Fatihah- pada shalat
Shubuh dan Zhuhur adalah Thiwal al-Mufashshal artinya surat-surat terakhir
dalam mush-haf. Diawali dari surat Qaf atau al-Hujurat, berdasarkan khilaf yang
ada, mencapai dua belas pendapat tentang penetapan surat-surat al-Mufashshal.
Surat-surat al-Mufashshal ini terdiri dari beberapa bagian, ada yang panjang
hingga surat ‘Amma (an-Naba’), ada yang pertengahan hingga surat adh-Dhuha dan
ada pula yang pendek hingga surat an-Nas.
Pada shalat ‘Ashar dan
‘Isya’ dibaca Ausath al-Mufashshal (bagian pertengahan). Pada shalat Maghrib
dibaca Qishar al-Mufashshal (bagian pendek).
Sunnah dibaca pada shalat
Shubuh rakaat pertama pada hari Jum’ar surat Alif Lam Mim as-Sajadah, pada
rakaat kedua surat al-Insan. Pada rakaat pertama shalat Jum’at sunnah dibaca
surat al-Jumu’ah dan rakaat kedua surat al-Munafiqun. Atau pada rakaat pertama
surat al-A’la dan rakaat kedua surat al-Ghasyiyah.
Sunnah dibaca pada shalat
Shubuh rakaat pertama surat al-Baqarah ayat 136 dan rakaat kedua surat Al
‘Imran ayat 64. Ada pada rakaat pertama surat al-Kafirun dan rakaat kedua surat
al-Ikhlas, keduanya shahih. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw
melakukan itu.
Dalam shalat sunnat
Maghrib, dua rakaat setelah Thawaf dan shalat Istikharah Rasulullah Saw membaca
surat al-Kafirun pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Pada shalat Witir,
Rasulullah Saw membaca surat al-A’la pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada
rakaat kedua, surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas pada rakaat ketiga. Imam
Nawawi berkata, “Semua yang kami sebutkan ini berdasarkan hadits-hadits yang
shahih dan selainnya adalah hadits-hadits masyhur”.Perlu diketahui bahwa pahala
sunnat membaca ayat al-Qur’an diperoleh dengan membaca ayat-ayat yang difahami
atau sebagian ayat dari suatu surat, atau membaca satu surat atau membaca
sebagian surat. Surat yang pendek lebih afdhal daripada beberapa ayat yang
dibaca dari surat yang panjang.
Sunnah membaca surat
menurut urutan mush-haf, jika tidak sesuai menurut urutan mush-haf maka
hukumnya boleh, akan tetapi makruh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata,
“Saya tidak menemukan dalil yang menyatakan demikian”.
32 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 166 [Maktabah Syamilah],
24. Melafalkan Niyat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan
bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati.
Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya
sia-sia?
Jawaban:
Makna niat adalah sengaja
melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat
shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat
dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’I berpendapat:
boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah
membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya
Allah jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib
al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu
bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka
dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi:
melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan
para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat
niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab
Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama.
Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan
dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab
Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan
niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini. Imam Ibnu
al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau
mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya.
Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku
melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau
makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat
fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan
pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat itu tidak sama seperti
puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka
menyangka bahwa zikir yang
dimaksud adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu
adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i
menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat,
demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu
al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang
menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat
diterima, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah. Karena para
ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub
dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru
terkadang mendatangkan manfaat.
33 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 66 [Maktabah Syamilah],
25. Menyegerakan Pembayaran Zakat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah boleh mengeluarkan
zakat sebelum waktunya?
Jawaban:
Menurut Imam Syafi’i, Abu
Hanifah dan Ahmad, boleh mengeluarkan zakat sebelum waktu wajib dikeluarkan,
yaitu sebelum Haul pada zakat uang, perdagangan dan hewan. Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ali ra, sesungguhnya Rasulullah Saw mendahulukan
zakat al-‘Abbas sebelum waktunya. Meskipun sanad hadits ini dipermasalahkan.
Al-Hasan ditanya tentang seseorang yang membayarkan zakatnya untuk tiga tahun,
apakah itu sah? Al-Hasan menjawab, “Sah”. Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwa
menurutnya seseorang boleh menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum Haul. Imam
Malik berkata, “Tidak sah dikeluarkan sebelum Haul (berdasarkan hadits-hadits
yang mengaitkan wajibnya zakat dengan Haul, seperti hadits yang diriwayatkan
Abu Daud, hadits ini dipermasalahkan ulama). Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri dan
Daud berpendapat seperti ini.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab
khilaf adalah, apakah zakat itu ibadah atau hak orang-orang miskin? Mereka yang
menganggap zakat itu seperti ibadah, mereka menyamakannya dengan shalat, tidak
boleh dibayarkan sebelum waktunya. Mereka yang menyamakannya dengan shalat
wajib yang memiliki waktu tertentu, mereka membolehkannya dilakukan sebelum
waktunya dilihat dari sisi sifat sukarela melaksanakannya”.
Zakat pada umumnya,
demikian juga dengan zakat Fitrah, menurut jumhur ulama pembayarannya boleh
didahulukan satu atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri, sebagaimana yang
dilakukan Abdullah bin Umar. Adapun dibayarkan sebelum itu, maka ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama:
Menurut Abu Hanifah: boleh
dibayarkan sebelum bulan Ramadhan.
Menurut Imam Syafi’i: boleh
dibayarkan dari sejak awal bulan Ramadhan.
Menurut Imam Malik dan
Ahmad: tidak boleh dibayarkan kecuali satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri.
34 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 213 [Maktabah Syamilah],
26. Mengalihkan Zakat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tinggal di suatu
tempat, taraf hidup masyarakatnya baik, jarang sekali ada fakir miskin yang
berhak menerima zakat. Apakah boleh saya bayarkan zakat kepada kerabat saya
yang membutuhkan dan mereka tinggal di tempat lain?
Jawaban:
Diriwayatkan oleh
sekelompok ahli hadits bahwa ketika Rasulullah Saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke
Yaman, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Jika mereka taat kepadaku, maka
ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt mewajibkan zakat kepada mereka dalam
harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu diantara mereka dan
diserahkan kepada orang-orang yang fakir diantara mereka”.
Abu Daud dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia diangkat menjadi amil zakat,
ketika ia kembali, ia ditanya, “Dimanakah hasil zakat?”. Ia menjawab, “Apakah
untuk harta kamu mengutusku? Kami mengambilnya sesuai seperti yang kami lakukan
pada masa Rasulullah Saw dan kami membaginya seperti kami membagikannya dulu”.
Imam at-Tirmidzi
meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, bahwa Abu Juhaifah berkata,
“Seorang amil zakat pada masa Rasulullah Saw datang kepada kami. Ia mengambil
zakat dari orang-orang yang mampu diantara kami dan ia membagikannya kepada
orang-orang fakir diantara kami”.
Berdasarkan riwayat-riwayat
ini para fuqaha’ (ahli Fiqh) berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang
fakir di negeri bersangkutan. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan
zakat ke negeri lain setelah mereka ber-Ijma’ bahwa boleh hukumnya mengalihkan
zakat ke negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak
membutuhkannya.
Menurut Mazhab Hanafi:
makruh mengalihkan zakat, kecuali jika pengalihan tersebut kepada kerabat yang
membutuhkan, karena dalam hal itu terkandung menyambung silaturahim, atau
kepada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan daripada para fakir di negeri
tempat pemungutan zakat, atau pengalihan tersebut mengandung maslahat bagi kaum
muslimin, atau dari Darulharb ke Dar Islam, atau pengalihan tersebut untuk para
penuntut ilmu, atau zakat tersebut dibayarkan sebelum masanya diwajibkan,
artinya dibayarkan sebelum masa Haul. Maka dalam semua kondisi ini tidak
dimakruhkan mengalihkan zakat.
Menurut Mazhab Syafi’i:
tidak boleh mengalihkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain, wajib dibagi ke
negeri tempat zakat tersebut dipungut dari muzakki yang telah sampai Haul. Jika
tidak ada mustahik zakat, maka dialihkan ke negeri yang di negeri tersebut
terdapat mustahik zakat. Dalil mereka dalam masalah ini adalah hadits Mu’adz
diatas. Seperti yang disebutkan Abu ‘Ubaid bahwa Mu’adz datang dari Yaman
setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Umar mengembalikannya. Ketika Mu’adz
mengirimkan sebagian harta zakat, Umar tidak menerimanya. Umar menolaknya lebih
dari satu kali meskipun Mu’adz menjelaskan bahwa tidak ada mustahik zakat yang
mengambilnya.
Menurut Mazhab Maliki:
tidak mengalihkan zakat ke negeri lain, kecuali jika sangat dibutuhkan, maka
Imam mengambil zakat tersebut dan menyerahkannya kepada orang-orang yang
membutuhkannya. Ini berdasarkan pemikiran dan ijtihad, seperti yang mereka
nyatakan.
Menurut Mazhab Hanbali:
tidak boleh mengalihkan zakat ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak Qashar
shalat. Zakat dibagikan di negeri zakat tersebut dikutip dan negeri sekitarnya
yang berada di bawah jarak Qashar shalat.
Ibnu Qudamah al-Hanbali
berkata, “Jika seseorang menentang pendapat ini dan ia mengalihkan zakatnya,
zakatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama. Jika seseorang tinggal di
suatu tempat dan hartanya di tempat lain, maka zakatnya dibagi di negeri tempat
hartanya berada, karena para mustahik di tempat tersebut melihatnya. Jika
hartanya berada di beberapa tempat, maka zakatnya ditunaikan di setiap negeri
tempat harta tersebut berada. Ini berlaku pada zakat Mal. Sedangkan zakat
Fitrah dibagi di tempat orang-orang yang berzakat, karena zakat tersebut adalah
zakat dirinya, bukan zakat hartanya. Berdasarkan ini saya nyatakan kepada
penanya, jika ada mustahik zakat di tempat ia tinggal, maka zakat dibagikan
kepada mustahik yang ada di tempat tersebut, demikian menurut jumhur fuqaha’.
Tidak boleh dialihkan ke kerabatnya yang membutuhkan. Sedangkan Abu Hanifah
membolehkan pengalihan zakat disebabkan alas an tersebut, diantaranya adalah
untuk silaturahim atau sangat membutuhkan, menurut Abu Hanifah itu boleh
dilakukan, ia melihat kepada maslahat yang kuat”. (Al-Mughni karya Ibnu
Qudamah, juz. II, hal. 531 – 532 dan Nail al-Authar karya asy-Syaukani, juz.
IV, hal. 161).
35 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 428 [Maktabah Syamilah].
27. Zakat Fithrah Dalam Bentuk Uang
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh membayar zakat
fitrah dalam bentuk uang?
Jawaban:
Boleh membayar zakat fitrah
dalam bentuk uang. Ini adalah mazhab sekelompok ulama yang diamalkan, juga
mazhab sekelompok Tabi’in, diantara mereka adalah al-Hasan al-Bashri.
Diriwayatkan bahwa ia berkata, “Boleh memberikan Dirham (uang perak) dalam
zakat Fitrah”. (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, juz. III, hal. 174).
Abu Ishaq as-Sabi’i37
meriwayatkan dari Zuhair, ia berkata: saya mendengar Abu Ishaq berkata, “Saya
bertemu dengan mereka, mereka membayar zakat Fitrah dalam bentuk Dirham senilai
harga makanan”38.
Umar bin Abdul Aziz, dari
Waki’, dari Qurrah, ia berkata, “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada
kami tentang zakat Fitrah, “Setengah Sha’ untuk setiap orang. Atau nilainya
setengah Dirham”39. Demikian juga menurut pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan
Abu Yusuf.
Membayar zakat dalam bentuk
uang adalah mazhab Hanafi, mereka melaksanakannya dalam semua zakat, kafarat,
nazar, kharaj dan lainnya40. Juga menurut mazhab Imam an-Nashir dan al-Mu’ayyid
Billah dari kalangan imam Ahli Bait golongan az-Zaidiyyah41.
Demikian juga menurut Ishaq
bin Rahawaih dan Abu Tsaur, hanya saja mereka mengikatnya dengan kondisi
darurat, sebagaimana mazhab sebagian lain dari kalangan Ahli Bait42. Maksud
saya,boleh membayar zakat Fitrah dalam bentuk uang dalam keadaan darurat.
Mereka menjadikannya sebagai: imam menuntut pembayaran dalam bentuk uang
sebagai ganti nash.
Membayar zakat fitrah dalam
bentuk uang adalah pendapat sekelompok ulama dari kalangan Mazhab Maliki
seperti Ibnu Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar43dan Ibnu Wahab44,
diriwayatkan dari mereka tentang boleh hukumnya membayar zakat dalam bentuk
uang, apakah zakat Mal maupun zakat Fitrah. Berbeda dengan yang mereka
riwayatkan dari Ibnu al-Qasim dan Asy-hab, mereka berdua membolehkan membayar
zakat dengan uang, kecuali pada zakat Fitrah dan kafarat sumpah.
Berdasarkan riwayat diatas
kita dapat mengetahui sejumlah imam dan Tabi’in serta para ahli Fiqh
berpendapat bahwa boleh membayar zakat dalam bentuk uang, ini pada masa mereka
di zaman dahulu yang masih menggunakan system barter, artinya semua benda layak
dijadikan sarana tukar-menukar transaksi jual beli, khususnya biji-bijian.
Mereka menjual gandum jenis Qamh dengan gandum jenis Sya’ir, jagung dengan
gandum dan lainnya. Sedangkan pada zaman kita sekarang ini sarana transaksi
jual beli hanya terbatas pada uang saja. Maka menurut kami pendapat ini lebih
tepat dan lebih kuat. Bahkan kami nyatakan, andai ulama yang tidak sependapat
dengan ini pada masa silam hidup di zaman sekarang ini, pastilah mereka akan
berpendapat seperti pendapat Imam Abu Hanifah. Terlihat jelas bagi kita
bagaimana pemahaman dan kekuatan akal mereka.
Mengeluarkan zakat Fitrah
dalam bentuk uang lebih utama untuk memberikan kemudahan kepada fakir miskin
untuk membeli apa saja yang mereka inginkan pada hari raya, karena boleh jadi
mereka tidak membutuhkan biji-bijian, akan tetapi membutuhkan pakaian, atau
daging, atau selain itu. Memberikan biji-bijian memaksa mereka untuk
berkeliling di jalan-jalan agar ada orang lain yang mau membelinya, terkadang
mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah, kurang dari semestinya. Semua
ini berlaku pada kondisi mudah; ada banyak biji-bijian di pasar. Sedangkan pada
kondisi sulit, tidak ada biji-bijian di pasar, maka membayar zakat Fitrah dalam
bentuk benda lebih utama daripada dalam bentuk uang, untuk menjaga maslahat
fakir miskin.
Hukum asal disyariatkannya
zakat Fitrah adalah untuk kepentingan fakir miskin dan mencukupkan kebutuhan
mereka pada hari raya, hari kebahagiaan kaum muslimin. Imam al-‘Allamah Ahmad
bin ash-Shiddiq al-Ghumari menyusun satu kitab dalam masalah ini berjudul
Tahqiq al-Amal fi Ikhraj Zakat al-Fithr bi al-Mal, dalam kitab ini beliau
menguatkan pendapat Mazhab Hanafi dengan dalil-dalil dan pendapat yang banyak,
mencapai tiga puluh dua pendapat. Oleh sebab itu pendapat kami men-tarjih-kan
pendapat yang menyatakan: mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk
nilai/harga/uang. Ini lebih utama di zaman sekarang ini. Wallahu Ta’ala A’la wa
A’lam.
36 Syekh DR. Ali Jum’ah,
Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M),
hal. 262.
37 Beliau adalah Abu Ishaq
as-Sabi’i al-Hamadani al-Kufi. Seorang al-Hafizh dan guru besar di Kufah. Imam
adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah salah seorang ulama yang mengamalkan
ilmunya. Salah seorang Tabi’in yang mulia”. Ia berkata tentang dirinya, “Saya
dilahirkan dua tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman. Saya pernah melihat Ali
bin Abi Thalib berkhutbah”. Lihat biografinya dalam Siyar A’lam an-Nubala’
karya adz-Dzahabi, juz. V, hal. 392 – 401, no. 180.
38 Ibnu Abi Syaibah,
al-Mushannaf, juz. II, hal. 398.
39 Abdurrazzaq,
al-Mushannaf, juz. III, hal. 316, no. 5778.
40 Lihat: Bada’i’
ash-shana’i’ karya al-Kasani, juz. II,hal. 979; al-Mabsuth karya as-Sarakhsi,
juz. III, hal. 113 – 114.
41 Sebagaimana disebutkan
dalam al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Madzahib ‘Ulama’ al-Amshar, Ahmad bin
Yahya al-Murtadha, juz. III, hal. 202 – 203.
42 Lihat as-Sail al-Jawwar
al-Mutadaffaq ‘ala Hada’iq al-Azhar, asy-Syaukani, juz. II, hal. 86.
43 Beliau adalah Abu
Muhammad Isa bin Dinar bin Wahab al-Qurthubi, ahli Fiqh, ahli ibadah. Mendengar
dari Ibnu al-Qasim, bersahabat dengannya dan belajar kepadanya. Beliau memiliki
dua puluh kitab hasil mendengar ilmu dari Ibnu al-Qasim. Wafat di Thulaithulah
tahun 212H. diringkas dari Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 64, no. 47.
44 Beliau adalah seorang
ulama yang mulia, ahli hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim
al-Qurasyi, Mawla Quraisy. Orang yang paling terpercaya dalam riwayat dari Imam
Malik. Seorang hafizh, hujjah. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya.
Wafat di Mesir pada tahun 197H. Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 58 – 59, no.
25.
28. Hari Raya dan Ziarah Kubur
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Banyak kaum muslimin yang
antusias melakukan ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, sejauh mana kebenaran
perbuatan ini menurut syariat Islam?
Jawaban:
Ziarah kubur menurut hukum
asalnya adalah sunnah karena mengingatkan manusia kepada akhirat. Disebutkan
dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw ziarah ke makam ibunya, beliau
menangis, membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Rasulullah Saw
berkata:
“Aku memohon izin
kepada Tuhanku agar aku memohonkan ampun untuknya, Ia tidak memberikan izin
untukku. Aku memohon izin agar aku ziarah ke makamnya, Ia memberi izin
kepadaku. Maka ziarahlah kamu ke kubur, karena ziarah kubur itu mengingatkan
kepada kematian”. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih:
“Dulu aku melarang
kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur
itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”.
Tidak ada waktu tertentu
untuk melakukan ziarah kubur, meskipun sebagian ulama menyatakan pahalanya
lebih besar jika dilakukan pada hari-hari tertentu seperti hari Kamis dan
Jum’at karena kuatnya hubungan ruh dengan orang-orang yang meninggal dunia,
meskipun dalilnya tidak kuat. Dari ini dapat kita ketahui bahwa ziarah kubur
setelah shalat ‘Ied, jika tujuannya untuk mengambil pelajaran dan mengenang
orang-orang yang telah meninggal dunia, ketika masih hidup dulu mereka
sama-sama merayakan hari raya, memohonkan rahmat untuk mereka dengan berdoa,
maka boleh bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan, hukum ziarah kubur bagi
perempuan dijelaskan dalam fatwa setelah fatwa ini.
Jika ziarah kubur setelah
shalat ‘Ied tersebut bertujuan untuk memperbaharui kesedihan, untuk takziah ke
kubur, atau membuat kemah, atau menyiapkan tempat untuk kesedihan, maka hukumnya
makruh. Karena takziah setelah tiga hari mayat dikebumikan dilarang secara
haram atau makruh. Karena hari raya adalah hari senang dan bahagia, maka tidak
selayaknya membangkitkan kesedihan di hari raya.
45 Fatawa al-Azhar, juz.
VIII, hal. 391 [Maktabah Syamilah].
29. Perempuan dan Ziarah Kubur
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apa hukum ziarah kubur bagi
perempuan jika tetap menjaga adab-adab ziarah kubur dan bertujuan untuk
mengambil pelajaran dan bersikap khusyu’?
Jawaban:
Pada awalnya Rasulullah Saw
melarang ziarah kubur untuk memutus tradisi jahiliah berbangga-bangga dengan
ziarah kubur dengan menyebut-nyebut peninggalan nenek moyang. Itu yang
disebutkan Allah Swt dalam firman-Nya:
“Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (Qs. At-Takatsur
[102]: 1-2). Kemudian diberi keringanan berziarah untuk mengingat mati dan
mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, sebagaimana yang diingatkan hadits
yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad shahih:
“Dulu aku melarang
kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur
itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”. Dan hadits-hadits
lain tentang ini yang diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.
Kaum muslimin telah Ijma’
tentang anjuran ziarah kubur, wajib menurut Mazhab Zhahiriah, hanya mereka
menyatakan bahwa ziarah itu khusus bagi laki-laki, bukan untuk perempuan.
Ketika Rasulullah Saw melihat bahwa perempuan pergi ziarah itu mengandung
hal-hal tidak baik, maka Rasulullah Saw melarang mereka ziarah kubur. Izin
ziarah kubur bagi laki-laki tetap berlaku. Ulama lain menyatakan bahwa larangan
ziarah kubur bagi perempuan adalah pada masa lalu karena larangan yang bersifat
umum, yaitu larangan ziarah kubur. Kemudian ada izin bagi laki-kai. Larangan
tetap berlanjut bagi perempuan. Bagaimana pun juga, ada beberapa pendapat
tentang ziarah kubur bagi perempuan, diringkas dalam beberapa poin berikut:
Pertama, haram secara
mutlak, apakah ketika perempuan melakukan ziarah itu ada fitnah dan hal tidak
baik atau pun tidak ada. Dalilnya adalah hadits:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw melaknat perempuan-perempuan yang ziarah kubur”. (HR.
at-Tirmidzi). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”. Akan tetapi
al-Qurthubi berkata, “Ada kemungkinan mengandung makna bahwa haram jika
dilakukan beramai-ramai. Karena menggunakan kata:
dalam bentuk Shighat
Mubalaghah.
Kedua, haram ketika
dikhawatirkan terjadi fitnah atau hal tidak baik. Berdasarkan ini diharamkan
bagi pemudi ziarah kubur, demikian juga dengan wanita dewasa jika berhias
berlebihan atau menggunakan sesuatu yang menarik perhatian. Dibolehkan bagi
wanita tua yang tidak menimbulkan fitnah, tetap haram jika melakukan perbuatan
yang diharamkan, seperti meratap dan perbuatan lain yang dilarang Rasulullah
Saw:
“Bukan golongan kami
orang yang menampar wajah, merobek kantong dan menyerukan seruan-seruan
Jahiliah”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Tidak mudah bagi perempuan
melepaskan diri dari tradisi-tradisi tidak baik ini. Dalam hadits Ummu ‘Athiyyah
disebutkan, “Ketika berbai’at, Rasulullah Saw mengambil janji dari kami agar
jangan meratapi orang yang meninggal dunia. Tidak ada yang memenuhi janji itu
dari kami selain lima orang perempuan”. (HR. al-Bukhari).
Ketika istri-istri Ja’far
bin Abi thalib menangis saat Ja’far mati syahid, Rasulullah Saw memerintahkan
seorang laki-laki agar melarang mereka menangis, dua kali dilarang namun mereka
tidak patuh. Rasulullah Saw memerintahkan laki-laki itu agar menyiramkan debu
ke mulut mereka. (HR. al-Bukhari).
Ketiga, makruh. Dalilnya
adalah Qiyas. Diqiyaskan kepada mengiringi jenazah. Juga berdasarkan hadits
Ummu ‘Athiyyah, “Rasulullah Saw melarang kami mengiringi jenazah. Akan tetapi
Rasulullah Saw tidak bersikap keras terhadap kami”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan
lainnya).
Keempat, boleh. Dalilnya
adalah Rasulullah Saw tidak mengingkari Aisyah ketika ia pergi ke pemakaman
al-Baqi’. Rasulullah Saw mengajarkan kepada Aisyah ketika ziarah kubur agar
mengucapkan:
“Keselamatan untuk
kamu wahai negeri kaum mu’min. Telah datang kepada kamu apa yang dijanjikan
untuk kamu esok hari masanya ditentukan. Sesungguhnya insya Allah kami
menyertai kamu”. (HR. Muslim). Juga sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw melewati seorang perempuan yang menangis di sisi kubur. Rasulullah Saw
memerintahkannya agar bertakwa dan bersabar. Rasulullah Saw melarangnya
menangis karena Rasulullah Saw mendengar sesuatu yang tidak ia sukai; ratapan
dan lainnya. Rasulullah Saw tidak melarangnya ziarah kubur.
Kelima, dianjurkan, sama
seperti anjuran ziarah kubur bagi laki-laki. Dalilnya adalah izin dari
Rasulullah Saw yang bersifat umum:
“Maka lakukanlah
ziarah kubur”.
Tiga pendapat terakhir
berlaku ketika aman dari fitnah dan hal yang tidak baik. Jika terjadi fitnah
dan hal yang tidak baik, maka haram bagi perempuan melakukan ziarah kubur.
Dengan demikian maka jawaban telah dapat difahami. Meskipun saya cenderung
kepada pendapat yang menyatakan makruh, jika tidak ada hal-hal yang diharamkan
dan terlarang seperti membuka aurat, ratapan, menampar wajah, duduk diatas
kubur, menginap di kuburan dan lain sebagainya. Lebih utama bagi perempuan
menetap di rumah, tidak pergi meninggalkan rumah kecuali ada keperluan yang
mendesak, untuk memelihara perempuan dari hal-hal yang tidak baik.
46 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 462 [Maktabah Syamilah].
30. Puasa Hari-Hari al-Bidh dan Enam Hari di Bulan
Syawwal
Fatwa Syekh ‘Athiyyah
Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah dasar penamaan
al-Ayyam al-Bidh? Apakah sebagiannya adalah puasa enam hari di bulan Syawwal
sebagaimana yang difahami banyak orang?
Jawaban:
Al-Ayyam al-Bidh ada di
setiap bulan Qamariyyah, yaitu ketika bulan ada diawal hingga akhir malam 13,
14 dan 15. Disebut Bidh karena ia memutihkan malam dengan rembulan dan siang
dengan matahari. Ada juga pendapat yang mengatakan karena Allah Swt menerima
taubat nabi Adam as pada hari-hari itu dan memutihkan lembaran amalnya.
Az-Zarqani ‘ala al-Mawahib, juz. 8, hal. 133.
Dalam al-Hawi li al-Fatawa
karya Imam as-Suyuthi disebutkan, “Ada yang mengatakan bahwa ketika nabi Adam
as diturunkan dari surga, kulitnya menghitam. Maka Allah Swt memerintahkan agar
ia melaksanakan puasa al-Ayyam al-Bidh pada bulan Qamariyyah. Ketika ia
melaksanakan puasa pada hari pertama, sepertiga kulitnya memutih. Ketika ia
berpuasa pada hari kedua, sepertiga kedua kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa
pada hari ketiga, seluruh kulit tubuhnya memutih. Pendapat ini tidak benar.
Disebutkna dalam hadits yang disebutkan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Amaly
dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari hadits Ibnu Mas’ud, hadits Marfu’,
hadits Mauquf dari jalur riwayat lain, disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam
al-Maudhu’at dari jalur riwayat Marfu’, ia berkata, “Hadits Maudhu’ (palsu),
dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak dikenal”.
Terlepas dari apakah nabi
Adam as melaksanakannya atau pun tidak, sesungguhnya Islam mensyariatkan puasa
ini dalam menjadikannya sebagai amalan anjuran. Dalam az-Arqani ‘ala al-Mawahib
dinyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw tidak pernah berbuka
(tidak berpuasa) pada hari-hari Bidh (13, 14 dan 15), baik ketika tidak musafir
maupun ketika musafir”. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Dari Hafshah Ummul
Mu’minin, “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah Saw;
puasa ‘Asyura’, sembilan hari di bulan Dzulhijjah, al-Ayyam al-Bidh (13, 14 dan
15) dan dua rakaat Fajar”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Mu’adzah
al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw
melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”. Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan
kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperdulikan
hari apa saja setiap bulan ia laksanakan puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani
berkata, “Hikmah dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan
sesuatu adalah yang paling seimbang. Dan karena biasanya gerhana matahari dan
gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut. Terdapat perintah agar
meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan
dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk
menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah. Berbeda
dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan
puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap
bulan.
Adapun tentang puasa enam
hari di bulan Syawal, penyebutannya sebagai Bidh adalah tidak benar. Terlepas
dari penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib.
Terdapat hadits tentang itu:
“Siapa yang
melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan
Syawal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim). Keutamaannya
disebutkan dalam hadits riwayat ath-Thabrani:
“Siapa yang
melaksanakan puasa Ramadhan dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan
Syawwal, ia keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahr adalah
puasa sepanjang tahun. Penjelasan ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa
riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Maknanya bahwa
satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya. Satu bulan
Ramadhan dibalas dengan sepuluh bulan. Enam hari di bulan Syawwal dibalas
dengan enam puluh hari, artinya dua bulan. Dengan demikian lengkaplah 12 bulan.
Keutamaan ini bagi mereka yang melaksanakannya di bulan Syawwal, apakah
dilaksanakan pada awal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah
dilaksanakan berturut-turut atau pun terpisah-pisah. Meskipun afdhal
dilaksanakan di awal bulan dan dilaksanakan berturut-turut. Keutamaan ini
hilang bersama berakhirnya bulan Syawwal.
Banyak kaum muslimah ingin
melaksanakannya, apakah mereka yang memiliki kewajiban qadha’ ramadhan atau pun
tidak. Puasa Syawwal ini dianjurkan, sebagaimana yang ditetapkan para ulama.
Kami berharap agar para muslimah tidak meyakini bahwa puasa Syawwal ini wajib.
Puasa Syawwal ini sunnat, tidak ada hukuman jika ditinggalkan. Demikianlah,
bagi mereka yang wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan dapat melaksanakan puasa enam
hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’. Cukup dengan puasa Qadha’,
maka ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal,jika ia
meniatkannya, amal itu dinilai dari niatnya. Jika puasa Qadha’ dilaksanakan
tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal dilaksanakan tersendiri, maka
itu afdhal. Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, “Balasan pahala
puasa enam hari di bulan Syawwal dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa
Qadha’, meskipun tidak diniatkan, hanya saja pahalanya lebih sedikit
dibandingkan dengan niat. Disebutkan dalam Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir
karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz. I, hal. 427, teksnya: “Jika seseorang
melaksanakan puasa Qadha’ di bulan Syawwal, apakah Qadha’ puasa Ramadhan, atau
meng-qadha’ puasa lain, atau nazar, atau puasa sunnat lainnya. Ia mendapatkan
pahala puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena intinya adalah adanya puasa
enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak memberitahukannya, atau
melaksanakannya untuk orang lain dari yang telah berlalu -artinya puasa nazar atau
puasa sunnat lain- akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala yang sempurna
seperti yang diinginkan melainkan dengan niat puasa khusus enam hari di bulan
Syawwal. Sama halnya dengan seseorang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan,
atau ia laksanakan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia
telah melaksanakan puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di
bulan Syawwal. Ini sama seperti pendapat tentang shalat Tahyat al-Masjid, yaitu
shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid. Para ulama berpendapat, pahala
shalat Tahyat al-Masjid diperoleh dengan shalat fardhu atau shalat sunnat,
meskipun tidak diniatkan. Karena tujuannya adalah adanya shalat sebelum duduk.
Shalat sebelum duduk tersebut telah terwujud, maka tuntutan melaksanakan shalat
Tahyat al-Masjid telah gugur, pahalanya diperoleh meskipun tidak diniatkan,
demikian menurut pendapat yang dijadikan pedoman sebagaimana yang dinyatakan
pengarang al-Bahjah. Pahalanya tetap diperoleh apakah dengan fardhu atau pun
dengan sunnat, yang penting tidak menafikan niatnya, tujuannya tercapai apakah
diniatkan atau pun tidak diniatkan.
Berdasarkan pendapat
diatas, bagi seseorang yang merasa berat untuk melaksanakan puasa qadha’
Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa qadha’ tersebut pada bulan
Syawwal, ia juga ingin mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal,
maka ia berniat melaksanakan puasa qadha’ dan puasa enam hari di bulan Syawwal,
atau berniat puasa qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal,
maka puasa sunnat sudah termasuk ke dalam puasa wajib. Ini kemudahan dan
keringanan, tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu, juga tidak boleh
menyatakan mazhab lain batil.
Hikmah berpuasa enam hari
di bulan Syawal setelah puasa yang lama di bulan Ramadhan -wallahu a’lam-
adalah agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap
menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada
kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia
mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan
psikis, itu sudah menjadi suatu ketetapan dalam kehidupan.
47 Fatawa al-Azhar, juz.
IX, hal. 261 [Maktabah Syamilah].