Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 26 Januari 2018

30 Fatwa Seputar Ramadhan









30 Fatwa Seputar Ramadhan
Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Syekh DR. Yusuf Al-Qaradhawi.
Syekh DR. Ali Jum’ah.
Disusun dan Diterjemahkan Oleh:
H. Abdul Somad, Lc., MA.

Pengantar Penterjemah.
Segala puja dan puji hanya milik Allah Swt. Shalawat beruntai salam semoga senantiasa tercurah ke hadirat junjungan alam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hari berganti musim berubah, akan tetapi berbagai pertanyaan yang muncul ketika mendekati bulan Ramadhan tetaplah pertanyaan yang sama, seputar Hisab dan Ru’yah, niat puasa, Qadha’, Tarawih, Zakat Fitrah dan lain sebagainya. Meskipun berbagai masalah ini telah dibahas, akan tetapi manusia tetaplah pada keterbatasannya, lupa dan berbagai kesibukan tetap menjadi faktor penyebab mengapa pertanyaan terus berulang, disamping tidak adanya dokumentasi yang memadai. Untuk itu dirasa perlu mengumpulkan berbagai tulisan yang berkaitan dengan masalah ini. Penyusun memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR. Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang terus mereka terapkan dalam fatwa, dengan kekayaan dalil dan referensi bacaan. Semoga fatwa-fatwa ini mampu memberikan pencerahan dan dijadikan Allah Swt sebagai bagian dari amal shaleh yang terus mengalir, amin.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Terjemahan ini masih jauh dari sempurna. Namun, andai ditunggu sempurna, fatwa-fatwa ini tidak akan pernah muncul ke alam nyata. Kritik dan saran sangatlah diperlukan dari para alim ulama dan segenap kaum muslimin.
Pekanbaru, 1 Rajab 1432H / 3 Juni 2011M.
Penyusun dan Penterjemah.

H. Abdul Somad, Lc., MA.



1.         Hilal Ramadhan
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar
Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 252 [Maktabah Syamilah].

Pertanyaan:
Dalam hadits dinyatakan, “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berhari rayalah kamu ketika melihat bulan”. Apakah kata ‘melihat’ disini boleh diinterpretasikan sebagai melihat secara ilmiah, bukan melihat dengan mata kepala, untuk menyatukan awal bulan Ramadhan?

Jawaban:
Tema penyatuan awal Ramadhan yang selanjutnya mengarah kepada penyatuan hari raya di seluruh negeri-negeri Islam adalah tema yang dibahas para ahli Fiqh pada abad-abad pertama, juga dibahas para ulama di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Riset Islam) pada beberapa tahun terakhir. Semuanya sepakat bahwa tidak ada kontradiksi antara agama Islam dan ilmu pengetahuan, agama Islam sendiri menyerukan ilmu pengetahuan. Dalam masalah kita ini, hadits mengaitkan puasa dan hari raya dengan melihat Hilal, jika tidak terlihat dengan mata kepala, maka kita menggunakan ilmu pengetahuan. Bimbingan agar menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari adalah arahan untuk menghormati Hisab yang merupakan salah satu bentuk ilmu pengetahuan. Mereka yang mengamati Hilal menggunakan teropong yang merupakan peralatan dari ilmu pengetahuan, juga menggunakan alat-alat pengintai Hilal dan peralatan lainnya. Tema ini membutuhkan pembahasan yang panjang lebar, pembahasan ilmu pengetahuan dan agama, dibahas dalam juz kedua kitab Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (Penjelasan Untuk Umat Manusia Dari Al-Azhar Yang Mulia). Disini saya sebutkan bahwa Konferensi Riset Islam ke-III yang dilaksanakan pada tahun 1966M menetapkan sebagai berikut:
       1.       Ru’yah adalah dasar untuk mengetahui masuknya bulan Qamariyyah, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits. Ru’yah adalah dasar, akan tetapi tidak berpedoman kepada Ru’yah jika tidak ada kepercayaan yang sangat kuat.
       2.       Penetapan Ru’yah dengan Mutawatir dan Istifadhah (berita dibawa oleh banyak orang), juga dengan Khabar Wahid (berita dibawa oleh satu orang), laki-laki atau perempuan, jika tidak ada faktor penyebab yang mempengaruhi kebenaran beritanya. Diantara faktor penyebab yang dapat merusak kebenaran berita Ru’yah adalah jika bertentangan dengan Hisab dari orang yang terpercaya.
       3.       Khabar Wahid mesti diamalkan, baik oleh orang yang membawa berita maupun yang mempercayainya. Adapun mewajibkan semua orang untuk mengikutinya, maka tidak boleh kecuali setelah Ru’yah ditetapkan oleh sebuah lembaga yang ditetapkan negara untuk itu.
       4.       Berpedoman kepada Hisab dalam penetapan masuknya bulan Ramadhan apabila tidak dapat diwujudkan lewat Ru’yah dan tidak mungkin menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
       5.       Menurut konferensi ini, perbedaan penampakan Hilal tidak dianggap jika tempatnya berjauhan dan waktu malam diantara tempat-tempat tersebut masih bersambung, meskipun sedikit. Perbedaan penampakan Hilal diantara beberapa tempat baru dianggap jika waktu malam diantara tempat-tempat tersebut tidak bersambung.
       6.       Konferensi ini merekomendasikan kepada masyarakat dan negara-negara Islam agar di setiap kawasan negeri Islam memiliki lembaga penetapan awal bulan Qamariyyah dengan tetap melakukan kordinasi antara lembaga dan berkordinasi dengan lembaga Hisab terpercaya.

Mesir mengumumkan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan beberapa keputusan konferensi ini dan tetap berkordinasi dengan negara-negara lain. Demikianlah, saya ingin mengingatkan kaum muslimin bahwa ada unsur-unsur lain yang sangat penting dan memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk menyatukan umat Islam, diantara yang terpenting adalah penyatuan hukum, sistem undang-undang, ekonomi dan budaya berdasarkan agama Islam. Tidak adanya penyatuan ini menyebabkan kaum muslimin semakin menjauh dan menyebabkan kaum muslimin menjadi korban negara-negara lain, menyebabkan keretakan ikatan kaum muslimin. Sungguh benar Rasulullah Saw seperti yang diriwayatkan al-Baihaqi, “Jika kaum muslimin membatalkan perjanjian mereka kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, maka musuh menguasai mereka dan mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Jika pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah, maka akan dijadikan azab di tengah-tengah mereka”.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA.


2.      Mengikuti Ru’yah Negara Lain
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh berpuasa mengikuti Ru’yah di Negara lain, bukan mengikuti Ru’yah Negara tempat tinggal?

Jawaban:
Tidak selayaknya penduduk suatu Negara melaksanakan puasa dan berhari raya mengikuti Negara lain berbeda dengan Ru’yah yang ditetapkan Negara bersangkutan. Karena kondisi seperti ini menyebabkan perpecahan kesatuan kaum muslimin. Menanamkan benih-benih fitnah dan berpecahan. Sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam bahwa hukum yang ditetapkan Ulil Amri mengangkat khilaf yang terjadi diantara umat manusia. Berdasarkan ini maka jika fatwa telah dikeluarkan berkaitan dengan hilal bulan Ramadhan atau lainnya di suatu Negara, maka bagi kaum muslimin di Negara tersebut mesti berpegang kepada fatwa tersebut, tidak boleh keluar dari fatwa tersebut. Ini berdasarkan riwayat dari Kuraib bahwa Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awiyah di negeri Syam, ia berkata, “Saya sampai di negeri Syam, saya menunaikan keperluannya. Telah terlihat hilal bulan Ramadhan ketika saya berada di negeri Syam, saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada saya”. Kemudian Kuraib menyebutkan tentang hilal. Abdullah bin Abbas bertanya, “Kapankah kamu melihat hilal?”. Saya jawab, “Kami melihatnya malam Jum’at”. Abdullah bin Abbas bertanya, “Engkau melihatnya?”. Saya jawab, “Ya, orang banyak juga melihatnya. Mereka melaksanakan puasa dan Mu’awiyah juga melaksanakan puasa”. Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu. Kita terus melaksanakan puasa hingga kita sempurnakan tiga puluh hari, atau hingga kita melihat hilal (Syawal)”. Saya katakan, “Apakah tidak cukup dengan Ru’yah dan puasa Mu’awiyah?”. Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kita”3. Riwayat ini membuktikan bahwa setiap daerah konsisten menjalankan Ru’yahnya masing-masing. Kami berfatwa berdasarkan ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
2 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 286.
3 HR. Ahmad dalam al-Musnad, juz. I, hal. 306; Muslim dalam ash-Shahih, juz. II, hal. 765; Abu Daud dalam as-Sunan, juz. II, hal. 299 dan at-Tirmidzi dalam as-Sunan, juz. III, hal. 76.


3.      Waktu Puasa Diantara Dua Tempat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Seseorang memulai puasanya di Mesir sesuai penetapan awal Ramadhan di Mesir. Kemudian ia pergi ke negeri lain yang hari rayanya berbeda dengan Mesir. Apa yang ia lakukan di akhir Ramadhan, apakah mengikuti hari raya di Mesir atau mengikuti negeri tempat ia berada, meskipun jika itu ia lakukan akan menyebabkan puasanya berjumlah 28 hari atau 31 hari?
Jawaban:
Seseorang memulai puasa Ramadhan di suatu negeri berdasarkan Ru’yah, misalnya hari Jum’at. Kemudian ia pergi ke negeri lain yang puasa di negeri itu dimulai hari Kamis. Ia menetap disana hingga akhir bulan Ramadhan. Mungkin saja ia akan menyempurnakan puasa Ramadhan di negeri kedua selama 30 hari, dengan demikian maka hari Idul Fitri pada hari Sabtu, dalam kasus ini tidak ada masalah. Mungkin juga negeri kedua menetapkan puasa 29 hari, jika hari raya pada hari Jum’at. Dengan demikian maka orang yang memulai puasa Ramadhan pada hari Jum’at di negeri pertama berarti ia berpuasa selama 28 hari. Apa yang mesti ia lakukan? Negeri kedua tempat ia menetap melaksanakan hari raya pada hari Jum’at, sedangkan berpuasa di hari raya itu hukumnya haram. Sedangkan bulan sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw hanya 29 atau 30 hari. Tidak pernah sama sekali 28 hari. Jika demikian, kami katakan kepada orang yang mengalami hal seperti ini, “Anda memilih, anda ikut berhari raya dengan penduduk negeri kedua. Akan tetapi Anda mesti meng-qadha’ satu hari puasa di hari lain untuk menyempurnakan 29 hari. Anda juga memiliki pilihan untuk berpuasa pada hari raya itu untuk menyempurnakan jumlah satu bulan yaitu 29 hari”. Ini pendapat saya, masalah ini adalah masalah ijtihad. Akan tetapi saya lebih memilih pendapat ikut berhari raya di negeri kedua dan melaksanakan qadha’ satu hari puasa di hari lain. Ini adalah salah satu dampak negatif dari banyaknya pemimpin di negeri-negeri Islam.
4 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 296 [Maktabah Syamilah].


4.      Niat Puasa
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya lupa berniat puasa pada waktu malam. Kemudian saya teringat setelah fajar bahwa saya belum berniat. Apakah puasa saya sah?
Jawaban:
Niat merupakan sesuatu yang mesti ada dalam puasa, puasa tidak sah tanpa adanya niat. Mayoritas ulama mensyaratkan agar setiap hari mesti berniat puasa, sebagian ulama mencukupkan satu niat saja pada awal malam bulan Ramadhan untuk niat satu bulan secara keseluruhan. Waktu berniat adalah sejak tenggelam matahari hingga terbit fajar. Jika seseorang berniat melaksanakan puasa di malam hari, maka niat itu sudah cukup, ia boleh makan atau minum setelah berniat, selama sebelum fajar. Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang tidak menggabungkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena tempat niat itu di hati. Jika seseorang sudah bertekad di dalam hatinya untuk melaksanakan puasa, maka itu sudah cukup. Meskipun hanya sekedar bangun pada waktu sahur dan berniat akan melaksanakan puasa, itu sudah cukup, atau minum agar tidak merasakan haus pada siang hari, maka niat itu sudah cukup. Siapa yang tidak melakukan itu pada waktu malam, maka puasanya tidak sah, ia mesti meng-qadha’ puasanya. Ini berlaku pada puasa Ramadhan. Sedangkan puasa sunnat, niatnya sah dilakukan pada waktu siang hari sebelum zawal (matahari tergelincir).
5 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 266 [Maktabah Syamilah],


5.      Menggunakan Siwak dan Pasta Gigi
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan siwak bagi orang yang berpuasa? Dan penggunaan pasta gigi?
Jawaban:
Dianjurkan menggunakan Siwak sebelum Zawal (tergelincir matahari). Adapun setelah tergelincir matahari, para ahli Fiqh berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa. Dalilnya adalah hadits Rasulullah Saw:
“Demi jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah Swt daripada semerbak kasturi”. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah). Menurut pendapat ini, harum semerbak kasturi tidak baik jika dihilangkan, atau makruh dihilangkan, selama bau tersebut diterima dan dicintai Allah Swt, maka orang yang berpuasa membiarkannya. Ini sama seperti darah dari luka orang yang mati syahid. Rasulullah Saw berkata tentang para syuhada’:
 “Selimutilah mereka dengan darah dan pakaian mereka, karena sesungguhnya mereka akan dibangkitkan dengannya di sisi Allah Swt pada hari kiamat, warnanya warna darah dan harumnya harum semerbak kasturi”. Oleh sebab itu orang yang mati syahid tetap dengan darah dan pakaiannya, tidak dimandikan dan bekas darah tidak dibuang. Mereka meng-qiyaskan dengan ini. Sebenarnya ini tidak dapat diqiyaskan dengan bau mulut orang yang berpuasa, karena ada kedudukan tersendiri. Sebagian shahabat meriwayatkan, “Saya seringkali melihat Rasulullah Saw bersiwak ketika beliau sedang berpuasa”. Bersiwak ketika berpuasa dianjurkan dalam setiap waktu, pada pagi maupun petang hari. Juga dianjurkan sebelum atau pun setelah berpuasa. Bersiwak adalah sunnah yang dipesankan Rasulullah Saw:
6 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 329 - 330.

“Siwak itu kesucian bagi mulut dan keridhaan Allah Swt”. (HR. an-Nasa’I, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighat Jazm). Rasulullah Saw tidak membedakan antara puasa atau tidak berpuasa.
Adapun pasta gigi, mesti berhati-hati dalam menggunakannya agar tidak masuk ke dalam sehingga membatalkan puasa menurut mayoritas ulama. Oleh sebab itu lebih untuk dihindari dan ditunda pemakaiannya setelah berbuka puasa. Akan tetapi jika dipakai dan bersikap hati-hati, namun tetap masuk sedikit ke dalam, maka itu dimaafkan. Allah Swt berfirman:
 “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (Qs. Al-Ahzab [33]: 5). Rasulullah Saw bersabda:
Diangkat dari umatku; tersalah, lupa dan sesuatu yang dipaksa untuk melakukannya”. Wallahu a’lam.


6.      Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
7 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 291 [Maktabah Syamilah].

Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
 “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:

 “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:
 “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
 “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:

 “Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).

Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak berpuasa.

Menurut Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.

Menurut Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.

Menurut Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.


7.       Menunda Puasa Qadha’
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tidak melaksanakan beberapa hari di bulan Ramadhan karena uzur, saya tidak mampu meng-qadha’-nya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Apakah saya didenda karena menunda puasa Qadha’? ketika meng-qadha’, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah?
Jawaban:
Jumhur ulama mewajibkan fidyah bagi orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan hingga masuk ke Ramadhan berikutnya. Fidyah tersebut adalah memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan, makanan tersebut cukup untuk makan siang dan makan malam. Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan tanpa ada uzur. Hukum ini berdasarkan dalil hadits Mauquf dari Abu Hurairah, artinya ini ucapan Abu Hurairah, penisbatan ucapan ini kepada Rasulullah Saw adalah dha’if. Hukum ini juga diriwayatkan dari enam orang shahabat, menurut Yahya bin Aktsam tidak ada yang menentang pendapat mereka, diantara mereka adalah Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra.
Abu Hanifah dan ulama Mazhab Hanafi berpendapat: tidak wajib membayar fidyah disamping qadha’. Karena Allah Swt berfirman tentang orang yang sakit dan musafir:
 “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). Allah Swt tidak memerintahkan membayar fidyah. Hadits yang mewajibkannya adalah hadits dha’if, tidak dapat dijadikan dalil.
Imam asy-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar, juz. 4, hal. 318, mendukung pendapat ini, “Tidak ada hadits kuat dari Rasulullah Saw tentang masalah ini. Pendapat shahabat tidak dapat dijadikan dalil. Pendapat jumhur tidak menunjukkan bahwa itu benar. Hukum asal tidak ada kewajiban menjadi penetap hukum tidak adanya kewajiban yang membebani, sampai ada dalil tentang itu. Dalam masalah ini tidak ada dalil yang mendukung. Maka tidak wajib membayar fidyah)”.
8 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 268 [Maktabah Syamilah].
Imam Syafi’i berkata, “Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan karena uzur, maka tidak wajib membayar fidyah. Jika bukan karena suatu uzur, maka wajib membayar fidyah”. Pendapat ini penengah antara dua pendapat diatas. Akan tetapi hadits dha’if atau hadits mauquf tentang kafarat ini tidak membedakan antara ada atau tidak adanya uzur. Mungkin pendapat ini dapat menenangkan jiwa karena memperhatikan bentuk khilaf yang ada.
Melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan itu wajib dilaksanakan secara tunda, tidak wajib dilaksanakan segera, meskipun afdhal dilaksakan dengan segera ketika mampu, karena hutang kepada Allah Swt lebih utama untuk ditunaikan. Disebutkan dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bahwa Aisyah ra meng-qadha’ puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, ia tidak melaksanakannya segera ketika ia mampu.
Dalam melaksanakan puasa Qadha’ tidak diwajibkan mesti berturut-turut. Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw berkata tentang qadha’ puasa Ramadhan:
 “Jika mau dapat melaksanakannya secara terpisah-pisah dan jika mau dapat melaksanakannya secara berturut-turut”.

  
8.      Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai Celak
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apakah orang yang sedang berpuasa boleh disuntik? Apakah boleh memasukkan obat ke dalam telinga ketika sedang berpuasa? Apakah perempuan boleh memakai celak pada waktu pagi ketika sedang berpuasa?
Jawaban:
Kami katakana kepad semua yang menggunakan jarum suntik pada bulan Ramadhan bahwa jarum suntik terdiri dari beberapa jenis, ada yang digunakan sebagai obat dan penyembuhan, apakah pada urat, atau pada otot, atau di bawah kulit. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena tidak sampai ke perut dan tidak memberikan makanan. Oleh sebab itu tidak membatalkan puasa dan tidak perlu dibahas.
Akan tetapi ada satu jenis jarum yang memasukkan nutrisi ke dalam tubuh, seperti jarum Glucose yang menyampaikan nutrisi ke dalam darah secara langsung. Ulama moderen berbeda pendapat tentang masalah ini, karena kalangan Salaf tidak mengenal jenis pengobatan seperti ini. Tidak terdapat tuntunan dari Rasulullah Saw, para shahabat, tabi’in dan generasi pertama tentang masalah ini. Ini perkara yang baru. Oleh sebab itu para ulama modern berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat bahwa ini membatalkan puasa karena menghantarkan nutrisi ke tingkat tertinggi, karena langsung sampai ke darah. Sebagian ulama menyatakan tidak membatalkan puasa, meskipun sampai ke darah, karena yang membatalkan puasa adalah jika sampai ke perut yang membuat manusia merasa kenyang setelah mengalaminya, atau merasa segar (hilang haus). Yang diwajibkan dalam puasa adalah menahan nafsu perut dan kemaluan, artinya manusia merasakan lapar dan haus. Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa jarum ini tidak membatalkan puasa.
Meskipun saya memilih pendapat kedua (tidak membatalkan puasa), akan tetapi menurut saya lebih bersikap hati-hati jika seorang muslim tidak menggunakan jarum ini pada siang Ramadhan, jika ada kelapangan waktu untuk menggunakannya setelah tenggelam matahari. Jika seseorang sakit, maka Allah Swt memperbolehkannya untuk berbuka. Meskipun jarum ini tidak benar-benar memberikan makanan dan minuman dan orang yang menggunakannya tidak merasa hilang lapar dan haus setelah menggunakannya seperti makan dan minum langsung, akan tetapi paling tidak merasa segar, hilang lesu yang dirasakan orang-orang yang berpuasa pada umumnya. Allah Swt ingin agar manusia merasakan lapar dan haus, agar mengetahui kadar nikmat Allah Swt kepadanya, merasakan sakitnya orang-orang yang sakit, laparnya orang-orang yang kelaparan dan penderitaan orang lain yang mengalami penderitaan. Kami khawatir jika kami membuka pintu ini, maka orang-orang kaya yang mampu akan menggunakan jarum ini pada siang hari Ramadhan agar mereka mendapatkan kekuatan dan merasa segar, agar tidak merasakan sakitnya lapar dan penderitaan puasa di siang hari bulan Ramadhan. Jika ingin menggunakannya, maka sebaiknya ditunda setelah berbuka puasa. Ini jawaban pertanyaan pertama.
Adapun pertanyaan kedua dan ketiga, yaitu berkaitan dengan meletakkan obat ke telinga, juga memakai celak pada kedua mata pada siang hari bulan Ramadhan dan obat pada anus, semua ini adalah sesuatu yang mungkin sebagiannya masuk ke dalam tubuh, akan tetapi tidak sampai ke dalam perut dari rongga yang normal (rongga masuknya makanan ke dalam perut), oleh sebab itu tidak disebut memberikan makanan dan orang yang mengalaminya tidak merasa segar setelah merasakannya. Para ulama zaman dahulu dan ulama modern berbeda pendapat dalam masalah ini, antara yang sangat ketat dan yang longgar. Ada ulama yang menyatakan bahwa semua ini membatalkan puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa rongga-rongga ini bukanlah rongga yang normal tempat masuknya makanan ke dalam perut, oleh sebab itu tidak membatalkan puasa. Saya berpendapat bahwa penggunaan celak, tetes mata, obat tetes telinga, obat pada anus bagi penderita wasir dan sejenisnya. Menurut saya semua ini tidak membatalkan puasa. Pendapat yang saya fatwakan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah. Beliau menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, kemudian beliau berkata, “Menurut pendapat yang kuat, semua itu tidak membatalkan puasa. Karena ibadah puasa dari ajaran Islam yang perlu diketahui seluruh umat manusia. Jika perkara-perkara ini diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam ibadah puasa dan merusak ibadah puasa, pastilah Rasulullah Saw wajib menjelaskannya. Andai Rasulullah Saw menyebutkannya, pastilah diketahui para shahabat dan mereka sampaikan kepada umat sebagaimana mereka telah menyampaikan semua syariat Allah Swt. Karena tidak seorang pun ulama meriwayatkan dari mereka tentang masalah ini, tidak ada hadits shahih maupun dha’if, musnad maupun mursal, maka dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw tidak menyebutkan masalah ini walaupun sedikit. Hadits yang diriwayatkan tentang celak adalah hadits dha’if. Yahya bin Ma’in berkata, “Hadits Munkar”. Inilah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, fatwa ini menjelaskan dua dasar:
Pertama, bahwa hukum-hukum yang bersifat umum yang perlu diketahui oleh semua orang, maka Rasulullah Saw wajib menjelaskannya kepada umat. Karena Rasulullah Saw itu pemberi penjelasan kepada umat manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka. Allah Swt berfirman:
 “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (Qs. An-Nahl [16]: 44). Umat juga wajib melaksanakan penjelasan tersebut setelah Rasulullah Saw. Ini adalah dasar.
Dasar kedua, bahwa memakai celak, obat tetes telinga dan sejenisnya terus digunakan oleh manusia sejak lama, termasuk kategori perkara yang bersifat umum, sama seperti mandi, memakai minyak rambut, memakai asap (harum), parfum dan sejenisnya. Andai ini membatalkan puasa, pastilah Rasulullah Saw menjelaskannya sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan hal-hal yang membatalkan puasa. Ketika Rasulullah Saw tidak menjelaskannya, maka dapat difahami bahwa ini termasuk jenis parfum, asap (harum), minyak rambut dan sejenisnya. Ibnu Taimiah berkata, “Terkadang asap naik ke hidung dan masuk ke otak, merasuk ke tubuh. Minyak rambut juga diserap oleh tubuh, masuk ke dalam tubuh dan tubuh menjadi segar. Parfum juga membuat tubuh menjadi segar. Rasulullah Saw tidak melarang semua itu, maka ini menunjukkan bahwa boleh memakai parfum, menggunakan asap (harum) dan minyak rambut, maka demikian juga halnya dengan celak”. Kesimpulan dari pendapat Ibnu Taimiah dalam fatwa ini bahwa celak tidak memberikan nutrisi dan tidak ada orang yang memasukkan celak ke dalam perutnya, tidak lewat hidung dan tidak pula lewat mulut. Demikian juga dengan obat pada anus, tidak memberikan nutrisi, akan tetapi mengambil tempat di dalam tubuh. Sama seperti seseorang yang mencium bau sesuatu atau merasa cemas, maka menyebabkannya mual. Padahal itu tidak sampai ke dalam perut. Ini pendapat yang baik dan pemahaman yang mendalam terhadap Fiqh Islam. Pendapat inilah yang kami pilih dan kami fatwakan. Wa billahi at-Taufiq.
9 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 325 - 328.


9.      Memanjangkan Jenggot
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum memelihara jenggot?
Jawaban:
Terdapat perintah membiarkan (tidak mencukur) dan memelihara jenggot dalam banyak hadits. Diantaranya hadits:
“Bedakanlah diri kamu dengan orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Rasulullah ini, apakah mengandung makna wajib? Atau anjuran? Jumhur ahli Fiqh berpendapat bahwa perintah ini mengandung makna wajib. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makna perintah ini adalah anjuran. Banyak nash ulama Mazhab Syafi’i yang menetapkan hukum ini menurut pendapat mereka, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pendapat Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk memperhatikan orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus”11. Imam ar-Ramli memberikan komentar terhadap pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Asna al-Mathalib, “Pendapatnya: makruh mencabutnya. Maksudnya adalah makruh mencabut jenggot dan seterusnya. Perbuatan yang sama seperti itu adalah mencukur jenggot. Pendapat al-Hulaimi dalam Minhaj-nya bahwa tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan bulu mata, ini adalah pendapat yang lemah”12.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami berkata, teksnya: (Pembahasan Cabang), mereka menyebutkan disini bahwa jenggot dan sejenisnya, ada beberapa perbuatan makruh, diantaranya: mencabut jenggot, mencukur jenggot. Demikian juga dengan dua bulu mata”13.
Imam Ibnu Qasim al-‘Abbadi menekankan pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap Tuhfat al-Muhtaj, ia berkata, “Pendapatnya: ‘Atau diharamkan, bertentangan dengan pendapat yang dijadikan sebagai pegangan’. Dalam kitab Syarh al-‘Ubab dinyatakan, “Fa’idah: Dua Syekh (Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi) berkata, ‘Makruh hukumnya mencukur jenggot’.”14
Al-‘Allamah al-Bujairimi berkata dalam Syarh-nya terhadap al-Khathib, teksnya: “Sesungguhnya mencukur jenggot itu makruh dilakukan laki-laki dewasa, bukan haram”15. Penyebutan kata ar-Rajul (lelaki dewasa) dalam teks ini bukan sebagai lawan kata perempuan, akan tetapi sebagai lawan kata asy-Syab ash-Shaghir (remaja). Karena redaksi kalimat ini mengandung makna: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi remaja. Komentar: jenggot baru tumbuh. Bukanlah sebagai ikatan. Akan tetapi maknanya: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi pria dewasa.
Pendapat yang menyatakan makruh hukumnya mencukur jenggot juga dinyatakan oleh ulama dari luar Mazhab Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam al-Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab asy-Syifa, salah seorang ulama Mazhab Maliki. Ia berkata, “Makruh hukumnya mencukur jenggot, memotong dan membakar jenggot”16.
Terlihat bahwa ahli Fiqh yang mewajibkan memelihara jenggot dan mengharamkan mencukur jenggot, mereka memperhatikan aspek lain, ada unsur tambahan terhadap teks hadits, bahwa mencukur jenggot itu sesuatu yang dianggap sebagai aib, bertentangan dengan bentuk wajah manusia saat itu, orang yang mencukur jenggot pada zaman itu dipandang hina, ditunjuk di jalan-jalan. Imam ar-Ramli berkata tentang hukum Ta’zir, bahwa hukum Ta’zir tidak dijatuhkan bagi orang yang mencukur jenggot. Teksnya: “Ucapannya: Tidak ada hukuman Ta’zir bagi orang yang mencukur jenggot. Guru kami berkata, “Karena mencukur jenggot itu aib, orang yang melakukannya sangat dikecam, bahkan terkadang anak-anaknya pun ikut dikecam”17.
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi. Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
 “Rubahlah uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi). Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupai hadits perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir. Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian dasi sudah menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama mengkafirkan orang yang memakainya.
Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir maupun yang muslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk mencukurnya. Oleh sebab itu ulama berbeda pendapat antara jumhur yang mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab Syafi’i, karena tradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya makruh. Memelihara jenggot hukumnya sunnat, mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
10 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 330 – 333..
11 Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
12 Syekh ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
13 Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
14 Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hasyiyah Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
15 Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala Syarh al-Khathib, juz. IV, hal. 346.
16 Dinukil oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitabnya berjudul Tharh at-Tatsrib, juz. II, hal. 83; asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, juz. I, hal. 143.
17 Al-‘Allamah ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. IV, hal. 162.


10.    Isbal (Pakaian Menutup Mata Kaki)
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah hukum memanjangkan pakaian (menutupi mata kaki)?
Jawaban:
Al-Isbal dari kata as-Sabal artinya bulir. Asbala az-Zar’u artinya tanaman itu mengeluarkan bulirnya. Asbala al-Matharu artinya air hujan turun. Asbala ad-Dam’u artinya air mata menetes. Asbala Izarahu artinya si fulan mengulurkan pakaiannya. As-sabalu adalah penyakit pada mata yang menyerupai katarak, seperti sarang laba-laba dengan selaput berwarna merah. As-Sabil adalah jalan. Dalam bentuk mudzakkar dan mu’annats.
Yang dimaksud disini adalah makna Isbal secara khusus, yaitu berkaitan dengan pakaian. Artinya seseorang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya diatas tanah. Atau membiarkannya terjuntai dari atas kepala tanpa memakainya. Ini makruh dilakukan dalam shalat, karena menyerupai orang Yahudi dan tidak menutup aurat.
Pada zaman dahulu memanjangkan pakaian adalah salah satu tanda keangkuhan dan kesombongan. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Tergolong dosa hati yang menyebabkan penyakit hati dan merusak kehidupan. Hingga orang-orang shaleh mengatakan, “Berapa banyak perbuatan maksiat menyebabkan kerendahan, lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan keangkuhan”.
Mengaitkan Isbal dengan keangkuhan secara syara’ berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena keangkuhan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian pakaianku panjang, hanya saja aku tidak melakukannya sengaja”. Rasulullah Saw berkata, “Engkau tidak melakukan itu karena keangkuhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jadi sebenarnya memanjangkan pakaian ke lantai tidaklah haram, yang diharamkan hanyalah keangkuhan yang menjadi tujuannya. Indikasi bahwa memanjangkan pakaian itu adalah pertanda keangkuhan telah ada dalam tradisi kaum pada zaman Rasulullah Saw. Oleh sebab itu para ulama sepakat haram hukumnya angkuh dan sombong, apakah terkait dengan pakaian atau pun tidak. Mereka berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian, jika disebabkan keangkuhan, maka haram disebabkan keangkuhan tersebut. Jika tidak karena keangkuhan, maka tidak diharamkan.
Para ulama memakruhkannya karena menyerupai perbuatan orang yang angkuh. Karena orang-orang yang angkuh pada masa itu melakukan perbuatan seperti ini, oleh sebab itu menyerupai perbuatan mereka meskipun tanpa ada niat menyombongkan diri tetap dimakruhkan. Adapun dengan niat untuk keangkuhan, maka hukumnya haram, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Inilah pendapat para ulama dan disebutkan para imam secara nash. Syekh al-Buhuti berkata, “Jika seseorang memanjangkan pakaiannya karena keperluan, seperti menutupi betis yang jelek, tanpa ada niat keangkuhan, maka itu dibolehkan”. Imam Ahmad bin berkata dalam satu riwayat, “Memanjangkan pakaian dan selendang dalam shalat, jika tidak untuk keangkuhan, maka tidak mengapa (boleh)”19.
Imam asy-Syaukani berkata, “Ikatan yang jelas dengan menggunakan kata “Keangkuhan”, ini menunjukkan pemahaman bahwa memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan tidak termasuk dalam ancaman ini. Ibnu Abdilbarr berkata, “Pemahamannya bahwa orang yang memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan, tidak tergolong dalam ancaman ini. Hanya saja perbuatan itu tidak baik”. Imam an-Nawawi berkata, “Perbuatan itu makruh. Ini dinyatakan Imam Syafi’I secara nash”. Al-Buwaithi berkata dalam Mukhtasharnya dari Imam Syafi’I, “Tidak boleh memanjangkan pakaian dalam shalat atau pun di luar shalat, jika untuk keangkuhan. Jika tidak untuk keangkuhan, maka ada keringanan. Berdasarkan ucapan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar”20.
Memanjangkan pakaian bukan untuk keangkuhan, maka tidak mengapa, itu dibolehkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yang diharamkan adalah untuk keangkuhan dan kesombongan, meskipun tidak terkait dengan memanjangkan pakaian. Inilah pendapat yang kuat. Tradisi telah berubah, memanjangkan pakaian tidak lagi menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang yang menyombongkan diri di zaman kita sekarang ini. Oleh sebab itu memanjangkan pakaian pada zaman sekarang ini tidak dapat dikatakan menyerupai orang-orang yang sombong. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

18 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 328.
19 Al-Buhuti, Kasysyaf al-Qina’, juz. I, hal. 276.
20 Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz. I, hal. 112.


11.       Televisi dan Puasa
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa pendapat agama Islam tentang menonton TV bagi orang yang sedang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan?
Jawaban:
Televisi adalah salah satu sarana, di dalamnya ada kebaikan dan hal yang tidak baik. Semua sarana mengandung hukum tujuan. Televisi sama seperti radio dan sarana informasi lainnya, di dalamnya ada yang baik dan ada yang tidak baik. Seorang muslim mesti mengambil manfaat dari yang baik dan menjauhkan diri dari yang tidak baik, apakah ia dalam keadaan berpuasa atau pun tidak sedang berpuasa. Akan tetapi dalam keadaan berpuasa ia mesti lebih hati-hati, agar puasanya tidak rusak, agar pahalanya tidak hilang sia-sia dan tidak mendapatkan balasan dari Allah Swt.
Menonton TV, saya tidak katakan halal secara mutlak dan tidak pula haram secara mutlak. Akan tetapi mengikut apa yang ditonton, jika baik, maka boleh dilihat dan didengar, seperti acara-acara agama Islam, berita, acara-acara yang membawa kepada kebaikan. Jika tidak baik, seperti acara tarian yang tidak menutup aurat dan hal-hal seperti itu, maka haram untuk dilihat di setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan.
Sebagian acara makruh ditonton, meskipun tidak sampai ke tingkat haram. Semua sarana yang menghalangi diri dari mengingat Allah Swt, maka haram hukumnya. Jika menonton TV, atau mendengar radio dan lain sebagainya dapat melalaikan dari suatu kewajiban yang diwajibkan Allah Swt, seperti shalat, maka dalam kondisi seperti ini hukumnya haram. Semua perbuatan yang melalaikan shalat maka hukumnya haram. Ketika Allah Swt menyebutkan sebab diharamkannya khamar dan judi, Allah Swt sebutkan sebabnya:
 “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (Qs. Al-Ma’idah [5]: 91).
Maka bagi semua pihak yang bertanggung jawab terhadap acara televisi agar bertakwa kepada Allah Swt tentang apa yang layak untuk dipersembahkan kepada khalayak ramai, khususnya di bulan Ramadhan, untuk menjaga kemuliaan bulan yang penuh berkah, menolong kaum muslimin untuk taat kepada Allah Swt dan menambah amal kebaikan, agar tidak memikul dosa mereka dan dosa para penonton, seperti yang difirmankan Allah Swt:
 “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (Qs. An-Nahl [16]: 25).
21 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 319 – 320.


12.    Kumur-Kumur dan Istinsyaq Bagi Orang Yang Berpuasa
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa kumur-kumur atau Istinsyaq dalam Wudhu’ berpengaruh terhadap sahnya puasa, sejauh mana kebenaran pendapat ini?
Jawaban:
Kumur-kumur dan Istinsyaq dalam wudhu’ adalah sunnat menurut Mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Wajib menurut Mazhab Imam Ahmad yang menganggapnya sebagai bagian dari membasuh wajah yang merupakan perintah. Apakah sunnat atau wajib, tidak selayaknya ditinggalkan ketika berwudhu’, apakah ketika berpuasa atau pun ketika tidak berpuasa.
Bagi muslim ketika sedang berpuasa agar tidak terlalu berlebihan dalam berkumur-kumur dan Istinsyaq, tidak seperti saat tidak berpuasa. Dalam hadits disebutkan:
 “Apabila engkau istinsyaq maka lebihkanlah, kecuali jika engkau berpuasa”. (HR. Asy-Syafi’i, Ahmad, imam yang empat dan al-Baihaqi). Jika seorang yang berpuasa berkumur-kumur atau melakukan istinsyaq ketika berwudhu’, lalu air termasuk ke kerongkongannya tanpa sengaja dan tidak karena sikap berlebihan, maka puasanya tetap sah, sama seperti masuknya debu jalanan atau butiran tepung atau lalat terbang dan masuk ke kerongkongannya, karena semua itu kekeliruan yang tidak dianggap. Meskipun sebagian imam berbeda pendapat dengan ini.
Kumur-kumur yang bukan karena berwudhu’ juga tidak mempengaruhi sahnya puasa, selama air tidak sampai ke dalam perut. Wallahu a’lam.
22 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 311.


13.    Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?
Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
 “Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
 “Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
 “Rasulullah Saw mengucapkan salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
23 Fatawa al-Azhar, juz. VIII, hal. 464 [Maktabah Syamilah].



14.    Perempuan ke Masjid Melaksanakan Shalat Tarawih
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Sebagian kaum muslimah rajin melaksanakan shalat Tarawih di masjid, bahkan ada yang pergi ke masjid tanpa izin suami, ada juga yang suara mereka terdengar bercerita di dalam masjid. Apakah hukum shalat mereka? Apakah mereka wajib ke masjid?
Jawaban:
Shalat Tarawih tidak wajib, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Hukumnya sunnat, kedudukannya tinggi dan pahalanya besar di sisi Allah Swt. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw memerintahkan mereka dengan tekad yang kuat, kemudian Rasulullah Saw bersabda:
 “Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Siapa yang melaksanakan shalat Tarawih dengan khusyu’ dan tenang, penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, melaksanakan shalat Shubuh pada waktunya, maka sungguh ia telah melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan dan ia layak mendapatkan balasan pahala orang-orang yang menghidupkan malam-malam Ramadhan.
Ini mencakup laki-laki dan perempuan. Hanya saja shalat perempuan lebih afdhal di rumah daripada di masjid, selama kepergiannya ke masjid itu tidak ada manfaat lain selain shalat saja, jika ada manfaat lain seperti mendengarkan kajian agama, atau pelajaran ilmu, atau mendengarkan bacaan al-Qur’an dari qari’ yang khusyu’ dan baik, maka kepergiannya ke masjid dengan tujuan-tujuan ini lebih baik dan afdhal. Terlebih lagi kebanyakan suami di zaman ini tidak mengajarkan pendalaman ajaran Islam kepada istri mereka, andai mereka memiliki kemauan, mereka tidak memiliki kemampuan di bidang pengetahuan agama Islam. Maka hanya masjidlah sumber utama untuk itu, oleh sebab itu wanita mesti diberi kesempatan, tidak boleh dihalangi antara wanita dan rumah Allah Swt. Apalagi banyak wanita jika dibiarkan menetap di rumah, mereka tidak ada kemauan untuk melaksanakan shalat Tarawih sendirian di rumah, berbeda jika berada di masjid dan dilaksanakan secara berjamaah.
Keluarnya wanita dari rumah –meskipun ke masjid- mesti ada izin dari suami, karena suami adalah kepala rumah tangga, penanggung jawab keluarga. Wajib patuh kepada suami, selama tidak memerintahkan meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan maksiat, jika demikian maka tidak wajib mendengarkan perintahnya dan tidak wajib mematuhinya.
Laki-laki tidak berhak melarang istrinya pergi ke masjid jika istrinya ingin pergi ke masjid, tidak ada larangan tentang itu. Imam Muslim meriwayatkan:
 “Janganlah kamu larang perempuan-perempuan hamba-hamba Allah Swt (ke) masjid-masjid rumah-rumah Allah Swt”.
Yang mencegah menurut syariat Islam, misalnya suami dalam keadaan sakit, sangat membutuhkan agar istri tetap berada di rumahnya melayani dan melaksanakan semua kebutuhan suami. Atau ada anak-anak kecil yang mendatangkan mudharat jika ditinggalkan di rumah selama shalat dan tidak ada yang menjaga mereka, dan uzur-uzur lainnya yang masuk akal.
Jika anak-anak menimbulkan keributan di masjid, mengganggu orang-orang yang shalat karena menangis dan berteriak-teriak, maka selayaknya anak-anak tidak dibawa ketika shalat. Karena hal itu, meskipun dibolehkan pada shalat lima waktu karena waktunya singkat, tidak layak dilakukan pada shalat Tarawih karena waktunya panjang dan anak-anak tidak sabar terhadap ibu mereka pada waktu yang lama tersebut.
Adapun wanita bercerita di dalam masjid, sama seperti laki-laki, tidak boleh mengeraskan suara kecuali jika dibutuhkan untuk itu. Terlebih lagi cerita-cerita urusan dunia. Masjid didirikan bukan untuk itu, akan tetapi untuk ibadah dan ilmu.
Wanita yang memiliki semangat untuk menjalankan agama agar menjaga lidahnya di rumah Allah Swt agar tidak mengganggu orang yang melaksanakan shalat atau majlis ilmu. Jika perlu untuk bicara, maka hendaklah dengan suara yang pelan dan sesuai kebutuhan. Tidak keluar dari sikap menjaga harga diri dalam hal bicara, pakaian dan cara berjalan.
Disini saya ingin menyampaikan kalimat yang santun bahwa sebagian suami terlalu cemburu kepada istri sehingga menekan, tidak mendukung sikap perempuan pergi ke masjid, meskipun ada dinding yang tinggi yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan, yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw dan para shahabatnya, dinding yang dapat menghalangi perempuan mengetahui gerakan imam melainkan dengan suara dan pendengaran. Ada sebagian laki-laki yang tidak mau bercerita di masjid, mereka tidak mengizinkan orang lain membisikkan satu kata ke telinga istrinya, meskipun itu dalam urusan agama. Ini adalah sikap yang kurang santun, cemburu yang dicela sebabagaimana yang dinyatakan dalam hadits:
 “Sesungguhnya sebagian dari cemburu itu ada yang disukai Allah Swt dan ada pula yang dimurkai Allah Swt”, yaitu cemburu yang bukan pada sesuatu yang meragukan.
Kehidupan moderen telah membuka banyak pintu bagi perempuan. Perempuan bisa keluar rumah ke sekolah, kampus, pasar dan lainnya. Akan tetapi tetap dilarang untuk pergi ke tempat yang paling baik dan paling utama yaitu masjid. Saya menyerukan tanpa rasa sungkan, “Berikanlah kesempatan kepada perempuan di rumah Allah Swt, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan, mendengarkan nasihat dan mendalami agama Islam. Boleh memberikan kesempatan bagi mereka selama tidak dalam perbuatan maksiat dan sesuatu yang meragukan. Selama kaum perempuan keluar rumah dalam keadaan menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari fenomena Tabarruj (bersolek ala Jahiliah) yang dimurkai Allah Swt”. Walhamdu lillah Rabbil’alamin.
24 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 316 – 318.


15.    Dzikir Diantara Shalat Tarawih
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Mereka yang melaksanakan shalat Tarawih berjamaah membaca beberapa zikir yang dibaca di sela-sela dua atau empat rakaat Tarawih. Sebagian orang menganggap ini perbuatan bid’ah, tidak disyariatkan. Apa pendapat Islam dalam masalah ini?
Jawaban:
Tidak ada nash yang melarang zikir atau doa atau membaca al-Qur’an di sela-sela antara dua atau empat rakaat Tarawih, masuk dalam perintah berzikir yang bersifat umum di semua kondisi. Bahwa kalangan Salaf tidak melakukannya, tidak berarti larangan, disamping itu riwayat yang mengatakan bahwa mereka melarang adalah riwayat yang tidak terpercaya. Pemisah antara dua atau empat rakaat tersebut sama seperti apa yang dilakukan penduduk Mekah, mereka melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua istirahat (shalat Tarawih), itulah yang membuat orang-orang Madinah menambah jumlah rakaat Tarawih mereka lebih dari dua puluh rakaat untuk mengganti Thawaf tersebut. Itu hanyalah cara pengaturan untuk mengetahui jumlah berapa rakaat yang telah mereka laksanakan, disamping untuk memberikan semangat kepada orang-orang yang melaksanakan shalat Tarawih, tidak ada larangan sama sekali, dan tidak pula termasuk dalam istilah bid’ah. Nash-nash secara umum tidak mendukung pendapat yang melarang dan tidak pula menentang. Andai pun disebut bid’ah, maka tergolong apa yang dikatakan Umar ra, “Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini”, ketika beliau menyaksikan kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat Tarawih di belakang Ubai bin Ka’ab.


16.    Melaksanakan Shalat Tarawih Terlalu Cepat
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum melaksanakan shalat Tarawih terlalu cepat?
Jawaban:
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
 “Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”. Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan. Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan. Akan tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab dan batasannya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukum dari rukun shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud. Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Kembalilah, shalatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum shalat”. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata:
 “Ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau i’tidal berdiri. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah hingga thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah itu dalam semua shalatmu”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).
Thuma’ninah dalam semua rukun adalah syarat yang mesti ada. Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:
 “Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”.
Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud kira-kira tiga kali Tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih. Allah Swt berfirman:
 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun [23]: 1 – 2).
Khusyu’ ada dua jenis:
Khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.
Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti menolehnya srigala. Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam. Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.
Makna khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:
 “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab:
 “Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
 “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab:
 “Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
 “Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt menjawab:
 “Hamba-Ku memuliakan-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
 “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt menjawab:
 “Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
 “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6 – 7). Allah Swt menjawab:
 “Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).
Allah Swt tidak terasing dari orang yang sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt, menghadirkan hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap waktu shalat dan dalam setiap rukun shalat. Orang-orang yang shalat dan hanya memikirkan ingin segera selesai melaksanakan shalat dan melemparkan shalat seakan-akan shalat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang diharapkan. Banyak orang yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja. Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya. Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits:
 “Shalat itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau disia-siakan Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”. Shalat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku”.
Nasihat saya kepada para imam dan mereka yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat. Yang dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya. Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya. Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa. Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyu’.
25 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 321.


  
17.     Zikir Dengan Suara Jahr
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah zikir dengan suara jahr itu bid’ah?
Jawaban:
Dianjurkan bertasbih dan lainnya dengan suara sedang, demikian menurut mayoritas Fuqaha’ (ahli Fiqh), berdasarkan firman Allah Swt:
 “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Qs. Al-Isra’ [17]: 110). Rasulullah Saw melakukan itu.
Diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Rasulullah Saw keluar pada suatu malam, beliau dapati Abu Bakar sedang shalat dengan merendahkan suaranya. Rasulullah Saw lewat, beliau dapati Umar sedang shalat menyaringkan suaranya. Ketika mereka berdua berkumpul bersama Rasulullah Saw, beliau berkata, “Wahai Abu Bakar, aku lewat ketika engkau sedang shalat, mengapa engkau merendahkan suaramu?”. Abu Bakar menjawab, “Aku telah memperdengarkan Dia yang aku seru wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw menjawab, “Keraskanlah sedikit”. Rasulullah Saw berkata kepada Umar, “Aku lewat ketika engkau sedang shalat, mengapa engkau mengeraskan suaramu?”. Umar menjawab, “Wahai Rasulullah Saw, aku membangunkan orang yang tidur dan mengusir setan”. Rasulullah Saw berkata, “Rendahkanlah sedikit suaramu”. (HR. Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Sebagian Salaf menganjurkan menyaringkan suara ketika membaca takbir dan zikir setelah shalat wajib. Mereka berdalil dengan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
 “Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat ketika aku mendengar (mereka berzikir dengan suara nyaring)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Karena menyaringkan suara ketika berzikir itu lebih banyak dalam pengamalan dan lebih merenungkan makna, manfaatnya untuk menyadarkan hati orang-orang yang lalai.
Pendapat yang paling baik dalam masalah ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh pengarang Maraqi al-Falah setelah menggabungkan hadits-hadits dan pendapat para ulama yang berbeda pendapat antara keutamaan sirr dan jahr dalam masalah zikir dan doa, beliau berkata, “Itu berbeda sesuai pribadi masing-masing, kondisi, waktu dan tujuan. Jika khawatir riya’ atau mengganggu orang lain, maka lebih afdhal dengan cara sirr. Ketika seseorang merasa kehilangan apa yang sedang ia zikirkan, maka lebih afdhal dengan cara jahr”.
Dengan demikian maka zikir dengan cara jahr bukanlah perbuatan bid’ah dan boleh dilakukan. Bahkan terkadang lebih menguatkan hati dan lebih membuat konsentrasi, jika terhindar dari riya’. Wallahu a’lam.
26 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 227.


18.    Zikir Bersama
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum berkumpul untuk melakukan zikir bersama dalam sebuah halaqah (lingkaran)?
Jawaban:
Berkumpul untuk melakukan zikir dalam sebuah halaqah (lingkaran) adalah Sunnah berdasarkan dalil-dalil. Allah Swt memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia:
 “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”. (Qs. Al-Kahf [18]: 28).
Rasulullah Saw bersabda:
 “Sesungguhnya ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke langit dunia. Sampai pada, Allah Swt berfirman:
 “Aku persaksikan kepada kamu bahwa Aku telah mengampuni mereka”. Malaikat diantara mereka berkata, “Si fulan bukan bagian dari mereka, ia datang hanya karena ada suatu keperluan”. Allah Swt berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak menyengsarakan sahabat-sahabat yang duduk bersama mereka”. (HR. al-Bukhari).
Dari Mu’awiyah, bahwa Rasulullah Saw melewati lingkaran zikir para shahabatnya, ia bertanya, “Apa yang membuat kamu duduk?”. Mereka menjawab, “Kami duduk berzikir mengingat Allah Swt dan memuji-Nya atas hidayah-Nya kepada kami untuk memeluk Islam dan karunia-Nya kepada kami”. Sampai pada ucapan Rasulullah Saw:
 “Malaikat Jibril telah datang kepadaku, ia memberitahukan bahwa Allah Swt membanggakan kamu kepada para malaikat”. (HR. Muslim).
Imam an-Nawawi menempatkan hadits pertama dalam satu bab dalam kitab Riyadh ash-Shalihin, Bab: fadhl hilaq adz-dzikr (Bab: Halaqah-Halaqah Zikir). Zikir menurut syariat Islam mengandung banyak makna, diantaranya: pemberitahuan murni tentang dzat Allah Swt atau sifat-Nya atau perbuatan-Nya atau hukum-hukum-Nya, atau dengan membaca kitab suci-Nya, atau memohon kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, atau memuji dan mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya, memuji-Nya, bersyukur dan mengagungkan-Nya. Tidak ada dalil bagi mereka yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan halaqah-halaqah zikir di sini adalah majlis ilmu.
Imam ash-Shan’ani menyebutkan hadits Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
 “Tidaklah sekelompok orang berzikir mengingat Allah Swt, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah Swt meliputi mereka, turun ketenangan kepada mereka dan Allah Swt menyebut mereka kepada yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim). Kemudian Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan majlis-majlis zikir dan orang-orang yang berzikir. Keutamaan berkumpul untuk berzikir. Imam al-Bukhari meriwayatkan:
 “Sesungguhnya ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke langit dunia. Ini adalah keutamaan majlis-majlis zikir yang dihadiri para malaikat setelah para malaikat itu mencari dan menemukan majlis-majlis zikir.
Yang dimaksud dengan zikir disini adalah tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an dan sejenisnya. Dalam hadits al-Bazzar disebutkan:
 “Allah Swt bertanya kepada para malaikat-Nya, “Apa yang dilakukan hamba-hamba-Ku?”. Allah Swt Maha Mengetahui tentang mereka. Para malaikat menjawab, “Mereka mengagungkan nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu dan memohon kepada-Mu untuk akhirat dan dunia mereka”. Zikir yang sebenarnya adalah zikir di lidah, orang yang mengucapkannya akan mendapatkan balasan pahala, tidak disyaratkan menghadirkan maknanya, yang disyaratkan hanyalah agar tidak bertujuan selain zikir kepada Allah Swt. Jika zikir lisan ditambah dengan zikir hati, maka itu lebih sempurna. Jika ditambah lagi dengan menghadirkan makna zikir, mencakup pengagungan Allah Swt, menafikan kekurangan, maka bertambah sempurna. Jika itu dilakukan dalam amal shaleh yang diwajibkan seperti shalat, atau jihad atau yang lain, maka lebih sempurna. Jika arahnya benar dan ikhlas hanya karena Allah Swt, maka itulah tingkat teratas dari kesempurnaan. Subul as-Salam karya Imam ash-Shan’ani, juz. 2, hal. 700.
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa berkumpul untuk berzikir mengingat Allah Swt, membaca al-Qur’an, mengkaji ilmu, tasbih, tahlil dan tahmid adalah sunnah yang dianjurkan Allah Swt dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya yang shahih dan jelas. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
27 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 229.


19.    Bersalaman Selesai Shalat
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai shalat?
Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi). Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).
Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
 “Saya masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim). Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban). Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
 “Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).
Adapun bersalaman setelah selesai shalat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya. Bersalaman selesai shalat itu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salamannya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).
Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan pendapat ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).
Mereka berpendapat bahwa bersalaman setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:
 “Rasulullah Saw pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).
Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat ‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah mubahah itu memiliki beberapa contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).
Imam an-Nawawi berkata, “Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
28 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262


20.  Mengangkat Tangan Ketika Berdoa
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Mengapa tangan diangkat keatas ketika berdoa?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
 “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat, beliau dari Mekah menuju Madinah, beliau berada diatas hewan tunggangannya sesuai arahnya. Lalu turun ayat:
 “Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Ini berlaku pada shalat Sunnat. Maknanya bahwa semua arah milik Allah Swt, siapa yang mengarah kemana saja dalam ibadahnya, maka Allah Swt memperhatikan dan mengetahuinya. Yang dimaksud dengan wajah Allah Swt adalah Dzat Allah Swt, karena wajah mengungkapkan tentang Dzat, karena wajah adalah anggota tubuh yang paling mulia (pada makhluk), sama seperti firman Allah Swt:
 “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah”. (Qs. Al-Insan [67]: 9). Maksudnya, kami beramal hanya mengharapkan Allah Swt semata, bukan kepada yang lain diantara makhluk-Nya. Artinya, kami mengesakan-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kami beramal ikhlas, tidak riya’ dalam amal kami.
Diantara ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah doa. Ketika seorang manusia menghadap kepada Tuhannya kearah mana pun, maka sesungguhnya Allah Swt ada, tidak pernah sirna. Allah Swt Maha Mengetahui, tidak pernah lalai. Allah Swt Maha Dekat, tidak pernah jauh. Artinya, meskipun kedudukan Allah Swt Maha Tinggi, akan tetapi Allah Swt Maha Dekat dengan manusia dengan pengetahuan-Nya:
 “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Mujadilah [58]: 7). Oleh sebab itu Allah Swt berfirman:
 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 186). Karena dekat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka tidak perlu berteriak ketika berdoa kepada-Nya, karena sesungguhnya Ia mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Allah Swt berfirman:
 “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Jika telah jelas bahwa Allah Swt Maha Dekat dengan hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya, maka pada waktu yang sama Allah Swt berada di tempat yang Maha Tinggi dan Agung yang hanya layak bagi kemuliaan-Nya, terlihat jelas makna mengulurkan kedua tangan ketika berdoa, memohon dan mengharap kebaikan-Nya, seakan-akan Allah Swt Yang Maha Tinggi berada di hadapan orang yang berdoa yang berada di bawah yang menengadahkan kedua tangannya. Tangan yang memberi berada diatas dan yang menerima berada di bawah. Gambaran berhadapan ini yang diisyaratkan Rasulullah Saw dalam sabdanya:
 “Apabila salah seorang kamu sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah ia meludah kearah depan dan ke kanannya”. (HR. Muslim). Rasulullah Saw juga bersabda:
 “Mengapa salah seorang kamu berdiri menghadap Tuhannya, lalu ia meludah kearah depannya. Apakah salah seorang kamu suka jika ia dihadapi (seseorang), kemudian diludahi pada wajahnya?!”. (HR. Muslim).
Menengadahkan tangan ketika berdoa adalah ungkapan biasa diantara sesama manusia ketika meminta dari bawah ke atas, memohon dan merendahkan diri. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, ketika shalat Istisqa’ maupun lainnya. Imam al-Bukhari menyebutkan beberapa hadits tentang itu di akhir kitab ad-Da’awat. Imam al-Mundziri menyusun satu juz tentang masalah ini. Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Riwayat-riwayat tentang ini sangat banyak dan tidak terhitung. Saya telah mengumpulkan lebih kurang tiga puluh hadits dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim atau salah satunya. Saya sebutkan di akhir bab sifat shalat dalam Syarh al-Muhadzdzab”. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 9).
Diantara hadits-hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata, “Rasulullah Saw berdoa, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya. Saya melihat putihnya kedua ketiak Rasulullah Saw”. Juga hadits yang diriwayatkan Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Salman al-Farisi bahwa Rasulullah Saw bersabda:
 “Sesungguhnya Tuhan kamu Maha Mulia dan Tinggi, Ia Maha Hidup dan Agung, Ia malu kepada hamba-Nya apabila hamba itu mengangkat kedua tangannya kepada-Nya dan membiarkannya kembali dalam keadaan kosong”. (At-Targhib wa at-Tarhib, juz. II, hal. 195).
Berdasarkan ini maka para ulama berpendapat tentang disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa, bahkan dianjurkan, mengikuti Rasulullah Saw. Hanya saja sekelompok orang memakruhkan mengangkat tangan selain Istisqa’ berdasarkan hadits Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangannya dalam doanya kecuali pada Istisqa’ ia mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Para ulama yang membolehkan mengangkat tangan pada selain Istisqa’ menolak pendapat mereka dengan menyatakan bahwa Anas tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan tidak berarti bahwa shahabat yang lain tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan ketika berdoa, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits shahih. Hadits yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada hadits yang menafikan. Atau makna hadits riwayat Anas diatas adalah mengangkat tangan sangat tinggi hingga terlihat putih kedua ketiaknya, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya, akan tetapi tidak terlalu tinggi, misalnya Rasulullah Saw hanya sekedar mengangkat tangan sewajarnya ketika berdoa (tidak seperti saat Istisqa’).
Sebagian yang lain memakruhkan mengangkat tangan secara mutlak, baik ketika Istisqa’ maupun dalam kondisi lain, berdasarkan hadits Muslim dari ‘Imarah bin Ruwaibah, ia melihat Bisyr bin Marwan diatas mimbar mengangkat kedua tangannya. Maka ia berkata, “Allah Swt melaknat kedua tangan ini, saya telah melihat Rasulullah Saw, beliau hanya berkata dan tidak lebih dari menunjuk dengan tangannya seperti ini”. Ia menunjuk dengan jarinya. (Tafsir al-Qurthubi, juz. VII, hal. 255). Pendapat mereka ditolak seperti penolakan diatas. Imam al-Qurthubi berkata, “Doa itu baik bagaimanapun cara yang mudah dilakukan. Yang dituntut dari seseorang adalah memperlihatkan diri dalam kondisi butuh dan berhajat kepada Allah Swt, bersikap merendahkan diri kepada-Nya. Jika ia mau maka ia bisa menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Jika tidak, maka tidak mengapa. Rasulullah Saw melakukan itu seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Allah Swt berfirman:
 “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Tidak disebutkan mengangkat kedua tangan dan lainnya. Allah Swt berfirman:
 “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 191). Allah Swt memuji mereka, tidak disyaratkan seperti diatas. Rasulullah Saw berdoa dalam khutbah Jum’at tanpa menghadap kiblat.
Demikian juga riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu terhadap apa yang dilakukan Khalid”. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Umar, “Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa pada perang Badar”.
Menurut pendapat yang mensyariatkan mengangkat kedua tangan ketika berdoa, diriwayatkan beberapa cara mengangkat tangan, diantaranya mengarahkan punggung telapak tangan kearah kiblat ketika orang yang berdoa tersebut mengharap kiblat, sedangkan telapak tangan kearah wajah orang yang berdoa. Ada juga riwayat yang menyebut sebaliknya. Juga dengan cara telapak tangan keatas dan punggung telapak tangan kearah bawah. Juga terdapat riwayat yang menyebut sebaliknya. Ini dalam Istisqa’, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 9).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari, “Para ulama berpendapat bahwa sunnat dalam setiap doa untuk menolak bala agar seseorang mengangkat kedua tangannya, bagian punggung telapak tangannya kearah langit. Jika berdoa untuk mendapatkan sesuatu, maka telapak tangannya kearah langit. Demikian dinyatakan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, beliau riwayatkan dari sekelompok ulama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hikmah memperlihatkan punggung telapak tangan dalam Istisqa’ -tidak demikian pada doa lain- agar keadaan berbalik, sebagaimana pendapat tentang Rasulullah Saw merubah posisi selendangnya.
Demikianlah, makruh hukumnya melihat ke langit ketika berdoa, berdasarkan hadits Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah Saw berkata, “Hendaklah mereka berhenti mengangkat pandangan mereka keatas ketika berdoa dalam shalat, atau Allah Swt akan mencabut pandangan mereka”. Ada yang memahami larangan ini berlaku dalam shalat, sedangkan di luar shalat tidak ada larangan berdasarkan riwayat al-Bukhari, dalam riwayat tersebut dinyatakan, “Rasulullah Saw melihat ke langit”. Itu terjadi pada Istisqa’. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 10).
Mengusap wajah dengan kedua tangan setelah mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Riwayat ini dari Umar bin al-Khaththab, ia berkata, “Apabila Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, beliau tidak menurunkan kedua tangannya hingga mengusapkannya ke wajahnya”. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Gharib”. Artinya, diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Dari Ibnu Abbas terdapat riwayat yang sama seperti ini, sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud. Imam an-Nawawi berkata, “Dalam sanadnya terdapat dha’if”. Al-Adzkar karya
Imam an-Nawawi, hal. 399. Dalam Bulugh al-Maram Syarh Subul as-Salam, juz. 4, hal. 219 karya al-Hafizh Ibnu Hajar disebutkan setelah beliau menyebutkan riwayat Umar, “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Terdapat beberapa hadits lain yang semakna dengannya. Disebutkan Abu Daud dari hadits Ibnu Abbas dan lainnya. Secara keseluruhan maka hadits tersebut adalah hadits hasan. Hadits tentang ini tidak shahih, akan tetapi dha’if. Akan tetapi beberapa hadits lain yang semakna denganya mengangkat derajatnya menjadi hadits hasan, maka dapat diterima.
Kami ulangi lagi bahwa menengadahkan tangan ketika berdoa sama seperti seorang yang fakir memohon kepada orang yang kaya dan ia sangat membutuhkan, bahkan mungkin ia akan berlutut, dengan posisi seperti itu ia ingin mendapatkan kelembutan dari orang yang ia harapkan. Dalam kondisi merendahkan diri, mengangkat kedua tangan keatas mengharapkan kebaikan. Maka seorang muslim yang berdoa kepada Tuhannya, ia mengangkat kedua tangannya sebagai bukti kepatuhannya dan ia sangat butuh kepada Allah Swt. Oleh sebab itu Rasulullah Saw melakukannya dan bersikap lebih dari itu pada Istisqa’. Namun bukanlah berarti bahwa Allah Swt berada di langit, Maha Suci Allah Swt yang disucikan dari bertempat pada sesuatu. Akan tetapi bukti keagungan kedudukan-Nya.
Dalam al-Adzkar karya Imam an-Nawawi disebutkan tentang mengangkat kedua tangan dan mengusapkannya ke wajah, ada tiga pendapat menurut Mazhab Syafi’i: yang paling shahih dianjurkan mengangkat kedua tangan dan tidak mengusap wajah. Kedua, mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah. Ketiga, tidak mengangkat tangan dan tidak mengusap wajah.
29 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 12 [Maktabah Syamilah].


21.    Doa Qunut
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adakah lafaz-lafaz tertentu?
Jawaban:
Qunut adalah doa yang disyariatkan dalam semua shalat lima waktu ketika terjadi bencana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw melaksanakan Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan. Beliau mendoakan (laknat) kawasan Bani Sulaim; Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah, karena mereka telah membunuh sebagian shahabat yang dikirim untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa jika Rasulullah Saw ingin mendoakan yang tidak baik (laknat) atau yang baik untuk seseorang, beliau membaca doa Qunut setelah ruku’. Dalam riwayat ini disebutkan, “Rasulullah Saw mengucapkannya dengan suara terdengar (jahr). Beliau mengucapkan dalam sebagian shalatnya dan dalam shalat Shubuh:
 “Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”, dua kawasan Arab. Hingga Allah Swt menurunkan ayat:
 “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
Berdasarkan ini maka doa Qunut dalam shalat Shubuh disyariatkan ketika terjadi bencana, sama seperti shalat-shalat yang lain. Adapun ketika tidak terjadi bencana, maka ada beberapa pendapat Fuqaha’ (ahli Fiqh) secara ringkas.

Mazhab Hanafi dan Hanbali: tidak disyariatkan. Mereka berdalil dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dari Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh, kecuali untuk mendoakan yang baik atau yang tidak baik (laknat) untuk mereka”.

Mazhab Maliki dan Syafi’i: disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat jamaah ahli hadits, kecuali Imam at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya, “Apakah Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh?”. Beliau menjawab, “Ya”. Dan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, dari Anas, ia berkata, “Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”.
Pembahasan dalil-dalil ini dan penjelasan tarjih-nya dapat merujuk kitab Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim yang setelah membahas beberapa riwayat beliau menjelaskan bahwa ahli hadits bersikap pertengahan antara mereka yang mengingkari Qunut secara mutlak bahkan ketika terjadi bencana dan diantara mereka yang menganggap baik Qunut secara mutlak, baik ketika terjadi bencana atau pun tidak terjadi bencana. Ahli hadits tidak mengingkari orang-orang yang terus menerus berqunut dan tidak membenci perbuatan mereka tersebut, mereka tidak menganggapnya sebagai bid’ah dan pelakunya tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah. Ahli hadits juga tidak mengingkari orang-orang yang mengingkari Qunut meskipun ketika terjadi bencana. Ahli hadits tidak menganggap orang-orang yang tidak mau berqunut itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Akan tetapi, siapa yang berqunut, maka ia telah berbuat baik dan orang yang tidak mau berqunut juga telah berbuat baik, ini termasuk khilaf yang dibolehkan, khilaf yang tidak perlu bersikap keras di dalamnya, apakah melakukannya atau pun tidak melakukannya. Sama seperti masalah apakah mengangkat kedua tangan atau tidak mengangkat kedua tangan dalam shalat. Saya katakan, “Khilaf dalam masalah ini sangat sederhana, khilaf dalam masalah sunnat, bukan wajib dan agama itu memberikan kemudahan”.
Imam Ahmad dan beberapa pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i bahwa ia mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia melaksanakan shalat Shubuh di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan Ali, semua mereka tidak berqunut. Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat digabungkan antara riwayat-riwayat yang menyatakan adanya Qunut Shubuh dan riwayat-riwayat yang menafikannya, bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat ini terkadang berqunut dan terkadang tidak berqunut, karena Qunut itu sunnat , bukan wajib. Sebagaimana diketahui bersama bahwa riwayat yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada riwayat yang menafikan. Jika sebagian shahabat tidak berqunut karena karena tidak melihat Rasulullah Saw berqunut, maka sesungguhnya tidak melihat itu tidak menunjukkan nafi secara mutlak. Ibnu Hazm menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud yang tidak berqunut, ia tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan dua tangan diatas lutut ketika ruku’. Dan Ibnu Umar yang menyatakan tidak mendapatkan riwayat dari salah seorang shahabat tentang Qunut Shubuh, sebagaimana riwayat al-Baihaqi, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap dua sepatu Khuff.
Ini tentang Qunut Shubuh, adapun Qunut Witir, maka hukumnya sunnat menurut Mazhab Syafi’i, dibaca pertengahan kedua di bulan Ramadhan. Adapun selain waktu ini, terdapat perbedaan pendapat:

Mazhab Hanbali: Qunut itu sunnat pada shalat Witir pada satu rakaat, di sepanjang tahun.

Mazhab Maliki dan Syafi’i: tidak disunnatkan. Satu riwayat dari Imam Ahmad juga menyatakan demikian.

Mazhab Hanafi: sunnat dilakukan sepanjang tahun.
Ibnu Taimiah berkata dalam Majmu’ Fatawa, jilid 22, halaman 264 – 269: adapun Qunut Witir, ada tiga pendapat ulama:
Pertama, tidak dianjurkan sama sekali, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut dalam shalat Witir.
Kedua, dianjurkan di sepanjang tahun, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam kitab-kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa kepada al-Hasan bin Ali, doa yang dibaca dalam Qunut Witir.
Ketiga, Qunut dibaca pada pertengahan kedua (akhir) Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubai bin Ka’ab.
Qunut Nawazil disyariatkan dalam shalat selain shalat Shubuh. Imam an-Nawawi berkata –beliau bermazhab Syafi’i-, “Dalam masalah ini ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa Qunut Nawazil disyariatkan dalam semua shalat, selama ada bencana. Jika tidak ada bencana, maka tidak dibaca doa Qunut Nawazil. Menurut Mazhab Maliki, jika dibaca, maka shalat tidak batal, hanya makruh.
Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, demikian menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali dan dalam satu riwayat dari Imam Ahmad beliau berkata, “Menurut saya setelah ruku’. Jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak mengapa”.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi: Qunut Nawazil dibaca sebelum ruku’.
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut boleh dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
 “Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha Pengampun”.

Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
 “Ya Allah, berilah hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih baik daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
 “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu. Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai orang-orang kafir”.
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan. Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
30 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 5 [Maktabah Syamilah].


22.  Dua Kali Witir dan Qadha’ Witir
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada dua Witir dalam satu malam”? apakah shalat Witir bisa di-qadha’ jika tertinggal?
Jawaban:
Ya, Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, sesungguhnya Ali ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
 “Tidak ada dua Witir dalam satu malam”.
Imam Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan shalat dua rakaat setelah shalat Witir, beliau laksanakan dalam keadaan duduk”.
Para ulama berpendapat: siapa yang melaksanakan shalat Witir setelah shalat Isya’, kemudian ia ingin melaksanakan Qiyamullail, maka ia boleh melaksanakan shalat malam sebanyak mungkin, akan tetapi ia tidak boleh lagi melaksanakan shalat Witir, karena ia telah melaksanakan shalat Witir sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa shalat Witir dapat dilaksanakan kapan saja pada waktu malam, setelah shalat Isya’ hingga terbit fajar (shalat Shubuh). Jika seseorang khawatir tertinggal melaksanakan shalat Witir, maka dianjurkan agar ia melaksanakannya di awal malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah:
 “Siapa yang khawatir tidak terbangun di akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di awal malam. Siapa yang sangat ingin bangun tengah malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (para malaikat) dan itu lebih utama”. Makna Masyhudah adalah disaksikan para malaikat.
Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar ra, “Kapankah engkau melaksanakan shalat Witir?”. Beliau menjawab, “Di awal malam, setelah shalat Isya’.” Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Umar ra, ia menjawab, “Di akhir malam”. Rasulullah Saw berkata, “Adapun engkau wahai Abu Bakar, engkau bersikap hati-hati. Sedangkan engkau wahai Umar, engkau bersikap kuat”. Maknanya tekad yang kuat untuk bangun melaksanakan Qiyamullail. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, menurut syarat Muslim.
Demikianlah, jika shalat Witir tertinggal, maka dapat di-qadha’, demikian menurut jumhur ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, menurut syarat al-Bukhari dan Muslim:
 “Apabila salah seorang kamu bangun pada waktu shubuh, ia belum melaksanakan Witir, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir”. Abu Daud meriwayatkan:
 “Siapa yang tertidur (hingga tidak melaksanakan) shalat Witir, atau terlupa. Maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya”. Sanadnya shahih, demikian dinyatakan oleh al-‘Iraqi.
Waktu meng-qadha’ shalat Witir terbuka, malam atau pun siang, demikian menurut Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah melarang pelaksanaannya pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan shalat. Imam Malik dan Ahmad berkata, “Di-qadha’ setelah fajar, selama belum melaksanakan shalat Shubuh”.
31 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 154 [Maktabah Syamilah],


23.  Bacaan Ayat Dalam Shalat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw memilih surat atau ayat tertentu pada shalat lima waktu atau shalat sunnat?
Jawaban:
Dalam kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi disebutkan bahwa sunnat dibaca –setelah al-Fatihah- pada shalat Shubuh dan Zhuhur adalah Thiwal al-Mufashshal artinya surat-surat terakhir dalam mush-haf. Diawali dari surat Qaf atau al-Hujurat, berdasarkan khilaf yang ada, mencapai dua belas pendapat tentang penetapan surat-surat al-Mufashshal. Surat-surat al-Mufashshal ini terdiri dari beberapa bagian, ada yang panjang hingga surat ‘Amma (an-Naba’), ada yang pertengahan hingga surat adh-Dhuha dan ada pula yang pendek hingga surat an-Nas.
Pada shalat ‘Ashar dan ‘Isya’ dibaca Ausath al-Mufashshal (bagian pertengahan). Pada shalat Maghrib dibaca Qishar al-Mufashshal (bagian pendek).
Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat pertama pada hari Jum’ar surat Alif Lam Mim as-Sajadah, pada rakaat kedua surat al-Insan. Pada rakaat pertama shalat Jum’at sunnah dibaca surat al-Jumu’ah dan rakaat kedua surat al-Munafiqun. Atau pada rakaat pertama surat al-A’la dan rakaat kedua surat al-Ghasyiyah.
Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat pertama surat al-Baqarah ayat 136 dan rakaat kedua surat Al ‘Imran ayat 64. Ada pada rakaat pertama surat al-Kafirun dan rakaat kedua surat al-Ikhlas, keduanya shahih. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw melakukan itu.
Dalam shalat sunnat Maghrib, dua rakaat setelah Thawaf dan shalat Istikharah Rasulullah Saw membaca surat al-Kafirun pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Pada shalat Witir, Rasulullah Saw membaca surat al-A’la pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada rakaat kedua, surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas pada rakaat ketiga. Imam Nawawi berkata, “Semua yang kami sebutkan ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan selainnya adalah hadits-hadits masyhur”.Perlu diketahui bahwa pahala sunnat membaca ayat al-Qur’an diperoleh dengan membaca ayat-ayat yang difahami atau sebagian ayat dari suatu surat, atau membaca satu surat atau membaca sebagian surat. Surat yang pendek lebih afdhal daripada beberapa ayat yang dibaca dari surat yang panjang.
Sunnah membaca surat menurut urutan mush-haf, jika tidak sesuai menurut urutan mush-haf maka hukumnya boleh, akan tetapi makruh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Saya tidak menemukan dalil yang menyatakan demikian”.
32 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 166 [Maktabah Syamilah],


24.  Melafalkan Niyat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati. Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya sia-sia?
Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka
menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
33 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 66 [Maktabah Syamilah],


25.  Menyegerakan Pembayaran Zakat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah boleh mengeluarkan zakat sebelum waktunya?
Jawaban:
Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad, boleh mengeluarkan zakat sebelum waktu wajib dikeluarkan, yaitu sebelum Haul pada zakat uang, perdagangan dan hewan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali ra, sesungguhnya Rasulullah Saw mendahulukan zakat al-‘Abbas sebelum waktunya. Meskipun sanad hadits ini dipermasalahkan. Al-Hasan ditanya tentang seseorang yang membayarkan zakatnya untuk tiga tahun, apakah itu sah? Al-Hasan menjawab, “Sah”. Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwa menurutnya seseorang boleh menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum Haul. Imam Malik berkata, “Tidak sah dikeluarkan sebelum Haul (berdasarkan hadits-hadits yang mengaitkan wajibnya zakat dengan Haul, seperti hadits yang diriwayatkan Abu Daud, hadits ini dipermasalahkan ulama). Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri dan Daud berpendapat seperti ini.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab khilaf adalah, apakah zakat itu ibadah atau hak orang-orang miskin? Mereka yang menganggap zakat itu seperti ibadah, mereka menyamakannya dengan shalat, tidak boleh dibayarkan sebelum waktunya. Mereka yang menyamakannya dengan shalat wajib yang memiliki waktu tertentu, mereka membolehkannya dilakukan sebelum waktunya dilihat dari sisi sifat sukarela melaksanakannya”.
Zakat pada umumnya, demikian juga dengan zakat Fitrah, menurut jumhur ulama pembayarannya boleh didahulukan satu atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri, sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Umar. Adapun dibayarkan sebelum itu, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Menurut Abu Hanifah: boleh dibayarkan sebelum bulan Ramadhan.
Menurut Imam Syafi’i: boleh dibayarkan dari sejak awal bulan Ramadhan.
Menurut Imam Malik dan Ahmad: tidak boleh dibayarkan kecuali satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri.
34 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 213 [Maktabah Syamilah],


26.  Mengalihkan Zakat
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tinggal di suatu tempat, taraf hidup masyarakatnya baik, jarang sekali ada fakir miskin yang berhak menerima zakat. Apakah boleh saya bayarkan zakat kepada kerabat saya yang membutuhkan dan mereka tinggal di tempat lain?
Jawaban:
Diriwayatkan oleh sekelompok ahli hadits bahwa ketika Rasulullah Saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Jika mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt mewajibkan zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu diantara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir diantara mereka”.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia diangkat menjadi amil zakat, ketika ia kembali, ia ditanya, “Dimanakah hasil zakat?”. Ia menjawab, “Apakah untuk harta kamu mengutusku? Kami mengambilnya sesuai seperti yang kami lakukan pada masa Rasulullah Saw dan kami membaginya seperti kami membagikannya dulu”.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, bahwa Abu Juhaifah berkata, “Seorang amil zakat pada masa Rasulullah Saw datang kepada kami. Ia mengambil zakat dari orang-orang yang mampu diantara kami dan ia membagikannya kepada orang-orang fakir diantara kami”.
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para fuqaha’ (ahli Fiqh) berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di negeri bersangkutan. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke negeri lain setelah mereka ber-Ijma’ bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya.
Menurut Mazhab Hanafi: makruh mengalihkan zakat, kecuali jika pengalihan tersebut kepada kerabat yang membutuhkan, karena dalam hal itu terkandung menyambung silaturahim, atau kepada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan daripada para fakir di negeri tempat pemungutan zakat, atau pengalihan tersebut mengandung maslahat bagi kaum muslimin, atau dari Darulharb ke Dar Islam, atau pengalihan tersebut untuk para penuntut ilmu, atau zakat tersebut dibayarkan sebelum masanya diwajibkan, artinya dibayarkan sebelum masa Haul. Maka dalam semua kondisi ini tidak dimakruhkan mengalihkan zakat.
Menurut Mazhab Syafi’i: tidak boleh mengalihkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain, wajib dibagi ke negeri tempat zakat tersebut dipungut dari muzakki yang telah sampai Haul. Jika tidak ada mustahik zakat, maka dialihkan ke negeri yang di negeri tersebut terdapat mustahik zakat. Dalil mereka dalam masalah ini adalah hadits Mu’adz diatas. Seperti yang disebutkan Abu ‘Ubaid bahwa Mu’adz datang dari Yaman setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Umar mengembalikannya. Ketika Mu’adz mengirimkan sebagian harta zakat, Umar tidak menerimanya. Umar menolaknya lebih dari satu kali meskipun Mu’adz menjelaskan bahwa tidak ada mustahik zakat yang mengambilnya.
Menurut Mazhab Maliki: tidak mengalihkan zakat ke negeri lain, kecuali jika sangat dibutuhkan, maka Imam mengambil zakat tersebut dan menyerahkannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini berdasarkan pemikiran dan ijtihad, seperti yang mereka nyatakan.
Menurut Mazhab Hanbali: tidak boleh mengalihkan zakat ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak Qashar shalat. Zakat dibagikan di negeri zakat tersebut dikutip dan negeri sekitarnya yang berada di bawah jarak Qashar shalat.
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, “Jika seseorang menentang pendapat ini dan ia mengalihkan zakatnya, zakatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama. Jika seseorang tinggal di suatu tempat dan hartanya di tempat lain, maka zakatnya dibagi di negeri tempat hartanya berada, karena para mustahik di tempat tersebut melihatnya. Jika hartanya berada di beberapa tempat, maka zakatnya ditunaikan di setiap negeri tempat harta tersebut berada. Ini berlaku pada zakat Mal. Sedangkan zakat Fitrah dibagi di tempat orang-orang yang berzakat, karena zakat tersebut adalah zakat dirinya, bukan zakat hartanya. Berdasarkan ini saya nyatakan kepada penanya, jika ada mustahik zakat di tempat ia tinggal, maka zakat dibagikan kepada mustahik yang ada di tempat tersebut, demikian menurut jumhur fuqaha’. Tidak boleh dialihkan ke kerabatnya yang membutuhkan. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan pengalihan zakat disebabkan alas an tersebut, diantaranya adalah untuk silaturahim atau sangat membutuhkan, menurut Abu Hanifah itu boleh dilakukan, ia melihat kepada maslahat yang kuat”. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, juz. II, hal. 531 – 532 dan Nail al-Authar karya asy-Syaukani, juz. IV, hal. 161).
35 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 428 [Maktabah Syamilah].


27.  Zakat Fithrah Dalam Bentuk Uang
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?
Jawaban:
Boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. Ini adalah mazhab sekelompok ulama yang diamalkan, juga mazhab sekelompok Tabi’in, diantara mereka adalah al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan bahwa ia berkata, “Boleh memberikan Dirham (uang perak) dalam zakat Fitrah”. (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, juz. III, hal. 174).
Abu Ishaq as-Sabi’i37 meriwayatkan dari Zuhair, ia berkata: saya mendengar Abu Ishaq berkata, “Saya bertemu dengan mereka, mereka membayar zakat Fitrah dalam bentuk Dirham senilai harga makanan”38.
Umar bin Abdul Aziz, dari Waki’, dari Qurrah, ia berkata, “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada kami tentang zakat Fitrah, “Setengah Sha’ untuk setiap orang. Atau nilainya setengah Dirham”39. Demikian juga menurut pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Membayar zakat dalam bentuk uang adalah mazhab Hanafi, mereka melaksanakannya dalam semua zakat, kafarat, nazar, kharaj dan lainnya40. Juga menurut mazhab Imam an-Nashir dan al-Mu’ayyid Billah dari kalangan imam Ahli Bait golongan az-Zaidiyyah41.
Demikian juga menurut Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur, hanya saja mereka mengikatnya dengan kondisi darurat, sebagaimana mazhab sebagian lain dari kalangan Ahli Bait42. Maksud saya,boleh membayar zakat Fitrah dalam bentuk uang dalam keadaan darurat. Mereka menjadikannya sebagai: imam menuntut pembayaran dalam bentuk uang sebagai ganti nash.
Membayar zakat fitrah dalam bentuk uang adalah pendapat sekelompok ulama dari kalangan Mazhab Maliki seperti Ibnu Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar43dan Ibnu Wahab44, diriwayatkan dari mereka tentang boleh hukumnya membayar zakat dalam bentuk uang, apakah zakat Mal maupun zakat Fitrah. Berbeda dengan yang mereka riwayatkan dari Ibnu al-Qasim dan Asy-hab, mereka berdua membolehkan membayar zakat dengan uang, kecuali pada zakat Fitrah dan kafarat sumpah.
Berdasarkan riwayat diatas kita dapat mengetahui sejumlah imam dan Tabi’in serta para ahli Fiqh berpendapat bahwa boleh membayar zakat dalam bentuk uang, ini pada masa mereka di zaman dahulu yang masih menggunakan system barter, artinya semua benda layak dijadikan sarana tukar-menukar transaksi jual beli, khususnya biji-bijian. Mereka menjual gandum jenis Qamh dengan gandum jenis Sya’ir, jagung dengan gandum dan lainnya. Sedangkan pada zaman kita sekarang ini sarana transaksi jual beli hanya terbatas pada uang saja. Maka menurut kami pendapat ini lebih tepat dan lebih kuat. Bahkan kami nyatakan, andai ulama yang tidak sependapat dengan ini pada masa silam hidup di zaman sekarang ini, pastilah mereka akan berpendapat seperti pendapat Imam Abu Hanifah. Terlihat jelas bagi kita bagaimana pemahaman dan kekuatan akal mereka.
Mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk uang lebih utama untuk memberikan kemudahan kepada fakir miskin untuk membeli apa saja yang mereka inginkan pada hari raya, karena boleh jadi mereka tidak membutuhkan biji-bijian, akan tetapi membutuhkan pakaian, atau daging, atau selain itu. Memberikan biji-bijian memaksa mereka untuk berkeliling di jalan-jalan agar ada orang lain yang mau membelinya, terkadang mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah, kurang dari semestinya. Semua ini berlaku pada kondisi mudah; ada banyak biji-bijian di pasar. Sedangkan pada kondisi sulit, tidak ada biji-bijian di pasar, maka membayar zakat Fitrah dalam bentuk benda lebih utama daripada dalam bentuk uang, untuk menjaga maslahat fakir miskin.

Hukum asal disyariatkannya zakat Fitrah adalah untuk kepentingan fakir miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka pada hari raya, hari kebahagiaan kaum muslimin. Imam al-‘Allamah Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari menyusun satu kitab dalam masalah ini berjudul Tahqiq al-Amal fi Ikhraj Zakat al-Fithr bi al-Mal, dalam kitab ini beliau menguatkan pendapat Mazhab Hanafi dengan dalil-dalil dan pendapat yang banyak, mencapai tiga puluh dua pendapat. Oleh sebab itu pendapat kami men-tarjih-kan pendapat yang menyatakan: mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk nilai/harga/uang. Ini lebih utama di zaman sekarang ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

36 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262.
37 Beliau adalah Abu Ishaq as-Sabi’i al-Hamadani al-Kufi. Seorang al-Hafizh dan guru besar di Kufah. Imam adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya. Salah seorang Tabi’in yang mulia”. Ia berkata tentang dirinya, “Saya dilahirkan dua tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman. Saya pernah melihat Ali bin Abi Thalib berkhutbah”. Lihat biografinya dalam Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi, juz. V, hal. 392 – 401, no. 180.
38 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, juz. II, hal. 398.
39 Abdurrazzaq, al-Mushannaf, juz. III, hal. 316, no. 5778.
40 Lihat: Bada’i’ ash-shana’i’ karya al-Kasani, juz. II,hal. 979; al-Mabsuth karya as-Sarakhsi, juz. III, hal. 113 – 114.
41 Sebagaimana disebutkan dalam al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Madzahib ‘Ulama’ al-Amshar, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, juz. III, hal. 202 – 203.
42 Lihat as-Sail al-Jawwar al-Mutadaffaq ‘ala Hada’iq al-Azhar, asy-Syaukani, juz. II, hal. 86.
43 Beliau adalah Abu Muhammad Isa bin Dinar bin Wahab al-Qurthubi, ahli Fiqh, ahli ibadah. Mendengar dari Ibnu al-Qasim, bersahabat dengannya dan belajar kepadanya. Beliau memiliki dua puluh kitab hasil mendengar ilmu dari Ibnu al-Qasim. Wafat di Thulaithulah tahun 212H. diringkas dari Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 64, no. 47.

44 Beliau adalah seorang ulama yang mulia, ahli hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Qurasyi, Mawla Quraisy. Orang yang paling terpercaya dalam riwayat dari Imam Malik. Seorang hafizh, hujjah. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya. Wafat di Mesir pada tahun 197H. Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 58 – 59, no. 25.


28.  Hari Raya dan Ziarah Kubur
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Banyak kaum muslimin yang antusias melakukan ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, sejauh mana kebenaran perbuatan ini menurut syariat Islam?
Jawaban:
Ziarah kubur menurut hukum asalnya adalah sunnah karena mengingatkan manusia kepada akhirat. Disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw ziarah ke makam ibunya, beliau menangis, membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Rasulullah Saw berkata:
 “Aku memohon izin kepada Tuhanku agar aku memohonkan ampun untuknya, Ia tidak memberikan izin untukku. Aku memohon izin agar aku ziarah ke makamnya, Ia memberi izin kepadaku. Maka ziarahlah kamu ke kubur, karena ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian”. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih:
 “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”.
Tidak ada waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur, meskipun sebagian ulama menyatakan pahalanya lebih besar jika dilakukan pada hari-hari tertentu seperti hari Kamis dan Jum’at karena kuatnya hubungan ruh dengan orang-orang yang meninggal dunia, meskipun dalilnya tidak kuat. Dari ini dapat kita ketahui bahwa ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, jika tujuannya untuk mengambil pelajaran dan mengenang orang-orang yang telah meninggal dunia, ketika masih hidup dulu mereka sama-sama merayakan hari raya, memohonkan rahmat untuk mereka dengan berdoa, maka boleh bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan, hukum ziarah kubur bagi perempuan dijelaskan dalam fatwa setelah fatwa ini.
Jika ziarah kubur setelah shalat ‘Ied tersebut bertujuan untuk memperbaharui kesedihan, untuk takziah ke kubur, atau membuat kemah, atau menyiapkan tempat untuk kesedihan, maka hukumnya makruh. Karena takziah setelah tiga hari mayat dikebumikan dilarang secara haram atau makruh. Karena hari raya adalah hari senang dan bahagia, maka tidak selayaknya membangkitkan kesedihan di hari raya.
45 Fatawa al-Azhar, juz. VIII, hal. 391 [Maktabah Syamilah].


29.  Perempuan dan Ziarah Kubur
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apa hukum ziarah kubur bagi perempuan jika tetap menjaga adab-adab ziarah kubur dan bertujuan untuk mengambil pelajaran dan bersikap khusyu’?
Jawaban:
Pada awalnya Rasulullah Saw melarang ziarah kubur untuk memutus tradisi jahiliah berbangga-bangga dengan ziarah kubur dengan menyebut-nyebut peninggalan nenek moyang. Itu yang disebutkan Allah Swt dalam firman-Nya:
 “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (Qs. At-Takatsur [102]: 1-2). Kemudian diberi keringanan berziarah untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, sebagaimana yang diingatkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad shahih:
 “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”. Dan hadits-hadits lain tentang ini yang diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.
Kaum muslimin telah Ijma’ tentang anjuran ziarah kubur, wajib menurut Mazhab Zhahiriah, hanya mereka menyatakan bahwa ziarah itu khusus bagi laki-laki, bukan untuk perempuan. Ketika Rasulullah Saw melihat bahwa perempuan pergi ziarah itu mengandung hal-hal tidak baik, maka Rasulullah Saw melarang mereka ziarah kubur. Izin ziarah kubur bagi laki-laki tetap berlaku. Ulama lain menyatakan bahwa larangan ziarah kubur bagi perempuan adalah pada masa lalu karena larangan yang bersifat umum, yaitu larangan ziarah kubur. Kemudian ada izin bagi laki-kai. Larangan tetap berlanjut bagi perempuan. Bagaimana pun juga, ada beberapa pendapat tentang ziarah kubur bagi perempuan, diringkas dalam beberapa poin berikut:

Pertama, haram secara mutlak, apakah ketika perempuan melakukan ziarah itu ada fitnah dan hal tidak baik atau pun tidak ada. Dalilnya adalah hadits:
 “Sesungguhnya Rasulullah Saw melaknat perempuan-perempuan yang ziarah kubur”. (HR. at-Tirmidzi). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”. Akan tetapi al-Qurthubi berkata, “Ada kemungkinan mengandung makna bahwa haram jika dilakukan beramai-ramai. Karena menggunakan kata:
dalam bentuk Shighat Mubalaghah.
Kedua, haram ketika dikhawatirkan terjadi fitnah atau hal tidak baik. Berdasarkan ini diharamkan bagi pemudi ziarah kubur, demikian juga dengan wanita dewasa jika berhias berlebihan atau menggunakan sesuatu yang menarik perhatian. Dibolehkan bagi wanita tua yang tidak menimbulkan fitnah, tetap haram jika melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti meratap dan perbuatan lain yang dilarang Rasulullah Saw:
 “Bukan golongan kami orang yang menampar wajah, merobek kantong dan menyerukan seruan-seruan Jahiliah”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Tidak mudah bagi perempuan melepaskan diri dari tradisi-tradisi tidak baik ini. Dalam hadits Ummu ‘Athiyyah disebutkan, “Ketika berbai’at, Rasulullah Saw mengambil janji dari kami agar jangan meratapi orang yang meninggal dunia. Tidak ada yang memenuhi janji itu dari kami selain lima orang perempuan”. (HR. al-Bukhari).
Ketika istri-istri Ja’far bin Abi thalib menangis saat Ja’far mati syahid, Rasulullah Saw memerintahkan seorang laki-laki agar melarang mereka menangis, dua kali dilarang namun mereka tidak patuh. Rasulullah Saw memerintahkan laki-laki itu agar menyiramkan debu ke mulut mereka. (HR. al-Bukhari).
Ketiga, makruh. Dalilnya adalah Qiyas. Diqiyaskan kepada mengiringi jenazah. Juga berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah, “Rasulullah Saw melarang kami mengiringi jenazah. Akan tetapi Rasulullah Saw tidak bersikap keras terhadap kami”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Keempat, boleh. Dalilnya adalah Rasulullah Saw tidak mengingkari Aisyah ketika ia pergi ke pemakaman al-Baqi’. Rasulullah Saw mengajarkan kepada Aisyah ketika ziarah kubur agar mengucapkan:
 “Keselamatan untuk kamu wahai negeri kaum mu’min. Telah datang kepada kamu apa yang dijanjikan untuk kamu esok hari masanya ditentukan. Sesungguhnya insya Allah kami menyertai kamu”. (HR. Muslim). Juga sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melewati seorang perempuan yang menangis di sisi kubur. Rasulullah Saw memerintahkannya agar bertakwa dan bersabar. Rasulullah Saw melarangnya menangis karena Rasulullah Saw mendengar sesuatu yang tidak ia sukai; ratapan dan lainnya. Rasulullah Saw tidak melarangnya ziarah kubur.
Kelima, dianjurkan, sama seperti anjuran ziarah kubur bagi laki-laki. Dalilnya adalah izin dari Rasulullah Saw yang bersifat umum:
 “Maka lakukanlah ziarah kubur”.
Tiga pendapat terakhir berlaku ketika aman dari fitnah dan hal yang tidak baik. Jika terjadi fitnah dan hal yang tidak baik, maka haram bagi perempuan melakukan ziarah kubur. Dengan demikian maka jawaban telah dapat difahami. Meskipun saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan makruh, jika tidak ada hal-hal yang diharamkan dan terlarang seperti membuka aurat, ratapan, menampar wajah, duduk diatas kubur, menginap di kuburan dan lain sebagainya. Lebih utama bagi perempuan menetap di rumah, tidak pergi meninggalkan rumah kecuali ada keperluan yang mendesak, untuk memelihara perempuan dari hal-hal yang tidak baik.
46 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 462 [Maktabah Syamilah].


30.  Puasa Hari-Hari al-Bidh dan Enam Hari di Bulan Syawwal
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah dasar penamaan al-Ayyam al-Bidh? Apakah sebagiannya adalah puasa enam hari di bulan Syawwal sebagaimana yang difahami banyak orang?
Jawaban:
Al-Ayyam al-Bidh ada di setiap bulan Qamariyyah, yaitu ketika bulan ada diawal hingga akhir malam 13, 14 dan 15. Disebut Bidh karena ia memutihkan malam dengan rembulan dan siang dengan matahari. Ada juga pendapat yang mengatakan karena Allah Swt menerima taubat nabi Adam as pada hari-hari itu dan memutihkan lembaran amalnya. Az-Zarqani ‘ala al-Mawahib, juz. 8, hal. 133.
Dalam al-Hawi li al-Fatawa karya Imam as-Suyuthi disebutkan, “Ada yang mengatakan bahwa ketika nabi Adam as diturunkan dari surga, kulitnya menghitam. Maka Allah Swt memerintahkan agar ia melaksanakan puasa al-Ayyam al-Bidh pada bulan Qamariyyah. Ketika ia melaksanakan puasa pada hari pertama, sepertiga kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari kedua, sepertiga kedua kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari ketiga, seluruh kulit tubuhnya memutih. Pendapat ini tidak benar. Disebutkna dalam hadits yang disebutkan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Amaly dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari hadits Ibnu Mas’ud, hadits Marfu’, hadits Mauquf dari jalur riwayat lain, disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam al-Maudhu’at dari jalur riwayat Marfu’, ia berkata, “Hadits Maudhu’ (palsu), dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak dikenal”.
Terlepas dari apakah nabi Adam as melaksanakannya atau pun tidak, sesungguhnya Islam mensyariatkan puasa ini dalam menjadikannya sebagai amalan anjuran. Dalam az-Arqani ‘ala al-Mawahib dinyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw tidak pernah berbuka (tidak berpuasa) pada hari-hari Bidh (13, 14 dan 15), baik ketika tidak musafir maupun ketika musafir”. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Dari Hafshah Ummul Mu’minin, “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah Saw; puasa ‘Asyura’, sembilan hari di bulan Dzulhijjah, al-Ayyam al-Bidh (13, 14 dan 15) dan dua rakaat Fajar”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”. Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperdulikan hari apa saja setiap bulan ia laksanakan puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani berkata, “Hikmah dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan sesuatu adalah yang paling seimbang. Dan karena biasanya gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut. Terdapat perintah agar meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah. Berbeda dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap bulan.
Adapun tentang puasa enam hari di bulan Syawal, penyebutannya sebagai Bidh adalah tidak benar. Terlepas dari penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib. Terdapat hadits tentang itu:
 “Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim). Keutamaannya disebutkan dalam hadits riwayat ath-Thabrani:
 “Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal, ia keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahr adalah puasa sepanjang tahun. Penjelasan ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Maknanya bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya. Satu bulan Ramadhan dibalas dengan sepuluh bulan. Enam hari di bulan Syawwal dibalas dengan enam puluh hari, artinya dua bulan. Dengan demikian lengkaplah 12 bulan. Keutamaan ini bagi mereka yang melaksanakannya di bulan Syawwal, apakah dilaksanakan pada awal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan berturut-turut atau pun terpisah-pisah. Meskipun afdhal dilaksanakan di awal bulan dan dilaksanakan berturut-turut. Keutamaan ini hilang bersama berakhirnya bulan Syawwal.
Banyak kaum muslimah ingin melaksanakannya, apakah mereka yang memiliki kewajiban qadha’ ramadhan atau pun tidak. Puasa Syawwal ini dianjurkan, sebagaimana yang ditetapkan para ulama. Kami berharap agar para muslimah tidak meyakini bahwa puasa Syawwal ini wajib. Puasa Syawwal ini sunnat, tidak ada hukuman jika ditinggalkan. Demikianlah, bagi mereka yang wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’. Cukup dengan puasa Qadha’, maka ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal,jika ia meniatkannya, amal itu dinilai dari niatnya. Jika puasa Qadha’ dilaksanakan tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal dilaksanakan tersendiri, maka itu afdhal. Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, “Balasan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun tidak diniatkan, hanya saja pahalanya lebih sedikit dibandingkan dengan niat. Disebutkan dalam Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz. I, hal. 427, teksnya: “Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ di bulan Syawwal, apakah Qadha’ puasa Ramadhan, atau meng-qadha’ puasa lain, atau nazar, atau puasa sunnat lainnya. Ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena intinya adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak memberitahukannya, atau melaksanakannya untuk orang lain dari yang telah berlalu -artinya puasa nazar atau puasa sunnat lain- akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala yang sempurna seperti yang diinginkan melainkan dengan niat puasa khusus enam hari di bulan Syawwal. Sama halnya dengan seseorang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan, atau ia laksanakan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal. Ini sama seperti pendapat tentang shalat Tahyat al-Masjid, yaitu shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid. Para ulama berpendapat, pahala shalat Tahyat al-Masjid diperoleh dengan shalat fardhu atau shalat sunnat, meskipun tidak diniatkan. Karena tujuannya adalah adanya shalat sebelum duduk. Shalat sebelum duduk tersebut telah terwujud, maka tuntutan melaksanakan shalat Tahyat al-Masjid telah gugur, pahalanya diperoleh meskipun tidak diniatkan, demikian menurut pendapat yang dijadikan pedoman sebagaimana yang dinyatakan pengarang al-Bahjah. Pahalanya tetap diperoleh apakah dengan fardhu atau pun dengan sunnat, yang penting tidak menafikan niatnya, tujuannya tercapai apakah diniatkan atau pun tidak diniatkan.
Berdasarkan pendapat diatas, bagi seseorang yang merasa berat untuk melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa qadha’ tersebut pada bulan Syawwal, ia juga ingin mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia berniat melaksanakan puasa qadha’ dan puasa enam hari di bulan Syawwal, atau berniat puasa qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasa sunnat sudah termasuk ke dalam puasa wajib. Ini kemudahan dan keringanan, tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu, juga tidak boleh menyatakan mazhab lain batil.
Hikmah berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa yang lama di bulan Ramadhan -wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis, itu sudah menjadi suatu ketetapan dalam kehidupan.
47 Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 261 [Maktabah Syamilah].