Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 17 Agustus 2011

Kisah Mualaf, Sandrina Malakiano, dengan Islam Jadi Lebih Sabar dan Ikhlas











Kamis, 29 Oktober 2009 21:43 WIB
Setelah memeluk Islam, berbagai kemudahan dan juga ujian datang silih berganti.

Penikmat televisi di Tanah Air tentunya mengenal sosok perempuan satu ini. Alessandra Shinta Malakiano nama lengkap perempuan tersebut. Namun, publik lebih mengenalnya dengan nama Sandrina Malakiano. Nama yang kerap dipakainya pada saat tampil di layar kaca salah satu stasiun televisi di Indonesia untuk menyampaikan berita dan peristiwa seputar isu politik dan ekonomi nasional maupun mancanegara.

Lahir di Bangkok, Thailand, pada 24 November 1971, Sandrina dibesarkan di tengah keluarga dengan dua kultur yang berbeda. Ayahnya yang berasal dari Armenia, Italia, merupakan pemeluk Katolik Gregorian. Sementara ibunya yang berdarah Solo-Madura beragama Islam, yang kuat memegang budaya kejawen.

''Saya ini sangat beruntung karena dibesarkan dalam keluarga yang sangat berwarna. Karenanya, saya sering menyebut kehidupan dalam keluarga saya itu sebagai united colours of religion,'' ujarnya kepada  Republika, pekan lalu di Jakarta.

Kombinasi dua budaya yang berbeda dari kedua orang tuanya itu, melahirkan kebebasan memeluk agama apa pun bagi anak-anaknya, termasuk Sandrina. Ayah dan ibunya, kata dia, adalah orang tua yang moderat. Mereka menanamkan kepercayaan kepada Tuhan, tetapi membebaskan anak-anaknya untuk menemukan jalan kebenarannya masing-masing.''Menurut orang tua, yang namanya urusan agama itu sangat pribadi. Jadi, setiap orang pasti akan menemukan jalannya sendiri.''

Kendati sang ayah pemeluk Katolik Gregorian dan sang ibu seorang Muslimah, namun Sandrina serta kakak laki-lakinya justru mendapatkan pendidikan agama Kristen Protestan.
Pendidikan agama Kristen Protestan ini ia peroleh di sekolah. Kondisi tersebut, terangnya, dikarenakan pemeluk Katolik Gregorian di Indonesia sangat langka, sehingga gereja Gregorian hanya ada satu yaitu di Jakarta. Sementara, sejak dari bayi, ia tumbuh dan besar di Bali.

Kebebasan yang diberikan orang tuanya, diakui Sandrina, membuat dirinya bingung dan bimbang. Terlebih lagi ketika duduk di bangku SMP yang mulai ada proses pendewasaan diri dalam keseharian istri dari Eep Saefulloh Fatah ini.''Saya mulai bertanya-tanya, sebetulnya saya ini mengakar ke mana, kenapa Kristen Protestan. Sementara saya merasa bahwa tempat saya bukan di sana,'' paparnya.

Sandrina merasa bahwa alam, kultur, dan kehidupan keagamaan yang ada di sekitarnya, sangat sesuai dengan hati nuraninya. Karenanya, sejak saat itu, ia memutuskan untuk mencari tahu dan mempelajari agama yang banyak dianut oleh masyarakat Bali, Hindu.

Ketika duduk di bangku SMA, Sandrina mulai menemukan kecocokan dengan agama Hindu, baik secara emosional maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sekitar tahun 1990, saat baru duduk di perguruan tinggi, ia memutuskan untuk meninggalkan ajaran Kristen Protestan dan memeluk Hindu sebagai keyakinan barunya.

Ia menjalani agama barunya ini dengan sepenuh hati. Sandrina mempelajari Hindu dan kemudian mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara ritual, aturan, maupun kepercayaan. Bahkan, termasuk membuat album religi Hindu bersama beberapa orang temannya. Album religi Hindu bersifat sosial ini dibuat sekitar 1997.

''Saya menjalaninya dengan penuh totalitas. Karena, saya tidak percaya pada apa pun yang sifatnya setengah-setengah,'' tegas ibu dari Keysha Alea Malakiano Safinka (7 tahun) dan Kaskaya Alessa Malakiano Fatah (14 bulan). Namun, lagi-lagi kegelisahan yang sama muncul dalam dirinya. Ia kembali merasa bingung dan bimbang pada keyakinan Hindu yang dipeluknya. Kebingungan serta rasa bimbang tersebut kerap muncul manakala melihat sanak saudara dari keluarga ibunya melakukan shalat di rumahnya, saat mereka berkunjung ke Bali.

Bahkan, terkadang ia turut serta shalat bersama mereka. Shalatnya hanya dilakukan sebatas ikut-ikutan. Namun, justru hal itu yang memberikan perasaan tenang dalam dirinya seusai mendirikan shalat.

Dari situ, paparnya, timbul keinginan untuk mengetahui Islam lebih lanjut. ''Mungkin kesalahan saya pada waktu itu adalah bertanya kepada orang yang tidak tepat. Misalnya, saya ingin tahu mengenai Islam, tapi informasi yang saya dapatkan mengenai Islam itu kurang baik. Kecendrungan mereka mengatakan Islam itu menyulitkan, tidak fleksibel, tidak universal, dan merendahkan kaum perempuan,'' ujarnya.

Hijrah ke Jakarta
Pada 1998, ketika ia memutuskan hijrah ke Jakarta, Sandrina dihadapkan pada sebuah lingkungan yang berbeda dengan kehidupannya semasa di Pulau Dewata.Sewaktu di Bali, ia tinggal di sebuah lingkungan yang didominasi oleh pemeluk Hindu. Dan ketika di Jakarta, ia justru tinggal di lingkungan yang mayoritas pemeluk Islam.

Di Ibu Kota Indonesia inilah, Sandrina mendapat kesempatan yang lebih luas dalam melihat Islam secara lebih dekat. Ia pun banyak bertanya tentang agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini kepada orang-orang Islam, termasuk pada ulama. Karena itu, kegiatan kesehariannya lebih banyak mempelajari Islam.

Ia juga sempat bertanya pada Ibu Nur, seorang guru mengaji anak pemilik tempat kosnya, tentang Islam. ''Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Semakin hari ketertarikan saya pada Islam pun tumbuh. Keinginan untuk lebih banyak tahu mengenai Islam semakin menjadi, dan kerinduan untuk memeluk Islam pun semakin menggebu,'' paparnya.

Dan ketika ia mengungkapkan hal itu pada keluarga terdekatnya serta saudara dan teman-temannya, jelas Sandrina, mereka semua sangat mendukung. Dukungan inipun makin melecut semangat wanita berdarah Italia-Jawa-Madura ini untuk memperdalam Islam dan shalat. Setelah merasa mantap dengan ajaran Islam yang dipelajari selama lebih kurang dua tahun pengembaraannya, maka pada 2000, ia pun membulatkan tekad untuk memeluk agama Islam. Ia bersyahadat di Masjid Al-Azhar, Jakarta.

Rahmat dan hidayah Allah pun senantiasa mengalir padanya. Tak lama setelah memeluk Islam, ia merasa Allah SWT memberikan berbagai kemudahan dalam hidupnya. Salah satunya, ia diterima bekerja di Metro TV. Dari penghasilan yang didapatnya, akhirnya ia mampu tinggal dan kos di tempat yang lebih luas, dibandingkan dengan tempat kosnya terdahulu. Ia juga akhirnya bisa mencicil mobil untuk menunjang aktivitasnya.''Jadi, ke mana-mana tidak lagi naik bajaj, termasuk untuk pergi siaran di televisi. Dari hasil kerja di Metro TV, saya juga masih bisa membantu keuangan ibu di Bali,'' terangnya.


Ujian Bertubi-tubi

Allah SWT tidak akan membiarkan hamba-hambanya yang telah diberi hidayah atau kemuliaan itu dengan begitu saja. Dia akan menguji hambanya itu dengan berbagai macam cobaan. Dan cobaan atau ujian itu adalah ukuran bagi kesempurnaan iman seseorang.

''Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.'' (QS Al-Ankabut [29] : 2-3).

Kondisi ini sangat tepat disematkan pada Sandrina Malakiano. Setelah berbagai kemudahan ia dapatkan, Allah SWT mengujinya dengan berbagai persoalan yang datang silih berganti dalam kehidupannya. Salah satunya, ia gagal mempertahankan rumah tangga yang telah dibinanya selama kurang lebih empat tahun.

Namun di balik peristiwa ini, Allah justru memberinya sebuah hadiah terindah. Salah seorang kenalannya yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri, memberangkatkan dia untuk umrah--sebuah keinginan yang sudah lama ia idam-idamkan. ''Saya berangkat umrah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Saya betul-betul berangkat dalam kondisi yang  zero mind, itu terjadi tahun 2005,'' ujar Sandrina. Umrah kali pertama ini juga merupakan pertama kalinya ia pergi ke luar negeri.

Sepulang umrah pada 2005, ia mendapat kejutan-kejutan lain dari Allah. Allah memberinya seorang pendamping yang lebih saleh dan bisa menjadi imam serta pembimbing yang baik bagi dirinya dan keluarga. Selain itu, setahun berselang, berkat kemurahan seorang pemilik travel haji, ia kembali pergi ke luar negeri dengan tujuan menunaikan ibadah haji.

Namun, ujian belum berhenti. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, ia berkomitmen untuk sepenuhnya menjalankan ajaran Islam. Ia memutuskan mengenakan busana Muslimah dan berjilbab. Namun, keputusannya ini dianggap banyak orang hanya untuk memenuhi keinginan suami. Ia tak ambil pusing dengan anggapan orang. Tekadnya sudah bulat untuk berbusana Muslimah. Dan sang suami pun terkejut ketika diberi tahu mengenai keputusannya ini.

''Suami khawatir bagaimana dengan pekerjaan saya sebagai penyiar berita di Metro TV nantinya setelah saya berjilbab. Dia memang sudah membayangkan pasti akan ada kesulitan di sana,'' tuturnya. Apa yang dikhawatirkan suaminya menjadi kenyataan. Manajemen tempatnya bekerja, tidak memperbolehkan dia melaksanakan siaran dengan menggunakan jilbab. Setelah menjalani proses diskusi dan berpikir selama tiga bulan lamanya, ia pun mantap memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia yang telah membesarkannya selama 15 tahun lebih. Pada Mei 2006, keputusan yang sulit pun akhirnya ia ambil. Sandrina resmi mundur dari Metro TV.

Keputusan ini berdampak pada kehidupan sehari-harinya. Ia benar-benar belum siap melepaskan diri dari televisi. Perasaan sedih, sering menderanya. Ia berusaha menghindari televisi. Selama lebih kurang setahun, baru ia bisa kembali menemukan kepercayaan diri sehingga bisa menonton TV. ''Setiap kali nonton televisi rasanya  ngenes . Tetapi, alhamdulillah ada suami dan keluarga yang menguatkan saya waktu itu.''

Semua cobaan tersebut, ia maknai sebagai bentuk permintaan dan kasih sayang dari Sang Pencipta agar ia memperluas lahan kesabaran dan keikhlasannya. Termasuk ketika ibunya jatuh sakit pada 2007 dan harus menjalani perawatan di rumah sakit selama 47 hari hingga ajal menjemput. Dan selama 47 hari tersebut, ia terus berada di sisi sang ibu dan mendampinginya melawan penyakit yang menyerang pankreasnya. ''Seandainya saya masih bekerja, mungkin saya tak akan bisa mendampingi ibu yang telah melahirkan saya itu selama lebih dari 47 hari di rumah sakit,'' terangnya.

Cobaan berikutnya datang lagi manakala sang ibu wafat dan ia dihadapkan pada masalah tagihan rumah sakit sebesar Rp 680 juta yang harus segera dilunasi. Saat meninggalkan rumah sakit, ia baru membayar sepertiganya.ia sempat meragukan keputusan yang telah diberikan Allah dalam hidupnya.

Beruntung ia segera disadarkan. Saat itu yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan berserah diri kepada Allah. Hingga akhirnya, Allah memberikan pertolongan kepadanya melalui tangan-tangan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya. Dalam waktu dua hari setelah pemakaman sang ibu, beberapa orang kenalannya dan ibunya mentransfer sejumlah uang dalam nominal yang cukup besar. Jika ditotal keseluruhan uang tersebut cukup untuk melunasi semua tagihan rumah sakit. ''Ini semua karena kasih sayang Allah. Saya menjadi makin lebih sabar dan ikhlas dalam menerima berbagai macam ujian,'' paparnya. dia/taq


Biodata:

Nama Lengkap : Alessandra Shinta Malakiano
Nama Populer : Sandrina Malakiano
Lahir : Bangkok, 24 November 1971
Suami : Eep Saefulloh Fatah
Anak : Keysha Alea Malakiano Safinka (7 tahun) dan Kaskaya Alessa Malakiano Fatah (14 bulan).

Iris Rengganis Makin Mantap dalam Renungan di Makkah
Senin, 07 September 2009 22:13 WIB
Senantiasa merindukan suara azan. Baginya suara azan akan menguatkan iman.

"Ya Allah, kalau memang Islam ini agama yang harus saya anut, saya akan balik lagi ke sini."

Bisikan hati tersebut melintas di hati dr Iris Rengganis sesaat sebelum ia meninggalkan Makkah. Ketika itu, pada 1993, ia diajak ayahnya, Prof Dr dr Karnen Garna Baratawidjaja SpPD KAI FAAAAI, untuk melaksanakan umrah.

Ayahnya seorang dokter terkemuka di negeri ini, membawanya umrah sekitar satu tahun setelah anak sulungnya itu menyatakan masuk Islam di umur 34 tahun (1992).

Namun, umrah tersebut sama sekali tidak meninggalkan bekas spiritual pada diri Iris. "Bagi saya, umrah itu ibarat wisata saja. Orang-orang menangis waktu berada di Raudhah (tempat di depan makam Rasulullah di Masjid Nabawi, Madinah--Red). Tapi, saya hanya merasakan biasa-biasa saja. Mungkin karena saya belum mengerti betul tentang agama Islam, khususnya ibadah umrah. Saya lebih banyak jalan-jalan dan berbelanja. Karena itulah, sewaktu mau pulang ke Indonesia, saya berkata dalam hati, akan balik lagi ke Tanah Suci kalau memang Islam itu agama yang benar buat saya," papar wanita kelahiran Jakarta, 29 Juni 1958.

Wanita yang akrab dipanggil Iis itu butuh waktu puluhan tahun untuk memantapkan hatinya guna memeluk Islam. Sejak kecil, bersama dengan tiga adiknya yang semuanya perempuan, yakni Ambhara, Prasna Pramita, dan Farah Prashanti, hidup dalam sebuah keluarga yang berbeda agama. Ayahnya seorang Muslim, sedangkan ibunya, dr Wachjuni MHA, seorang pemeluk Kristen Protestan.

"Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan suasana yang demikian (berbeda agama dalam satu keluarga). Dan sampai sekarang pun--ketika saya sudah menjadi Muslimah--hubungan keluarga besar tetap harmonis," ujarnya.

Rindu suara azan
Seluruh anggota keluarga dokter itu tinggal di depan Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Karena itu, sejak kecil Iris sudah sering mendengar azan maupun pengajian yang dipancarkan dari masjid yang menjadi salah satu pusat kegiatan umat Islam di Jakarta Selatan itu.

"Meskipun demikian, tidak gampang bagi saya untuk menjadi Muslimah. Sebab, bagi saya, keislaman itu harus datang dari keyakinan hati. Saya tidak mau terpaksa atau setengah-setengah,"  tegasnya.

Sewaktu bersekolah di SD negeri, Iris belajar agama Islam. Namun, sewaktu bersekolah di SMP dan SMA negeri, ia belajar agama Kristen Protestan dan aktif ke gereja. "Kedua orang tua saya memberikan kebebasan kepada saya maupun adik-adik saya untuk memilih agama yang diyakini. Demikian juga ketika sudah berumah tangga, suami saya pun tidak pernah memaksa saya untuk menjadi Muslimah," ungkap Iris.

Lalu, apa yang akhirnya membawa Iris pada kesadaran untuk memilih Islam sebagai keyakinannya? "Sebetulnya lebih banyak pada pergaulan dengan teman-teman. Saya lebih senang melihat bukti nyata daripada sekadar teori atau membaca buku. Saya melihat doa teman-teman saya yang Kristen --yang taat dengan kekristenannya--dikabulkan Tuhan. Dan, saya juga melihat teman-teman saya yang keislamannya baik, doanya juga dikabulkan. Ditambah dengan keteladanan teman-teman yang takwa itu, akhirnya saya berpikir, mengapa saya tidak menjadi Muslimah," paparnya.

Bersamaan dengan berjalannya waktu, ada hal yang sangat indah setelah Iris menjadi Muslimah. "Dulu kalau mendengar azan saya sering terganggu. Berisik. Kalau tevelisi menyiarkan azan, volumenya saya kecilkan. Namun setelah menjadi Muslimah, saya selalu kangen suara azan. Dan, saya memilih RCTI karena azannya sama dengan yang sering saya dengar saat berada di Madinah (Masjid Nabawi--Red). Mendengarkan azan, bagi saya, menguatkan iman," papar ibu empat anak itu.

Haji dan Umrah
Apakah Islam memang agama yang benar dan harus dipilih oleh Iris? Allah yang Maha Mendengar bisikan hati, bahkan sesuatu yang hanya tebersit di kalbu, menjawab doa Iris. "Ternyata Allah memberikan petunjuk kepada saya bahwa Islam memang agama yang benar. Buktinya, sampai saat ini saya enam kali bolak-balik ke Tanah Suci," tegasnya atas doanya sewaktu berumrah dahulu.

Tidak hanya itu, kasih sayang Allah kepada Iris begitu besar. Ia pergi haji dan umrah itu tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. ''Saya tiga kali umrah dan tiga kali haji, semuanya gratis," kata Dokter Teladan Jakarta Selatan 1988, saat menjalankan tugas sebagai dokter Puskesmas Kelurahan Cikoko, Jakarta Selatan.

Umrah pertama pada 1993, dibayari oleh ayahnya. Kedua, pada 2000, sebagai dokter kloter haji selama 40 hari. Ketiga, pada 2002, haji dibayari oleh negara sebagai Kepala Balai Pengobatan Haji Indonesia di Madinah, selama 70 hari. Pada 2003, sepupunya menikah di Makkah, lagi-lagi dia dapat kesempatan umrah gratis.

Suatu hari, saat mengambil program S-3 di IPB, Iris mengaku sangat jenuh. "Ketika itu saya susah mikir, bete, maka saya berdoa kepada Allah bahwa saya ingin umrah," ujar Iris yang pernah bekerja di RS Haji Jakarta.

Ternyata ada yang menawari ke Tanah Suci selama 70 hari. Tapi, tidak dapat izin dari atasan, sebab ia sedang kuliah S-3. Iris pun berdoa lagi agar diizinkan oleh Allah berangkat ke Baitullah.

"Ternyata Allah menjawab doa saya. Ada perusahaan obat yang menawarkan job kepada saya untuk melakukan penelitian tentang imuno modulator selama 40 hari di Tanah Suci. Dan, saya diizinkan," tandas Iris yang baru saja meraih gelar doktor di bidang biologi dari IPB pada Juli 2009.

Jilbab
Jika ada jarak sekian puluh tahun bagi Iris untuk memantapkan hatinya memilih Islam, begitu pula dengan jilbab yang merupakan pakaian seorang Muslimah. Delapan tahun setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, barulah wanita yang juga menjadi staf pengajar di FKUI itu mau memakai jilbab.

"Saya tidak mau memakai jilbab karena terpaksa. Kalau saya memakai jilbab, hal itu harus datang dari kesadaran dan keyakinan hati," ujar dokter internis ahli alergi itu.

Ia sempat menolak ditawari sebagai dokter kloter haji karena belum siap memakai jilbab. "Setelah merasa nyaman memakai jilbab, barulah saya mau ditawari jadi dokter kloter haji," tutur dokter yang pernah menjadi penanggung jawab mendirikan dan mengembangkan Klinik Alergi dan Klinik Edukasi Diabetes di RS Haji Jakarta.

RS Haji Jakarta, kata Iris, mempunyai posisi penting dalam perjalanan kematangan iman dan Islamnya. "Selama saya bekerja di sana, setiap pagi selalu diawali dengan doa bersama, dan siang hari seusai Shalat Zhuhur berjamaah, diisi dengan kultum (kuliah tujuh menit). Hal itu sangat membekas dalam hati saya. Boleh dikatakan saya memperoleh kemantapan iman dan Islam, termasuk mengenai busana Muslimah atau jilbab, terutama pada saat bekerja di RS Haji Jakarta. Bekerja di sana benar-benar berkah bagi saya," paparnya.

Soal kemantapan hatinya memakai jilbab itu pun punya cerita sendiri. Sepulang haji, dia bertekad memakai jilbab sampai 40 hari. "Kata orang, pulang haji sebaiknya memakai jilbab sampai 40 hari," tutur dokter yang tercatat sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan American College of Alergy sthma and Immunology (ACAAI) itu.

Ternyata respons orang-orang terdekatnya sangat positif. "Mereka bilang lebih pantas kalau saya berjilbab. Hati saya pun makin nyaman berjilbab. Pada 2000, Iris mulai mengenakan jilbab. "Saat itu hati saya sudah siap. Pakai jilbab karena kesadaran," tuturnya.

Faktor lain yang juga membuat Iris makin mantap memakai jilbab adalah pengalamannya selama menjadi dokter kloter haji bersama dengan jamaahnya yang berjumlah 450 orang. "Ketika itu, saya dekat sekali dengan para jamaah. Kalau setelah pulang haji saya lepas jilbab dan suatu saat bertemu mereka, mereka bisa goyah. Hal itu bisa menjadi kerikil keimanan mereka. Sejak itu saya memutuskan akan terus berjilbab," ujarnya.

Saking senangnya terhadap jilbab, Iris sering sekali membeli jilbab. "Jilbab-jilbab itu tidak semuanya saya pakai sendiri, sebagian saya berikan kepada orang lain."

Iris punya pendapat khusus mengenai bagaimana seharusnya menjadi seorang Muslimah. "Seorang Muslimah seharusnya memakai pakaian yang sopan, tidak merokok, dan selalu menjaga kesehatan. Allah telah memberikan kepada kita tubuh yang sehat dan segar, jangan dirusak. Seorang Muslimah harus berjalan sesuai yang Allah gariskan."

Iris selalu berupaya menjadi Muslim yang terbaik. Mengutip hadis Rasulullah SAW, dia mengatakan bahwa Muslim terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. "Hal itu saya terapkan betul dalam kehidupan saya, terutama dalam karier, baik sebagai seorang dokter maupun dosen," ujarnya.

Sebagai seorang dokter, ia berupaya menolong orang yang sakit dengan kasih sayang, tidak sekadar tugas. Bahkan, terhadap pasien-pasien tertentu yang rumahnya jauh (misalnya luar kota) dan susah untuk bertemu di tempat praktiknya, ia tak segan-segan memberikan nomor handphone-nya. Mereka bisa berkonsultasi lewat SMS maupun telepon langsung.

Sebagai seorang dosen, ia berupaya memberikan ilmu sebanyak-banyaknya dalam mengajar. Tidak setengah-setengah. Ia tak pelit mengizinkan para mahasiswanya mengopi diktat kuliahnya. Ia pun tak segan-segan memberikan konsultasi kepada para mahasiswanya kapan pun keadaan memungkinkan.

"Saya ingin para mahasiswa saya mengerti ilmu yang saya ajarkan. Saya ingin mereka mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dari saya," tutur staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Alergi Imunologi Klinik, FKUI/RSCM itu.

Tentu saja semua itu ada landasannya. "Dasarnya adalah ikhlas. Resep hidup saya adalah ikhlas. Dalam keadaan apa pun ikhlas. Ikhlas itu membuat kita bahagia," papar Iris Rengganis. irwan kelana


Doktor Ahli Alergi

"Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin. Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Tuhan Yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dari sebutir serbuk sari hingga menjadi tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Lembutnya serbuk sari yang merupakan cikal bakal tumbuhan tidak saja bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun serbuk sari ternyata dapat menjadi penyebab alergi yang mengganggu kesehatan bagi sebagian manusia. Atas dasar itulah kami terpanggil untuk melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor yang merupakan lembaga yang paling tepat di Indonesia untuk bidang tersebut."

Kalimat demi kalimat di atas meluncur dari bibir Iris Rengganis saat dikukuhkan sebagai doktor di Pascasarjana, Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor, Juli silam. Gelar tersebut diperolehnya setelah melalui perjuangan panjang lima tahun lamanya.

"Saat ini saya bisa berdiri di sini merupakan momentum yang sangat membahagiakan, karena setelah sekian lama melakukan penelitian dengan berbagai macam kesulitan yang nyaris membuat saya kehilangan harapan, akhirnya proses tersebut dapat dilalui," tutur Iris yang sukses mempertahankan disertasi berjudul Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia".

Doktor yang juga dokter internis dengan spesialisasi di bidang alergi itu memang terbilang unik. Kuliah S-1 (1977-1983) dan S-2 (1989-1994) yang diambilnya adalah di bidang kedokteran, yakni di FKUI. Ditambah dengan kuliah mengenai Konsultan Alergi Imunologi di fakultas yang sama (1994-2000).

Keahliannya sebagai dokter alergi itu justru mendorongnya untuk mengambil kuliah S-3 di Fakultas Pascasarjana IPB, bidang biologi. Di tempat itulah, ia meneliti pengaruh serbuk sari tanaman sebagai alergen (faktor yang menyebabkan alergi) pada manusia yang berada di luar rumah. Misalnya, berbagai jenis tanaman maupun rumput-rumputan.

Di Indonesia, bidang ini merupakan penelitian yang pertama tentang pengaruh tanam-tanaman dan rumputan sebagai alergen di luar rumah bagi manusia. "Tingkat kesulitannya sangat tinggi karena referensi yang ada masih sangat terbatas," tuturnya.

Objek penelitian Iris adalah beberapa jenis tanaman yang sering dijadikan pohon peneduh, antara lain akasia, pinus, dan kelapa genjah. Juga, kelapa sawit, jagung, alang-alang, dan rumput-rumputan. Hasilnya, ternyata serbuk sari tanaman-tanaman yang diteliti tersebut berpengaruh terhadap alergi.

"Yang paling besar pengaruhnya adalah alang-alang, disusul akasia. Padahal, kita tahu akasia merupakan salah satu tanaman yang dipilih oleh banyak pemda untuk penghijauan. Ini berarti para pemda harus mempertimbangkan kembali jenis-jenis tanaman yang dipilih untuk penghijauan," tegas Iris.

Di atas semua itu, ada hal yang, menurut Iris, tidak kalah pentingnya. "Penelitian tersebut membuat saya makin kagum kepada kekuasaan Allah. Dia menciptakan serbuk sari pada tumbuhan yang memberikan manfaat bagi manusia, namun juga bisa menyebabkan alergi pada sebagian manusia. Sungguh Allah Mahakuasa, dan manusia disuruh untuk terus belajar," tegasnya. ika/taq Biodata:
Nama Lengkap :Iris Rengganis
TTL :Jakarta 29 Juni 1958
Masuk Islam : 1992
Orang Tua:
Bapak: Karnen Garna Baratawidjaja
Ibu: Wachjuni
Pekerjaan :
Staf pengajar di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Divisi
Alergi Imunologi Klinik, FKUI
dan RSCM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar