Semua stigma negatif sebagaimana dilontarkan kelompok orientalis. Tentang Nabi Muhammad SAW, jelas tidak benar.
''Kalau saya melihat Mas Wahyu sekarang dengan orang Barat yang dulu tinggal di Australia itu jauh berbeda.'' Kata-kata itu meluncur dari mulut lelaki bernama lengkap Wahyu Soeparno Putro ketika mengawali pembicaraan dengan Republika di sela-sela waktu senggangnya.
Masyarakat Indonesia mengenal sosok pria bule ini dari layar kaca. Sejak beberapa tahun terakhir, pemilik nama lahir Dale Andrew Collins-Smith memang ikut meramaikan dunia entertainment di Tanah Air. Saat ini, ia melakoni sebagai pembawa acara program religi yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.
Menurut Wahyu, begitu ia biasa disapa kini, gambaran dirinya yang dulu adalah orang yang gemar minuman beralkohol dan dekat dengan kehidupan malam dan hura-hura. ''Meski sejak kecil saya menganut (agama) Buddha, saya lebih mementingkan berprestasi secara duniawi, punya harta dan pekerjaan yang membanggakan,'' ujar lelaki kelahiran Skotlandia, 28 Juli 1963.
Karena itu, bagi Wahyu, agama hanya merupakan sebuah identitas diri yang harus dimilikinya ketika memasuki jenjang sekolah dasar. Terlebih lagi, kedua orang tuanya tidak meyakini satu ajaran agama apa pun. Maka, ketika pihak sekolah tempatnya menuntut ilmu mewajibkan para muridnya untuk mencantumkan agama yang dianut, Wahyu pun memilih Buddha.
Perkenalannya secara dekat dengan Islam baru terjadi ketika ia memutuskan meninggalkan semua kemapanan yang didapatkan di negara asalnya, Australia, untuk kemudian pindah ke Indonesia pada 1994 silam. Semasa tinggal di negeri kangguru, ia sudah mengetahui tentang Islam dari berbagai pemberitaan mengenai konflik Timur Tengah yang disajikan media massa di Australia. Namun, dari berbagai pemberitaan tersebut, ia hanya mengetahui bahwa Islam itu identik dengan perang dan kekerasan.
''Sebenarnya saya pribadi tidak paham apa yang media sampaikan mengenai Timur Tengah, karena sejak kecil saya tidak gampang percaya dengan apa yang diberitakan oleh media. Terlebih lagi, ada teman yang bilang ia bisa terima semua agama kecuali Islam,'' tuturnya.
Namun, ketika pertama kali tinggal di Indonesia, Wahyu yang telah menjadi yatim-piatu sejak usia 20 tahun ini justru tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritasnya Muslim. Yang menjadi kendala baginya saat itu bukan masalah perbedaan agama, melainkan soal perbedaan budaya dan adat istiadat masyarakat Yogyakarta yang terkenal sangat sopan dan halus dalam bertutur kata.
Di kota gudeg itu, dia tinggal mengontrak bersama teman. Namun, seiring waktu berjalan, dia kemudian bertemu dengan Soeparno. Soeparno ini adalah ayah beranak lima yang bekerja sebagai seorang satpam. Singkat cerita, Wahyu kemudian diajak menetap bersama di rumah Soeparno sekaligus juga diangkat sebagai anak dari keluarga besar Soeparno.
Azan Subuh
Lebih banyak bergaul dengan komunitas Muslim di tempat tinggalnya di Yogyakarta, membuat Wahyu merasa nyaman untuk mengenal lebih dalam mengenai Islam. Bahkan, tahun pertama tinggal di Yogyakarta, Wahyu sudah mulai ikut berpuasa bersama dengan semua rekan di kantornya yang dulu.
''Awalnya, saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,'' kata dia. Tetapi, setelah tahun kedua tinggal di sana, ia sudah bisa menjalankan puasa selama sebulan penuh.
Dari sekadar ikut-ikutan berpuasa, kata Wahyu, sejak itu ia mulai merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Jika biasanya sulit sekali untuk bangun pagi, entah kenapa setelah rutin ikut menjalankan puasa di bulan Ramadhan, ia kerap terbangun beberapa menit sebelum azan Subuh berkumandang.
Awalnya, suara azan Subuh adalah 'musuh' bebuyutan Wahyu. Ia merasa, suara itu sangat mengganggu tidurnya. Namun, siapa nyana, suara azan Subuh itu pula yang justru membawanya menemukan jalan menjadi seorang mualaf--seorang pemeluk Islam.
Rumah Soeparno letaknya hanya sepelemparan batu ke arah masjid. Karena tidak jauh dari masjid, tidak mengherankan kalau setiap pagi suara azan Subuh itu seperti meraung-raung di dekat daun telinganya. Rutinitas itu akhirnya membuat Wahyu selalu terbangun di pagi hari. ''Ini yang membuat saya heran,'' katanya. ''Padahal, sejak kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya mampu mengubah pola hidup saya untuk bangun pagi.''
Pengalamannya tersebut kemudian ia ceritakan ke bapak angkatnya. Namun, oleh Soeparno, ia disarankan menemui seorang ustadz yang juga merupakan imam masjid di tempat tinggalnya, bernama Sigit. ''Waktu saya ceritakan tentang pengalaman saya, dia malah berkata kepada saya, 'Sepertinya malaikat mulai dekat dengan kamu','' kata Wahyu menirukan ucapan Pak Sigit.
Mendengar ucapan itu, Wahyu merasakan seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ''Semuanya seperti jatuh ke tempatnya,'' kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika itu. ''Saat itu, saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang Islam,'' ujarnya lagi.
Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian membawa Wahyu terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustadz itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan mualaf. Dan, pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari Islam dan semua ajarannya kian menggelora.
Saat hasrat di dalam diri semakin 'merasa' Islam, Wahyu kemudian bertanya pada Soeparno. ''Saya merasa lucu karena sudah seperti merasa Muslim,'' kata dia kepada Soeparno. ''Tetapi, bagaimana caranya,'' sambung dia kembali. Mendengar ucapan pria bule, Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Wahyu masuk Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.
Tidak membutuhkan waktu lama, sekitar medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian berpindah agama sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Dan, prosesi hijrah itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan azan Subuh dekat rumahnya. Yang dulu dianggap 'mengganggu' tidurnya.
Setelah memeluk Islam, ia baru menyadari bahwa semua stigma negatif mengenai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini ternyata tidak benar. Bahkan, selama berada dalam pelukan Islam hampir 10 tahun lamanya, ia merasakan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dirinya yang sekarang, menurut Wahyu, adalah sosok pribadi yang jauh lebih sabar, lebih banyak diam daripada komentar, dan jauh lebih sederhana. ''Dulu apa yang saya dapat, saya nikmati sendiri. Kalau sekarang, saya menilai rezeki yang kita peroleh tidak semuanya milik kita, tapi ada hak orang lain.''
Kendati demikian, untuk urusan agama, lanjut Wahyu, dirinya tidak segan-segan untuk bersikap tegas. ''Kalau tidak, ya tidak. Tidak ada yang namanya abu-abu,'' tukasnya. Meski hal tersebut, diakuinya, terkadang membuat hubungan dengan teman-temannya menjadi kurang baik.
''Kalau saya melihat Mas Wahyu sekarang dengan orang Barat yang dulu tinggal di Australia itu jauh berbeda.'' Kata-kata itu meluncur dari mulut lelaki bernama lengkap Wahyu Soeparno Putro ketika mengawali pembicaraan dengan Republika di sela-sela waktu senggangnya.
Masyarakat Indonesia mengenal sosok pria bule ini dari layar kaca. Sejak beberapa tahun terakhir, pemilik nama lahir Dale Andrew Collins-Smith memang ikut meramaikan dunia entertainment di Tanah Air. Saat ini, ia melakoni sebagai pembawa acara program religi yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta.
Menurut Wahyu, begitu ia biasa disapa kini, gambaran dirinya yang dulu adalah orang yang gemar minuman beralkohol dan dekat dengan kehidupan malam dan hura-hura. ''Meski sejak kecil saya menganut (agama) Buddha, saya lebih mementingkan berprestasi secara duniawi, punya harta dan pekerjaan yang membanggakan,'' ujar lelaki kelahiran Skotlandia, 28 Juli 1963.
Karena itu, bagi Wahyu, agama hanya merupakan sebuah identitas diri yang harus dimilikinya ketika memasuki jenjang sekolah dasar. Terlebih lagi, kedua orang tuanya tidak meyakini satu ajaran agama apa pun. Maka, ketika pihak sekolah tempatnya menuntut ilmu mewajibkan para muridnya untuk mencantumkan agama yang dianut, Wahyu pun memilih Buddha.
Perkenalannya secara dekat dengan Islam baru terjadi ketika ia memutuskan meninggalkan semua kemapanan yang didapatkan di negara asalnya, Australia, untuk kemudian pindah ke Indonesia pada 1994 silam. Semasa tinggal di negeri kangguru, ia sudah mengetahui tentang Islam dari berbagai pemberitaan mengenai konflik Timur Tengah yang disajikan media massa di Australia. Namun, dari berbagai pemberitaan tersebut, ia hanya mengetahui bahwa Islam itu identik dengan perang dan kekerasan.
''Sebenarnya saya pribadi tidak paham apa yang media sampaikan mengenai Timur Tengah, karena sejak kecil saya tidak gampang percaya dengan apa yang diberitakan oleh media. Terlebih lagi, ada teman yang bilang ia bisa terima semua agama kecuali Islam,'' tuturnya.
Namun, ketika pertama kali tinggal di Indonesia, Wahyu yang telah menjadi yatim-piatu sejak usia 20 tahun ini justru tinggal di lingkungan masyarakat yang mayoritasnya Muslim. Yang menjadi kendala baginya saat itu bukan masalah perbedaan agama, melainkan soal perbedaan budaya dan adat istiadat masyarakat Yogyakarta yang terkenal sangat sopan dan halus dalam bertutur kata.
Di kota gudeg itu, dia tinggal mengontrak bersama teman. Namun, seiring waktu berjalan, dia kemudian bertemu dengan Soeparno. Soeparno ini adalah ayah beranak lima yang bekerja sebagai seorang satpam. Singkat cerita, Wahyu kemudian diajak menetap bersama di rumah Soeparno sekaligus juga diangkat sebagai anak dari keluarga besar Soeparno.
Azan Subuh
Lebih banyak bergaul dengan komunitas Muslim di tempat tinggalnya di Yogyakarta, membuat Wahyu merasa nyaman untuk mengenal lebih dalam mengenai Islam. Bahkan, tahun pertama tinggal di Yogyakarta, Wahyu sudah mulai ikut berpuasa bersama dengan semua rekan di kantornya yang dulu.
''Awalnya, saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,'' kata dia. Tetapi, setelah tahun kedua tinggal di sana, ia sudah bisa menjalankan puasa selama sebulan penuh.
Dari sekadar ikut-ikutan berpuasa, kata Wahyu, sejak itu ia mulai merasakan suatu perubahan dalam dirinya. Jika biasanya sulit sekali untuk bangun pagi, entah kenapa setelah rutin ikut menjalankan puasa di bulan Ramadhan, ia kerap terbangun beberapa menit sebelum azan Subuh berkumandang.
Awalnya, suara azan Subuh adalah 'musuh' bebuyutan Wahyu. Ia merasa, suara itu sangat mengganggu tidurnya. Namun, siapa nyana, suara azan Subuh itu pula yang justru membawanya menemukan jalan menjadi seorang mualaf--seorang pemeluk Islam.
Rumah Soeparno letaknya hanya sepelemparan batu ke arah masjid. Karena tidak jauh dari masjid, tidak mengherankan kalau setiap pagi suara azan Subuh itu seperti meraung-raung di dekat daun telinganya. Rutinitas itu akhirnya membuat Wahyu selalu terbangun di pagi hari. ''Ini yang membuat saya heran,'' katanya. ''Padahal, sejak kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya mampu mengubah pola hidup saya untuk bangun pagi.''
Pengalamannya tersebut kemudian ia ceritakan ke bapak angkatnya. Namun, oleh Soeparno, ia disarankan menemui seorang ustadz yang juga merupakan imam masjid di tempat tinggalnya, bernama Sigit. ''Waktu saya ceritakan tentang pengalaman saya, dia malah berkata kepada saya, 'Sepertinya malaikat mulai dekat dengan kamu','' kata Wahyu menirukan ucapan Pak Sigit.
Mendengar ucapan itu, Wahyu merasakan seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ''Semuanya seperti jatuh ke tempatnya,'' kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika itu. ''Saat itu, saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang Islam,'' ujarnya lagi.
Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian membawa Wahyu terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustadz itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan mualaf. Dan, pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari Islam dan semua ajarannya kian menggelora.
Saat hasrat di dalam diri semakin 'merasa' Islam, Wahyu kemudian bertanya pada Soeparno. ''Saya merasa lucu karena sudah seperti merasa Muslim,'' kata dia kepada Soeparno. ''Tetapi, bagaimana caranya,'' sambung dia kembali. Mendengar ucapan pria bule, Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Wahyu masuk Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.
Tidak membutuhkan waktu lama, sekitar medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian berpindah agama sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Dan, prosesi hijrah itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan azan Subuh dekat rumahnya. Yang dulu dianggap 'mengganggu' tidurnya.
Setelah memeluk Islam, ia baru menyadari bahwa semua stigma negatif mengenai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini ternyata tidak benar. Bahkan, selama berada dalam pelukan Islam hampir 10 tahun lamanya, ia merasakan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dirinya yang sekarang, menurut Wahyu, adalah sosok pribadi yang jauh lebih sabar, lebih banyak diam daripada komentar, dan jauh lebih sederhana. ''Dulu apa yang saya dapat, saya nikmati sendiri. Kalau sekarang, saya menilai rezeki yang kita peroleh tidak semuanya milik kita, tapi ada hak orang lain.''
Kendati demikian, untuk urusan agama, lanjut Wahyu, dirinya tidak segan-segan untuk bersikap tegas. ''Kalau tidak, ya tidak. Tidak ada yang namanya abu-abu,'' tukasnya. Meski hal tersebut, diakuinya, terkadang membuat hubungan dengan teman-temannya menjadi kurang baik.
"Kalau syetan tdk berhasil menggodamu u malas, maka syetan menggodamu agar riya, kalau tdk berhasil membuatmu riya, maka syetan membuatmu ujub, diam diam membanggakan dirimu sendiri sehingga sia sia & terbakarlah semua nilai amal ibadahmu krn itu jaga hati dg selalu meluruskan niat, semangat istiqomah, kawal stp usai berbuat baik dg istigfar & tetap rendah hati". Fotoku bersama guruku tercinta buya Saifuddin Amsir yg selalu menasehatiku.
BalasHapus