Minggu, 14 Agustus 2011
KIsah Mualaf, Ibrahim Khalil, Misionaris Pendeta Koptik yang Bersyahadat
Ibrahim Khalil adalah mantan pendeta Koptik Mesir yang belajar Islam demi menemukan kesalahan. Namun hasilnya justru sebaliknya.
Al-Haj Ibrahim Khalil Ahmad, dulu bernama Ibrahim Khalil Philobus, Pendeta Koptik ( dari kata Kopt yakni suku kuno di Mesir) yang belajar teologi dan mendapat gelar master dari Universitas Princeton. Ia belajar Islam untuk menemukan celah menyerang sebagai ganti ia malah menerima islam bahkan bersama keempat putranya, salah satu kini menjadi guru besar di Sorbonne, Paris. Inilah cerita Ibrahim Khalil.
Ia lahir di Alexandria pada 13 Januari 1919 dan dikirim ke sekolah Misi Amerika hingga memperoleh sertifikat pendidikan menengah di sana. Pada 1942 ia mendapat gelar diploma dari Assiut University, dan dimana ia memilih spesialisasi studi agama sebagai awal bergabung dengan Fakultas Teologi.
Menurut Ibrahim, bukanlah hal mudah untuk bergabung dengan fakultas, karena tidak ada satu kandidat dapat bergabung kecuali mendapat rekomendasi khusus dari gereja, dan juga ia harus melewati serangkaian tes sulit.
Saat itu Ibrahim mendapat rekomendasi dari Gereja Al-Attareen di Alexandria dan satu lagi dari Gereja Assembly of Lower Egypt setelah lulus banyak tes untuk mengetahui kualifikasinya untuk menjadi seorang yang benar-benar taat agama.
Lalu ia mendapat rekomendasi ketiga dari Gereja Persekutuan Snodus, termasuk para pendeta dari Sudan dan Mesir.
Snodus memberi kemudahan ia masuk Fakultas Teologi di 1944 sebagai siswa asrama. Di sana ia belajar langsung di tangan-tangan dosen Amerika dan Mesir hingga lulus pada 1948.
Ia seharusnya ditunjuk untuk meneruskan pendidikan di Jerusalem jika saja tidak ada pecah perang di Palestina pada tahun terebut. Ia pun akhirnya dikirim ke Asna, Mesir Atas. Pada tahun yang sama ia mendaftar untuk penggarapan thesis di Universitas Amerika, Kairo. Saat itu ia menulis tentang aktivitas misionari di kalangan Muslim.
"Perkenalan dengan Islam sendiri dimulai di Fakultas Teologi, dimana saya belajar Islam dan seluruh metode ibadahnya dimana melalui itu para siswa mampu mengguncang iman seorang Muslim dan menumbuhkan keraguan dalam pemahaman mereka terhadap keyakinanya," tutur Ibrahim.
Pada tahun 1952 ia mendapat gelar MA dari Princeton di USA dan ditunjuk sebagai dosen di Fakultas Teologi Assiut. Ia mengajarkan Islam di fakultas sesuai dengan pemahaman salah yang disebarkan oleh para misionari dan para penentangnya.
Selama periode itulah ia memutuskan untuk meluaskan studi Islam dan tidak hanya sekedar membaca buku-buku misionaris. "Saat itu saya cukup yakin dengan diri saya untuk membaca dari sudut pandang lain. Lalu saya mulai membaca literatur yang ditulis pengarang Muslim. Saya juga memutuskan untuk membaca Al Qur'an dan memahami artinya," aku Ibrahim panjang lebar.
"Hal itu didorong kecintaan saya terhadap pengetahuan dan digerakkan keinginan menambah lebih banyak bukti untuk menyerang Islam," imbuh Ibrahim.
Titik itulah yang justur mengubah Ibrahim. "Posisi saya mulai terguncang, dan saya mulai merasakan pergolakan kuat, dan saya tidak menemukan kesalahan di pada apapun yang pernah saya pelajari dan saya kotbahkan. Namun saya tidak berani menghadapi diri saya sendiri, dan mencoba mengatasi krisis internal itu dengan meneruskan pekerjaan," ungkapnya.
Kemudian pada 1954, ia dikirim ke Aswan sebagai sekretaris jenderal misi Jerman-Swiss. "Selama in posisi nyata saya hanyalah untuk misi berkotbah menentang Islam di Mesir Atas, terutama di kalangan Muslim," akunya.
Sementara di Aswan merupakan konferensi misionaris diselenggarakan di Hotel Catract, dan ia diberi kesempatan berbicara pada forum. "Hari itu saya berbicara terlalu banyak, mengucapkan semua, konsepsi salah menentang Islam berulang-ulang, dan pada akhir pidato, krisis internal itu tiba-tiba datang lagi dan saya mulai merevisi posisi saya," kata Ibrahim.
Ibrahim berkata, "Saya mulai bertanya pada diri sendiri, 'Mengapa saya harus melakukan semua itu ketika saya tahu pasti saya berbohong, karena itu semua bukan kebenaran? Saya meninggalkan konferensi sebelum berakhir dan pulang sendirian ke rumah,"
"Saya sepenuhnya terguncang. Saat berjalan melalui taman publik Firyal, saya mendengar sebuah ayat di Al Qur'an berbunyi 'Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (QS 72:1)
Lalu dilanjutkan dengan bunyi ayat berikut (QS 72:2) "(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami,"
Ibrahim terdiam di tempat hingga ia mendengar lagi "Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. (QS 72:13)"
"Saya merasa dalam perasaan tenang luar biasa malam itu ketika pulang kerumah dan menghabiskan seluruh malam dengan diri saya membaca Al Quran di perpustakaan," ungkap Ibrahim.
Istrinya sempat menanyakan mengapa ia duduk sendirian semalaman. "Saya langsung memintanya untuk meninggalkan saya sendiri. Saya berhenti untuk beberapa lama, berpikir, dan bermeditasi ketika sampai pada ayat, "Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS 59:21)"
Juga ketika masuk ayat berikut "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani...karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri, (QS 5:82)
Ayat berikut, "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui: seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (QS 5:83)
Ibrahim juga menuturkan mengutip tiga ayat dari Al Qur'an yakni Surat Al A'raaf ayat 157-158.
Di malam yang sama secara dramatis Ibrahim menyimpulkan, "Saya mengambil keputusan akhir saya. Di pagi hari saya berbicara dengan istri yang dengannya saya memperoleh tiga anak lelaki dan satu orang putri,"
Namun tidak lama setelah ia merasa Ibrahim bertambah semakin menerima Islam dari yang ia takutkan ia meminta bantuan dari kepala misionari bernama Monsieur Shavits dari Switzerland. Dalam pandangan Ibrahim pria itu mempunyai kemampuan mempersuasi orang.
Ia bertanya pada Ibrahin tentang kebenaran berita itu. Ibrahim pun mengatakan terus terang apa yang ia inginkan dan Shavits berkata,
"Pertimbangkan dirimu keluar dari pekerjaan hingga kami menemukan apa yang menimpa dirimu,"
Ibrahim langsung menjawab," Ini pengundurang diri saya dari pekerjaan,"
Shavits meyakinkan Ibrahim untuk menunda itu namun Ibrahim bersikeras, dan Shavits pun memunculkan rumor Ibrahim telah gila. Ibrahim pun mesti menjalani serangkaian tes penuh tekanan hingga ia meninggalkan Aswan dan kembali ke Kairo.
Ketika di Kairo ia sempat dikenalkan dengan seorang guru besar Islam dihormati, Muhammad Abdul Moneim Al Jamal, yang membantunya menghadapi sidang mengerikan, dan Al Jamal melakukan itu tanpa mengetahui apapun cerita Ibrahim.
"Ketika Dr Jamal tahu saya telah mengundurkan diri dari pekerjaan di Aswan, dan saya menganggur, ia membantu saya mendapat pekerjaan di Perusahaan Alat Administrasi Standar di Kairo. Sehingga saya mapan kembali tak lama kemudian," ujarnya Ibrahim.
Hanya saja ia mengaku tidak bercerita pada istrinya tentang niat memeluk Islam, sehingga sang istri mengira Ibrahim telah melupakan segalanya dan tak lebih dari sekedar krisis keimanan yang tak lagi ada.
"Namun saya tahu pasti jika peralihan keyakinan saya membutuhkan bukti dan sejumlah langkah rumit panjang. Saat itu fakta yang terjadi adalah pertempuran dalam hati yang saya tunda untuk beberapa saat hingga saya benar-benar saya pahami setelah saya melengkapi studi perbandingan," tutur Ibrahim
Pada 25 Desember 1959 ia mengirimkan telegram kepada Dr Thompson, kepala Misionaris Amerika di Mesir memberi informasi jika ia akan memeluk Islam.
Setelah mengirim telegram masalah baru dimulai. Tak tanggung-tangguh tujuh rekan seperkuliahan sekaligus membujuknya membatalkan ikrar tersebut, namun Ibrahim bergeming.
Mereka bahkan mengancam akan memisahkannya dengan istrinya. Ibrahim menjawab, "Ia bebas untuk melakukan apa yang ia inginkan,". Mereka juga mengancam akan membunuhnya. Namun demi melihat sikat Ibrahim yang keras kepala, mereka meninggalkannya sendiri dan meminta teman lama Ibrahim yang juga teman seperkuliahan.
Sang teman sangat luar biasa keras mempengaruhi, dan menghina Ibrahim, yang dihina pun menjawab, "Kamu seharusnya menghina mereka yang melecehkan Tuhan dengan mendengarkan Al Qur'an dan mempercayai kebenaran yang kamu tahu tapi kau tolak,". Teman Ibrahim pun meninggalkannya setelah tahu semua upaya sia-sia belaka.
Pada bulan Januari 1960, Ibrahim pun resmi memeluk Islam.
Istri Ibrahim meninggalkannya dan mengambil semua perabot dalam rumah. "Namun semua anak saya menerima dan memeluk islam, yang paling antusias adalah putra pertama saya Isaac yang mengganti namanya menjadi Osman, anak kedua Joseph, dan yang ketiga Samuel mengganti nama menjadi Jamal, dan anak perempuan bernama Majida menjadi Najwa," tutur Ibrahim.
Ibrahim menulis dalam majalah La Monde, "Yang saya sesalkan istri saya meninggalkan rumah selama enam tahun, tapi kemudian setuju kembali pada 1966 tetap dengan agamanya. Saya menerima ini karena di Islam tidak ada paksaan dalam agama,"
"Saya berkata 'Saya tak ingin kamu peluk Islam karena saya, tapi hanya karena kamu yakin," lanjut Ibrahim dalam tulisan tersebut.
Akhirnya ketika ditanya apa hal yang membuat ia paling tertarik terhadap Islam, ia menjawab ia sangat menyukai sistem pengampunan dosa dalam Islam dan hubungan langsung antara Tuhan dan hambanya.
Namun diantara itu semua ia berkata "Saya terutama tertarik dengan konsep satu Tuhan, yang paling penting dalam Islam. Tuhan hanya satu dan tak ada yang menyerupai-Nya. Kepercayaan ini membuat saya menghamba kepada Tuhan saja, bukan yang lain. Penyerahan diri pada satu Tuhan membebaskan orang menyembah dan takut pada manusia, dan itulah kebebasan sesungguhnya,".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar