Ramalan
Jayabaya atau sering disebut jangka Jayabaya
adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh
Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan
masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal-usul
utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh
Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas
bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat
ramalan-ramalan tersebut.
“
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu
Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang
berani. ”
Meskipun
demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya,
yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa bahwa Prabu
Jayabaya memiliki karya tulis dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin
Bharatayuddha, [[Kakawin Hariwangsa],] dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin
Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang
disebut peperangan Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin
Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah
denganRukmini dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan
Dewi Sri.
Asal-usul
Dari
berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada
umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu,
yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang
kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun
dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang
ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah
sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab
Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran
Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada
tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran
yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah
"Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau
keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya
dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5)
mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga,
Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping
itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala
zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa
buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad
Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku
Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur
Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian
diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu
masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu
untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van
Hoorn.
Ketika
keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta
pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban
sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih
untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang
Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M,
yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai
Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu
berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III),
sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi
Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Analisis
Jangka
Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang
sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3
tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab
Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir
bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti
dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut
sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman
peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M,
yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali
pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat
”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak
Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481)
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini
kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan
Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat
julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian
karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah
Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi
pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah
Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu
Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan
Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari
(ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan
muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah
seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di
seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat
Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun
dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti
dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau
dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka
lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram
sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang
Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 dan 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia
oleh Sultan Agung).
Oleh
Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang
lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari
Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu
Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal
masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis
kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan
antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan
negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu
dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk
karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi
generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita
yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber
semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi,
sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh
yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang
diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup
diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga
Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka
Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para
pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber
perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya
karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat
ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa
karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau
ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan
historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua
itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri
ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata
karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis
kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M)
bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan
begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Kitab
Musasar Jayabaya
Asmarandana
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya
di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu.
Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra
lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja
negara-nya.
Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu.
Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari
Rum bernama, Sultan Maolana.
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen.
Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita
lain bangsa pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen
berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai
Kitab Musarar.
Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi
kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan
dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja
Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat
tinggal menitis 3 kali.
Kelak akan diletakkan dalam teken Sang
Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan
kutbah,
Senjata ecis itu yang bernama Udharati.
Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P.
Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat
duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
Setelah sang putra datang lalu diajak ke
gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata.
Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara
Wisnu..
Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu
sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya
bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang.
Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk
ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya.
Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu
talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang
pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar
menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga
endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena
takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Sang putra akan bertanya merasa takut.
Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan
putranya.
Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang
saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen
tatkala masih muda.
Sinom
Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh
guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji,
musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3
kali lagi.
Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada
zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak
mungkin berobah lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan
Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi.
Menghancurkan keburukan.
Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan
tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah
terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali.
Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang
bernama Kala-wisesa.
Lambangnya: Sumilir naga kentir semune
liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata
negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi
diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar.
Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati
Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil
negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya
waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di
Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar
Diyati Kalawisaya.
Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang
bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa
uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan
durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga.
Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36
tahun kemudian musnah.
Negara ini diberi lambang: cangkrama putung
watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu
memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram.
Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
Dicintai pasukannya. Kuat angkatan
perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya
Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat
kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki
Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Kemudian berganti lagi dengan lambang:
Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan
diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab
melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat
sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga
terpandang di pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan
Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
Raja berpasukan campur aduk. Disegani
setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya
brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama
kemudian berganti.
Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja
yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita)
kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti,
namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya
dan hukum tidak karu-karuan.
Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang
anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara
geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam
bencana yang tidak dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat.
Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang
Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah.
Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat
sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti
dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang
selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang
tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ),
sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen
datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami
lambang tersebut.
Pajak rakyat banyak sekali macamnya.
Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat
makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah
kesengsaraan negara.
Hukum dan pengadilan negara tidak berguna.
Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang
jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan
Tuhan dan orang tua.
Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya
diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir.
Kemudian ada tanda negara pecah.
Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah
waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan.
Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih
semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di
bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar
Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua
di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan
menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung
Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal
sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya
dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu
pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
RAMALAN JAYABAYA
1. Besuk
yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada
kereta tanpa kuda.
2. Tanah
Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
3. Prahu
mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di
angkasa.
4. Kali
ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar
ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
6. Iku
tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak
--- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi
saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama
semakin mengerut.
8. Sekilan
bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran
doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
10. Wong
wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan
berpakaian lelaki.
11. Iku
tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman---
Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh
janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
13. keh
wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang
berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa
padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar
kesalahan.
15. Ora
ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum
Hyang Widhi.
16. Barang
jahat diangkat-angkat--- Yang jahat
dijunjung-junjung.
17. Barang
suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh
manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya
mementingkan uang.
19. Lali
kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20.
Lali kabecikan---
Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali
sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22.
Akeh bapa lali anak---
Banyak ayah lupa anak.
23.
Akeh anak wani nglawan ibu---
Banyak anak berani melawan ibu.
24.
Nantang bapa---
Menantang ayah.
25.
Sedulur padha cidra---
Saudara dan saudara saling khianat.
26.
Kulawarga padha curiga---
Keluarga saling curiga.
27.
Kanca dadi mungsuh
--- Kawan menjadi lawan.
28.
Akeh manungsa lali asale
--- Banyak orang lupa asal-usul.
29.
Ukuman Ratu ora adil
--- Hukuman Raja tidak adil
30.
Akeh pangkat sing jahat lan
ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
31. Akeh
kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat
ganjil
32.
Wong apik-apik padha
kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
33.
Akeh wong nyambut gawe
apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja
halal justru merasa malu.
34.
Luwih utama ngapusi ---
Lebih mengutamakan menipu.
35.
Wegah nyambut gawe ---
Malas untuk bekerja.
36.
Kepingin urip mewah ---
Inginnya hidup mewah.
37.
Ngumbar nafsu angkara
murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara
murka, memupuk durhaka.
38.
Wong bener thenger-thenger
--- Orang (yang) benar termangu-mangu.
39.
Wong salah bungah
--- Orang (yang) salah gembira ria.
40.
Wong apik ditampik-tampik---
Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41. Wong
jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik
pangkat.
42.
Wong agung kasinggung---
Orang (yang) mulia dilecehkan
43.
Wong ala kapuja---
Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44.
Wong wadon ilang
kawirangane--- perempuan hilang malu.
45.
Wong lanang ilang
kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
46.
Akeh wong lanang ora duwe
bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
47.
Akeh wong wadon ora setya
marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
48.
Akeh ibu padha ngedol anake---
Banyak ibu menjual anak.
49.
Akeh wong wadon ngedol
awake--- Banyak perempuan menjual diri.
50.
Akeh wong ijol bebojo---
Banyak orang gonta-ganti pasangan.
51. Wong
wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang
kuda.
52.
Wong lanang linggih plangki---
Laki-laki naik tandu.
53.
Randha seuang loro---
Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54.
Prawan seaga lima---
Lima perawan lima picis.
55.
Dhudha pincang laku
sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
56.
Akeh wong ngedol ngelmu---
Banyak orang berdagang ilmu.
57.
Akeh wong ngaku-aku---
Banyak orang mengaku diri.
58.
Njabane putih njerone
dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
59.
Ngakune suci, nanging sucine
palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60.
Akeh bujuk akeh lojo---
Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh
udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
62.
Akeh prawan tuwa---
Banyak perawan tua.
63.
Akeh randha nglairake anak---
Banyak janda melahirkan bayi.
64.
Akeh jabang bayi lahir
nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65.
Agama akeh sing nantang---
Agama banyak ditentang.
66.
Prikamanungsan saya ilang---
Perikemanusiaan semakin hilang.
67.
Omah suci dibenci---
Rumah suci dijauhi.
68.
Omah ala saya dipuja---
Rumah maksiat makin dipuja.
69.
Wong wadon lacur ing
ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
70.
Akeh laknat---
Banyak kutukan
71. Akeh
pengkianat--- Banyak pengkhianat.
72.
Anak mangan bapak---Anak
makan bapak.
73.
Sedulur mangan sedulur---Saudara
makan saudara.
74.
Kanca dadi mungsuh---Kawan
menjadi lawan.
75.
Guru disatru---Guru
dimusuhi.
76.
Tangga padha curiga---Tetangga
saling curiga.
77.
Kana-kene saya angkara
murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78.
Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa
tahu terkena beban.
79.
Sing ora weruh ketutuh---Sedang
yang tak tahu disalahkan.
80.
Besuk yen ana peperangan---Kelak
jika terjadi perang.
81. Teka
saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur,
barat, selatan, dan utara.
82.
Akeh wong becik saya
sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
83.
Wong jahat saya seneng---
Sedang yang jahat makin bahagia.
84.
Wektu iku akeh dhandhang
diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang
bangau.
85.
Wong salah dianggep bener---Orang
salah dipandang benar.
86.
Pengkhianat nikmat---Pengkhianat
nikmat.
87.
Durjana saya sempurna---
Durjana semakin sempurna.
88.
Wong jahat munggah pangkat---
Orang jahat naik pangkat.
89.
Wong lugu kebelenggu---
Orang yang lugu dibelenggu.
90.
Wong mulya dikunjara---
Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing
curang garang--- Yang curang berkuasa.
92.
Sing jujur kojur---
Yang jujur sengsara.
93.
Pedagang akeh sing
keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
94.
Wong main akeh sing ndadi---Penjudi
banyak merajalela.
95.
Akeh barang haram---Banyak
barang haram.
96.
Akeh anak haram---Banyak
anak haram.
97.
Wong wadon nglamar wong
lanang---Perempuan melamar laki-laki.
98.
Wong lanang ngasorake
drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99.
Akeh barang-barang mlebu
luang---Banyak barang terbuang-buang.
100.
Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak
orang lapar dan telanjang.
101.
Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli
membujuk penjual.
102.
Sing dodol akal okol---Si
penjual bermain siasat.
103.
Wong golek pangan kaya
gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104.
Sing kebat kliwat---Yang
tangkas lepas.
105.
Sing telah sambat---Yang
terlanjur menggerutu.
106.
Sing gedhe kesasar---Yang
besar tersasar.
107.
Sing cilik kepleset---Yang
kecil terpeleset.
108.
Sing anggak ketunggak---Yang
congkak terbentur.
109.
Sing wedi mati---Yang
takut mati.
110.
Sing nekat mbrekat---Yang
nekat mendapat berkat.
111. Sing
jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
112.
Sing ngawur makmur---Yang
ngawur makmur
113.
Sing ngati-ati ngrintih---Yang
berhati-hati merintih.
114.
Sing ngedan keduman---Yang
main gila menerima bagian.
115.
Sing waras nggagas---Yang
sehat pikiran berpikir.
116.
Wong tani ditaleni---Orang
(yang) bertani diikat.
117.
Wong dora ura-ura---Orang
(yang) bohong berdendang.
118.
Ratu ora netepi janji,
musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119.
Bupati dadi rakyat---Pegawai
tinggi menjadi rakyat.
120.
Wong cilik dadi priyayi---Rakyat
kecil jadi priyayi.
121.
Sing mendele dadi gedhe---Yang
curang jadi besar.
122.
Sing jujur kojur---Yang
jujur celaka.
123.
Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak
rumah di punggung kuda.
124.
Wong mangan wong---Orang
makan sesamanya.
125.
Anak lali bapak---Anak
lupa bapa.
126.
Wong tuwa lali tuwane---Orang
tua lupa ketuaan mereka.
127.
Pedagang adol barang saya
laris---Jualan pedagang semakin laris.
128.
Bandhane saya ludhes---Namun
harta mereka makin habis.
129.
Akeh wong mati kaliren ing
sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
130.
Akeh wong nyekel bandha
nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta
tapi hidup sengsara.
131.
Sing edan bisa dandan---Yang
gila bisa bersolek.
132.
Sing bengkong bisa nggalang
gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
133.
Wong waras lan adil uripe
nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil
hidup merana dan tersisih.
134.
Ana peperangan ing njero---Terjadi
perang di dalam.
135.
Timbul amarga para pangkat
akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para
pembesar banyak salah faham.
136.
Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan
makin merajalela.
137.
Penjahat saya tambah---Penjahat
makin banyak.
138.
Wong apik saya sengsara---Yang
baik makin sengsara.
139.
Akeh wong mati jalaran saka
peperangan---Banyak orang mati karena perang.
140.
Kebingungan lan kobongan---Karena
bingung dan kebakaran.
141.
Wong bener saya
thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
142.
Wong salah saya
bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
143.
Akeh bandha musna ora
karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
144.
Akeh pangkat lan drajat
pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan
derajat lenyap entah mengapa.
145.
Akeh barang-barang haram,
akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak
haram.
146.
Bejane sing lali, bejane
sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147.
Nanging sauntung-untunge
sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
148.
Isih untung sing waspada---Masih
lebih beruntung si waspada.
149.
Angkara murka saya ndadi---Angkara
murka semakin menjadi.
150.
Kana-kene saya bingung---Di
sana-sini makin bingung.
151.
Pedagang akeh alangane---Pedagang
banyak rintangan.
152.
Akeh buruh nantang juragan---Banyak
buruh melawan majikan.
153.
Juragan dadi umpan---Majikan
menjadi umpan.
154.
Sing suwarane seru oleh
pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155.
Wong pinter diingar-ingar---Si
pandai direcoki.
156.
Wong ala diuja---Si
jahat dimanjakan.
157.
Wong ngerti mangan ati---Orang
yang mengerti makan hati.
158.
Bandha dadi memala---Hartabenda
menjadi penyakit
159.
Pangkat dadi pemikat---Pangkat
menjadi pemukau.
160.
Sing sawenang-wenang
rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
161.
Sing ngalah rumangsa kabeh
salah---Yang mengalah merasa serba salah.
162.
Ana Bupati saka wong sing
asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
163.
Patihe kepala judhi---Maha
menterinya benggol judi.
164.
Wong sing atine suci
dibenci---Yang berhati suci dibenci.
165.
Wong sing jahat lan pinter
jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin
kuasa.
166.
Pemerasan saya ndadra---Pemerasan
merajalela.
167.
Maling lungguh wetenge
mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
168.
Pitik angrem saduwure
pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
169.
Maling wani nantang sing
duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
170.
Begal pada ndhugal---Penyamun
semakin kurang ajar.
171.
Rampok padha keplok-keplok---Perampok
semua bersorak-sorai.
172.
Wong momong mitenah sing
diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
173.
Wong jaga nyolong sing
dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
174.
Wong njamin njaluk dijamin---Si
penjamin minta dijamin.
175.
Akeh wong mendem donga---Banyak
orang mabuk doa.
176.
Kana-kene rebutan unggul---Di
mana-mana berebut menang.
177.
Angkara murka ngombro-ombro---Angkara
murka menjadi-jadi.
178.
Agama ditantang---Agama
ditantang.
179.
Akeh wong angkara murka---Banyak
orang angkara murka.
180.
Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan
durhaka.
181.
Ukum agama dilanggar---Hukum
agama dilanggar.
182.
Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan
diinjak-injak.
183.
Kasusilan ditinggal---Tata
susila diabaikan.
184.
Akeh wong edan, jahat lan
kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang
akal budi.
185.
Wong cilik akeh sing
kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
186.
Amarga dadi korbane si
jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si
laknat.
187.
Banjur ana Ratu duwe
pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja
berpengaruh dan berprajurit.
188.
Lan duwe prajurit---Dan
punya prajurit.
189.
Negarane ambane saprawolon---Lebar
negeri seperdelapan dunia.
190.
Tukang mangan suap saya
ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
191.
Wong jahat ditampa---Orang
jahat diterima.
192.
Wong suci dibenci---Orang
suci dibenci.
193.
Timah dianggep perak---Timah
dianggap perak.
194.
Emas diarani tembaga---Emas
dibilang tembaga
195.
Dandang dikandakake kuntul---Gagak
disebut bangau.
196.
Wong dosa sentosa---Orang
berdosa sentosa.
197.
Wong cilik disalahake---Rakyat
jelata dipersalahkan.
198.
Wong nganggur kesungkur---Si
penganggur tersungkur.
199.
Wong sregep krungkep---Si
tekun terjerembab.
200.
Wong nyengit kesengit---Orang
busuk hati dibenci.
201.
Buruh mangluh---Buruh
menangis.
202.
Wong sugih krasa wedi---Orang
kaya ketakutan.
203.
Wong wedi dadi priyayi---Orang
takut jadi priyayi.
204.
Senenge wong jahat---Berbahagialah
si jahat.
205.
Susahe wong cilik---Bersusahlah
rakyat kecil.
206.
Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak
orang saling tuduh.
207.
Tindake manungsa saya
kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
208.
Ratu karo Ratu pada
rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para
raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209.
Wong Jawa kari separo---Orang
Jawa tinggal setengah.
210.
Landa-Cina kari sejodho
--- Belanda-Cina tinggal sepasang.
211.
Akeh wong ijir, akeh wong
cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212.
Sing eman ora keduman---Si
hemat tidak mendapat bagian.
213.
Sing keduman ora eman---Yang
mendapat bagian tidak berhemat.
214.
Akeh wong mbambung---Banyak
orang berulah dungu.
215.
Akeh wong limbung---Banyak
orang limbung.
216.
Selot-selote mbesuk
wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah
kelak terbaliknya zaman.
By : KOTA
KEDIRI
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
140. polahe wong Jawa kaya gabah
diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha
wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
141. banjir bandang ana ngendi-endi\
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang
pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
142. pancen wolak-waliking jaman\
amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani
padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang
eling lan waspadha\
143. ratu ora netepi janji\ musna kuwasa
lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan
wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa
turu\
144. sing edan padha bisa dandan\ sing
ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
145. wong dagang barang sangsaya laris,
bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel
bendha ning uriping sengsara\
146. wong waras lan adil uripe ngenes
lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\
wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha
musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan
sebabe\
147. bumi sangsaya suwe sangsaya
mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku
pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh
wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake
hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
149. akeh wong ngutamakake royal\ lali
kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\
akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca
dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat
jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik
manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
151. wanita nglamar pria\ isih bayi
padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\
Bait 152 sampai dengan 156 hilang
157. wong golek pangan pindha gabah den
interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing
cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing
ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
158. cina alang-alang keplantrang
dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong
injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
159. selet-selete yen mbesuk ngancik
tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa
ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak
Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih
mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur
wirang\
160. sadurunge ana tetenger lintang
kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\
parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur
prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih
wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon
dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
162. akeh wong dicakot lemut mati\ akeh
wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk
halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan kasat mata, tan arupa\ sing
madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi
nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji
163. apeparap pangeraning prang\ tan
pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong
sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih
pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
164. putra kinasih swargi kang jumeneng
ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni
sakabehing laku\ nugel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara
prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso
Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
165. pendhak Sura nguntapa kumara\ kang
wus katon nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk
wong tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
166. idune idu geni\ sabdane malati\
sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani
nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing
yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\
nanging inung pilih-pilih sapa\
167. waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi
lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa
diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\
bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise
siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
168. mula den upadinen sinatriya iku\
wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\
landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe
kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
169. sirik den wenehi\ ati malati bisa
kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja
kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira
sebrayat\
170. ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita
sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya
kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
171. aja gumun, aja ngungun\ hiya iku
putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune
tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\
marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing
jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\
aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula
sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den
marikelu\ beja-bejane anak putu\
172. iki dalan kanggo sing eling lan
waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak
dewa\ cures ludhes saka braja jelma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\
larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
173. nglurug tanpa bala\ yen menang tan
ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\
ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\
hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\
genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku
tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering
jagad raya\ padha asung bhekti\
You might also like:
TERJEMAHAN ALQUR’AN 30 JUZ
13.
SURAT 31. LUQMAN - SURAT 32. AS SAJDAH - SURAT 33. AL AHZAB - SURAT 34. SABA' - SURAT 35. FATHIR
23.
SURAT 101. AL QAARI'AH - SURAT 102. AT TAKAATSUR - SURAT 103. AL 'ASHR - SURAT 104. AL HUMAZAH - SURAT 105. AL FIIL - SURAT 106. QURAISY - SURAT 107. AL MAA'UUN - SURAT 108. AL KAUTSAR - SURAT 109. AL KAAFIRUUN - SURAT 110. AN NASHR - SURAT 111. AL LAHAB
PENTING : jika Anda merasa website ini bermanfaat, mohon do'akan supaya Allah
mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur keluarga kami
dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki
yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya
kami dapat memperbanyak amal shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan
bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan saudaranya,
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar