Ditulis oleh Dewan Asatidz
Pak Ustadz, Saya ingin bertanya
berkenaan dengan qurban pada Iedhul Adha.
Pertanyaan Saya :
1. Apakah qurban (baik kambing/sapi) itu ada nisabnya bagi Kita untuk mengeluarkannya seperti halnya saat Kita mengeluarkan zakat?
2. Jika Kita berqurban itu berapa kali dalam hidup Kita? Sekali dalam hidup ini, atau setiap tahun jika Kita memang mampu untuk mengeluarkan qurban?
Pertanyaan Saya :
1. Apakah qurban (baik kambing/sapi) itu ada nisabnya bagi Kita untuk mengeluarkannya seperti halnya saat Kita mengeluarkan zakat?
2. Jika Kita berqurban itu berapa kali dalam hidup Kita? Sekali dalam hidup ini, atau setiap tahun jika Kita memang mampu untuk mengeluarkan qurban?
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz, Saya ingin bertanya berkenaan dengan qurban pada Iedhul Adha.
Pertanyaan Saya :
1. Apakah qurban (baik kambing/sapi) itu ada nisabnya bagi Kita untuk mengeluarkannya seperti halnya saat Kita mengeluarkan zakat?
2. Jika Kita berqurban itu berapa kali dalam hidup Kita? Sekali dalam hidup ini, atau setiap tahun jika Kita memang mampu untuk mengeluarkan qurban?
3. Dalam niat berqurban, misal tahun ini Saya berqurban, dan saat disampaikan ke panitia qurban Saya berkata "Pak, ini qurban atas nama Saya". Berarti perhitungan amalnya itu untuk Saya. Namun semisal di tahun depan, Saya mengeluarkan uang untuk membeli seekor kambing, namun saat diserahkan ke panitia qurban Saya berkata "Pak, ini qurban untuk bapak Saya". Nah yang semacam ini bagaimana penjelasannya?
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan, Saya tunggu jawabannya. Dan mohon maaf bila ada kekurangannya.
Wassalamualiikum Wr. Wb.
Indra
Jawaban:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Sdr. Indra yang baik,
Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat, ibadah qurban artinya menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut juga "udzhiyah" artinya hewan yang disembelih sebagai qurban. Ibadah qurban disinggung oleh al-Qur'an surah al-Kauthar "Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah".
Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A'isyah, Rasulullah s.a.w. bersabda "Sabaik-baik amal bani adam bagi Allah di hari iedul adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya" (H.R. Tirmizi, Ibnu Majah). Dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah menyembelih dua ekor domba putih bertanduk, beliau meletakkan kakinya di dekat leher hewan tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir dan menyembelihnya" (H.R. Tirmizi dll).
Hukum ibadah qurban, Mazhab Hanafi mengatakan wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan Rasulullah s.a.w. bersabda "Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah). Ini menunjukkan seuatu perintah yang sangat kuat sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.
Mayoritas ulama mengatakan hukum qurban sunnah dan dilakukan setiap tahun bagi yang mampu. Mazhab syafi'i mengatakan qurban hukumnya sunnah 'ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalil yang melandasi pendapat ini adalah riwayat Umi Salamh, Rasulullah s.a.w. bersabda "Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih" (H.R. Muslim dll), hadist ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban. Dalam riwayat Ibnu ABbas Rasulullah s.a.w. mengatakan "Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat iedul adha" (H.R. Ahmad dan Hakim).
Qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun kepada kebutuhan per individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha dan tiga hari tasyriq.
Dalam beribadah qurban harus disertai niyat berqurban untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut mazhab Syafi'i mengatakan tidak sah tanpa seizin orang tersebut, demikian atas nama orang yang telah meninggal tidak sah bila tanpa dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada almarhum.
Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca bismillah, membaca sholawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan sesudahnya sarta berdoa " Ya Allah qurban ini dariMu dan untukMu".
Wallahu A'lam
Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz, Saya ingin bertanya berkenaan dengan qurban pada Iedhul Adha.
Pertanyaan Saya :
1. Apakah qurban (baik kambing/sapi) itu ada nisabnya bagi Kita untuk mengeluarkannya seperti halnya saat Kita mengeluarkan zakat?
2. Jika Kita berqurban itu berapa kali dalam hidup Kita? Sekali dalam hidup ini, atau setiap tahun jika Kita memang mampu untuk mengeluarkan qurban?
3. Dalam niat berqurban, misal tahun ini Saya berqurban, dan saat disampaikan ke panitia qurban Saya berkata "Pak, ini qurban atas nama Saya". Berarti perhitungan amalnya itu untuk Saya. Namun semisal di tahun depan, Saya mengeluarkan uang untuk membeli seekor kambing, namun saat diserahkan ke panitia qurban Saya berkata "Pak, ini qurban untuk bapak Saya". Nah yang semacam ini bagaimana penjelasannya?
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan, Saya tunggu jawabannya. Dan mohon maaf bila ada kekurangannya.
Wassalamualiikum Wr. Wb.
Indra
Jawaban:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Sdr. Indra yang baik,
Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat, ibadah qurban artinya menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut juga "udzhiyah" artinya hewan yang disembelih sebagai qurban. Ibadah qurban disinggung oleh al-Qur'an surah al-Kauthar "Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah".
Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A'isyah, Rasulullah s.a.w. bersabda "Sabaik-baik amal bani adam bagi Allah di hari iedul adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima oleh Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya" (H.R. Tirmizi, Ibnu Majah). Dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah menyembelih dua ekor domba putih bertanduk, beliau meletakkan kakinya di dekat leher hewan tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir dan menyembelihnya" (H.R. Tirmizi dll).
Hukum ibadah qurban, Mazhab Hanafi mengatakan wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan Rasulullah s.a.w. bersabda "Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku" (H.R. Ahmad, Ibnu Majah). Ini menunjukkan seuatu perintah yang sangat kuat sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.
Mayoritas ulama mengatakan hukum qurban sunnah dan dilakukan setiap tahun bagi yang mampu. Mazhab syafi'i mengatakan qurban hukumnya sunnah 'ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalil yang melandasi pendapat ini adalah riwayat Umi Salamh, Rasulullah s.a.w. bersabda "Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih" (H.R. Muslim dll), hadist ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban. Dalam riwayat Ibnu ABbas Rasulullah s.a.w. mengatakan "Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat iedul adha" (H.R. Ahmad dan Hakim).
Qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun kepada kebutuhan per individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha dan tiga hari tasyriq.
Dalam beribadah qurban harus disertai niyat berqurban untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut mazhab Syafi'i mengatakan tidak sah tanpa seizin orang tersebut, demikian atas nama orang yang telah meninggal tidak sah bila tanpa dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada almarhum.
Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca bismillah, membaca sholawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan sesudahnya sarta berdoa " Ya Allah qurban ini dariMu dan untukMu".
Wallahu A'lam
SEJARAH
QURBAN
Kurban wajib bagi orang yang mampu atau
berkecukupan tapi bila tidak melaksanakan kurban, Nabi Muhammad SAW
mengingatkan : "Barang siapa yang sudah mampu dan mempunyai kesanggupan
tapi tidak berkurban, maka dia jangan dekat-dekat kemushallahku." Hadis
tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang mampu dan banyak harta tapi
tidak mau berkurban.
Sejarah qurban itu dibagi menjadi tiga,
yaitu : zaman Nabi Adam As; zaman Nabi Ibrahim As; dan pada zaman Nabi Muhammad
SAW.
Pertama pada zaman Nabi Adam As. Qurban
dilaksanakan oleh putra-putranya yaitu bernama Qabil dan Habil. Kekayaan yang
dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok
peternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak
maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk qurban.
Sebagai petani si Qabil mengeluarkan
kurbannya dari hasil pertaniannya dan sebagai peternak si Habil mengeluarkan
hewan-hewan peliharaanya untuk kurban, untuk siapa semua itu diqurbankan,
padahal waktu itu manusia belum banyak. Diterangkan dalam sejarah, harta yang
diqurbankan itu disimpan di suatu tempat yaitu di Padang Arafah yang sekarang
menjadi napak tilas bagi para jemaah haji.
Baik buah-buahan yang diqurbankan si
Qabil maupun hewan ternak yang diqurbankan si Habil, dari kedua orang tersebut
mempunyai sifat berbeda. Si Habil mengeluarkan hewan diqurbankan dengan tulus
ikhlas. Dipilih hewan yang gemuk dan sehat, dan dia taat terhadap petunjuk
ayahnya Nabi Adam.Berbeda dengan si Qabil, Dia memilih buah-buahan yang
jelek-jelek dan sudah afkiran.
Ketika keduanya melaksanakan qurban,
ternyata yang habis adalah qurban yang dikeluarkan oleh si Habil sementara
buah-buahan yang dikeluarkan si Qabil tetap utuh, tidak berkurang. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27 : "Ceritakan
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari
meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata :
"Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil " Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".
Kurban si Habil di terima Allah SWT
karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan dikeluarkan
dengan tulus dan ikhlas. Sementara si Qabil mengeluarkan sebagian harta yang
jelek-jelek dan terpaksa. Oleh karena kurban tidak diterima Allah. Akhirnya si
Qabil menaruh dendam kepada si Habil. Berawal dari perebutan calon istrinya,
dimana peraturan waktu itu dengan sistem silang.
Kedua, pada zaman Nabi Ibrahim As.
Dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Ash-Shafaat ayat 100-111 yang menceritakan
mengenai qurban dan pengorbanan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun beliau
belum juga dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdoa: Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh" (Q.S>37:100)
Kemudian dari istrinya yang kedua yakni
Siti Hajar yang dinikahinya ketika Nabi Ibrahim mengadakan silaturahmi ke Mesir
(setiap kedatangan pembesar diberi hadiah seorang istri yang cantik oleh
pembesar Mesir).Dari Siti Hajar lahirlah seorang putra yang kemudian diberi
nama Islam, ia lahir di tengah-tengah padang pasir yang disebut. Bahkan
kemudian dikenal dengan Mekkah.
Pada saat Nabi Ibrahim diberi petunjuk
oleh Allah, agar meninggalkan istrinya Siti Hajar dengan seorang putranya yang
dari lahir dan ia disuruh menemui istrinya yang pertamanya yakni Siti Sarah
yang berada di Yerussalem kota tempat Masjidil Agsho. Beliau meninggalkan
beberapa potong roti dan sebuah guci besiris air untuk Siti Hajar dan Ismail.
Pada waktu Siti Hajar kehabisan makanan
dan air, ia melihat disebelah timur ada air yang ternyata adalah fatamorgana
yaitu di Bukit Sofa. Di situ Ismail ditinggalkan dan Siti Hajar naik Kebukit
Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali, tapi tidak juga
mendapatkan air sampai ai kembali ke Bukit Marwah yang terakhir. Ia merasa
khawatir terhadap anaknya barangkali Ismail kehausan dilihat kaki Ismail
bergerak-gerak diatas tanah dan tiba-tiba keluar air dari dalam tanah. Siti
Hajar berlari kebawah sambil berteriak kegirangan :"zami-zami?" itulah
kemudian
menjadi sumur Zam-Zam itulah kemudian
menjadi sumur Zam-zam. Di situlah Siti Hajar dan Nabi Ismail di padang pasir
yang kering kerontang yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim dan ditempat itulah
Allah SWT. Menetapkan sebagai tempat ibadah haji.
Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Hajj
: 27 : "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji, niscaya akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai onta kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh".
Memang sudah disiapkan oleh Allah,
disana tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada gunung berapi yang menyebabkan ada
sumber kehidupan tapi atas kehendak Allah maka jadilah sumur
"Zam-zam"."Nabi Ismail ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim yang
berada di Yerusalem sampai Nabi Ismail menjelang remaja. Kemudian di Yerusalem
ternyata Siti Sarah hamil yang melahirkan seorang putra yang diberi nama
Iskhak. Nabi Ibrahim diperintahkan lagi oleh Allah untuk kembali ke Mekkah
untuk menengok istri dan anaknya yang pertama yaitu Nabi Ismail, yang rupanya
sudah mulai besar. Dalam suatu riwayat kira-kira berusia 6-7 tahun. Sejak
dilahirkan sampai besar itu Nabi Ismail menjadi kesayangan. Tiba-tiba Allah
memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash Shaffaat :
102 : "Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama
Ibrahim, Ibrahim berkata : Hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pemdapatmu " Ia menjawab: "hai
bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".
Asbabun Nujul atau latar belakang
sejarahnya ketika nabi Ibrahim bermimpi (ruyal Haq). Dalam impiannya ia
mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail dan sampai
di Mina beliau menginap, beliau mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah
malamnya di Mina, masih bermimpi yang sama juga. Betapa ujian Berat kepada Nabi
Ibrahim as. Supaya menyembelih putra kesayangannya. Itulah yang dijelaskan
dalam surat Ash-Shaffaat ayat 102.
Setelah terjadi dialog dengan putranya.
Ibrahim mengajak putranya Nabi Ismail, kira-kira antara ratusan meter dari
tempat tinggalnya (Minah), baru lebih kurang 70-80 meter berjalan, setan
menggoda istrinya Siti Hajar: "Ya Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa
parang akan menyembelih anakmu Ismail yang sedang tumbuh dan menggemaskan
itu?". Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: "Ya Ibrahim, ya
Ibrahim mau dikemanakan anakku?" Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan
perintah Allah SWT, ditempat itulah dimana pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah
bagi jemaah haji disuruh melempar batu dengan membaca : Bismillahi Allahu
Akbar. Hal tersebut mengandung arti bahwa kita melempar setan atau sifat-sifat
setan yang ada di dalam diri kita. Akhirnya tibalah mereka di Jabal Qurban
kira-kira 200 meter dari tempat tinggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail,
sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat ASH-Shaffaat ayat 103-107:
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya kamu telah membenarkan mimpi
itu, sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang yang berbuat baik". Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar ".
Dan yang ketiga, dalam Zaman Nabi
Muhammad SAW. Masalah kurban diceritakan kembali yaitu di dalam surat
Al-Kautsar ayat 1-3 "Se-sungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat
yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berqurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus".
Berbicara tentang kenikmatan, Allah
mengingatkan: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah dapat kamu
mengitungnya" (QS:Ibrahim: 34). Oleh karena itu berkaitan dengan ibadah
kurban yang sudah ada sejak Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw.
Allah berfirman: "Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah",
Sholat merupakan hubungan vertikal dengan Allah untuk mensyukuri nikmat Allah.
Hubungan antara sesama manusia secara horisontal diwujudkan bahwa setelah
shalat Idul Adha yaitu dengan berkurban memotong hewan ternak berupa kambing
atau sapi untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Kita biasanya serius ketika beribadah
langsung dengan Allah tapi kadang-kadang ibadah sesama manusia seringkali
kurang serius. Allah SWT mengingatkan dalam surat Al-MaaHuun ayat 1-7 :
"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim.Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah
bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan ) barang
berguna".
Qurban ini merupakan masalah ubudiyah
yang bersifat sosial yang berhubungan dengan sesama manusia dengan cara
mengorbankan sebagian harta.
Maka qurban secara lughatan bahasa
dengan berdasarkan pada surat Al-Maidah ayat 27 "Qurban" berarti
mendekatkan diri kepada Allah SWT, untuk mendapatkan ridho serta mensyukuri
nikmat yang diberikan Allah SWT (surat Al-Kaustar) dengan memotong hewan
kurban, adalah untuk mendeka
tkan diri kepada Allah SWT. Memotong
hewan kurban; unta, sapi, kerbau, dan kambing, dengan tujuan taqwa kepada
Allah. Ditegaskan dalam surat Al-Hajj : 37 : "daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah tapi ketaqwaan
dari pada kamulah yang dapat mencapainya".
Waktu berkurban dimulai sejak tanggal 10
sampai dengan 13 Dzulhijjah. Masa memotong qurban pada tanggal 10 disebut
"Yaumul nahar"yaitu hari untuk menyembelih kurban. Sedangkan tanggal
11, 12, 13 dinamakan "yaumul tsyriq" Di luar waktu tersebut bila kita
memotong hewan dinamakan sedekah. Maka kalu niatnya berkurban harus dilakukan
padan waktu-waktu tersebut, yakni pada tanggal 10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.
Hukumnya berkurban ada dua pendapat:
Petama, wajib bagi orang yag mampu (kalau dibelikan kambing tidak akan
mengurangi kewajiban memberi nafkah kepada keluarga). Menurut Mazhab di luar
Syarii hukumnya sunnah mu’akadah. Adapun diwajibkan secara mutlak yaitu kurban
yang disebut Nadzar yang seseorang yang sudah meniatkan untuk memotong hewan
apabila niatnya terkabul.
Dasar kewajiban ibadah kurban juga berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa mempunyai kesanggupan dan kemampuan (untuk berqurban) tapi tidak mau berqurban maka janganlah dia mendekati Musholla kami".
Dasar kewajiban ibadah kurban juga berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa mempunyai kesanggupan dan kemampuan (untuk berqurban) tapi tidak mau berqurban maka janganlah dia mendekati Musholla kami".
Hadis ini merupakan suatu kritikan yang
seolah-olah Nabi Muhammad SAW berkata: "Kenapa kamu beribadah kepada Allah
begitu tekun, tapi kenapa kamu tidak mau berqurban padahal kamu memiliki harta
yang berlebihan". Oleh karena itulah bagi yang mampu hukumnya wajib untuk
berqurban yakinlah bahwa apabila kita berqurban tidak akan mengurangi kekayaan
kita dan tidak akan membuat kita menjadi miskin.
Adapun binatang yang boleh untuk
berqurban adalah unta, sapi, kerbau, dan kambing. Kalau tidak mampu, memang
tidak wajib. Diriwayatkan ada seorang sahabat yang miskin yang tidak sanggup
membeli seekor kambing, oleh karena itu dibolehkan hanya membeli dagingnya saja
untuk berqurban, tapi yang riel berqurban wujudnya memang seekor binatang
sebagaimana tersebut diatas.
Daging kurban boleh dibagikan kepada
tiga asnap menurut syariat. Boleh dimakan sekeluarga sendiri paling banyak 1/3
bagian, 1/3 bagian lagi untuk fakir miskin dan 1/3 bagian lagi untuk handai
tolan dan kenalan. Boleh juga secara keseluruhan diserahkan kepada panitia dan
terserah panitia yang membagikannya. Bila hanya minta pahanya saja bagi
berqurban masih diperbolehkan asal bukan qurban nadzar.
Apa hikma ibadah kurban? Hikmahnya
antara lain menggembirakan fakir-miskin. Sebab tidak semua orang mampu makan
dengan daging walau adanya di kota besar, masih banyak kawan kita, saudara
kita, tetangga kita yang makan daging sebulan sekali. Sehari-harinya hanya
makan alakadarnya. Maka dianjurkan sekali bagi orang yang mampu untuk berqurban
dengan niat ikhlas kelak dikemudian hari akan mengantarkan kita menuju surga
yaitu binatang yang telah kita kurbankan, yang merupakan wujud amal salehnya.
Dalam hadis yang lain nabi Muhammad SAW
bersabda : "Tiap-tiap rambut yang dikurbankan adalah merupakan
"Khair". Ungkapan "Khair" ini mengandung arti keselamatan,
kesejahteraan, kebahagiaan, kemurahan Allah dan kalau orang sudah mendapatkan
khairat maka berarti dia telah memperoleh segala-galanya dari Allah. Itulah
hikmah daripada ibadah qurban. Wallaahu 'alam bish-showab
Amalan
di 10 hari pertama Dzulhijjah hanya bisa ditandingi dengan jihad
Allah mengaruniakan kepada kita dalam setahun ada hari-hari yang mulia. Di antaranya 10 hari pertama Dzulhijjah, 10 hari terakhir Ramadhan dan 10 hari pertama Muharram, demikian kata para ulama. Terkhusus tema yang kita bahas, para ulama sampai-sampai menerangkan bahwa amalan di 10 hari pertama Dzulhijjah hanya bisa ditandingi dengan jihad.
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda, “Tidak ada amalan yang lebih mulia dari amalan yang dilakukan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” Para sahabat berkata, “Tidak pula bisa ditandingi dengan jihad?” “Walaupun dengan jihad. Kecuali jika seseorang keluar berjihad lalu sesuatu membahayakan diri dan hartanya lantas ia kembali dalam keadaan tidak membawa apa pun”, jawab beliau (HR. Bukhari no. 969).
Ibnu
Rajab Al Hambali berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari
pertama Dzulhijjah di sisi Allah lebih disukai oleh Allah dibanding hari-hari
lainnya tanpa ada pengecualian. Jika dikatakan Allah itu cinta, maka
menunjukkan hari-hari tersebut dinilai mulia di sisi-Nya.” (Lathoif Al Ma’arif,
458)
Beliau menambahkan pula, “Amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai afdhol dan dicintai oleh Allah dibanding hari-hari lainnya dalam setahun. Bahkan amalan yang mafdhul (kurang afdhol) jika dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai lebih baik dari hari lainnya walau di hari lainnya dilakukan amalan yang lebih afdhol.” (Lathoif Al Ma’arif, 458-459). Inilah pemahaman Ibnu Rajab yang beliau simpulkan dari sabda Nabi, “Tidak pula bisa ditandingi dengan jihad?”
Amalan di awal Dzulhijjah hanya bisa dikalahkan dengan jihad di mana seseorang menunggang kudanya lantas ia pulang dalam keadaan syahid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang berdo’a, “Ya Allah, berikanlah sesuatu yang afdhol sebagaimana yang diberikan pada hamba-hamba-Mu yang sholih.” Lantas beliau pun berkata, “Kalau begitu tunggangilah kudamu dan berjuanglah untuk mati syahid.” Jihad semacam ini kata Ibnu Rajab yang bisa mengungguli amalan di 10 hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan jihad di bawah jihad semacam itu atau jihad jenis lainnya jika dibanding dengan amalan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka tidak bisa ditandingi. Karena amalan di 10 hari tersebut lebih afdhol dan lebih dicintai di sisi Allah, begitu pula jika amalan pada hari-hari tersebut dibandingkan dengan amalan-amalan lainnya.
Ibnu Rajab sampai mengatakan pula, “Amalan yang sebenarnya kurang afdhol jika dilakukan di waktu utama, maka ia bisa menandingi amalan afdhol yang dilakukan di hari lainnya, bahkan amalan yang kurang afhol bisa bertambah dan berlipat ganjarannya.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 459)
Jadi hadits Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya telah menunjukkan berlipatnya pahala seluruh amalan sholih yang dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah tanpa ada pengecualian sedikit pun.
Beliau menambahkan pula, “Amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai afdhol dan dicintai oleh Allah dibanding hari-hari lainnya dalam setahun. Bahkan amalan yang mafdhul (kurang afdhol) jika dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah dinilai lebih baik dari hari lainnya walau di hari lainnya dilakukan amalan yang lebih afdhol.” (Lathoif Al Ma’arif, 458-459). Inilah pemahaman Ibnu Rajab yang beliau simpulkan dari sabda Nabi, “Tidak pula bisa ditandingi dengan jihad?”
Amalan di awal Dzulhijjah hanya bisa dikalahkan dengan jihad di mana seseorang menunggang kudanya lantas ia pulang dalam keadaan syahid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang berdo’a, “Ya Allah, berikanlah sesuatu yang afdhol sebagaimana yang diberikan pada hamba-hamba-Mu yang sholih.” Lantas beliau pun berkata, “Kalau begitu tunggangilah kudamu dan berjuanglah untuk mati syahid.” Jihad semacam ini kata Ibnu Rajab yang bisa mengungguli amalan di 10 hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan jihad di bawah jihad semacam itu atau jihad jenis lainnya jika dibanding dengan amalan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka tidak bisa ditandingi. Karena amalan di 10 hari tersebut lebih afdhol dan lebih dicintai di sisi Allah, begitu pula jika amalan pada hari-hari tersebut dibandingkan dengan amalan-amalan lainnya.
Ibnu Rajab sampai mengatakan pula, “Amalan yang sebenarnya kurang afdhol jika dilakukan di waktu utama, maka ia bisa menandingi amalan afdhol yang dilakukan di hari lainnya, bahkan amalan yang kurang afhol bisa bertambah dan berlipat ganjarannya.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 459)
Jadi hadits Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya telah menunjukkan berlipatnya pahala seluruh amalan sholih yang dilakukan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah tanpa ada pengecualian sedikit pun.
Apakah makna Kurban?
Jawab: Dalam bahasa Arab, Kurban dikenal dengan nama al-Udh-hiyyah, maknanya menurut
bahasa adalah hewan yang dikurbankan, atau hewan yang disembelih
pada hari Idhul Adha.
Sedangkan menurut Ahli Fiqh, al-Udh-hiyyah adalah menyembelih hewan tertentu, pada waktu
tertentu, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Definisi lain:
al-Udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT,
sejak hari Idul Adha hingga ke hari-hari Tasyrîq (11, 12 dan 13
Dzulhijjah)1.
Kapankah ibadah Kurban
disyari’atkan?
Jawab: Ibadah Kurban disyariatkan pada tahun kedua
Hijrah.
Apakah dasar hukum
disyariatkannya Kurban?
Jawab: Ibadah Kurban diwajibkan berdasarkan al-Qur‟an, Hadits dan Ijmâ’.
Apakah dalil ibadah
Kurban dari al-Qur’an?
Jawab: Firman Allah SWT:
“Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”. (Qs. Al-Kautsar [108]: 2).
Dan firman Allah SWT:
“Dan telah Kami jadikan
untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah”.
(Qs. Al Hajj[22]: 36).
1 Mughni
al-Muhtâj, al-Khathîb asy-Syarbaini, 4/282.
Apakah dalil yang
berasal dari Sunnah?
Jawab: hadits Rasulullah SAW:
“Tidaklah seorang
manusia melakukan suatu amal pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai
Allah SWT daripada menumpahkan darah (menyembelih kurban). Sesungguhnya hewan
kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan
kukunya.Sesungguhnya Allah SWT telah menerima niat berkurban itu sebelum
darahnya jatuh ke tanah.Maka jadikanlah diri kamu menyukai ibadah kurban itu”. (HR.Al-Hâkim, Ibnu Mâjah dan at-Tirmidzi).
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
“Rasulullah SAW berkurban dua ekor Kibasy berwarna putih bersih
dan bertanduk bagus. Aku
melihat Rasulullah SAW meletakkan kakinya keatas sisi tanduk
(kanan) hewan kurban itu
sambil menyebut nama Allah dan bertakbir. Rasulullah SAW
menyembelih kedua hewan
kurban itu dengan tanganya sendiri”. (HR. al-Bukhâri dan Muslim).
Disamping itu kaum muslimin telah Ijmâ’ tentang disyariatkannya ibadah kurban ini.
Hadits diatas menunjukkan bahwa berkurban adalah ibadah yang
sangat dicintai Allah SAW
pada hari Nahar. Allah SWT menerima pahala kurban sebelum darah
hewan kurban yang
disembelih itu menetes ke tanah, menunjukkan betapa cepatnya keridhaan
Allah SWT
diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan ibadah Kurban.
Ibadah kurban ini juga
merupakan Sunnah Nabi Ibrahim AS., sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (Qs. Ash-Shâffât [37]: 107).
Apakah hukum berkurban?
Jawab: Berkurban itu hukumnya Sunnat bagi yang mampu
melaksanakannya, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata, “Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda,
“Ada tiga perkara yang
wajib bagiku dan sunnat bagi kamu; shalat Witir, menyembelih Kurban dan shalat
Dhuhâ”. (HR.Ahmad, al-Hakim dan
ad-Daraquthni).
Dan hadits,
“Aku diperintahkan untuk berkurban, tidak wajib (bagi kamu)”. (HR.
at-Tirmidzi).
Dalam sebuah Atsar yang diriwayatkan oleh Imam
al-Baihaqi disebutkan,
Imam Syafi‟i –rahimahullâh- berkata, “Telah sampai (suatu riwayat) kepada
kami bahwa Abu
Bakar ash-Shiddiq dan Umar RA pernah tidak berkurban karena tidak
ingin diikuti sehingga
orang yang melihatnya menyangka bahwa berkurban itu wajib”.
Apakah syarat bagi orang
yang berkurban?
Jawab: - Beragama Islam.
- Bebas/merdeka (bukan hamba sahaya).
- Akil baligh.
- Berakal.
- Mampu untuk berkurban.
Siapakah orang dianggap
mampu berkurban?
Jawab: Orang yang dikategorikan mampu berkurban adalah orang
yang mampu memenuhi
kebutuhan pokok untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib
ia nafkahi pada hari Idul
Adha dan hari-hari Tasyrîq, kemudian ia memiliki dana yang cukup
untuk menyembelih hewan
kurban1.
1 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2708.
Kapankah waktu
penyembelihan hewan kurban?
Jawab: Penyembelihan hewan kurban boleh dilaksanakan
beberapa saat setelah terbitnya matahari
pada hari Idul Adha. Waktu beberapa saat tersebut diukur dengan
waktu kira-kira selama dua
rakaat shalat dan dua khutbah yang singkat. Jika hewan kurban
disembelih sebelum waktu
tersebut, maka sembelihan Kurban tidak sah, berdasarkan hadits
yang terdapat dalam Shahîh
al-Bukhâri dan Muslim,
“Sesungguhnya awal kami
memulai (sembelihan Kurban) pada hari kami ini adalah; bahwa kami melaksanakan
shalat (Idhul Adha), kemudian kami kembali, kemudian kami menyembelih hewan
kurban. Siapa yang melaksanakan itu, maka sungguh ia telah melaksanakan Sunnah dan
siapa yang menyembelih Kurban sebelum shalat (Idul Adha), maka itu hanyalah
menjadi daging yang ia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah
(Kurban) walau sedikitpun”.
Waktu penyembelihan Kurban tersebut berlanjut hingga hari-hari
Tasyrîq (11, 12 dan 13Dzulhijjah). Berdasarkan hadits Rasulullah SAW,
“Seluruh hari-hari
Tasyrîq itu adalah hari-hari penyembelihan hewan Kurban”.
(HR.Ahmad dan ad-Daraquthni).
Apakah pada malam
harinya juga boleh dilakukan penyembelihan hewan Kurban?
Jawab: Waktu yang afdhal untuk menyembelih Kurban adalah
siang hari. Boleh dilakukan malam
hari, akan tetapi hukumnya makruh. Karena dalam sebuah hadits
disebutkan,
“Rasulullah SAW melarang menyembelih hewan pada malam hari”.
(HR.ath-Thabrâni)1.
Baihaqi dari al-Hasan
secara Mursal. (Nail al-Authâr, asy-Syaukâni, 5/126).
1 Dalam
sanadnya terdapat seorang perawi yang statusnya Matrûk.
Diriwayatkan oleh al-
Hewan-hewan jenis apa
sajakah yang boleh dijadikan sebagai hewan Kurban?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa hewan yang boleh
disembelih sebagai Kurban hanyalah
hewan jenis Na’am/An’âm (binatang
ternak) seperti Unta, Lembu, Kerbau dan Kambing
dengan berbagai jenisnya. Berdasarkan firman Allah SWT,
“Dan bagi tiap-tiap
umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah
terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka”.(Qs. al-Hajj [22]: 34).
Juga karena tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para
shahabat yang menyebutkan bahwa mereka menyembelih hewan-hewan jenis lain
sebagai Kurban.
Apakah hewan yang paling
afdhal disembelih sebagai Kurban?
Jawab: Unta, kemudian Lembu, kemudian Domba, kemudian
Kambing. Dilihat dari hewan yang
paling banyak dagingnya dan karena tujuannya agar fakir miskin
yang memperoleh daging
Kurban lebih banyak. Juga berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang
menyebutkan,
“Siapa yang mandi pada
hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian ia pergi ke masjid, maka seakan-akan
ia berkurban seekor unta. Siapa yang pergi pada waktu kedua,maka seakanakan ia
berkurban seekor lembu. Dan siapa yang pergi pada waktu ketiga, maka
seakan-akan ia berkurban seekor kambing yang telah bertanduk”.
(HR.al-Bukhâri dan Muslim).
Menyembelih hewan jantan lebih afdhal daripada hewan betina1.
Tujuh orang yang menyembelih tujuh ekor kambing lebih afdhal
daripada tujuh orang berkongsi menyembelih satu ekor lembu. Karena daging
kambing lebih baik2.
1 Al-Muntaqâ,
al-Bâji, 3/106.
2 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2721.
Adakah batasan usia bagi
hewan Kurban?
Jawab: Untuk unta, telah genap lima tahun dan memasuki
tahun ke enam. Untuk lembu dan
kambing, telah genap dua tahun dan memasuki tahun ketiga. Dan
untuk domba, memasuki
usia ke dua tahun1.
Apakah ada syarat
tertentu tentang batasan jumlah orang yang berkurban untuk satu ekor hewan
kurban?
Jawab: Satu ekor kambing hanya boleh untuk satu orang.
Sedangkan satu ekor unta dan lembu
untuk tujuh orang. Berdasarkan hadits,“Kami menyembelih hewan
Kurban bersama Rasulullah SAW pada tahun Hubaibiyah; satu ekor unta untuk tujuh
orang dan satu ekor lembu untuk tujuh orang”. (HR. Muslim).
Apakah boleh menyembelih
hewan bercacat?
Jawab: Tidak boleh dan ibadah kurbannya tidak sah,
berdasarkan hadits Rasulullah SAW
“Dari al-Barrâ‟ bin „Âzib, bahwa Rasulullah SAW ditanya, “Hewan kurban apakah
yang mesti
dihindari?”. Rasulullah SAW menunjuk dengan tangannya seraya
berkata, “Ada empat”. Al-
Barrâ‟ (juga) mengisyaratkan dengan
tangannya (ketika ia meriwayatkan hadits ini) seraya
berkata, “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah SAW.
(empat jenis cacat hewan
tersebut adalah): hewan yang menderita sakit pada kaki, sakit
tersebut sangat jelas (hingga
tidak mampu berjalan mengikut hewan lain), hewan yang salah satu
matanya buta, hewan
yang menderita suatu penyakit dan hewan yang sangat kurus sehingga
tidak memiliki tulang
sum-sum”. (HR. Malik).
1 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2723.
Apakah perkara-perkara
yang dianjurkan bagi orang yang akan berkurban?
Jawab: Bagi orang yang akan berkurban, jika telah memasuki
tanggal 10 Dzulhijjah, disunnatkan
agar tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku, hingga ia
menyembelih hewan
kurbannya. Berdasarkan hadits,
“Apabila kamu melihat
Hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang kamu akan berkurban, maka hendaklah ia
menahan (dirinya) dari (memotong) rambut dan kukunya”. (HR. Muslim). Jika ia tetap melakukannya, maka hukumnya makruh dan ibadah
kurbannya tetap sah.
Saat penyembelihan, dianjurkan agar menghadapkan hewan Kurban ke
arah Kiblat dengan meletakkan sisi kiri tubuh hewan Kurban pada bagian bawah.
Berdasarkan hadits,
“Rasulullah SAW berkurban dua ekor Kibasy berwarna putih bersih
dan bertanduk bagus.
Aku melihat Rasulullah SAW meletakkan kakinya keatas sisi tanduk
(kanan) hewan kurban itu
sambil menyebut nama Allah dan bertakbir. Rasulullah SAW
menyembelih kedua hewan
kurban itu dengan tanganya sendiri”. (HR. al-Bukhâri dan Muslim)
Adakah bacaan khusus
ketika akan menyembelih hewan Kurban?
Jawab: Mengucapkan,“Dengan nama Allah dan Allah Yang Maha
Besar. Ya Allah, dari-Mu dan untuk-Mu”.
Berdasarkan hadits Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Rasulullah SAW
menyembelih dua ekor Kibas pada hari Idul Adha. Ketika beliau menghadapkan dua
ekor Kibas itu, beliau mengucapkan, “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku
kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan patuh dan tidaklah aku tergolong dari orang-orang musyrik.
Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang
muslim pertama. Dengan nama Allah dan Allah
Yang Maha Besar.
Ya Allah, dari-Mu dan
untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya”. (HR. al-Hâkim)
Apakah orang yang
berkurban mesti menyembelih hewan kurbannya sendiri?
Jawab: Disunnatkan agar yang menyembelih hewan Kurban
tersebut adalah orang yang berkurban,
berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, karena beliau menyembelih
sendiri hewan kurbannya.
Namun boleh juga mewakilkannya kepada orang lain, karena dari
penyembelihan seratus ekor
hewan kurban, sebagiannya diwakilkan Rasulullah SAW kepada Ali RA.
Bagi perempuan
dianjurkan agar mewakilkan penyembelihan hewan kurban kepada orang
lain.
Bagi seseorang yang
menyembelihkan hewan Kurban orang lain, apakah ia mesti menyebutkan nama orang yang berkurban?
Jawab: Ia tidak mesti menyebutkan nama orang yang
berkurban, karena niat orang yang berkurban
itu sudah mencukupi. Jika ia tetap menyebutkan nama orang yang berkurban,
maka itu boleh
dilakukan, karena Rasulullah SAW mengucapkan,
“Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat
Muhammad”.
Kemudian Rasulullah SAW menyembelih hewan Kurbannya”. (HR.
Muslim).
Menurut Imam al-Hasan, bacaan bagi orang yang menyembelihkan hewan
kurban
orang lain adalah,“Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar. Ini
dari-Mu dan untuk-Mu. Terimalah dari si fulan(dengan menyebutkan nama orang
yang berkurban)”.
Apakah orang yang
berkurban boleh memakan daging hewan Kurbannya ?
Jawab: Jika Kurbannya itu adalah Kurban Nadzar, maka ia
tidak boleh memakannya, demikian juga
dengan orang-orang yang wajib ia beri nafkah. Semuanya wajib
disedekahkan.
Jika Kurban itu adalah Kurban Sunnat, maka orang yang berkurban
itu dianjurkan agar
memakan sebagian dagingnya. Bahkan afdhal baginya untuk memakan
satu suapan dari
daging Kurbannya itu untuk mengambil berkah dari ibadah Kurbannya.
Berdasarkan firman
Allah SWT, “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir”. (Qs. al-Hajj [22]: 28).
Dalam sebuah hadits disebutkan,“Ketika Rasulullah SAW kembali,
beliau memakan hati hewan Kurbannya”. (HR. al-Baihaqi).
Apakah orang yang belum
akikah boleh berkurban?
Jawab: Orang yang belum akikah boleh melaksanakan ibadah
kurban dengan beberapa alasan.
Pertama, karena hukum akikah dan kurban sama-sama Sunnat Mu‟akkad.
Kedua, karena akikah itu kewajiban orang tua terhadap anaknya,
bukan kewajiban seseorang
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya, akikahnya itu
disembelihkan untuknya pada hari
ketujuh (kelahirannya), rambutnya dicukur dan diberi nama”.
(HR. Ahmad dan empat kitab as-Sunan).
Disamping itu, menurut Mazhab Hanafi ibadah Kurban menasakh semua
ritual penyembelihan hewan sebelum ibadah kurban, termasuk di dalamnya ibadah
Akikah. Nasakh itu berdasarkan ucapan Aisyah, “Ibadah kurban menasakh semua
ibadah penyembelihan sebelumnya”1.
Berdasarkan pendapat ini maka tidak ada kewajiban bagi orang yang
belum diakikahkan
agar ia mengakikahkan dirinya sendiri setelah ia dewasa.
1 Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2745.
Apakah boleh membagikan
daging kurban ke negeri lain?
Jawab: Boleh hukumnya membagikan daging kurban ke negeri
lain, apakah hewan kurban tersebut
disembelih di tempat orang yang berkurban maupun di tempat lain
(tempat daging kurban
dibagikan). Berikut ini rinciannya menurut pendapat empat mazhab:
Menurut Mazhab Hanafi, makruh hukumnya mengalihkan daging kurban
dari suatu negeri ke negeri lain, sama seperti zakat, kecuali jika diberikan
kepada kerabat orang yang berkurban atau kepada penduduk negeri lain yang lebih
membutuhkan. Pengalihan distribusi tersebut tetap sah, meskipun hukumnya
makruh.
Menurut Mazhab Maliki, tidak boleh mengalihkan pembagian daging
kurban ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak meng-qashar shalat atau lebih,
kecuali jika penduduk negeri tersebut lebih membutuhkan daripada negeri tempat
orang yang berkurban, maka sebagian besar daging kurban wajib didistribusikan
ke negeri tersebut, sedangkan sisanya diberikan kepada penduduk negeri orang
yang berkurban.
Pendapat Mazhab Hanbali dan Syafi‟i sama seperti pendapat Mazhab Maliki, boleh hukumnya
mengalihkan pembagian daging kurban ke suatu negeri yang jaraknya kurang dari jarak
meng-qashar shalat. Jika jarak negeri tersebut melebihi jarak qashar shalat,
maka hukumnya haram1.
Apakah hukum menyembelih
kurban untuk orang lain yang masih hidup?
Jawab: Boleh hukumnya menyembelih kurban untuk orang lain.
Dalam kitab Musnad Ahmad
disebutkan sebuah hadits dari Abu Râfi‟, bahwa ketika Rasulullah SAW berkurban, beliau
membeli dua ekor kibas yang gemuk, bertanduk dan berwarna putih
bersih. Lalu beliau
menyembelih salah satu dari dua ekor kibas itu seraya mengucapkan:
“Ya Allah, ini dari ummatku semuanya; diantara mereka yang
mempersaksikan tauhid untuk-Mu dan bersaksi bahwa aku telah menyampaikan
(risalah Islam)”.Kemudian beliau menyembelih satu ekor lagi dengan
mengucapkan:“Ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad”. (HR.Ahmad).
Ibadah Kurban adalah ‘Ibâdah Badaniyah (fisik) dan Mâliyah (harta). Rasulullah SAW telah
berkurban untuk umat dan keluarganya, tentu saja mereka mendapatkan balasan
pahalanya, karena jika tidak demikian, tentulah perbuatan Rasulullah itu tidak
mengandung makna apa-apa1.
1 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2742.
Bagaimana pula hukumnya
menyembelih hewan kurban untuk orang yang telah meninggal dunia?
Jawab: Terdapat beberapa pendapat ulama dalam masalah ini.
Menurut Mazhab Syafi‟i, tidak boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia,
kecuali jika orang yang telah meninggalkan dunia itu meninggalkan
wasiat sebelum ia
meninggal. Karena Allah SWT berfirman:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”.
(Qs. An-Najm [53]: 39).
Jika orang yang telah
meninggalkan dunia tersebut meninggalkan wasiat, maka orang yang menerima
wasiat melaksanakannya dan semua dagingnya mesti disedekahkan kepada fakir
miskin. Orang yang melaksanakan wasiat dan orang lain yang mampu tidak boleh
memakan daging kurban tersebut, karena tidak ada izin dari orang yang telah
meninggal dunia untuk memakan daging kurban tersebut.Menurut Mazhab Maliki,
makruh hukumnya berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, jika orang
yang meninggal dunia itu tidak menyatakannya sebelum ia meninggal. Jika orang
yang meninggal itu menyebutkannya sebelum ia meninggal
dan bukan nadzar,
maka ahli warisnya dianjurkan agar melaksanakannya.
Menurut Mazhab
Hanbali, boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, daging hewan
kurban tersebut disedekahkan dan dimakan, balasan pahalanya untuk orang yang
telah meninggal dunia tersebut.
.
Mazhab Hanafi
berpendapat sama seperti pendapat Mazhab Hanbali, akan tetapi menurut Mazhab
Hanafi haram hukumnya memakan daging kurban yang disembelih untuk orang yang
telah meninggal dunia berdasarkan perintahnya, semua dagingnya mesti diserahkan
kepada fakir miskin1.
1 Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ’il Ibni ‘Utsaimin,
2/245
Bagaimanakah prosentase
pembagian daging hewan kurban?
Jawab: Daging hewan kurban boleh dibagi tiga; sepertiga
untuk orang yang berkurban, sepertiga
untuk kerabat dan sahabat (meskipun mampu) dan sepertiga untuk
fakir miskin. Berdasarkan
firman Allah SWT:
“Maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta”. (Qs. al-Hajj [22]: 36).
Firman Allah SWT:
“Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang
yang sengsara dan fakir”.
(Qs. al-Hajj [22]: 28).
Dan hadits:
“Rasulullah SAW memberikan (daging kurban) kepada keluarganya
sebanyak sepertiga, untuk para tetangganya yang fakir sebanyak sepertiga dan
untuk orang-orang yang meminta sebanyak sepertiga”. (HR. Abu Musa
al-Ashfahâni).
Bagaimanakah kurban pada
zaman dahulu? Apakah mereka mengenal istilah panitia kurban? Dan bagaimanakah
hak panitia kurban?
Jawab: Pada zaman dahulu semua proses kurban dilakukan
sendiri oleh orang yang berkurban, dari mulai membeli hewan kurban (bagi yang
bukan peternak), merawat hewan kurban menjelang hari penyembelihan, proses
penyembelihan hewan kurban dan sampai pada distribusi daging hewan kurban
dilakukan sendiri oleh orang yang berkurban. Mereka tidak mengenal istilah panitia
kurban.
Dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial masyarakat, tidak
semua orang memiliki waktu luang untuk melakukan proses panjang ibadah kurban
tersebut. Maka sekelompok masyarakat membentuk paniti kurban. Sebenarnya
panitia kurban tidak memiliki hak apa-apa terhadap daging kurban yang mereka
kelola. Apa yang mereka lakukan murni sebagai aktifitas sukarela dan hanya
mengharapkan balasan pahala dari Allah SWT atas perbuatan baik yang mereka
lakukan dengan membantu orang lain.
1 Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2744.
Apakah panitia kurban
boleh mengambil sebagian daging kurban sebelum dibagikan? Misalnya, setelah
hewan kurban disembelih, panitia kurban mengambil sebagian dari daging kurban,
kemudian mereka memasak dan memakannya bersamasama. Sementara daging kurban
tersebut belum dibagi bagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Apakah hukum masalah tersebut?
Jawab: Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa panitia kurban
tidak memiliki dan kuasa terhadap daging kurban. Jika daging kurban tersebut
belum dibagi-bagikan, maka panitia kurban tidak berhak untuk mengambil sebagian
dari daging tersebut, karena status kepemilikan daging tersebut belum
ditentukan. Jika panitia tetap mengambilnya, berarti mereka telah mengambil daging
yang belum jelas siapa pemiliknya.
Solusinya:
- Daging tersebut mesti dibagi-bagikan terlebih dahulu.
- Jika diantara panitia kurban tersebut ada yang berkurban,
kemudian ia mengikhlaskan
bagian/jatahnya untuk dimasak, maka yang demikian dibolehkan.
- Seandainya tidak ada diantara para panitia itu yang berkurban,
maka bagian/jatah
panitia lah yang mesti dimasak.
Yang perlu ditekankan, mesti diketahui jatah/bagian siapa yang
dimasak dan dimakan, karena
daging yang tumbuh dari yang haram lebih utama untuk api neraka.
Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
“Setiap daging yang
tumbuh dari yang haram, maka nerakalah yang lebih utama baginya”.
(HR. al-Baihaqi).
Apakah panitia kurban
boleh menjual kulit dan tanduk hewan kurban dan hasil penjualannya untuk
masjid?
Jawab: Pada dasarnya, hak milik kulit, tanduk dan lain
sebagainya ada pada orang yang berkurban.
Haram hukunya menjual kulit, lemak, daging, kepala dan bulu hewan
kurban1. Rasulullah SAW
bersabda,
“Siapa yang menjual
kulit hewan kurbannya, maka berarti ia tidak berkurban”.
(HR. al-Hakim).
Orang yang berkurban boleh menggunakan kulit hewan kurbannya, berdasarkan
dalil bahwa Aisyah RA membuat kulit hewan kurbannya sebagai tempat air2.
Orang yang berkurban memberitahukan kepada panitia tentang
pemanfaatan kulit dan tanduk, karena kulit dan tanduk tersebut adalah hak
miliknya. Maka ia boleh menyedekahkan atau memanfaatkannya. Akan tetapi lebih
afdhal jika ia sedekahkan. Namun bukan berarti diberikan kepada panitia, akan
tetapi disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Apakah boleh memberikan
kulit, tanduk atau daging kepada orang yang
menyembelih hewan
kurban? Sebagai upah penyembelihan.
Jawab: Tidak boleh hukumnya memberikan kulit atau sebagian
dari tubuh hewan kurban kepada orang yang menyembelih hewan kurban sebagai
upah. Berdasarkan riwayat Imam Ali RA, ia berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan
aku mengurus hewan kurban beliau, agar aku bersedekah (membagi-bagikan) daging
hewan kurban, kulitnya dan kain penutupnya. Rasulullah SAW juga memerintahkan
aku agar aku tidak membarikan sebagiannya kepada orang yang menyembelih hewan
kurban tersebut”. (HR. Muslim).
Jika orang yang menyembelih hewan kurban itu diberi bagian dari
hewan kurban karena ia fakir miskin (membutuhkan), atau sebagai hadiah, maka
itu boleh dilakukan, karena ia termasuk orang yang berhak menerimanya, sama
seperti orang lain, bahkan ia lebih utama untuk menerimanya, karena ia ikut
mengerjakannya3.
1 Fiqh
Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/278.
2 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2741.
3 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2741.
Apakah boleh berkurban
dalam bentuk uang? Dengan cara mengeluarkan uang seharga hewan kurban?
Jawab: Menyembelih hewan kurban adalah salah satu dari
bentuk syi‟ar Allah SWT dan Sunnah
Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an:
“Demikianlah (perintah
Allah) dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari Ketakwaan hati”.
(Qs. al-Hajj [22]: 32).
Umat Islam diperintahkan agar mengikuti perbuatan Rasulullah SAW
sebagai suri tauladan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (Qs. al-Ahzâb [33]: 21).
Dan salah satu perbuatan Rasulullah SAW yang mesti diikuti adalah menyembelih hewan kurban.
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Mazhab Syafi‟i), berkurban itu lebih afdhal daripada bersedekah
Sunnat, berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan masyhur tentang keutamaan berkurban
dan karena dasar kewajiban melaksanakannya, berbeda dengan sedekah Sunnat. Juga
karena berkurban itu adalah syi‟ar yang nyata”1.
Meskipun boleh hukumnya bersedekah mengeluarkan uang seharga hewan
kurban,
akan tetapi berkurban tetap lebih afdhal, demikian disebutkan Imam
Ahmad bin Hanbal secara nash2.
Ibnu al-Musayyib berkata:
“Saya lebih suka berkurban daripada bersedekah seratus Dirham”3.
Kesimpulannya, bersedekah mengeluarkan uang seharga hewan kurban
itu
hukumnya boleh. Namun lebih afdhal jika menyembelih hewan kurban.
Akan tetapi dalam
masalah ini perlu diperhatikan berbagai aspek; efisiensi,
efektifitas, kondisi dan maslahat.
1 Al-Majmû’ Syarh
al-Muhadzdzab, Imam Nawawi, 8/425.
2 Al-Mughni,
Ibnu Qudâmah, 21/450.
3 Al-Mushannaf,
Abdurrazzâq, 4/388.
Apakah ibadah Kurban
wajib dilaksanakan sekali seumur hidup? Atau wajib setiap tahun?
Jawab: Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat
mazhab:
Menurut Mazhab Hanafi wajib dilaksanakan setiap tahun, berdasarkan
hadits:
“Siapa yang memiliki kemampuan,
akan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia
mendekati tempat
shalat kami”. (HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah).
Ancaman seperti ini hanya layak
ditujukan kepada suatu ibadah yang wajib dilaksanakan.
Sedangkan menurut Jumhur ulama hukumnya Sunnat bagi yang mampu,
berdasarkan
hadits:
“Apabila kamu melihat
Hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang kamu hendak berkurban, maka hendaklah
ia menahan (dirinya) dari (memotong) rambut dan kukunya”. (HR. Muslim). Dalam hadits ini dinyatakan bahwa ibadah kurban dikaitkan
dengan kehendak, yaitu pada kalimat“Hendak berkurkan”, ini menafikan hukum
wajib.
Sabda Rasulullah SAW:
“Ada tiga perkara yang
wajib bagiku, sunnat bagi kamu: shalat Witir, berkurban dan shalat Dhuha”. (HR. Ahmad).
Dan sabda Rasulullah SAW:
“Aku diperintahkan
untuk berkurban, tidak wajib (bagi kamu)”. (HR. at-Tirmidzi).
Ini didukung Atsar bahwa Abu Bakar dan Umar RA
pernah tidak berkurban karena jika
dilaksanakan setiap tahun dikhawatirkan kaum muslimin
menganggapnya wajib, padahal
hukum asalnya tidak wajib1.
1 As-Sunan
al-Kubrâ, al-Baihaqi, 9/264; Subul as-Salâm, ash-Shan’âni, 6/309.
Apakah non-muslim boleh
mendapat jatah pembagian daging hewan kurban?
Jawab: Menurut Mazhab Maliki, makruh hukumnya memberikan
daging hewan kurban kepada
orang Yahudi dan Nashrani. Sedangkan Mazhab Hanbali memperbolehkan
pemberian daging
hewan kurban kepada orang kafir, jika kurban tersebut adalah
kurban Sunnat. Sedangkan
kurban wajib tidak boleh diberikan kepada orang kafir walau
sedikit pun1.
Apakah hikmah yang dapat
dipetik dari pelaksanaan ibadah kurban?
Jawab: Diantara beberapa hikmah yang dapat dipetik dari
pelaksanaan ibadah Kurban:
- Melaksanakan perintah Allah SWT dan menegakkan salah satu dari
syi‟ar-Nya.
- Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.
- Membangkitkan semangat kebersamaan dan kepedulian sosial.
- Mengikis sifat kikir.
- Dan yang paling penting adalah memupuk ketakwaan kepada Allah
SWT.
Firman-Nya:
“Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,tetapi ketakwaan
dari kamulah yang dapat mencapainya”.
(Qs. al-Hajj [22]: 37).
1 Al-Fiqh
al-Islâmi wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaili, 4/2742.
PENTING
: Jika Anda merasa website ini bermanfaat,
mohon do'akan supaya Allah mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan
memanjangkan umur keluarga kami dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga
supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki yang halal,melimpah,mudah dan
berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya kami dapat memperbanyak amal
shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang
mendoakan kebaikan bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan
saudaranya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang
sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar