Banyak orang berharap laut menjadi masa depan (Kompas, 5/6/2009). Namun, jika laut tidak dijaga, harapan itu akan sirna. Kita tidak boleh menutup mata bahwa laut yang menjanjikan itu saat ini juga terancam dari berbagai tindakan manusia baik secara sengaja maupun tidak.
Sadarkah Anda bahwa satu gelas plastik bekas yang dibuang begitu saja di sungai atau di pinggir pantai akan menutupi dasar laut dan lama-kelamaan akan menggunung? Plastik yang telah lama menumpuk akan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil seukuran plankton, termakan oleh ikan dan secara tidak langsung menjadi santapan manusia.
Bayangkan, 10.000 gelas plastik volume 240 mililiter akan membentuk tumpukan 2,4 meter kubik (m3). Jika setiap minggu ada 1 juta pengunjung Ancol membuang gelas plastik ke pantai, akan terbentuk tumpukan 240 m3—dan ini terbawa ke laut. Sebagian besar akan melayang di bawah permukaan air lalu tenggelam di dasar laut. Ilmuwan Belanda menemukan lebih dari 70 persen sampah plastik akan tenggelam di dasar laut.
*Pasifik tertutup plastik*
Badan Lingkungan PBB memperkirakan, tahun 2006 tiap 1 mil persegi lautan mengandung 46.000 lembar sampah plastik (marine debris). Dilaporkan, dasar perairan Samudra Pasifik tertutup sampah plastik yang luasnya dua kali daratan Amerika Serikat—diperkirakan jadi dua kali lipat pada 2015. Ini akan berdampak negatif pada rantai makanan.
Di Pasifik terjadi proses oseanografi gyre, yakni arus melingkar serah jarum jam berkecepatan lambat. Lingkaran arus ini cukup luas, ribuan kilometer. Sampah plastik secara perlahan bergerak sesuai aliran gyre. Lama-kelamaan sampah plastik mengumpul di tengah gyre karena energi arus di tengah gyre cukup lemah—disebut sebagai ”zona mati”. Charles Moore, ahli oseanografi Amerika, menyebut Lautan Pasifik sebagai ”Great Pacific Garbage Patch”. Diperkirakan 100 juta ton sampah terapung mengikuti aliran gyre.
Hal yang sama dalam skala lebih kecil terjadi di perairan tertutup, misal di teluk. Hasil pengamatan pada 2007 selama berlayar dari pantai Marisa Gorontalo menuju Kepulauan Togean, kami menemukan di tengah Teluk Tomini banyak sampah, termasuk botol plastik.
Akibat bentuk Teluk Tomini yang tertutup diperkirakan sampah plastik akan mengumpul di suatu tempat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Mengingat Kepulauan Togean merupakan salah satu pusat terumbu karang dunia, hal ini perlu cepat ditanggapi.
Bayangkan jika keindahan terumbu karang tertutup sampah-sampah plastik. Lama-kelamaan terumbu karang itu akan rusak. Siapa yang akan datang ke sana? Ikan pun akan lari.
*Teluk Jakarta dan Ambon*
Berdasarkan data hasil penelitian mulai tahun 1990-2005 yang dirangkum lembaga Greenpeace telah ditemukan limbah plastik di sejumlah lokasi di dunia. Pada tabel terlihat bahwa Teluk Ambon mengandung serpihan plastik terpadat dari delapan lokasi yang disurvei. Di Kepulauan Seribu ditemukan ada pulau yang masih belum terkontaminasi, tetapi ada juga yang sangat tinggi hingga 29.000 item per km.
Tahun 2008 sekelompok pencinta lingkungan yang melakukan pembersihan sampah plastik menemukan cukup banyak sampah plastik di Pulau Untung Jawa. Mengingat dampak negatif sampah plastik ini, maka perhatian yang serius untuk mengatasinya perlu segera dilakukan.
*Dampak negatif*
Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan jutaan burung laut dan 100 ribu binatang laut mati setiap tahun dan ditemukan sejumlah partikel plastik di dalam perutnya. Peneliti Kanada, Dr James, menemukan plastik di dalam perut sepertiga kura-kura Leatherbacks. Kura-kura menyangka plastik yang mengapung adalah ubur- ubur sehingga salah makan.
Kura-kura tidak langsung mati, tetapi kesehatannya terganggu dan akhirnya mati. Sampah-sampah plastik yang mengapung di laut lama-kelamaan berubah menjadi serpihan-serpihan kecil menyerupai plankton dan termakan oleh berbagai jenis ikan.
*Solusi*
Beberapa langkah untuk mengatasi masalah serpihan laut ini telah dilakukan baik secara internasional maupun nasional, di antaranya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) yang dikeluarkan tahun 1988 dan 122 negara telah meratifikasi.
Salah satu isi dari MARPOL adalah melarang kapal-kapal membuang sampah di laut. Namun, diperkirakan 80 persen debris berasal dari darat (Greenpeace). Karena itu, perlu ditingkatkan kesadaran seluruh umat manusia karena masalah ini tak bisa diatasi secara sepihak. Penanaman kesadaran bahaya debris laut ini perlu melalui pendidikan keluarga kepada anak-anak hingga ke pendidikan formal.
Sosialisasi Hari Laut Sedunia perlu dilakukan dengan melakukan kegiatan-kegiatan membumi sehingga umat manusia semakin sadar akan lingkungan. Diharapkan, tidak hanya sehari saja umat manusia tidak mencemari laut, tetapi setiap hari.
*Pemulung plastik*
Di Jabodetabek, sampah plastik menjadi salah satu sumber kegiatan ekonomi. Plastik dikumpulkan para pemulung dan dijual ke pengumpul. Di tingkat pengumpul plastik sampah dipisahkan dan sebagian diolah menjadi bubuk plastik dan berupa bongkahan yang selanjutnya dijual ke pabrik daur ulang. Salah satu pengumpul sampah plastik di Bogor melaporkan, setiap hari sampah plastik, berupa gelas dan botol minuman, terkumpul beberapa mobil truk sehingga di tempat penampungan terlihat sampah- sampah plastik menggunung.
Para pemulung yang setiap hari mengumpulkan sampah- sampah plastik seharusnya dihargai, misalnya dengan memberikan insentif. Jasa mereka cukup besar menyerap sampah plastik yang secara langsung mengurangi dampak negatif pada laut. Jumlah pemulung, khususnya di kota-kota besar seperti di Jabodetabek, sangat banyak sehingga perlu diperhitungkan.
Sebaliknya, masyarakat yang membuang sampah plastik sembarangan perlu diberi sanksi. Hal ini merupakan salah satu tindakan nyata untuk menyelamatkan laut yang pada akhirnya untuk keselamatan kita semua.
http://polimerabduh.wordpress.com/2010/10/27/limbah-plastik-mengancam-dunia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar