Bolehkah
Berpuasa Pada 10 Muharram ('Asyura), Sehari Saja?
Al-Hamdulillah, segala puji
bagi Allah yang menggilirkan hari dan waktu untuk digunakan ibadah oleh hamba-hamba-Nya.
Sebagiannya, Allah lebihkan keutamaan dan kemuliaannya sebagai karunia bagi
mereka. Maka hamba yang sholeh senantiasa beibadah sepanjang masa dan lebih
meningkatkannya pada waktu-waktu utama.
Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam contoh dan
teladan dalam beribadah kepada Allah. Orang yang setiap perkataannya wajib
diambil, setiap kabar beritanya wajib dibenarkan, setiap perintahnya wajib
ditaati, setiap larangannya wajib dijauhi, dan tidak boleh beribadah kepada
Allah kecuali dengan syariatnya. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan
kepada keluarga dan para sahabatnya.
Puasa hari 'Asyura (hari
kesepuluh Muharram) termasuk hari istimewa dalam bulan ini. Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam sangat bersemangat berpuasa padanya dan memerintahkan para
sahabatnya untuk ikut berpuasa. Walaupun secara umum memperbanyak puasa pada
bulan Muharram adalah sangat dianjurkan.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Puasa yang paling
utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah)
Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah
shalat fardlu." (HR. Muslim, no. 1982)
Menurut Imam Al-Qaari, bahwa
secara zahir, maksudnya adalah seluruh hari-hari pada bulan muharram ini.
Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan.
Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan
Muharram bukan seluruhnya.
Diriwayatkan dalam
Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, dan Asiyah bahwa Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam telah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa
padanya. Sementara Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan tentang
puasa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
"Aku tidak penah
melihat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersemangat puasa pada suatu hari
yang lebih beliau utamakan atas selainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari
‘Asyura dan pada satu bulan ini, yakni bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam mengabarkan tentang nilai keutamaannya dalam sabdanya,
"Puasa hari 'Asyura,
sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah
lalu." (HR. Muslim no. 1975)
Menambah Puasa ‘Asyura dengan
Puasa Tasu'a (9 Muharram)
Disunnahkan untuk menambah
puasa Asyura dengan puasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal Sembilan Muharram
yang dikenal dengan hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi kebiasaan
puasanya Yahudi dan Nashrani. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa
padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah
hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita
berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan
para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh secara
keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa
pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Hikmah Berpuasa Pada Hari
Tasu’a
Imam al-Nawawi
rahimahullaah menyebutkan tentang tiga hikmah dianjurkannya shiyam hari Tasu’a:
Pertama, maksud disyariatkan puasa Tasu’a untuk menyelesihi orang Yahudi yang
berpuasa hanya pada hari ke sepuluh saja.
Kedua, maksudnya adalah
untuk menyambung puasa hari ‘Asyura dengan puasa di hari lainnya, sebagaimana
dilarang berpuasa pada hari Jum’at saja. Pendapat ini disebutkan oleh
al-Khathabi dan ulama-ulama lainnya.
Ketiga, untuk kehati-hatian
dalam pelaksanaan puasa ‘Asyura, dikhawatirkan hilal berkurang sehingga terjadi
kesalahan dalam menetapkan hitungan, hari ke Sembilan dalam penanggalan
sebenarnya sudah hari kesepuluh.
Dan alasan yang paling kuat
disunnahkannya puasa hari Tasu’a adalah alasan pertama, yaitu untuk menyelisihi
ahli kitab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam al Fatawa al-Kubra
berkata, “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melarang bertasyabbuh dengan
ahli kitab dalam banyak hadits. Seperti sabda beliau tentang puasa ‘Asyura,
“Jika saya masih hidup di
tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullaah
dalam catatan beliau terhadap hadits, “Jika saya masih hidup di tahun depan,
pasti akan berpuasa pada hari kesembilan”, Keinginan beliau untuk berpuasa pada
hari kesembilan dibawa maknanya agar tidak membatasi pada hari itu saja. Tapi
menggabungkannya dengan hari ke sepuluh, baik sebagai bentuk kehati-hatian
ataupun untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Dan ini merupakan pendapat
yang terkuat dan yang disebutkan oleh sebagian riwayat Muslim.”
Bolehkah Berpuasa Pada Hari
‘Asyura Saja?
Namun terkadang seseorang
tidak ingat atau memiliki halangan untuk berpuasa Tasu'a, seperti sakit,
bepergian, ada pekerjaan yang berat, atau alasan lainya. Jika demikian, apakah
dia boleh berpuasa pada hari 'Asyura saja?
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullaah dalam al-Fatawa al-Kubra Juz IV telah memberikan jawaban
terhadap persoalan ini, “Puasa hari ‘Asyura menjadi kafarah (penghapus) dosa
selama satu tahun dan tidak dimakruhkan berpuasa pada hari itu saja.”
(Juga didapatkan dalam Ikhtiyarat-nya, hal. 10)
Ibnu Hajar al-Haitami dalam
Tuhfah al-Muhtaj menyimpulkan bahwa tidak apa-apa berpuasa pada hari itu saja.
Lajnah Daimah, lembaga
riset Ilmiyah dan fatwa yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz
rahimahullah menerangkan tentang kebolehannya, "Boleh berpuasa hari
'Asyura, satu hari saja. Tetapi yang paling utama, berpuasa (juga) sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya. Ini merupakan sunnah yang jelas ketetapannya dari Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dalam sabdanya,
“Jika saya masih hidup di
tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Abbas Radhiyallahu
'Anhuma berkata, "Yakni (dikerjakan) bersama hari kesepuluh."
Wabillahi al-Yaufiq. (Sumber: Fatawa al-Lajnah al-Daimah Li al-Buhuts
al-Ilmiyah wa al-Ifta': 10/401).
Kesimpulan
Berpuasa pada hari 'Asyura,
sehari saja, tanpa menambah satu hari sebelumnya (Tasu'a) dibolehkan. Walaupun
yang lebih utama adalah digandengn dengan sehari sebelumnya. Dari sini, maka
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam Fadhlu Syahrillaah al-Muharram wa
Shiyam 'Asyura, puasa ‘Asyura memiliki beberapa tingkatan: Paling rendah,
berpuasa pada hari itu saja (hari kesepuluh saja). Di atasnya, berpuasa pada
hari kesembilan dan kesepuluh. Terakhir, memperbanyak puasa pada bulan Muharram
ini dan itulah yang terbaik dan terbagus. Wallahu Ta'ala A'lam
Anjuran
Memperbanyak Puasa Pada Bulan Muharram
Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam. Shalwat dan salam semoga terlipah untuk Nabi kita
Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya syahrullah
(bulan Allah) Muharram adalah bulan yang agung dan diberkahi. Bulan pertama
dari penanggalan hijriyah. Dan salah satu dari empat bulan haram yang
disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu.” (QS. Al-Taubah: 36)
Dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam,
"Setahun itu ada dua
belas bulan. Di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati. Yang tiga
berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan (satunya
adalah) Rajab Mudhar yang berada antara Jumadil Tsaniah dan Sya'ban." (HR.
Bukhari no. 2958). Dan dinamakan Muharram karena dia termasuk bulan yang
diharamkan (dihormati) dan keharamannya tadi diperkuat lagi dengan namanya.
Sedangkan makna firman
Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu,” maksudnya jangan kamu menzalimi dirimu sendiri pada bulan-bulan haram
ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan selainnya.
. . . jangan kamu menzalimi dirimu sendiri
pada bulan-bulan haram ini. Karena dosanya lebih besar daripada bulan-bulan
selainnya.
Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma memahami dari firman Allah Ta’ala “Maka janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu”, bahwa larangan berbuat zalim berlaku pada
keseluruhan bulan, lalu Allah menghususkan empat bulan dan menjadikannya
sebagai bulan mulia dan lebih mengagungkan kehormatannya. Dia menjadikan dosa
di dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar.
Menurut Imam Qatadah
rahimahullaah, bahwa kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya
daripada berbuat zalim di selainnya. Walaupun perbuatan zalim (dosa) secara
keseluruhan adalah perkara besar (dosa besar), tapi Allah melebihkan perkara
sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagimana Allah telah memilih hamba-hamba pilihan
dari makhluk-Nya: Dia telah memilih beberapa dari malaikat sebagai rasul,
begitu dari antara manusia sebagai rasul (utusan-Nya). Dia memilih dari
beberapa kalam-Nya sebagai bahan untuk berdzikir kepada-Nya. Dia juga memilih
dari beberapa tanah di bumi ini sebagai masjid. Dia juga telah memilih bulan
Ramadhan dan bulan-bulan haram dari beberapa bulan yang ada. Dia telah memilih
hari Jum’at dari sejumlah hari dan memilih Lailatul Qadar dari beberapa malam.
Maka agungkan apa yang telah Dia agungkan, karena sesungguhnya mulia dan
agungnya sesuatu tergantung pada pengagungan Allah terhadapnya pada sisi orang
yang paham lagi berakal.” (Ringkasan Tafsir QS. Al-Taubah: 36 dari Tafsir Ibnu
Katsir)
. . . larangan berbuat zalim berlaku pada
keseluruhan bulan, dan dikhususkan pada empat bulan haram. Berarti dosa di
dalamnya lebih besar, begitu juga amal shalih dan pahala lebih besar . . .
(Ringkasan Penjelasan Ibnu Abbas)
Keutamaan Memperbanyak Puasa
Sunnah Pada Bulan Muharram
Mengagungkan syahrullah Muharram
adalah dengan tidak melakukan kemaksiatan di dalamnya. Sebaliknya, dianjurkan
untuk mengisinya dengan amal-amal ketaatan. Salah satunya, adalah memperbanyak
puasa di dalamnya.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
bersabda,
"Puasa yang paling
utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah)
Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah
shalat fardlu." (HR. Muslim, no. 1982)
Sabda beliau, “syahrullah
(bulan Allah)” penyandaran kata bulan kepada Allah merupakan penyadaran
pengagungan. Imam Al-Qaari berkata, “Secara zahir, maksudnya seluruh (hari-hari
pada) bulan muharram.” Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh
kecuali di Ramadhan. Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak
puasa pada bulan Muharram bukan seluruhnya.
Didapatkan juga keterangan
bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban
dan boleh jadi belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulam Muharram
kecuali pada akhir hayat beliau sebelum diperintahkan berpusa padanya.” (Syarah
Shahih Muslim)
Allah Memilih Tempat dan
Waktu Sesuai Kehendak-Nya
Al-‘Izz bin Abdissalam
rahimahullaah menyebutkan tentang pengutamaan beberapa tempat dan waktu. Dalam
hal ini ada dua bentuk: Pertama, duniawi. Kedua, Pengutamaan secara keagamaan
yang dikembalikan kepada Allah. Dia memberikan kebaikan kepada para hamba-Nya
dengan mengutamakan (meningkatkan) pahala pelakunya sebagaimana pengutamaan
puasa pada setiap bulan, begitu juga puasa hari ‘Asyura. Keutamaannya
dikembalikan kepada kebaikan Allah kepada para hamba-Nya pada saat itu.”
(Disarikan dari Qawaid al-Ahkam: I/38)
Penutup
Bulan Muharram adalah salah
satu dari empat bulan haram, yang seharusnya dimuliakan. Cara memuliakannya
bukan dengan mengkramatkannya sehingga menetapkan mitos-mitos yang tak ada
dasarnya. Memuliakannya adalah dengan tidak mengerjakan maksiat dan dosa besar
di dalamnya. Di samping itu memperbanyak amal shalih sebagai lawan dari
maksiat, dan salah satu amal shalih yang ditekankan adalah berpuasa. Dianjurkan
memperbanyak puasa di dalamnya, tapi tidak berpuasa seluruh hari-harinya. Wallahu
Ta'ala a'lam
Apakah
Disunnahkan Puasa Tanggal 11 Muharram?
Assalam ‘Alaikum Wr. Wb.
Ustadz saya pernah
mendengar keterangan tentang puasa tanggal 11 Muharram. Padahal yang saya tahu
yang ada hanya puasa tanggal 9 dan 10-nya. Mohon penjelasannya.
Ibu Nur
Jamaah Pengajian Masjid
Nurul Jannah-Bekasi
Jawaban oleh Ust. Badrul
Tamam
Wa’alaikum Salam Wr. Wb.
Alhamdulillah, puja dan
puji bagi Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasul-Nya,
Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya memperbanyak
puasa pada bulan Muharram sangat-sangat dianjurkan, khususnya pada tanggal
10-nya yang dinamakan dengan hari ‘Asyura. Juga dianjurkan untuk berpuasa
tenggal 9-nya, yang disebut sebagai hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi
orang Yahudi dan Nashrani -yang sebagiannya- mereka berpuasa pada hari
kesepuluhnya (‘Asyura) saja.
Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Puasa yang paling utama
sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram.
Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat
fardlu." (HR. Muslim, no. 1982 dari Abu Hurairah)ُ
"Puasa hari 'Asyura,
sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah
lalu." (HR. Muslim no. 1975)
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat
untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu
beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan
insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan
datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no.
1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan
para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh secara
keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa
pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Puasa Tanggal 11 Muharram
Sebagian ulama ada yang berpendapat
disunnahkan berpuasa pada tanggal 11 Muharram, di samping tanggal 9 dan 10
Muharram, di antaranya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Argumen yang dijadikan sandaran
adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Berpuasalah pada hari
‘Asyura dan selisihal kaum Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya dan satu
hari sesudahnya.” (HR. Ahmad no. 2418, Al-Humaidi dalam musnadnya no. 485, dan
Ibnu Huzaimah dalam Shahihnya no. 2095.)
Imam al-Syaukani
rahimahullah dalam Nail al-Authar mengomentari riwayat di atas,
"Riwayat Ahmad ini
adalah lemah dan munkar, berasal dari jalur Dawud bin Ali, dari ayahnya, dari
kakeknya. Ibnu Abi Laila meriwayatkan darinya. . ." Begitu juga Syaikh
al-Albani menguatkan akan kedhaifan riwayat ini yang beliau sebutkan dalam
Dhaif al-Jami' al-Shaghir.
Maka jika melandaskan puasa
tanggal 11 Muharram dengan dalil ini , maka dalil tersebut tidak bisa dijadikan
landasan dalil karena status hadits tersebut yang dhaif sekali. Namun, jika
niat dari berpuasa tanggal 11 adalah untuk memperbanyak puasa pada bulan
Muharram atau untuk menggenapkan puasa tiga hari setiap bulan, maka tidak
mengapa. Bahkan, dia telah melaksanakan sunnah dan –Insya Allah- terhitung
sebagai shiyam dahr.
Dari Abdullah bin 'Amru bin
Al-'Ash, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Puasalah tiga
hari dari setiap bulan. Sesungguhnya amal kebajikan itu ganjarannya sepuluh
kali lipat, seolah ia seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasai)
Memang disunnahkan
pelaksanakannya pada Ayyamul Bidh (hari-hari putih), yaitu tanggal 13, 14, dan
15 dari bulan Hijriyah. Berdasarkan riwayat Abi Dzarr, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Wahai Abu Dzarr, jika
engkau ingin berpuasa tiga hari dari salah satu bulan, maka berpuasalah pada
hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas." (HR. Al-Tirmidzi)
Dari Jabir bin Abdillah,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
"Puasa tiga hari
setiap bulan adalah puasa dahr (puasa setahun). Dan puasa ayyamul bidh
(hari-hari putih) adalah hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas."
(HR. Al-Nasai dan dishahihkan Syaikh al-Albani)
Dan jika tidak melaksanakan
shaum itu pada Ayyamul Bidh, tidak mengapa melaksanakannya pada awal bulan atau
akhir bulan. Dari Mu'adzah ad 'Adawiyah, sesungguhnya ia pernah bertanya kepada
'Aisyah radliyallah 'anha: "Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
biasa melaksanakan shaum selama tiga hari setiap bulannya?" ‘Aisyah menjawab:
"Ya". Ia pun bertanya lagi: "Hari-hari apa saja yang biasanya
beliau melaksanakan shaum?" Aisyah pun menjawab: "Beliau shallallahu
'alaihi wasallam tidak terlalu memperhatikan hari keberapa dari setiap bulannya
beliau melaksanakan shaum." (HR. Muslim)
Dalam Majmu' Fatawa wa
Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata, "Seorang boleh
berpuasa pada awal bulan, pertengahannya, ataupun di akhirnya secara berurutan
atau terpisah-pisah. Tetapi yang paling afdhal (utama) dilaksanakan pada Ayyamul Bidh, yaitu tanggal tiga belas,
empat belas, dan lima belas. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radliyallah
'anha, "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa tiga hari setiap
bulan. Beliau tidak terlalu peduli apakah berpuasa di awal atau di akhir
bulan." (HR. Muslim)
Fatwa Syaikh Utsaimin
Tentang Anjuran Puasa Tanggal 9, 10 dan 11 Muharram
Syaikh Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya: "Dalam selebaran yang dibagikan secara
gratis, memuat penjelasan keutamaan puasa bulan Muharram dan 'Asyura (10 Muharram,-red).
Berikut ini teks selebaran itu, kami memohon penjelasan apakah riwayatnya
shahih.
Dari Ibnu Abbas radliyallah
'anhuma, "Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada
hari 'Asyura dan menyuruh (para sahabat) untuk berpuasa di hari itu."
(Muttafaq 'Alaih)
Masih dari Ibu 'Abbas, dia
berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Jika tahun depan aku
masih hidup, pasti aku kan berpuasa juga pada hari kesembilannya." (HR.
Muslim)
Dari Abu Qatadah
radliyallah 'anhu, Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah
ditanya tentang puasa hari 'Asyura. Beliau menjawab, "Akan menghapuskan
(dosa) satu tahun yang telah lalu." (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah
radliyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Puasa yang paling
utama sesudah Ramadlan adalah pada syahrullah (bulan Allah) Muharram. Dan
shalat yang paling utama sesudah shalat lima waktu adalah shalat malam."
(HR. Muslim)
Saudaraku umat Islam,
berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh atau tanggal sepuluh dan sebelas
dari Muharram agar mendapat pahala yang banyak, Insya Allah. Jika engkau bisa
berpuasa seluruhnya (tanggal 9, 10, dan 11) itu lebih sempurna, maka engkau
mendapat pahala puasa tiga hari setiap bulan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
telah memberitakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan menyerupai Shiyam Dahr
(puasa setahun). Semoga Allah memberi taufiq kepada saya dan Anda untuk
melaksanakan kebaikan di dalamnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin menjawab; Apa yang disebutkan tentang keutamaan puasa bulan
Muharram dan 'Asyura dalam selebaran ini adalah shahih. (Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin dalam Majmu' Fatawa wa Rasail, jilid 20, Kitab Ash-Shiyam)
Penutup
Berpuasa pada tanggal 11
Muharram pada dasarnya tidak mengapa kalau diniatkan untuk memperbanyak puasa
pada bulan Muharram atau untuk melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan yang
terhitung sebagai shiyam dahr. Namun jika diniatkan untuk melaksanakan hadits
Ibnu Abbas dalam musnad Ahmad diatas untuk menyelisihi orang Yahudi maka tidak
dibenarkan. Karena hadits tersebut sangat lemah, sehingga tidak bisa dijadikan
sebagai landasan argumen. Wallahu Ta’ala a’lam.
oleh Ust. Badrul Tamam voa-islam.com
You might also like:
TERJEMAHAN ALQUR’AN 30 JUZ
13.
SURAT 31. LUQMAN - SURAT 32. AS SAJDAH - SURAT 33. AL AHZAB - SURAT 34. SABA' - SURAT 35. FATHIR
23.
SURAT 101. AL QAARI'AH - SURAT 102. AT TAKAATSUR - SURAT 103. AL 'ASHR - SURAT 104. AL HUMAZAH - SURAT 105. AL FIIL - SURAT 106. QURAISY - SURAT 107. AL MAA'UUN - SURAT 108. AL KAUTSAR - SURAT 109. AL KAAFIRUUN - SURAT 110. AN NASHR - SURAT 111. AL LAHAB
PENTING : jika Anda merasa website ini bermanfaat, mohon do'akan supaya Allah
mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur keluarga kami
dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki
yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya
kami dapat memperbanyak amal shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan
bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan saudaranya,
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar