47
Fatwa Seputar Ramadhan
Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Syekh DR. Yusuf Al-Qaradhawi.
Syekh DR. Ali Jum’ah.
Disusun dan Diterjemahkan Oleh:
H. Abdul Somad, Lc., MA.
Pengantar
Penterjemah.
Segala puja
dan puji hanya milik Allah Swt. Shalawat beruntai salam semoga senantiasa tercurah ke hadirat junjungan alam
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hari
berganti musim berubah, akan tetapi berbagai pertanyaan yang muncul ketika
mendekati bulan Ramadhan tetaplah pertanyaan yang sama, seputar Hisab
dan Ru’yah, niat puasa, Qadha’, Tarawih, Zakat Fitrah dan lain sebagainya.
Meskipun berbagai masalah ini telah dibahas, akan tetapi manusia tetaplah pada
keterbatasannya, lupa dan berbagai kesibukan tetap menjadi faktor penyebab
mengapa pertanyaan terus berulang, disamping tidak adanya dokumentasi yang
memadai. Untuk itu dirasa perlu mengumpulkan berbagai tulisan yang berkaitan
dengan masalah ini. Penyusun memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh
‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR. Ali Jum’ah, karena
keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang terus mereka terapkan dalam fatwa, dengan kekayaan
dalil dan referensi bacaan. Semoga fatwa-fatwa ini mampu memberikan pencerahan
dan dijadikan Allah Swt sebagai bagian dari amal shaleh yang terus mengalir,
amin.
Akhirnya,
tak ada gading yang tak retak. Terjemahan ini masih jauh dari sempurna. Namun,
andai ditunggu sempurna, fatwa-fatwa ini tidak akan pernah muncul ke alam
nyata. Kritik dan saran sangatlah diperlukan dari para alim ulama dan segenap
kaum muslimin.
Pekanbaru,
1 Rajab 1432H / 3 Juni 2011M.
Penyusun
dan Penterjemah.
H.
Abdul Somad, Lc., MA.
Hilal
Ramadhan
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar
Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 252 [Maktabah Syamilah].
Pertanyaan:
Dalam hadits dinyatakan, “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berhari rayalah kamu ketika melihat bulan”. Apakah kata ‘melihat’ disini boleh diinterpretasikan sebagai melihat secara ilmiah, bukan melihat dengan mata kepala, untuk menyatukan awal bulan Ramadhan?
Jawaban:
Tema penyatuan awal Ramadhan yang selanjutnya mengarah kepada penyatuan hari raya di seluruh negeri-negeri Islam adalah tema yang dibahas para ahli Fiqh pada abad-abad pertama, juga dibahas para ulama di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Riset Islam) pada beberapa tahun terakhir. Semuanya sepakat bahwa tidak ada kontradiksi antara agama Islam dan ilmu pengetahuan, agama Islam sendiri menyerukan ilmu pengetahuan. Dalam masalah kita ini, hadits mengaitkan puasa dan hari raya dengan melihat Hilal, jika tidak terlihat dengan mata kepala, maka kita menggunakan ilmu pengetahuan. Bimbingan agar menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari adalah arahan untuk menghormati Hisab yang merupakan salah satu bentuk ilmu pengetahuan. Mereka yang mengamati Hilal menggunakan teropong yang merupakan peralatan dari ilmu pengetahuan, juga menggunakan alat-alat pengintai Hilal dan peralatan lainnya. Tema ini membutuhkan pembahasan yang panjang lebar, pembahasan ilmu pengetahuan dan agama, dibahas dalam juz kedua kitab Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (Penjelasan Untuk Umat Manusia Dari Al-Azhar Yang Mulia). Disini saya sebutkan bahwa Konferensi Riset Islam ke-III yang dilaksanakan pada tahun 1966M menetapkan sebagai berikut:
1. Ru’yah adalah dasar untuk
mengetahui masuknya bulan Qamariyyah, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits. Ru’yah adalah dasar, akan
tetapi tidak berpedoman kepada Ru’yah
jika tidak ada kepercayaan yang sangat kuat.
2. Penetapan Ru’yah dengan Mutawatir dan Istifadhah (berita dibawa
oleh banyak orang), juga dengan Khabar
Wahid (berita dibawa oleh satu orang), laki-laki atau perempuan,
jika tidak ada faktor penyebab yang mempengaruhi kebenaran beritanya. Diantara
faktor penyebab yang dapat merusak kebenaran berita Ru’yah adalah jika bertentangan dengan Hisab dari orang yang
terpercaya.
3. Khabar Wahid mesti
diamalkan, baik oleh orang yang membawa berita maupun yang mempercayainya.
Adapun mewajibkan semua orang untuk mengikutinya, maka tidak boleh kecuali
setelah Ru’yah ditetapkan
oleh sebuah lembaga yang ditetapkan negara untuk itu.
4. Berpedoman
kepada Hisab dalam
penetapan masuknya bulan Ramadhan apabila tidak dapat diwujudkan lewat Ru’yah dan tidak mungkin
menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
5. Menurut
konferensi ini, perbedaan penampakan Hilal tidak dianggap jika tempatnya
berjauhan dan waktu malam diantara tempat-tempat tersebut masih bersambung,
meskipun sedikit. Perbedaan penampakan Hilal diantara beberapa tempat baru
dianggap jika waktu malam diantara tempat-tempat tersebut tidak bersambung.
6. Konferensi
ini merekomendasikan kepada masyarakat dan negara-negara Islam agar di setiap
kawasan negeri Islam memiliki lembaga penetapan awal bulan Qamariyyah dengan
tetap melakukan kordinasi antara lembaga dan berkordinasi dengan lembaga Hisab terpercaya.
Mesir mengumumkan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan beberapa keputusan konferensi ini dan tetap berkordinasi dengan negara-negara lain. Demikianlah, saya ingin mengingatkan kaum muslimin bahwa ada unsur-unsur lain yang sangat penting dan memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk menyatukan umat Islam, diantara yang terpenting adalah penyatuan hukum, sistem undang-undang, ekonomi dan budaya berdasarkan agama Islam. Tidak adanya penyatuan ini menyebabkan kaum muslimin semakin menjauh dan menyebabkan kaum muslimin menjadi korban negara-negara lain, menyebabkan keretakan ikatan kaum muslimin. Sungguh benar Rasulullah Saw seperti yang diriwayatkan al-Baihaqi, “Jika kaum muslimin membatalkan perjanjian mereka kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, maka musuh menguasai mereka dan mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Jika pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah, maka akan dijadikan azab di tengah-tengah mereka”.
Penyusun dan Penterjemah.
H. Abdul Somad, Lc., MA.
Mengikuti Ru’yah Negara Lain2.
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah
boleh berpuasa mengikuti Ru’yah di Negara lain, bukan mengikuti Ru’yah Negara tempat tinggal?
Jawaban:
Tidak
selayaknya penduduk suatu Negara melaksanakan puasa dan berhari raya mengikuti
Negara lain berbeda dengan Ru’yah yang ditetapkan Negara bersangkutan. Karena kondisi seperti ini
menyebabkan perpecahan kesatuan kaum muslimin. Menanamkan benih-benih fitnah
dan berpecahan. Sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam bahwa hukum yang
ditetapkan Ulil Amri mengangkat khilaf yang terjadi diantara umat manusia.
Berdasarkan ini maka jika fatwa telah dikeluarkan berkaitan dengan hilal bulan
Ramadhan atau lainnya di suatu Negara, maka bagi kaum muslimin di Negara
tersebut mesti berpegang kepada fatwa tersebut, tidak boleh keluar dari fatwa
tersebut. Ini berdasarkan riwayat dari Kuraib bahwa Ummu al-Fadhl binti
al-Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awiyah di negeri Syam, ia berkata, “Saya
sampai di negeri Syam, saya menunaikan keperluannya. Telah terlihat hilal bulan
Ramadhan ketika saya berada di negeri Syam, saya melihat hilal pada malam
Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan. Abdullah bin Abbas
bertanya kepada saya”. Kemudian Kuraib menyebutkan tentang hilal. Abdullah bin
Abbas bertanya, “Kapankah kamu melihat hilal?”. Saya jawab, “Kami melihatnya
malam Jum’at”. Abdullah bin Abbas bertanya, “Engkau melihatnya?”. Saya jawab,
“Ya, orang banyak juga melihatnya. Mereka melaksanakan puasa dan Mu’awiyah juga
melaksanakan puasa”. Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihat
hilal pada malam Sabtu. Kita terus melaksanakan puasa hingga kita sempurnakan
tiga puluh hari, atau hingga kita melihat hilal (Syawal)”. Saya katakan,
“Apakah tidak cukup dengan Ru’yah dan puasa Mu’awiyah?”. Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak,
demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kita”3. Riwayat ini membuktikan bahwa setiap
daerah konsisten menjalankan Ru’yahnya masing-masing. Kami berfatwa berdasarkan ini. Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
2 Syekh DR.
Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 286.
3 HR. Ahmad
dalam al-Musnad, juz. I, hal. 306; Muslim dalam ash-Shahih, juz. II, hal. 765; Abu Daud dalam as-Sunan, juz. II, hal. 299 dan at-Tirmidzi dalam as-Sunan, juz. III, hal. 76.
Waktu Puasa Diantara Dua Tempat4.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Seseorang memulai puasanya di Mesir sesuai penetapan awal Ramadhan di
Mesir. Kemudian ia pergi ke negeri lain yang hari rayanya berbeda dengan Mesir.
Apa yang ia lakukan di akhir Ramadhan, apakah mengikuti hari raya di Mesir atau
mengikuti negeri tempat ia berada, meskipun jika itu ia lakukan akan
menyebabkan puasanya berjumlah 28 hari atau 31 hari?
Jawaban:
Seseorang memulai puasa Ramadhan di suatu negeri berdasarkan Ru’yah, misalnya hari Jum’at. Kemudian ia pergi ke negeri lain yang puasa di
negeri itu dimulai hari Kamis. Ia menetap disana hingga akhir bulan Ramadhan.
Mungkin saja ia akan menyempurnakan puasa Ramadhan di negeri kedua selama 30
hari, dengan demikian maka hari Idul Fitri pada hari Sabtu, dalam kasus ini
tidak ada masalah. Mungkin juga negeri kedua menetapkan puasa 29 hari, jika
hari raya pada hari Jum’at. Dengan demikian maka orang yang memulai puasa
Ramadhan pada hari Jum’at di negeri pertama berarti ia berpuasa selama 28 hari.
Apa yang mesti ia lakukan? Negeri kedua tempat ia menetap melaksanakan hari raya
pada hari Jum’at, sedangkan berpuasa di hari raya itu hukumnya haram. Sedangkan
bulan sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw hanya 29 atau 30 hari. Tidak
pernah sama sekali 28 hari. Jika demikian, kami katakan kepada orang yang
mengalami hal seperti ini, “Anda memilih, anda ikut berhari raya dengan
penduduk negeri kedua. Akan tetapi Anda mesti meng-qadha’
satu hari puasa di hari lain untuk
menyempurnakan 29 hari. Anda juga memiliki pilihan untuk berpuasa pada hari
raya itu untuk menyempurnakan jumlah satu bulan yaitu 29 hari”. Ini pendapat
saya, masalah ini adalah masalah ijtihad. Akan tetapi saya lebih memilih
pendapat ikut berhari raya di negeri kedua dan melaksanakan qadha’
satu hari puasa di hari lain. Ini adalah
salah satu dampak negatif dari banyaknya pemimpin di negeri-negeri Islam.
4 Fatawa
al-Azhar, juz. IX, hal. 296 [Maktabah Syamilah].
Niat Puasa5.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya lupa berniat puasa pada waktu malam. Kemudian saya teringat
setelah fajar bahwa saya belum berniat. Apakah puasa saya sah?
Jawaban:
Niat merupakan sesuatu yang mesti ada dalam puasa, puasa tidak sah
tanpa adanya niat. Mayoritas ulama mensyaratkan agar setiap hari mesti berniat
puasa, sebagian ulama mencukupkan satu niat saja pada awal malam bulan Ramadhan
untuk niat satu bulan secara keseluruhan. Waktu berniat adalah sejak tenggelam
matahari hingga terbit fajar. Jika seseorang berniat melaksanakan puasa di
malam hari, maka niat itu sudah cukup, ia boleh makan atau minum setelah
berniat, selama sebelum fajar. Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan
at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa yang tidak menggabungkan puasa
sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena tempat niat itu di hati.
Jika seseorang sudah bertekad di dalam hatinya untuk melaksanakan puasa, maka
itu sudah cukup. Meskipun hanya sekedar bangun pada waktu sahur dan berniat
akan melaksanakan puasa, itu sudah cukup, atau minum agar tidak merasakan haus
pada siang hari, maka niat itu sudah cukup. Siapa yang tidak melakukan itu pada
waktu malam, maka puasanya tidak sah, ia mesti meng-qadha’
puasanya. Ini berlaku pada puasa
Ramadhan. Sedangkan puasa sunnat, niatnya sah dilakukan pada waktu siang hari
sebelum zawal (matahari tergelincir).
5 Fatawa
al-Azhar, juz. IX, hal. 266 [Maktabah Syamilah],
Menggunakan Siwak dan
Pasta Gigi6.
Fatwa Syekh
DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan siwak bagi orang yang berpuasa? Dan penggunaan
pasta gigi?
Jawaban:
Dianjurkan menggunakan Siwak sebelum Zawal
(tergelincir matahari). Adapun setelah
tergelincir matahari, para ahli Fiqh berbeda pendapat. Sebagian mereka
menyatakan makruh hukumnya menggosok gigi setelah tergelincir matahari bagi
orang yang berpuasa. Dalilnya adalah hadits Rasulullah Saw:
“Demi jiwaku berada di tangan-Nya, bau
mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah Swt daripada semerbak
kasturi”. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Menurut pendapat ini, harum semerbak kasturi tidak baik jika dihilangkan, atau
makruh dihilangkan, selama bau tersebut diterima dan dicintai Allah Swt, maka
orang yang berpuasa membiarkannya. Ini sama seperti darah dari luka orang yang
mati syahid. Rasulullah Saw berkata tentang para syuhada’:
“Selimutilah
mereka dengan darah dan pakaian mereka, karena sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan dengannya di sisi Allah Swt pada hari kiamat, warnanya warna darah
dan harumnya harum semerbak kasturi”. Oleh
sebab itu orang yang mati syahid tetap dengan darah dan pakaiannya, tidak
dimandikan dan bekas darah tidak dibuang. Mereka meng-qiyaskan dengan ini.
Sebenarnya ini tidak dapat diqiyaskan dengan bau mulut orang yang berpuasa,
karena ada kedudukan tersendiri. Sebagian shahabat meriwayatkan, “Saya
seringkali melihat Rasulullah Saw bersiwak ketika beliau sedang berpuasa”.
Bersiwak ketika berpuasa dianjurkan dalam setiap waktu, pada pagi maupun petang
hari. Juga dianjurkan sebelum atau pun setelah berpuasa. Bersiwak adalah sunnah
yang dipesankan Rasulullah Saw:
6 Yusuf
al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 329 -
330.
“Siwak itu kesucian bagi mulut dan
keridhaan Allah Swt”. (HR. an-Nasa’I,
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan
al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighat Jazm). Rasulullah Saw tidak membedakan antara puasa atau tidak berpuasa.
Adapun pasta gigi, mesti berhati-hati dalam menggunakannya agar tidak
masuk ke dalam sehingga membatalkan puasa menurut mayoritas ulama. Oleh sebab
itu lebih untuk dihindari dan ditunda pemakaiannya setelah berbuka puasa. Akan
tetapi jika dipakai dan bersikap hati-hati, namun tetap masuk sedikit ke dalam,
maka itu dimaafkan. Allah Swt berfirman:
“Dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (Qs.
Al-Ahzab [33]: 5). Rasulullah Saw bersabda:
Diangkat
dari umatku; tersalah, lupa dan sesuatu yang dipaksa untuk melakukannya”. Wallahu a’lam.
Puasa Wanita Hamil dan Menyusui7.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
7 Fatawa
al-Azhar, juz. IX, hal. 291 [Maktabah Syamilah].
Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh
tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir
ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah
ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat
melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai
gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa
lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa
dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali
Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini
(al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak
berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang
yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan
orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah
dengan berat melaksanakan puasa, yaitu
orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir
diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah
saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya,
demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas
membaca ayat:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu
melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari
tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada
pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat
tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita
penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang
diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka
mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib
membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa
karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah
saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan
‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi
orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu
berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah
memberi makan satu orang miskin untuk
satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka
boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu
Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu
berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan
al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil
jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib
membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd
gandum”. Dalam hadits disebutkan:
“Sesungguhnya
Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah
kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi
wanita hamil dan ibu menyusui”.
Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika
mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib
melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah
saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’
dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah
dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil
dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut
Mazhab Maliki: wanita hamil dan
ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah
sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja,
atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat
yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui
wajib tidak berpuasa.
Menurut
Mazhab Hanafi: jika wanita hamil
dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah
kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja.
Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Hanbali: wanita hamil dan
ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan
anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’
tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan
puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut
Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan
ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut
terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka
dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka
wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’
dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan
mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu
pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat
Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik
al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin
Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu
Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu
hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh.
Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman,
al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik
al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam,
jika ia bukan al-Ka’bi”.
Menunda Puasa Qadha’8.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tidak melaksanakan beberapa hari di bulan Ramadhan karena uzur,
saya tidak mampu meng-qadha’-nya hingga masuk Ramadhan berikutnya. Apakah saya didenda karena
menunda puasa Qadha’? ketika meng-qadha’, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah?
Jawaban:
Jumhur ulama mewajibkan fidyah bagi orang yang menunda qadha’ puasa Ramadhan hingga masuk ke Ramadhan berikutnya. Fidyah
tersebut adalah memberikan makan satu
orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan, makanan tersebut cukup
untuk makan siang dan makan malam. Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan tanpa ada uzur. Hukum ini berdasarkan
dalil hadits Mauquf dari Abu Hurairah, artinya ini ucapan Abu Hurairah, penisbatan ucapan
ini kepada Rasulullah Saw adalah dha’if. Hukum ini juga diriwayatkan dari enam orang shahabat, menurut Yahya
bin Aktsam tidak ada yang menentang pendapat mereka, diantara mereka adalah
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra.
Abu Hanifah dan ulama Mazhab Hanafi berpendapat: tidak wajib membayar fidyah
disamping qadha’. Karena Allah Swt berfirman tentang orang yang sakit dan musafir:
“Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 184). Allah Swt
tidak memerintahkan membayar fidyah. Hadits yang mewajibkannya adalah hadits dha’if, tidak dapat dijadikan dalil.
Imam asy-Syaukani berkata dalam Nail
al-Authar, juz. 4, hal. 318, mendukung pendapat
ini, “Tidak ada hadits kuat dari Rasulullah Saw tentang masalah ini. Pendapat
shahabat tidak dapat dijadikan dalil. Pendapat jumhur tidak menunjukkan bahwa
itu benar. Hukum asal tidak ada kewajiban menjadi penetap hukum tidak adanya
kewajiban yang membebani, sampai ada dalil tentang itu. Dalam masalah ini tidak
ada dalil yang mendukung. Maka tidak wajib membayar fidyah)”.
8 Fatawa
al-Azhar, juz. IX, hal. 268 [Maktabah Syamilah].
Imam Syafi’i berkata, “Jika qadha’ tersebut tidak dilaksanakan karena uzur, maka tidak wajib membayar fidyah. Jika bukan karena suatu uzur, maka wajib membayar fidyah”. Pendapat ini penengah antara dua pendapat diatas. Akan tetapi
hadits dha’if atau hadits mauquf tentang kafarat ini tidak membedakan antara ada atau tidak adanya uzur. Mungkin
pendapat ini dapat menenangkan jiwa karena memperhatikan bentuk khilaf yang
ada.
Melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan itu wajib dilaksanakan secara tunda, tidak wajib dilaksanakan
segera, meskipun afdhal dilaksakan dengan segera ketika mampu, karena hutang
kepada Allah Swt lebih utama untuk ditunaikan. Disebutkan dalam Shahih
Muslim dan Musnad
Ahmad bahwa Aisyah ra meng-qadha’
puasa Ramadhan di bulan Sya’ban, ia tidak
melaksanakannya segera ketika ia mampu.
Dalam melaksanakan puasa Qadha’ tidak diwajibkan mesti berturut-turut.
Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw berkata tentang qadha’
puasa Ramadhan:
“Jika
mau dapat melaksanakannya secara terpisah-pisah dan jika mau dapat
melaksanakannya secara berturut-turut”.
Suntik, Obat Tetes Telinga dan Memakai
Celak9.
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apakah orang yang sedang berpuasa boleh disuntik? Apakah boleh
memasukkan obat ke dalam telinga ketika sedang berpuasa? Apakah perempuan boleh
memakai celak pada waktu pagi ketika sedang berpuasa?
Jawaban:
Kami katakana kepad semua yang menggunakan jarum suntik pada bulan
Ramadhan bahwa jarum suntik terdiri dari beberapa jenis, ada yang digunakan
sebagai obat dan penyembuhan, apakah pada urat, atau pada otot, atau di bawah
kulit. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena tidak sampai ke
perut dan tidak memberikan makanan. Oleh sebab itu tidak membatalkan puasa dan
tidak perlu dibahas.
Akan tetapi ada satu jenis jarum yang memasukkan nutrisi ke dalam
tubuh, seperti jarum Glucose yang menyampaikan nutrisi ke dalam darah secara
langsung. Ulama moderen berbeda pendapat tentang masalah ini, karena kalangan
Salaf tidak mengenal jenis pengobatan seperti ini. Tidak terdapat tuntunan dari
Rasulullah Saw, para shahabat, tabi’in dan generasi pertama tentang masalah
ini. Ini perkara yang baru. Oleh sebab itu para ulama modern berbeda pendapat.
Ada ulama yang berpendapat bahwa ini membatalkan puasa karena menghantarkan
nutrisi ke tingkat tertinggi, karena langsung sampai ke darah. Sebagian ulama
menyatakan tidak membatalkan puasa, meskipun sampai ke darah, karena yang
membatalkan puasa adalah jika sampai ke perut yang membuat manusia merasa
kenyang setelah mengalaminya, atau merasa segar (hilang haus). Yang diwajibkan
dalam puasa adalah menahan nafsu perut dan kemaluan, artinya manusia merasakan
lapar dan haus. Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa jarum ini tidak
membatalkan puasa.
Meskipun saya memilih pendapat kedua (tidak membatalkan puasa), akan
tetapi menurut saya lebih bersikap hati-hati jika seorang muslim tidak
menggunakan jarum ini pada siang Ramadhan, jika ada kelapangan waktu untuk
menggunakannya setelah tenggelam matahari. Jika seseorang sakit, maka Allah Swt
memperbolehkannya untuk berbuka. Meskipun jarum ini tidak benar-benar
memberikan makanan dan minuman dan orang yang menggunakannya tidak merasa
hilang lapar dan haus setelah menggunakannya seperti makan dan minum langsung,
akan tetapi paling tidak merasa segar, hilang lesu yang dirasakan orang-orang
yang berpuasa pada umumnya. Allah Swt ingin agar manusia merasakan lapar dan
haus, agar mengetahui kadar nikmat Allah Swt kepadanya, merasakan sakitnya
orang-orang yang sakit, laparnya orang-orang yang kelaparan dan penderitaan
orang lain yang mengalami penderitaan. Kami khawatir jika kami membuka pintu
ini, maka orang-orang kaya yang mampu akan menggunakan jarum ini pada siang
hari Ramadhan agar mereka mendapatkan kekuatan dan merasa segar, agar tidak
merasakan sakitnya lapar dan penderitaan puasa di siang hari bulan Ramadhan.
Jika ingin menggunakannya, maka sebaiknya ditunda setelah berbuka puasa. Ini
jawaban pertanyaan pertama.
Adapun pertanyaan kedua dan ketiga, yaitu berkaitan dengan meletakkan
obat ke telinga, juga memakai celak pada kedua mata pada siang hari bulan Ramadhan
dan obat pada anus, semua ini adalah sesuatu yang mungkin sebagiannya masuk ke
dalam tubuh, akan tetapi tidak sampai ke dalam perut dari rongga yang normal
(rongga masuknya makanan ke dalam perut), oleh sebab itu tidak disebut
memberikan makanan dan orang yang mengalaminya tidak merasa segar setelah
merasakannya. Para ulama zaman dahulu dan ulama modern berbeda pendapat dalam
masalah ini, antara yang sangat ketat dan yang longgar. Ada ulama yang
menyatakan bahwa semua ini membatalkan puasa. Sebagian ulama berpendapat bahwa
rongga-rongga ini bukanlah rongga yang normal tempat masuknya makanan ke dalam
perut, oleh sebab itu tidak membatalkan puasa. Saya berpendapat bahwa
penggunaan celak, tetes mata, obat tetes telinga, obat pada anus bagi penderita
wasir dan sejenisnya. Menurut saya semua ini tidak membatalkan puasa. Pendapat
yang saya fatwakan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah. Beliau menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam masalah ini, kemudian beliau berkata, “Menurut pendapat yang kuat, semua
itu tidak membatalkan puasa. Karena ibadah puasa dari ajaran Islam yang perlu
diketahui seluruh umat manusia. Jika perkara-perkara ini diharamkan Allah dan
Rasul-Nya dalam ibadah puasa dan merusak ibadah puasa, pastilah Rasulullah Saw
wajib menjelaskannya. Andai Rasulullah Saw menyebutkannya, pastilah diketahui
para shahabat dan mereka sampaikan kepada umat sebagaimana mereka telah
menyampaikan semua syariat Allah Swt. Karena tidak seorang pun ulama
meriwayatkan dari mereka tentang masalah ini, tidak ada hadits shahih maupun dha’if, musnad maupun mursal, maka dapat diketahui bahwa Rasulullah Saw tidak menyebutkan masalah
ini walaupun sedikit. Hadits yang diriwayatkan tentang celak adalah hadits dha’if. Yahya bin Ma’in berkata, “Hadits Munkar”. Inilah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, fatwa ini menjelaskan dua
dasar:
Pertama, bahwa hukum-hukum yang bersifat umum yang perlu diketahui
oleh semua orang, maka Rasulullah Saw wajib menjelaskannya kepada umat. Karena
Rasulullah Saw itu pemberi penjelasan kepada umat manusia tentang apa yang
diturunkan kepada mereka. Allah Swt berfirman:
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka”. (Qs.
An-Nahl [16]: 44). Umat juga wajib melaksanakan penjelasan tersebut setelah
Rasulullah Saw. Ini adalah dasar.
Dasar kedua, bahwa memakai celak, obat tetes telinga dan sejenisnya
terus digunakan oleh manusia sejak lama, termasuk kategori perkara yang
bersifat umum, sama seperti mandi, memakai minyak rambut, memakai asap (harum),
parfum dan sejenisnya. Andai ini membatalkan puasa, pastilah Rasulullah Saw
menjelaskannya sebagaimana Rasulullah Saw menjelaskan hal-hal yang membatalkan
puasa. Ketika Rasulullah Saw tidak menjelaskannya, maka dapat difahami bahwa
ini termasuk jenis parfum, asap (harum), minyak rambut dan sejenisnya. Ibnu
Taimiah berkata, “Terkadang asap naik ke hidung dan masuk ke otak, merasuk ke
tubuh. Minyak rambut juga diserap oleh tubuh, masuk ke dalam tubuh dan tubuh
menjadi segar. Parfum juga membuat tubuh menjadi segar. Rasulullah Saw tidak
melarang semua itu, maka ini menunjukkan bahwa boleh memakai parfum,
menggunakan asap (harum) dan minyak rambut, maka demikian juga halnya dengan
celak”. Kesimpulan dari pendapat Ibnu Taimiah dalam fatwa ini bahwa celak tidak
memberikan nutrisi dan tidak ada orang yang memasukkan celak ke dalam perutnya,
tidak lewat hidung dan tidak pula lewat mulut. Demikian juga dengan obat pada
anus, tidak memberikan nutrisi, akan tetapi mengambil tempat di dalam tubuh.
Sama seperti seseorang yang mencium bau sesuatu atau merasa cemas, maka
menyebabkannya mual. Padahal itu tidak sampai ke dalam perut. Ini pendapat yang
baik dan pemahaman yang mendalam terhadap Fiqh Islam. Pendapat inilah yang kami
pilih dan kami fatwakan. Wa billahi at-Taufiq.
9 Yusuf
al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 325 -
328.
Memanjangkan Jenggot10.
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum memelihara jenggot?
Jawaban:
Terdapat perintah membiarkan (tidak mencukur) dan memelihara jenggot
dalam banyak hadits. Diantaranya hadits:
“Bedakanlah diri kamu dengan orang-orang
musyrik. Biarkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ulama berbeda pendapat tentang makna
perintah Rasulullah ini, apakah mengandung makna wajib? Atau anjuran? Jumhur
ahli Fiqh berpendapat bahwa perintah ini mengandung makna wajib. Mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa makna perintah ini adalah anjuran. Banyak nash
ulama Mazhab Syafi’i yang menetapkan
hukum ini menurut pendapat mereka, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pendapat Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot
ketika baru tumbuh, untuk memperhatikan orang yang baru tumbuh jenggot dan
untuk tampilan yang bagus”11. Imam ar-Ramli memberikan komentar
terhadap pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Asna al-Mathalib, “Pendapatnya: makruh mencabutnya. Maksudnya adalah makruh mencabut
jenggot dan seterusnya. Perbuatan yang sama seperti itu adalah mencukur
jenggot. Pendapat al-Hulaimi dalam Minhaj-nya bahwa tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan bulu mata,
ini adalah pendapat yang lemah”12.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami berkata, teksnya: (Pembahasan
Cabang), mereka menyebutkan disini bahwa jenggot dan sejenisnya, ada beberapa
perbuatan makruh, diantaranya: mencabut jenggot, mencukur jenggot. Demikian
juga dengan dua bulu mata”13.
Imam Ibnu Qasim al-‘Abbadi menekankan pendapat ini dalam Hasyiyah-nya terhadap Tuhfat al-Muhtaj, ia berkata, “Pendapatnya: ‘Atau diharamkan, bertentangan dengan
pendapat yang dijadikan sebagai pegangan’. Dalam kitab Syarh
al-‘Ubab dinyatakan, “Fa’idah: Dua Syekh (Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi) berkata, ‘Makruh
hukumnya mencukur jenggot’.”14
Al-‘Allamah al-Bujairimi berkata dalam Syarh-nya terhadap al-Khathib, teksnya: “Sesungguhnya mencukur jenggot itu
makruh dilakukan laki-laki dewasa, bukan haram”15.
Penyebutan kata ar-Rajul (lelaki dewasa) dalam teks ini bukan sebagai lawan kata perempuan,
akan tetapi sebagai lawan kata asy-Syab ash-Shaghir (remaja). Karena redaksi kalimat ini mengandung makna: makruh hukumnya
mencukur jenggot bagi remaja. Komentar: jenggot baru tumbuh. Bukanlah sebagai
ikatan. Akan tetapi maknanya: makruh hukumnya mencukur jenggot bagi pria
dewasa.
Pendapat yang menyatakan makruh hukumnya mencukur jenggot juga
dinyatakan oleh ulama dari luar Mazhab Syafi’i. Diantara mereka adalah Imam
al-Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab asy-Syifa, salah seorang ulama Mazhab Maliki. Ia berkata, “Makruh hukumnya
mencukur jenggot, memotong dan membakar jenggot”16.
Terlihat bahwa ahli Fiqh yang mewajibkan memelihara jenggot dan
mengharamkan mencukur jenggot, mereka memperhatikan aspek lain, ada unsur
tambahan terhadap teks hadits, bahwa mencukur jenggot itu sesuatu yang dianggap
sebagai aib, bertentangan dengan bentuk wajah manusia saat itu, orang yang
mencukur jenggot pada zaman itu dipandang hina, ditunjuk di jalan-jalan. Imam
ar-Ramli berkata tentang hukum Ta’zir, bahwa hukum Ta’zir tidak dijatuhkan bagi orang yang mencukur jenggot. Teksnya:
“Ucapannya: Tidak ada hukuman Ta’zir bagi orang yang mencukur jenggot. Guru kami berkata, “Karena mencukur
jenggot itu aib, orang yang melakukannya sangat dikecam, bahkan terkadang
anak-anaknya pun ikut dikecam”17.
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi
indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna
anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan dan tradisi. Para Fuqaha’ menganjurkan
banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena
berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
“Rubahlah
uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. at-Tirmidzi). Bentuk kata perintah dalam hadits perintah
merubah uban kejelasannya menyerupai hadits perintah memelihara jenggot. Akan
tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah
masyarakat, maka tidak dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapat bahwa merubah uban
itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan.
Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap
keras dalam hal pemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa
yang melakukan itu berarti kafir. Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada
zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu mengandung makna kekafiran pada masa
itu. Ketika pemakaian dasi sudah menjadi tradisi, tidak seorang pun ulama
mengkafirkan orang yang memakainya.
Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir
maupun yang muslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk
mencukurnya. Oleh sebab itu ulama berbeda pendapat antara jumhur yang
mewajibkan memelihara jenggot dan Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa
memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab
Syafi’i, karena tradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya makruh.
Memelihara jenggot hukumnya sunnat, mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan
tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan
tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
10 Syekh DR.
Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 330 – 333..
11 Syekh
Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
12 Syekh
ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. I, hal. 551.
13 Ibnu Hajar
al-Haitsami, Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
14 Ibnu Qasim
al-‘Abbadi, Hasyiyah Tuhfat al-Muhtaj Syarh
al-Minhaj, juz. IX, hal. 375 – 376.
15 Hasyiyah
al-Bujairimi ‘ala Syarh al-Khathib, juz. IV,
hal. 346.
16 Dinukil
oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam kitabnya berjudul Tharh
at-Tatsrib, juz. II, hal. 83; asy-Syaukani dalam Nail
al-Authar, juz. I, hal. 143.
17 Al-‘Allamah
ar-Ramli, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. IV, hal. 162.
Isbal (Pakaian
Menutup Mata Kaki)18.
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah hukum memanjangkan pakaian (menutupi mata kaki)?
Jawaban:
Al-Isbal
dari kata as-Sabal
artinya bulir. Asbala
az-Zar’u artinya tanaman itu mengeluarkan
bulirnya. Asbala al-Matharu artinya air hujan turun. Asbala ad-Dam’u artinya air mata menetes. Asbala Izarahu artinya si fulan mengulurkan pakaiannya. As-sabalu
adalah penyakit pada mata yang menyerupai
katarak, seperti sarang laba-laba dengan selaput berwarna merah. As-Sabil
adalah jalan. Dalam bentuk mudzakkar
dan mu’annats.
Yang dimaksud disini adalah makna Isbal
secara khusus, yaitu berkaitan dengan
pakaian. Artinya seseorang memanjangkan pakaiannya dan menyeretnya diatas
tanah. Atau membiarkannya terjuntai dari atas kepala tanpa memakainya. Ini
makruh dilakukan dalam shalat, karena menyerupai orang Yahudi dan tidak menutup
aurat.
Pada zaman dahulu memanjangkan pakaian adalah salah satu tanda
keangkuhan dan kesombongan. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Tergolong dosa
hati yang menyebabkan penyakit hati dan merusak kehidupan. Hingga orang-orang
shaleh mengatakan, “Berapa banyak perbuatan maksiat menyebabkan kerendahan,
lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan keangkuhan”.
Mengaitkan Isbal dengan keangkuhan secara syara’ berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya
karena keangkuhan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya salah satu bagian
pakaianku panjang, hanya saja aku tidak melakukannya sengaja”. Rasulullah Saw berkata, “Engkau
tidak melakukan itu karena keangkuhan”. (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Jadi sebenarnya memanjangkan pakaian ke lantai tidaklah haram, yang
diharamkan hanyalah keangkuhan yang menjadi tujuannya. Indikasi bahwa
memanjangkan pakaian itu adalah pertanda keangkuhan telah ada dalam tradisi
kaum pada zaman Rasulullah Saw. Oleh sebab itu para ulama sepakat haram
hukumnya angkuh dan sombong, apakah terkait dengan pakaian atau pun tidak.
Mereka berbeda pendapat tentang hukum memanjangkan pakaian, jika disebabkan
keangkuhan, maka haram disebabkan keangkuhan tersebut. Jika tidak karena
keangkuhan, maka tidak diharamkan.
Para ulama memakruhkannya karena menyerupai perbuatan orang yang
angkuh. Karena orang-orang yang angkuh pada masa itu melakukan perbuatan
seperti ini, oleh sebab itu menyerupai perbuatan mereka meskipun tanpa ada niat
menyombongkan diri tetap dimakruhkan. Adapun dengan niat untuk keangkuhan, maka
hukumnya haram, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Inilah pendapat para ulama dan disebutkan para imam secara nash. Syekh al-Buhuti berkata, “Jika seseorang memanjangkan pakaiannya
karena keperluan, seperti menutupi betis yang jelek, tanpa ada niat keangkuhan,
maka itu dibolehkan”. Imam Ahmad bin berkata dalam satu riwayat, “Memanjangkan
pakaian dan selendang dalam shalat, jika tidak untuk keangkuhan, maka tidak
mengapa (boleh)”19.
Imam asy-Syaukani berkata, “Ikatan yang jelas dengan menggunakan kata
“Keangkuhan”, ini menunjukkan pemahaman bahwa memanjangkan pakaian tanpa niat
keangkuhan tidak termasuk dalam ancaman ini. Ibnu Abdilbarr berkata,
“Pemahamannya bahwa orang yang memanjangkan pakaian tanpa niat keangkuhan,
tidak tergolong dalam ancaman ini. Hanya saja perbuatan itu tidak baik”. Imam
an-Nawawi berkata, “Perbuatan itu makruh. Ini dinyatakan Imam Syafi’I secara
nash”. Al-Buwaithi berkata dalam Mukhtasharnya dari Imam Syafi’I, “Tidak boleh
memanjangkan pakaian dalam shalat atau pun di luar shalat, jika untuk
keangkuhan. Jika tidak untuk keangkuhan, maka ada keringanan. Berdasarkan
ucapan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar”20.
Memanjangkan pakaian bukan untuk keangkuhan, maka tidak mengapa, itu
dibolehkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yang
diharamkan adalah untuk keangkuhan dan kesombongan, meskipun tidak terkait
dengan memanjangkan pakaian. Inilah pendapat yang kuat. Tradisi telah berubah,
memanjangkan pakaian tidak lagi menjadi tradisi dan kebiasaan orang-orang yang
menyombongkan diri di zaman kita sekarang ini. Oleh sebab itu memanjangkan
pakaian pada zaman sekarang ini tidak dapat dikatakan menyerupai orang-orang
yang sombong. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
18 Syekh DR.
Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 328.
19 Al-Buhuti, Kasysyaf
al-Qina’, juz. I, hal. 276.
20 Asy-Syaukani,
Nail al-Authar, juz. I, hal. 112.
Televisi dan Puasa21.
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa pendapat agama Islam tentang menonton TV bagi orang yang sedang
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan?
Jawaban:
Televisi adalah salah satu sarana, di dalamnya ada kebaikan dan hal
yang tidak baik. Semua sarana mengandung hukum tujuan. Televisi sama seperti
radio dan sarana informasi lainnya, di dalamnya ada yang baik dan ada yang
tidak baik. Seorang muslim mesti mengambil manfaat dari yang baik dan
menjauhkan diri dari yang tidak baik, apakah ia dalam keadaan berpuasa atau pun
tidak sedang berpuasa. Akan tetapi dalam keadaan berpuasa ia mesti lebih
hati-hati, agar puasanya tidak rusak, agar pahalanya tidak hilang sia-sia dan
tidak mendapatkan balasan dari Allah Swt.
Menonton TV, saya tidak katakan halal secara mutlak dan tidak pula
haram secara mutlak. Akan tetapi mengikut apa yang ditonton, jika baik, maka
boleh dilihat dan didengar, seperti acara-acara agama Islam, berita, acara-acara
yang membawa kepada kebaikan. Jika tidak baik, seperti acara tarian yang tidak
menutup aurat dan hal-hal seperti itu, maka haram untuk dilihat di setiap
waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan.
Sebagian acara makruh ditonton, meskipun tidak sampai ke tingkat
haram. Semua sarana yang menghalangi diri dari mengingat Allah Swt, maka haram
hukumnya. Jika menonton TV, atau mendengar radio dan lain sebagainya dapat
melalaikan dari suatu kewajiban yang diwajibkan Allah Swt, seperti shalat, maka
dalam kondisi seperti ini hukumnya haram. Semua perbuatan yang melalaikan
shalat maka hukumnya haram. Ketika Allah Swt menyebutkan sebab diharamkannya
khamar dan judi, Allah Swt sebutkan sebabnya:
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”. (Qs. Al-Ma’idah
[5]: 91).
Maka bagi semua pihak yang bertanggung jawab terhadap acara televisi
agar bertakwa kepada Allah Swt tentang apa yang layak untuk dipersembahkan
kepada khalayak ramai, khususnya di bulan Ramadhan, untuk menjaga kemuliaan
bulan yang penuh berkah, menolong kaum muslimin untuk taat kepada Allah Swt dan
menambah amal kebaikan, agar tidak memikul dosa mereka dan dosa para penonton,
seperti yang difirmankan Allah Swt:
“(Ucapan
mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada
hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak
mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa
yang mereka pikul itu”. (Qs. An-Nahl
[16]: 25).
21 Yusuf
al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 319 –
320.
Kumur-Kumur dan Istinsyaq Bagi
Orang Yang Berpuasa22.
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa kumur-kumur atau Istinsyaq
dalam Wudhu’ berpengaruh terhadap sahnya
puasa, sejauh mana kebenaran pendapat ini?
Jawaban:
Kumur-kumur dan Istinsyaq dalam wudhu’ adalah sunnat menurut Mazhab Abu Hanifah, Malik dan
Syafi’i. Wajib menurut Mazhab Imam Ahmad yang menganggapnya sebagai bagian dari
membasuh wajah yang merupakan perintah. Apakah sunnat atau wajib, tidak
selayaknya ditinggalkan ketika berwudhu’, apakah ketika berpuasa atau pun
ketika tidak berpuasa.
Bagi muslim ketika sedang berpuasa agar tidak terlalu berlebihan dalam
berkumur-kumur dan Istinsyaq, tidak seperti saat tidak berpuasa. Dalam hadits disebutkan:
“Apabila
engkau istinsyaq maka lebihkanlah, kecuali jika engkau berpuasa”. (HR. Asy-Syafi’i, Ahmad, imam yang empat dan al-Baihaqi). Jika
seorang yang berpuasa berkumur-kumur atau melakukan istinsyaq
ketika berwudhu’, lalu air termasuk ke
kerongkongannya tanpa sengaja dan tidak karena sikap berlebihan, maka puasanya
tetap sah, sama seperti masuknya debu jalanan atau butiran tepung atau lalat
terbang dan masuk ke kerongkongannya, karena semua itu kekeliruan yang tidak
dianggap. Meskipun sebagian imam berbeda pendapat dengan ini.
Kumur-kumur yang bukan karena berwudhu’ juga tidak mempengaruhi sahnya
puasa, selama air tidak sampai ke dalam perut. Wallahu
a’lam.
22 Yusuf
al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 311.
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih23.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?
Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di
luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat
rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan
empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian
melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan
bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda
Rasulullah Saw:
“Shalat
malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya
Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’
dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari
‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
“Rasulullah
Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu
rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
“Rasulullah Saw mengucapkan
salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih
mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah
Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian
mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah
Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah
Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman
dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli
Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari
Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat
Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak
dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka
melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain
Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh
al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban
menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka
melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa
berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka
melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’
dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian
mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam
rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah
menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang
dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit.
Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya.
Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat
Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk
Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat
Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh
putaran Thawaf tersebut.
23 Fatawa
al-Azhar, juz. VIII, hal.
464 [Maktabah Syamilah].
Perempuan ke Masjid Melaksanakan Shalat
Tarawih24.
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Sebagian kaum muslimah rajin melaksanakan shalat Tarawih di masjid,
bahkan ada yang pergi ke masjid tanpa izin suami, ada juga yang suara mereka
terdengar bercerita di dalam masjid. Apakah hukum shalat mereka? Apakah mereka
wajib ke masjid?
Jawaban:
Shalat Tarawih tidak wajib, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Hukumnya sunnat, kedudukannya tinggi dan pahalanya besar di sisi Allah Swt.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw
memerintahkan mereka dengan tekad yang kuat, kemudian Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa
yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya
mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Siapa yang melaksanakan shalat Tarawih dengan khusyu’ dan tenang,
penuh keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, melaksanakan
shalat Shubuh pada waktunya, maka sungguh ia telah melaksanakan Qiyamullail
di bulan Ramadhan dan ia layak
mendapatkan balasan pahala orang-orang yang menghidupkan malam-malam Ramadhan.
Ini mencakup laki-laki dan perempuan. Hanya saja shalat perempuan
lebih afdhal di rumah daripada di masjid, selama kepergiannya ke masjid itu
tidak ada manfaat lain selain shalat saja, jika ada manfaat lain seperti mendengarkan
kajian agama, atau pelajaran ilmu, atau mendengarkan bacaan al-Qur’an dari
qari’ yang khusyu’ dan baik, maka kepergiannya ke masjid dengan tujuan-tujuan
ini lebih baik dan afdhal. Terlebih lagi kebanyakan suami di zaman ini tidak
mengajarkan pendalaman ajaran Islam kepada istri mereka, andai mereka memiliki
kemauan, mereka tidak memiliki kemampuan di bidang pengetahuan agama Islam.
Maka hanya masjidlah sumber utama untuk itu, oleh sebab itu wanita mesti diberi
kesempatan, tidak boleh dihalangi antara wanita dan rumah Allah Swt. Apalagi
banyak wanita jika dibiarkan menetap di rumah, mereka tidak ada kemauan untuk
melaksanakan shalat Tarawih sendirian di rumah, berbeda jika berada di masjid
dan dilaksanakan secara berjamaah.
Keluarnya wanita dari rumah –meskipun ke masjid- mesti ada izin dari
suami, karena suami adalah kepala rumah tangga, penanggung jawab keluarga.
Wajib patuh kepada suami, selama tidak memerintahkan meninggalkan kewajiban
atau melakukan perbuatan maksiat, jika demikian maka tidak wajib mendengarkan
perintahnya dan tidak wajib mematuhinya.
Laki-laki tidak berhak melarang istrinya pergi ke masjid jika istrinya
ingin pergi ke masjid, tidak ada larangan tentang itu. Imam Muslim
meriwayatkan:
“Janganlah
kamu larang perempuan-perempuan hamba-hamba Allah Swt (ke) masjid-masjid
rumah-rumah Allah Swt”.
Yang mencegah menurut syariat Islam, misalnya suami dalam keadaan
sakit, sangat membutuhkan agar istri tetap berada di rumahnya melayani dan
melaksanakan semua kebutuhan suami. Atau ada anak-anak kecil yang mendatangkan
mudharat jika ditinggalkan di rumah selama shalat dan tidak ada yang menjaga
mereka, dan uzur-uzur lainnya yang masuk akal.
Jika anak-anak menimbulkan keributan di masjid, mengganggu orang-orang
yang shalat karena menangis dan berteriak-teriak, maka selayaknya anak-anak
tidak dibawa ketika shalat. Karena hal itu, meskipun dibolehkan pada shalat
lima waktu karena waktunya singkat, tidak layak dilakukan pada shalat Tarawih
karena waktunya panjang dan anak-anak tidak sabar terhadap ibu mereka pada
waktu yang lama tersebut.
Adapun wanita bercerita di dalam masjid, sama seperti laki-laki, tidak
boleh mengeraskan suara kecuali jika dibutuhkan untuk itu. Terlebih lagi
cerita-cerita urusan dunia. Masjid didirikan bukan untuk itu, akan tetapi untuk
ibadah dan ilmu.
Wanita yang memiliki semangat untuk menjalankan agama agar menjaga
lidahnya di rumah Allah Swt agar tidak mengganggu orang yang melaksanakan
shalat atau majlis ilmu. Jika perlu untuk bicara, maka hendaklah dengan suara
yang pelan dan sesuai kebutuhan. Tidak keluar dari sikap menjaga harga diri
dalam hal bicara, pakaian dan cara berjalan.
Disini saya ingin menyampaikan kalimat yang santun bahwa sebagian
suami terlalu cemburu kepada istri sehingga menekan, tidak mendukung sikap
perempuan pergi ke masjid, meskipun ada dinding yang tinggi yang memisahkan
antara laki-laki dan perempuan, yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw
dan para shahabatnya, dinding yang dapat menghalangi perempuan mengetahui
gerakan imam melainkan dengan suara dan pendengaran. Ada sebagian laki-laki
yang tidak mau bercerita di masjid, mereka tidak mengizinkan orang lain
membisikkan satu kata ke telinga istrinya, meskipun itu dalam urusan agama. Ini
adalah sikap yang kurang santun, cemburu yang dicela sebabagaimana yang
dinyatakan dalam hadits:
“Sesungguhnya
sebagian dari cemburu itu ada yang disukai Allah Swt dan ada pula yang dimurkai
Allah Swt”, yaitu cemburu yang bukan pada sesuatu
yang meragukan.
Kehidupan moderen telah membuka banyak pintu bagi perempuan. Perempuan
bisa keluar rumah ke sekolah, kampus, pasar dan lainnya. Akan tetapi tetap
dilarang untuk pergi ke tempat yang paling baik dan paling utama yaitu masjid.
Saya menyerukan tanpa rasa sungkan, “Berikanlah kesempatan kepada perempuan di
rumah Allah Swt, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan, mendengarkan nasihat
dan mendalami agama Islam. Boleh memberikan kesempatan bagi mereka selama tidak
dalam perbuatan maksiat dan sesuatu yang meragukan. Selama kaum perempuan
keluar rumah dalam keadaan menjaga kehormatan dirinya dan jauh dari fenomena Tabarruj
(bersolek ala Jahiliah) yang dimurkai
Allah Swt”. Walhamdu lillah Rabbil’alamin.
24 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa
Mu’ashirah, juz. I
(Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 316 – 318.
Dzikir Diantara Shalat Tarawih.
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Mereka yang melaksanakan shalat Tarawih berjamaah membaca beberapa
zikir yang dibaca di sela-sela dua atau empat rakaat Tarawih. Sebagian orang
menganggap ini perbuatan bid’ah, tidak disyariatkan. Apa pendapat Islam dalam
masalah ini?
Jawaban:
Tidak ada nash yang melarang zikir atau doa atau membaca al-Qur’an di sela-sela
antara dua atau empat rakaat Tarawih, masuk dalam perintah berzikir yang
bersifat umum di semua kondisi. Bahwa kalangan Salaf tidak melakukannya, tidak
berarti larangan, disamping itu riwayat yang mengatakan bahwa mereka melarang
adalah riwayat yang tidak terpercaya. Pemisah antara dua atau empat rakaat
tersebut sama seperti apa yang dilakukan penduduk Mekah, mereka melaksanakan
Thawaf tujuh putaran diantara dua istirahat (shalat Tarawih), itulah yang
membuat orang-orang Madinah menambah jumlah rakaat Tarawih mereka lebih dari
dua puluh rakaat untuk mengganti Thawaf tersebut. Itu hanyalah cara pengaturan
untuk mengetahui jumlah berapa rakaat yang telah mereka laksanakan, disamping
untuk memberikan semangat kepada orang-orang yang melaksanakan shalat Tarawih,
tidak ada larangan sama sekali, dan tidak pula termasuk dalam istilah bid’ah. Nash-nash secara umum tidak mendukung pendapat yang melarang dan
tidak pula menentang. Andai pun disebut bid’ah, maka tergolong apa yang dikatakan Umar ra, “Sebaik-baik bid’ah
adalah perbuatan ini”, ketika beliau
menyaksikan kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakan shalat Tarawih di
belakang Ubai bin Ka’ab.
Melaksanakan Shalat Tarawih Terlalu Cepat25.
Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi.
Pertanyaan:
Apa hukum melaksanakan shalat Tarawih terlalu cepat?
Jawaban:
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau
bersabda:
“Siapa
yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya
mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”. Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan
lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan. Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan. Akan
tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang
dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab
dan batasannya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah
adalah salah satu rukum dari rukun
shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud. Ketika seseorang
melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw,
tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Kembalilah, shalatlah kembali,
karena sesungguhnya engkau belum shalat”. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan
bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata:
“Ruku’lah
hingga engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau
i’tidal berdiri. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud.
Kemudian bangkitlah hingga thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah
itu dalam semua shalatmu”. (HR. Al-Bukhari,
Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).
Thuma’ninah
dalam semua rukun adalah syarat yang
mesti ada. Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:
“Maha
Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”.
Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah
dalam ruku’ dan sujud kira-kira tiga kali
Tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah
batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih.
Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun
[23]: 1 – 2).
Khusyu’ ada dua jenis:
Khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.
Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan
sia-sia, tidak menoleh seperti menolehnya srigala. Tidak ruku’ dan sujud
seperti patokan ayam. Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan
batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti
ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.
Makna khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu
dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat
sedang berada di hadapan Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits
Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan
hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:
“Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs.
Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab:
“Hamba-Ku
memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
“Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs.
Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab:
“Hamba-Ku
memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
“Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt
menjawab:
“Hamba-Ku memuliakan-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan
hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt
menjawab:
“Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku
mendapatkan apa yang ia mohonkan”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan
hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang
lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6 – 7). Allah Swt
menjawab:
“Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku
mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).
Allah Swt tidak terasing dari orang yang
sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab
itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt, menghadirkan
hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap waktu shalat dan dalam setiap
rukun shalat. Orang-orang yang shalat dan hanya memikirkan ingin segera selesai
melaksanakan shalat dan melemparkan shalat seakan-akan shalat itu beban berat
di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang diharapkan. Banyak orang yang
melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh
tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja. Yang mereka inginkan hanyalah
cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak sempurna ruku’,
sujud dan khusyu’nya. Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits:
“Shalat
itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya,
“Engkau disia-siakan Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”.
Shalat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih
bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu
sebagaimana engkau telah menjagaku”.
Nasihat saya kepada para imam dan mereka
yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak
dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan
ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang
dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat. Yang dilihat bukanlah
kuantitas dan banyaknya. Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya.
Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang dilaksanakan oleh
orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa. Kita memohon
kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyu’.
25 Yusuf al-Qaradhawi,
Fatawa
Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 321.
Zikir
Dengan Suara Jahr26.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah zikir dengan suara jahr itu bid’ah?
Jawaban:
Dianjurkan bertasbih dan lainnya dengan
suara sedang, demikian menurut mayoritas Fuqaha’ (ahli Fiqh), berdasarkan
firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu”. (Qs. Al-Isra’ [17]: 110). Rasulullah Saw melakukan itu.
Diriwayatkan dari Qatadah, bahwa
Rasulullah Saw keluar pada suatu malam, beliau dapati Abu Bakar sedang shalat
dengan merendahkan suaranya. Rasulullah Saw lewat, beliau dapati Umar sedang
shalat menyaringkan suaranya. Ketika mereka berdua berkumpul bersama Rasulullah
Saw, beliau berkata, “Wahai Abu Bakar, aku lewat ketika engkau sedang shalat,
mengapa engkau merendahkan suaramu?”. Abu Bakar menjawab, “Aku telah
memperdengarkan Dia yang aku seru wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw menjawab,
“Keraskanlah sedikit”. Rasulullah Saw berkata kepada Umar, “Aku lewat ketika
engkau sedang shalat, mengapa engkau mengeraskan suaramu?”. Umar menjawab,
“Wahai Rasulullah Saw, aku membangunkan orang yang tidur dan mengusir setan”.
Rasulullah Saw berkata, “Rendahkanlah sedikit suaramu”. (HR. Abu Daud, Ibnu
Khuzaimah, ath-Thabrani dalam al-Ausath
dan al-Hakim
dalam al-Mustadrak).
Sebagian Salaf menganjurkan menyaringkan
suara ketika membaca takbir dan zikir setelah shalat wajib. Mereka berdalil
dengan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Aku
mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat ketika aku mendengar (mereka
berzikir dengan suara nyaring)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Karena menyaringkan
suara ketika berzikir itu lebih banyak dalam pengamalan dan lebih merenungkan
makna, manfaatnya untuk menyadarkan hati orang-orang yang lalai.
Pendapat yang paling baik dalam masalah
ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh pengarang Maraqi al-Falah setelah menggabungkan hadits-hadits dan
pendapat para ulama yang berbeda pendapat antara keutamaan sirr dan jahr dalam masalah zikir dan doa, beliau berkata, “Itu berbeda sesuai
pribadi masing-masing, kondisi, waktu dan tujuan. Jika khawatir riya’ atau mengganggu orang lain, maka lebih
afdhal dengan cara sirr. Ketika seseorang merasa kehilangan apa
yang sedang ia zikirkan, maka lebih afdhal dengan cara jahr”.
Dengan demikian maka zikir dengan cara jahr bukanlah perbuatan bid’ah dan boleh dilakukan. Bahkan terkadang
lebih menguatkan hati dan lebih membuat konsentrasi, jika terhindar dari riya’. Wallahu a’lam.
26 Syekh DR. Ali
Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 227.
Zikir
Bersama27.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum berkumpul untuk melakukan zikir
bersama dalam sebuah halaqah (lingkaran)?
Jawaban:
Berkumpul untuk melakukan zikir dalam
sebuah halaqah (lingkaran) adalah Sunnah berdasarkan
dalil-dalil. Allah Swt memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama
dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya”. (Qs. Al-Kahf [18]: 28).
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka
mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir
kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu
cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke
langit dunia. Sampai pada, Allah Swt berfirman:
“Aku persaksikan kepada kamu bahwa Aku
telah mengampuni mereka”. Malaikat diantara mereka berkata, “Si fulan bukan bagian dari
mereka, ia datang hanya karena ada suatu keperluan”. Allah Swt berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang duduk
yang tidak menyengsarakan sahabat-sahabat yang duduk bersama mereka”. (HR. al-Bukhari).
Dari Mu’awiyah, bahwa Rasulullah Saw
melewati lingkaran zikir para shahabatnya, ia bertanya, “Apa yang membuat kamu
duduk?”. Mereka menjawab, “Kami duduk berzikir mengingat Allah Swt dan
memuji-Nya atas hidayah-Nya kepada kami untuk memeluk Islam dan karunia-Nya
kepada kami”. Sampai pada ucapan Rasulullah Saw:
“Malaikat Jibril telah datang kepadaku, ia memberitahukan
bahwa Allah Swt membanggakan kamu kepada para malaikat”. (HR. Muslim).
Imam an-Nawawi menempatkan hadits pertama
dalam satu bab dalam kitab Riyadh
ash-Shalihin, Bab: fadhl
hilaq adz-dzikr (Bab: Halaqah-Halaqah
Zikir). Zikir
menurut syariat Islam mengandung banyak makna, diantaranya: pemberitahuan murni
tentang dzat Allah Swt atau sifat-Nya atau perbuatan-Nya atau hukum-hukum-Nya,
atau dengan membaca kitab suci-Nya, atau memohon kepada-Nya, berdoa kepada-Nya,
atau memuji dan mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya, memuji-Nya,
bersyukur dan mengagungkan-Nya. Tidak ada dalil bagi mereka yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan halaqah-halaqah
zikir di sini
adalah majlis ilmu.
Imam ash-Shan’ani menyebutkan hadits
Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Tidaklah sekelompok orang berzikir
mengingat Allah Swt, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah
Swt meliputi mereka, turun ketenangan kepada mereka dan Allah Swt menyebut
mereka kepada yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim). Kemudian Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini
menunjukkan keutamaan majlis-majlis zikir dan orang-orang yang berzikir.
Keutamaan berkumpul untuk berzikir. Imam al-Bukhari meriwayatkan:
“Sesungguhnya
ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka
mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir
kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu
cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke
langit dunia. Ini adalah keutamaan majlis-majlis zikir yang dihadiri para
malaikat setelah para malaikat itu mencari dan menemukan majlis-majlis zikir.
Yang dimaksud dengan zikir disini adalah
tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an dan sejenisnya. Dalam hadits al-Bazzar
disebutkan:
“Allah
Swt bertanya kepada para malaikat-Nya, “Apa yang dilakukan hamba-hamba-Ku?”.
Allah Swt Maha Mengetahui tentang mereka. Para malaikat menjawab, “Mereka
mengagungkan nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu dan
memohon kepada-Mu untuk akhirat dan dunia mereka”. Zikir yang sebenarnya adalah
zikir di lidah, orang yang mengucapkannya akan mendapatkan balasan pahala,
tidak disyaratkan menghadirkan maknanya, yang disyaratkan hanyalah agar tidak
bertujuan selain zikir kepada Allah Swt. Jika zikir lisan ditambah dengan zikir
hati, maka itu lebih sempurna. Jika ditambah lagi dengan menghadirkan makna
zikir, mencakup pengagungan Allah Swt, menafikan kekurangan, maka bertambah
sempurna. Jika itu dilakukan dalam amal shaleh yang diwajibkan seperti shalat,
atau jihad atau yang lain, maka lebih sempurna. Jika arahnya benar dan ikhlas
hanya karena Allah Swt, maka itulah tingkat teratas dari kesempurnaan. Subul as-Salam karya Imam ash-Shan’ani, juz. 2, hal.
700.
Dari keterangan diatas dapat diketahui
bahwa berkumpul untuk berzikir mengingat Allah Swt, membaca al-Qur’an, mengkaji
ilmu, tasbih, tahlil dan tahmid adalah sunnah yang dianjurkan Allah Swt dalam
kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya yang shahih dan jelas. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
27 Syekh DR. Ali
Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 229.
Bersalaman
Selesai Shalat28.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai shalat?
Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum
asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati
hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam
an-Nawawi). Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut
mayoritas ulama”. (Fath
al-Bari, al-Hafizh
Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).
Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab
menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang
diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
“Saya
masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah
bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia
menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan
Muslim). Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para
shahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu
Hibban). Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia
berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
“Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan
dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan
menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad
al-Firdaus).
Adapun bersalaman setelah selesai shalat,
tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya.
Bersalaman selesai shalat itu bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara
terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami
saudaranya sebelum shalat, maka salamannya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya
sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang
dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah,
an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara
mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi
dalam al-Adzkar
karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).
Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar
setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari
kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan
pendapat ini berdasarkan nash-nash
yang bersifat
umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar
dikenal
dengan nama Hasyiyah
Ibn ‘Abidin, juz. VI,
hal. 381).
Mereka berpendapat bahwa bersalaman
setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:
“Rasulullah
Saw pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian
melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada
tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik
tangan Rasulullah Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan
Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es
dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).
Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat
ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin
yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat
‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh
untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam,
setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah
mubahah itu memiliki beberapa
contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”.
(Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).
Imam an-Nawawi berkata, “Adapun
bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam
Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut
pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang
telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami
sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum
shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu
sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan;
mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak
berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
28 Syekh DR. Ali
Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262
Mengangkat
Tangan Ketika Berdoa29.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Mengapa tangan diangkat keatas ketika
berdoa?
Jawaban:
Allah Swt berfirman:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat, beliau dari Mekah menuju Madinah,
beliau berada diatas hewan tunggangannya sesuai arahnya. Lalu turun ayat:
“Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Ini berlaku pada shalat Sunnat. Maknanya
bahwa semua arah milik Allah Swt, siapa yang mengarah kemana saja dalam
ibadahnya, maka Allah Swt memperhatikan dan mengetahuinya. Yang dimaksud dengan
wajah Allah Swt adalah Dzat Allah Swt, karena wajah mengungkapkan tentang Dzat,
karena wajah adalah anggota tubuh yang paling mulia (pada makhluk), sama
seperti firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah”. (Qs. Al-Insan [67]: 9). Maksudnya,
kami beramal hanya mengharapkan Allah Swt semata, bukan kepada yang lain
diantara makhluk-Nya. Artinya, kami mengesakan-Nya, tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. Kami beramal ikhlas, tidak riya’ dalam amal kami.
Diantara ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt adalah doa. Ketika seorang manusia menghadap kepada Tuhannya
kearah mana pun, maka sesungguhnya Allah Swt ada, tidak pernah sirna. Allah Swt
Maha Mengetahui, tidak pernah lalai. Allah Swt Maha Dekat, tidak pernah jauh.
Artinya, meskipun kedudukan Allah Swt Maha Tinggi, akan tetapi Allah Swt Maha
Dekat dengan manusia dengan pengetahuan-Nya:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula)
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia
berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan
memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Mujadilah [58]: 7). Oleh sebab
itu Allah Swt berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 186). Karena
dekat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka tidak perlu berteriak ketika berdoa
kepada-Nya, karena sesungguhnya Ia mengetahui rahasia dan yang tersembunyi.
Allah Swt berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan
berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Jika telah jelas bahwa Allah Swt Maha Dekat
dengan hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya, maka pada waktu yang sama Allah Swt
berada di tempat yang Maha Tinggi dan Agung yang hanya layak bagi
kemuliaan-Nya, terlihat jelas makna mengulurkan kedua tangan ketika berdoa,
memohon dan mengharap kebaikan-Nya, seakan-akan Allah Swt Yang Maha Tinggi
berada di hadapan orang yang berdoa yang berada di bawah yang menengadahkan
kedua tangannya. Tangan yang memberi berada diatas dan yang menerima berada di
bawah. Gambaran berhadapan ini yang diisyaratkan Rasulullah Saw dalam sabdanya:
“Apabila salah seorang kamu sedang bermunajat kepada
Tuhannya, maka janganlah ia meludah kearah depan dan ke kanannya”. (HR. Muslim). Rasulullah Saw juga
bersabda:
“Mengapa salah seorang kamu berdiri menghadap Tuhannya, lalu
ia meludah kearah depannya. Apakah salah seorang kamu suka jika ia dihadapi
(seseorang), kemudian diludahi pada wajahnya?!”. (HR. Muslim).
Menengadahkan tangan ketika berdoa adalah
ungkapan biasa diantara sesama manusia ketika meminta dari bawah ke atas,
memohon dan merendahkan diri. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Rasulullah
Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, ketika shalat Istisqa’ maupun lainnya. Imam al-Bukhari
menyebutkan beberapa hadits tentang itu di akhir kitab ad-Da’awat. Imam al-Mundziri menyusun satu juz
tentang masalah ini. Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Riwayat-riwayat tentang ini sangat
banyak dan tidak terhitung. Saya telah mengumpulkan lebih kurang tiga puluh
hadits dari Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim atau salah satunya. Saya sebutkan di
akhir bab sifat shalat dalam Syarh
al-Muhadzdzab”. (Nail
al-Authar, juz. IV,
hal. 9).
Diantara hadits-hadits ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata,
“Rasulullah Saw berdoa, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya. Saya
melihat putihnya kedua ketiak Rasulullah Saw”. Juga hadits yang diriwayatkan
Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Salman al-Farisi bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Sesungguhnya Tuhan kamu Maha Mulia dan
Tinggi, Ia Maha Hidup dan Agung, Ia malu kepada hamba-Nya apabila hamba itu
mengangkat kedua tangannya kepada-Nya dan membiarkannya kembali dalam keadaan
kosong”. (At-Targhib wa at-Tarhib, juz. II, hal. 195).
Berdasarkan ini maka para ulama
berpendapat tentang disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa,
bahkan dianjurkan, mengikuti Rasulullah Saw. Hanya saja sekelompok orang
memakruhkan mengangkat tangan selain Istisqa’ berdasarkan hadits Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat
kedua tangannya dalam doanya kecuali pada Istisqa’ ia mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim). Para ulama yang membolehkan mengangkat tangan pada
selain Istisqa’ menolak pendapat mereka dengan menyatakan
bahwa Anas tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan tidak berarti bahwa
shahabat yang lain tidak melihat Rasulullah Saw mengangkat tangan ketika
berdoa, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits-hadits shahih. Hadits yang
menyatakan ada lebih didahulukan daripada hadits yang menafikan. Atau makna
hadits riwayat Anas diatas adalah mengangkat tangan sangat tinggi hingga
terlihat putih kedua ketiaknya, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengangkat
kedua tangannya, akan tetapi tidak terlalu tinggi, misalnya Rasulullah Saw
hanya sekedar mengangkat tangan sewajarnya ketika berdoa (tidak seperti saat Istisqa’).
Sebagian yang lain memakruhkan mengangkat
tangan secara mutlak, baik ketika Istisqa’ maupun dalam kondisi lain, berdasarkan
hadits Muslim dari ‘Imarah bin Ruwaibah, ia melihat Bisyr bin Marwan diatas
mimbar mengangkat kedua tangannya. Maka ia berkata, “Allah Swt melaknat kedua
tangan ini, saya telah melihat Rasulullah Saw, beliau hanya berkata dan tidak
lebih dari menunjuk dengan tangannya seperti ini”. Ia menunjuk dengan jarinya.
(Tafsir
al-Qurthubi, juz. VII,
hal. 255). Pendapat mereka ditolak seperti penolakan diatas. Imam al-Qurthubi
berkata, “Doa itu baik bagaimanapun cara yang mudah dilakukan. Yang dituntut
dari seseorang adalah memperlihatkan diri dalam kondisi butuh dan berhajat
kepada Allah Swt, bersikap merendahkan diri kepada-Nya. Jika ia mau maka ia bisa
menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Jika tidak, maka tidak
mengapa. Rasulullah Saw melakukan itu seperti yang disebutkan dalam beberapa
riwayat. Allah Swt berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan
berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”. (Qs. Al-A’raf [6]: 55). Tidak disebutkan mengangkat kedua tangan
dan lainnya. Allah Swt berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 191). Allah Swt memuji mereka, tidak
disyaratkan seperti diatas. Rasulullah Saw berdoa dalam khutbah Jum’at tanpa
menghadap kiblat.
Demikian juga riwayat dari Ibnu Umar
bahwa Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Allah, aku
berlepas diri kepada-Mu terhadap apa yang dilakukan Khalid”. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Umar, “Rasulullah Saw
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa pada perang Badar”.
Menurut pendapat yang mensyariatkan
mengangkat kedua tangan ketika berdoa, diriwayatkan beberapa cara mengangkat
tangan, diantaranya mengarahkan punggung telapak tangan kearah kiblat ketika
orang yang berdoa tersebut mengharap kiblat, sedangkan telapak tangan kearah
wajah orang yang berdoa. Ada juga riwayat yang menyebut sebaliknya. Juga dengan
cara telapak tangan keatas dan punggung telapak tangan kearah bawah. Juga
terdapat riwayat yang menyebut sebaliknya. Ini dalam Istisqa’, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 9).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari, “Para ulama berpendapat bahwa sunnat
dalam setiap doa untuk menolak bala agar seseorang mengangkat kedua tangannya, bagian
punggung telapak tangannya kearah langit. Jika berdoa untuk mendapatkan
sesuatu, maka telapak tangannya kearah langit. Demikian dinyatakan Imam
an-Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim, beliau riwayatkan dari sekelompok ulama. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa hikmah memperlihatkan punggung telapak tangan dalam Istisqa’ -tidak demikian pada doa lain- agar
keadaan berbalik, sebagaimana pendapat tentang Rasulullah Saw merubah posisi
selendangnya.
Demikianlah, makruh hukumnya melihat ke
langit ketika berdoa, berdasarkan hadits Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah
Saw berkata, “Hendaklah
mereka berhenti mengangkat pandangan mereka keatas ketika berdoa dalam shalat,
atau Allah Swt akan mencabut pandangan mereka”. Ada yang memahami larangan ini berlaku
dalam shalat, sedangkan di luar shalat tidak ada larangan berdasarkan riwayat
al-Bukhari, dalam riwayat tersebut dinyatakan, “Rasulullah Saw melihat ke
langit”. Itu terjadi pada Istisqa’. (Nail al-Authar, juz. IV, hal. 10).
Mengusap wajah dengan kedua tangan setelah
mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Riwayat ini dari Umar bin al-Khaththab,
ia berkata, “Apabila Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa,
beliau tidak menurunkan kedua tangannya hingga mengusapkannya ke wajahnya”.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Gharib”. Artinya, diriwayatkan oleh seorang
perawi saja. Dari Ibnu Abbas terdapat riwayat yang sama seperti ini,
sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi
Daud. Imam
an-Nawawi berkata, “Dalam sanadnya terdapat dha’if”. Al-Adzkar karya
Imam an-Nawawi, hal. 399. Dalam Bulugh al-Maram Syarh Subul as-Salam, juz. 4, hal. 219 karya al-Hafizh Ibnu
Hajar disebutkan setelah beliau menyebutkan riwayat Umar, “Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi. Terdapat beberapa hadits lain yang semakna dengannya. Disebutkan
Abu Daud dari hadits Ibnu Abbas dan lainnya. Secara keseluruhan maka hadits
tersebut adalah hadits hasan. Hadits tentang ini tidak shahih, akan
tetapi dha’if. Akan tetapi beberapa hadits lain yang
semakna denganya mengangkat derajatnya menjadi hadits hasan, maka dapat diterima.
Kami ulangi lagi bahwa menengadahkan
tangan ketika berdoa sama seperti seorang yang fakir memohon kepada orang yang
kaya dan ia sangat membutuhkan, bahkan mungkin ia akan berlutut, dengan posisi
seperti itu ia ingin mendapatkan kelembutan dari orang yang ia harapkan. Dalam
kondisi merendahkan diri, mengangkat kedua tangan keatas mengharapkan kebaikan.
Maka seorang muslim yang berdoa kepada Tuhannya, ia mengangkat kedua tangannya
sebagai bukti kepatuhannya dan ia sangat butuh kepada Allah Swt. Oleh sebab itu
Rasulullah Saw melakukannya dan bersikap lebih dari itu pada Istisqa’. Namun bukanlah berarti bahwa Allah Swt
berada di langit, Maha Suci Allah Swt yang disucikan dari bertempat pada
sesuatu. Akan tetapi bukti keagungan kedudukan-Nya.
Dalam al-Adzkar karya Imam an-Nawawi disebutkan tentang
mengangkat kedua tangan dan mengusapkannya ke wajah, ada tiga pendapat menurut
Mazhab Syafi’i: yang paling shahih dianjurkan mengangkat kedua tangan dan tidak
mengusap wajah. Kedua, mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah. Ketiga,
tidak mengangkat tangan dan tidak mengusap wajah.
29 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 12 [Maktabah Syamilah].
Doa Qunut30.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah doa Qunut dalam shalat itu
disyariatkan? Jika disyariatkan, apakah dalam semua shalat? Adakah lafaz-lafaz
tertentu?
Jawaban:
Qunut adalah doa yang disyariatkan dalam
semua shalat lima waktu ketika terjadi bencana, berdasarkan hadits Ibnu Abbas,
“Rasulullah Saw melaksanakan Qunut dalam shalat lima waktu selama satu bulan.
Beliau mendoakan (laknat) kawasan Bani Sulaim; Ri’l, Dzakwan dan ‘Ushayyah,
karena mereka telah membunuh sebagian shahabat yang dikirim untuk mengajarkan
Islam kepada mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad. Juga sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa jika Rasulullah Saw ingin
mendoakan yang tidak baik (laknat) atau yang baik untuk seseorang, beliau
membaca doa Qunut setelah ruku’. Dalam riwayat ini disebutkan, “Rasulullah Saw
mengucapkannya dengan suara terdengar (jahr). Beliau mengucapkan dalam sebagian
shalatnya dan dalam shalat Shubuh:
“Ya Allah, laknatlah fulan dan fulan”, dua kawasan Arab. Hingga Allah Swt
menurunkan ayat:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 128).
Berdasarkan ini maka doa Qunut dalam
shalat Shubuh disyariatkan ketika terjadi bencana, sama seperti shalat-shalat
yang lain. Adapun ketika tidak terjadi bencana, maka ada beberapa pendapat
Fuqaha’ (ahli Fiqh) secara ringkas.
Mazhab Hanafi dan Hanbali: tidak disyariatkan. Mereka berdalil
dengan riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, dari Anas, “Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak
membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh, kecuali untuk mendoakan yang baik atau
yang tidak baik (laknat) untuk mereka”.
Mazhab Maliki dan Syafi’i: disyariatkan. Dalil mereka adalah riwayat
jamaah ahli hadits, kecuali Imam at-Tirmidzi, bahwa Anas bin Malik ditanya,
“Apakah Rasulullah Saw membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh?”. Beliau
menjawab, “Ya”. Dan diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar, ad-Daraquthni,
al-Baihaqi, al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, dari Anas, ia berkata,
“Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh hingga
beliau meninggal dunia”.
Pembahasan dalil-dalil ini dan penjelasan
tarjih-nya dapat merujuk kitab Zad al-Ma’ad karya Ibnu al-Qayyim yang setelah
membahas beberapa riwayat beliau menjelaskan bahwa ahli hadits bersikap
pertengahan antara mereka yang mengingkari Qunut secara mutlak bahkan ketika
terjadi bencana dan diantara mereka yang menganggap baik Qunut secara mutlak,
baik ketika terjadi bencana atau pun tidak terjadi bencana. Ahli hadits tidak
mengingkari orang-orang yang terus menerus berqunut dan tidak membenci
perbuatan mereka tersebut, mereka tidak menganggapnya sebagai bid’ah dan pelakunya tidak dianggap sebagai
pelaku perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah. Ahli hadits juga tidak
mengingkari orang-orang yang mengingkari Qunut meskipun ketika terjadi bencana.
Ahli hadits tidak menganggap orang-orang yang tidak mau berqunut itu bid’ah dan bertentangan dengan Sunnah. Akan
tetapi, siapa yang berqunut, maka ia telah berbuat baik dan orang yang tidak
mau berqunut juga telah berbuat baik, ini termasuk khilaf yang dibolehkan, khilaf yang tidak perlu bersikap keras di
dalamnya, apakah melakukannya atau pun tidak melakukannya. Sama seperti masalah
apakah mengangkat kedua tangan atau tidak mengangkat kedua tangan dalam shalat.
Saya katakan, “Khilaf dalam masalah ini sangat sederhana, khilaf dalam masalah sunnat, bukan wajib dan agama
itu memberikan kemudahan”.
Imam Ahmad dan beberapa pengarang kitab as-Sunan meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i
bahwa ia mengatakan Qunut Shubuh itu bid’ah, karena ia melaksanakan shalat Shubuh di belakang Rasulullah Saw, Abu
Bakar, Umar dan Ali, semua mereka tidak berqunut. Ad-Daraquthni meriwayatkan
bahwa Ibnu Abbas berkata, “Qunut pada shalat Shubuh itu bid’ah”.
Dapat digabungkan antara riwayat-riwayat
yang menyatakan adanya Qunut Shubuh dan riwayat-riwayat yang menafikannya,
bahwa mereka yang menjadi sumber riwayat ini terkadang berqunut dan terkadang
tidak berqunut, karena Qunut itu sunnat , bukan wajib. Sebagaimana diketahui
bersama bahwa riwayat yang menyatakan ada lebih didahulukan daripada riwayat
yang menafikan. Jika sebagian shahabat tidak berqunut karena karena tidak
melihat Rasulullah Saw berqunut, maka sesungguhnya tidak melihat itu tidak
menunjukkan nafi secara mutlak. Ibnu Hazm menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud yang
tidak berqunut, ia tidak mengetahui riwayat tentang meletakkan dua tangan diatas
lutut ketika ruku’. Dan Ibnu Umar yang menyatakan tidak mendapatkan riwayat
dari salah seorang shahabat tentang Qunut Shubuh, sebagaimana riwayat
al-Baihaqi, ia tidak mengetahui riwayat tentang mengusap dua sepatu Khuff.
Ini tentang Qunut Shubuh, adapun Qunut
Witir, maka hukumnya sunnat menurut Mazhab Syafi’i, dibaca pertengahan kedua di
bulan Ramadhan. Adapun selain waktu ini, terdapat perbedaan pendapat:
Mazhab Hanbali: Qunut itu sunnat pada shalat Witir pada satu rakaat, di sepanjang
tahun.
Mazhab Maliki dan Syafi’i: tidak disunnatkan. Satu riwayat dari Imam
Ahmad juga menyatakan demikian.
Mazhab Hanafi: sunnat dilakukan sepanjang tahun.
Ibnu Taimiah berkata dalam Majmu’ Fatawa, jilid 22, halaman 264 – 269: adapun Qunut
Witir, ada tiga pendapat ulama:
Pertama, tidak dianjurkan sama sekali, karena
tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw bahwa beliau membaca doa Qunut dalam
shalat Witir.
Kedua, dianjurkan di sepanjang tahun,
sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena dalam kitab-kitab as-Sunan disebutkan bahwa Rasulullah Saw
mengajarkan doa kepada al-Hasan bin Ali, doa yang dibaca dalam Qunut Witir.
Ketiga, Qunut dibaca pada pertengahan kedua
(akhir) Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubai bin Ka’ab.
Qunut Nawazil disyariatkan dalam shalat selain shalat
Shubuh. Imam an-Nawawi berkata –beliau bermazhab Syafi’i-, “Dalam masalah ini
ada tiga pendapat. Menurut pendapat yang shahih dan masyhur yang dipegang oleh
jumhur ulama bahwa Qunut Nawazil disyariatkan dalam semua shalat, selama
ada bencana. Jika tidak ada bencana, maka tidak dibaca doa Qunut Nawazil. Menurut Mazhab Maliki, jika dibaca,
maka shalat tidak batal, hanya makruh.
Qunut Nawazil dibaca setelah ruku’, demikian menurut
Mazhab Syafi’i dan Hanbali dan dalam satu riwayat dari Imam Ahmad beliau
berkata, “Menurut saya setelah ruku’. Jika dibaca sebelum ruku’, maka tidak
mengapa”.
Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi: Qunut Nawazil dibaca sebelum ruku’.
Menurut Mazhab Syafi’i: doa Qunut boleh
dengan kalimat apa pun yang mengandung doa dan pujian, seperti:
“Ya Allah, ampunilah aku wahai Maha
Pengampun”.
Doa Qunut yang paling afdhal adalah:
“Ya Allah, berilah hidayah kepadaku
seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan
kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku
kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku
terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang
Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang
ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri
kuasa dan tidak ada yang memuliakan orang yang Engkau hinakan. Maka Suci Engkau
wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Ali bahwa
Rasulullah Saw mengajarkan doa ini kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan Abu
Daud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan lainnya. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan. Tidak diketahui ada hadits yang lebih
baik daripada ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw”.
Lafaz pilihan menurut Mazhab Hanafi
adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud dan Umar:
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
pertolongan kepada-Mu, memohon hidayah kepada-Mu, memohon ampun kepada-Mu,
beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu dan tidak kafir kepada-Mu.
Kami melepaskan diri dan meninggalkan orang yang berbuat dosa kepada-Mu. Ya
Allah, kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan bersujud. Kepada-Mu
kami bersegera dalam beramal dan berbuat kebaikan. Kami mengharap rahmat-Mu dan
takut kepada azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu yang sangat keras menyertai
orang-orang kafir”.
Imam Nawawi berkata: “Dianjurkan
menggabungkan antara doa Qunut riwayat Umar dengan doa Qunut riwayat al-Hasan.
Jika tidak mampu, maka cukup membaca doa Qunut riwayat al-Hasan. Disunnatkan
membaca shalawat kepada nabi setelah membaca doa Qunut.
30 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 5 [Maktabah Syamilah].
Dua Kali
Witir dan Qadha’ Witir31.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “Tidak ada
dua Witir dalam satu malam”? apakah shalat Witir bisa di-qadha’ jika tertinggal?
Jawaban:
Ya, Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi
meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, sesungguhnya Ali ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda:
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam”.
Imam Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi
meriwayatkan dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan
shalat dua rakaat setelah shalat Witir, beliau laksanakan dalam keadaan duduk”.
Para ulama berpendapat: siapa yang
melaksanakan shalat Witir setelah shalat Isya’, kemudian ia ingin melaksanakan Qiyamullail, maka ia boleh melaksanakan shalat malam
sebanyak mungkin, akan tetapi ia tidak boleh lagi melaksanakan shalat Witir,
karena ia telah melaksanakan shalat Witir sebelumnya. Sebagaimana diketahui
bahwa shalat Witir dapat dilaksanakan kapan saja pada waktu malam, setelah
shalat Isya’ hingga terbit fajar (shalat Shubuh). Jika seseorang khawatir
tertinggal melaksanakan shalat Witir, maka dianjurkan agar ia melaksanakannya
di awal malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi
dan Ibnu Majah:
“Siapa yang khawatir tidak terbangun di
akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di awal malam. Siapa
yang sangat ingin bangun tengah malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat
Witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (para
malaikat) dan itu lebih utama”. Makna Masyhudah
adalah
disaksikan para malaikat.
Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Abu
Bakar ra, “Kapankah engkau melaksanakan shalat Witir?”. Beliau menjawab, “Di
awal malam, setelah shalat Isya’.” Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Umar
ra, ia menjawab, “Di akhir malam”. Rasulullah Saw berkata, “Adapun engkau wahai
Abu Bakar, engkau bersikap hati-hati. Sedangkan engkau wahai Umar, engkau
bersikap kuat”. Maknanya tekad yang kuat untuk bangun melaksanakan Qiyamullail. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,
dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, menurut syarat Muslim.
Demikianlah, jika shalat Witir
tertinggal, maka dapat di-qadha’, demikian menurut jumhur ulama,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh
al-Hakim, menurut syarat al-Bukhari dan Muslim:
“Apabila salah seorang kamu bangun pada
waktu shubuh, ia belum melaksanakan Witir, maka hendaklah ia melaksanakan
shalat Witir”. Abu Daud meriwayatkan:
“Siapa yang tertidur (hingga tidak
melaksanakan) shalat Witir, atau terlupa. Maka hendaklah ia melaksanakannya
ketika ia mengingatnya”. Sanadnya shahih, demikian dinyatakan oleh
al-‘Iraqi.
Waktu meng-qadha’ shalat Witir terbuka, malam atau pun
siang, demikian menurut Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah melarang pelaksanaannya
pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan shalat. Imam Malik dan Ahmad
berkata, “Di-qadha’ setelah fajar, selama belum melaksanakan
shalat Shubuh”.
31 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 154 [Maktabah Syamilah],
Bacaan Ayat
Dalam Shalat32.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw memilih surat atau
ayat tertentu pada shalat lima waktu atau shalat sunnat?
Jawaban:
Dalam kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi disebutkan bahwa
sunnat dibaca –setelah al-Fatihah- pada shalat Shubuh dan Zhuhur adalah Thiwal al-Mufashshal artinya surat-surat terakhir dalam mush-haf. Diawali dari surat Qaf atau al-Hujurat,
berdasarkan khilaf yang ada, mencapai dua belas pendapat
tentang penetapan surat-surat al-Mufashshal. Surat-surat al-Mufashshal ini terdiri dari beberapa bagian, ada
yang panjang hingga surat ‘Amma (an-Naba’), ada yang pertengahan hingga
surat adh-Dhuha dan ada pula yang pendek hingga surat an-Nas.
Pada shalat ‘Ashar dan ‘Isya’ dibaca Ausath al-Mufashshal (bagian pertengahan). Pada shalat Maghrib
dibaca Qishar
al-Mufashshal (bagian pendek).
Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat
pertama pada hari Jum’ar surat Alif Lam Mim as-Sajadah, pada rakaat kedua surat
al-Insan. Pada rakaat pertama shalat Jum’at sunnah dibaca surat al-Jumu’ah dan
rakaat kedua surat al-Munafiqun. Atau pada rakaat pertama surat al-A’la dan
rakaat kedua surat al-Ghasyiyah.
Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat
pertama surat al-Baqarah ayat 136 dan rakaat kedua surat Al ‘Imran ayat 64. Ada
pada rakaat pertama surat al-Kafirun dan rakaat kedua surat al-Ikhlas, keduanya
shahih. Dalam Shahih
Muslim disebutkan
bahwa Rasulullah Saw melakukan itu.
Dalam shalat sunnat Maghrib, dua rakaat
setelah Thawaf dan shalat Istikharah Rasulullah Saw membaca surat al-Kafirun
pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Pada shalat Witir, Rasulullah Saw membaca
surat al-A’la pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada rakaat kedua, surat
al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas pada rakaat ketiga. Imam Nawawi berkata, “Semua
yang kami sebutkan ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan selainnya
adalah hadits-hadits masyhur”.Perlu diketahui bahwa pahala sunnat
membaca ayat al-Qur’an diperoleh dengan membaca ayat-ayat yang difahami atau
sebagian ayat dari suatu surat, atau membaca satu surat atau membaca sebagian
surat. Surat yang pendek lebih afdhal daripada beberapa ayat yang dibaca dari
surat yang panjang.
Sunnah membaca surat menurut urutan mush-haf, jika tidak sesuai menurut urutan mush-haf maka hukumnya boleh, akan tetapi makruh.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Saya tidak menemukan dalil yang
menyatakan demikian”.
32 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 166 [Maktabah Syamilah],
Melafalkan
Niyat33.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan
niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati.
Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya
sia-sia?
Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan
sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat,
demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan
lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh
melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu
hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah
jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki
berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali
bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak
was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat
itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya.
Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di
hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah.
Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi
orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik.
Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka
yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I
dalam masalah ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan
melaksanakan shalat, beliau mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak
mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali.
Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat
rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’
atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan
muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat
itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir.
Lalu mereka
menyangka bahwa zikir yang dimaksud
adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah
Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan
sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga
dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para
imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa
melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima,
apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat,
atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan
mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.
33 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 66 [Maktabah Syamilah],
Menyegerakan
Pembayaran Zakat34.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah boleh mengeluarkan zakat sebelum
waktunya?
Jawaban:
Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan
Ahmad, boleh mengeluarkan zakat sebelum waktu wajib dikeluarkan, yaitu sebelum Haul pada zakat uang, perdagangan dan hewan.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali ra, sesungguhnya Rasulullah
Saw mendahulukan zakat al-‘Abbas sebelum waktunya. Meskipun sanad hadits ini dipermasalahkan. Al-Hasan
ditanya tentang seseorang yang membayarkan zakatnya untuk tiga tahun, apakah
itu sah? Al-Hasan menjawab, “Sah”. Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwa menurutnya
seseorang boleh menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum Haul. Imam Malik berkata, “Tidak sah
dikeluarkan sebelum Haul (berdasarkan hadits-hadits yang
mengaitkan wajibnya zakat dengan Haul, seperti hadits yang diriwayatkan Abu
Daud, hadits ini dipermasalahkan ulama). Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri dan Daud
berpendapat seperti ini.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab khilaf adalah, apakah zakat itu ibadah atau hak
orang-orang miskin? Mereka yang menganggap zakat itu seperti ibadah, mereka
menyamakannya dengan shalat, tidak boleh dibayarkan sebelum waktunya. Mereka
yang menyamakannya dengan shalat wajib yang memiliki waktu tertentu, mereka
membolehkannya dilakukan sebelum waktunya dilihat dari sisi sifat sukarela
melaksanakannya”.
Zakat pada umumnya, demikian juga dengan
zakat Fitrah, menurut jumhur ulama pembayarannya boleh didahulukan satu atau
dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri, sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin
Umar. Adapun dibayarkan sebelum itu, maka ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama:
Menurut Abu Hanifah: boleh dibayarkan
sebelum bulan Ramadhan.
Menurut Imam Syafi’i: boleh dibayarkan
dari sejak awal bulan Ramadhan.
Menurut Imam Malik dan Ahmad: tidak boleh
dibayarkan kecuali satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri.
34 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 213 [Maktabah Syamilah],
Mengalihkan
Zakat35.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Saya tinggal di suatu tempat, taraf hidup
masyarakatnya baik, jarang sekali ada fakir miskin yang berhak menerima zakat.
Apakah boleh saya bayarkan zakat kepada kerabat saya yang membutuhkan dan
mereka tinggal di tempat lain?
Jawaban:
Diriwayatkan oleh sekelompok ahli hadits
bahwa ketika Rasulullah Saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah Saw
berkata kepadanya, “Jika
mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt mewajibkan
zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu
diantara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir diantara mereka”.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari
‘Imran bin Hushain bahwa ia diangkat menjadi amil zakat, ketika ia kembali, ia
ditanya, “Dimanakah hasil zakat?”. Ia menjawab, “Apakah untuk harta kamu
mengutusku? Kami mengambilnya sesuai seperti yang kami lakukan pada masa
Rasulullah Saw dan kami membaginya seperti kami membagikannya dulu”.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, ia
nyatakan sebagai hadits hasan, bahwa Abu Juhaifah berkata, “Seorang
amil zakat pada masa Rasulullah Saw datang kepada kami. Ia mengambil zakat dari
orang-orang yang mampu diantara kami dan ia membagikannya kepada orang-orang
fakir diantara kami”.
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para
fuqaha’ (ahli Fiqh) berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di
negeri bersangkutan. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke
negeri lain setelah mereka ber-Ijma’ bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke
negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya.
Menurut Mazhab Hanafi: makruh mengalihkan
zakat, kecuali jika pengalihan tersebut kepada kerabat yang membutuhkan, karena
dalam hal itu terkandung menyambung silaturahim, atau kepada kelompok
masyarakat yang lebih membutuhkan daripada para fakir di negeri tempat
pemungutan zakat, atau pengalihan tersebut mengandung maslahat bagi kaum
muslimin, atau dari Darulharb
ke Dar Islam, atau pengalihan tersebut untuk
para penuntut ilmu, atau zakat tersebut dibayarkan sebelum masanya diwajibkan,
artinya dibayarkan sebelum masa Haul. Maka dalam semua kondisi ini tidak
dimakruhkan mengalihkan zakat.
Menurut Mazhab Syafi’i: tidak boleh
mengalihkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain, wajib dibagi ke negeri
tempat zakat tersebut dipungut dari muzakki yang telah sampai Haul. Jika tidak ada mustahik zakat, maka
dialihkan ke negeri yang di negeri tersebut terdapat mustahik zakat. Dalil
mereka dalam masalah ini adalah hadits Mu’adz diatas. Seperti yang disebutkan
Abu ‘Ubaid bahwa Mu’adz datang dari Yaman setelah Rasulullah Saw meninggal
dunia, Umar mengembalikannya. Ketika Mu’adz mengirimkan sebagian harta zakat,
Umar tidak menerimanya. Umar menolaknya lebih dari satu kali meskipun Mu’adz
menjelaskan bahwa tidak ada mustahik zakat yang mengambilnya.
Menurut Mazhab Maliki: tidak mengalihkan
zakat ke negeri lain, kecuali jika sangat dibutuhkan, maka Imam mengambil zakat
tersebut dan menyerahkannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini
berdasarkan pemikiran dan ijtihad, seperti yang mereka nyatakan.
Menurut Mazhab Hanbali: tidak boleh
mengalihkan zakat ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak Qashar shalat.
Zakat dibagikan di negeri zakat tersebut dikutip dan negeri sekitarnya yang
berada di bawah jarak Qashar shalat.
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, “Jika
seseorang menentang pendapat ini dan ia mengalihkan zakatnya, zakatnya tetap
sah menurut pendapat mayoritas ulama. Jika seseorang tinggal di suatu tempat
dan hartanya di tempat lain, maka zakatnya dibagi di negeri tempat hartanya
berada, karena para mustahik di tempat tersebut melihatnya. Jika hartanya
berada di beberapa tempat, maka zakatnya ditunaikan di setiap negeri tempat
harta tersebut berada. Ini berlaku pada zakat Mal. Sedangkan zakat Fitrah
dibagi di tempat orang-orang yang berzakat, karena zakat tersebut adalah zakat
dirinya, bukan zakat hartanya. Berdasarkan ini saya nyatakan kepada penanya,
jika ada mustahik zakat di tempat ia tinggal, maka zakat dibagikan kepada
mustahik yang ada di tempat tersebut, demikian menurut jumhur fuqaha’. Tidak
boleh dialihkan ke kerabatnya yang membutuhkan. Sedangkan Abu Hanifah
membolehkan pengalihan zakat disebabkan alas an tersebut, diantaranya adalah
untuk silaturahim atau sangat membutuhkan, menurut Abu Hanifah itu boleh
dilakukan, ia melihat kepada maslahat yang kuat”. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, juz. II, hal. 531 –
532 dan Nail
al-Authar karya
asy-Syaukani, juz. IV, hal. 161).
35 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 428 [Maktabah Syamilah].
Zakat
Fithrah Dalam Bentuk Uang36.
Fatwa Syekh
DR. Ali Jum’ah.
Pertanyaan:
Apakah boleh membayar zakat fitrah dalam
bentuk uang?
Jawaban:
Boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk
uang. Ini adalah mazhab sekelompok ulama yang diamalkan, juga mazhab sekelompok
Tabi’in, diantara mereka adalah al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan bahwa ia
berkata, “Boleh memberikan Dirham (uang perak) dalam zakat Fitrah”. (Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf, juz. III, hal. 174).
Abu Ishaq as-Sabi’i37 meriwayatkan dari Zuhair, ia berkata:
saya mendengar Abu Ishaq berkata, “Saya bertemu dengan mereka, mereka membayar
zakat Fitrah dalam bentuk Dirham senilai harga makanan”38.
Umar bin Abdul Aziz, dari Waki’, dari
Qurrah, ia berkata, “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada kami tentang
zakat Fitrah, “Setengah Sha’ untuk setiap orang. Atau nilainya
setengah Dirham”39. Demikian juga
menurut pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Membayar zakat dalam bentuk uang adalah
mazhab Hanafi, mereka melaksanakannya dalam semua zakat, kafarat, nazar, kharaj dan lainnya40. Juga menurut mazhab Imam an-Nashir dan
al-Mu’ayyid Billah dari kalangan imam Ahli Bait golongan az-Zaidiyyah41.
Demikian juga menurut Ishaq bin Rahawaih
dan Abu Tsaur, hanya saja mereka mengikatnya dengan kondisi darurat,
sebagaimana mazhab sebagian lain dari kalangan Ahli Bait42. Maksud saya,boleh membayar zakat Fitrah
dalam bentuk uang dalam keadaan darurat. Mereka menjadikannya sebagai: imam
menuntut pembayaran dalam bentuk uang sebagai ganti nash.
Membayar zakat fitrah dalam bentuk uang
adalah pendapat sekelompok ulama dari kalangan Mazhab Maliki seperti Ibnu
Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar43dan Ibnu Wahab44,
diriwayatkan dari mereka tentang boleh hukumnya membayar zakat dalam bentuk
uang, apakah zakat Mal maupun zakat Fitrah. Berbeda dengan yang
mereka riwayatkan dari Ibnu al-Qasim dan Asy-hab, mereka berdua membolehkan
membayar zakat dengan uang, kecuali pada zakat Fitrah dan kafarat sumpah.
Berdasarkan riwayat diatas kita dapat
mengetahui sejumlah imam dan Tabi’in serta para ahli Fiqh berpendapat bahwa
boleh membayar zakat dalam bentuk uang, ini pada masa mereka di zaman dahulu
yang masih menggunakan system barter, artinya semua benda layak dijadikan
sarana tukar-menukar transaksi jual beli, khususnya biji-bijian. Mereka menjual
gandum jenis Qamh dengan gandum jenis Sya’ir, jagung dengan gandum dan lainnya.
Sedangkan pada zaman kita sekarang ini sarana transaksi jual beli hanya
terbatas pada uang saja. Maka menurut kami pendapat ini lebih tepat dan lebih
kuat. Bahkan kami nyatakan, andai ulama yang tidak sependapat dengan ini pada
masa silam hidup di zaman sekarang ini, pastilah mereka akan berpendapat
seperti pendapat Imam Abu Hanifah. Terlihat jelas bagi kita bagaimana pemahaman
dan kekuatan akal mereka.
Mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk
uang lebih utama untuk memberikan kemudahan kepada fakir miskin untuk membeli
apa saja yang mereka inginkan pada hari raya, karena boleh jadi mereka tidak
membutuhkan biji-bijian, akan tetapi membutuhkan pakaian, atau daging, atau
selain itu. Memberikan biji-bijian memaksa mereka untuk berkeliling di
jalan-jalan agar ada orang lain yang mau membelinya, terkadang mereka
menjualnya dengan harga yang sangat murah, kurang dari semestinya. Semua ini
berlaku pada kondisi mudah; ada banyak biji-bijian di pasar. Sedangkan pada
kondisi sulit, tidak ada biji-bijian di pasar, maka membayar zakat Fitrah dalam
bentuk benda lebih utama daripada dalam bentuk uang, untuk menjaga maslahat
fakir miskin.
Hukum asal disyariatkannya zakat Fitrah
adalah untuk kepentingan fakir miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka pada
hari raya, hari kebahagiaan kaum muslimin. Imam al-‘Allamah Ahmad bin ash-Shiddiq
al-Ghumari menyusun satu kitab dalam masalah ini berjudul Tahqiq al-Amal fi Ikhraj Zakat al-Fithr
bi al-Mal, dalam kitab
ini beliau menguatkan pendapat Mazhab Hanafi dengan dalil-dalil dan pendapat
yang banyak, mencapai tiga puluh dua pendapat. Oleh sebab itu pendapat kami
men-tarjih-kan pendapat yang menyatakan:
mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk nilai/harga/uang. Ini lebih utama di
zaman sekarang ini. Wallahu
Ta’ala A’la wa A’lam.
36 Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan
li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam,
1426H/2005M), hal. 262.
37 Beliau adalah Abu Ishaq as-Sabi’i
al-Hamadani al-Kufi. Seorang al-Hafizh dan guru besar di Kufah. Imam
adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah salah seorang ulama yang mengamalkan
ilmunya. Salah seorang Tabi’in yang mulia”. Ia berkata tentang dirinya, “Saya
dilahirkan dua tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman. Saya pernah melihat Ali
bin Abi Thalib berkhutbah”. Lihat biografinya dalam Siyar
A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi, juz. V, hal. 392 –
401, no. 180.
38 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, juz. II, hal. 398.
39 Abdurrazzaq, al-Mushannaf, juz. III, hal.
316, no. 5778.
40 Lihat: Bada’i’
ash-shana’i’ karya al-Kasani, juz. II,hal. 979; al-Mabsuth
karya as-Sarakhsi, juz. III, hal. 113 –
114.
41 Sebagaimana disebutkan dalam al-Bahr
az-Zakhkhar al-Jami’ li Madzahib ‘Ulama’ al-Amshar, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, juz. III, hal. 202 – 203.
42 Lihat as-Sail
al-Jawwar al-Mutadaffaq ‘ala Hada’iq al-Azhar, asy-Syaukani, juz. II, hal. 86.
43 Beliau adalah Abu Muhammad Isa bin Dinar
bin Wahab al-Qurthubi, ahli Fiqh, ahli ibadah. Mendengar dari Ibnu al-Qasim,
bersahabat dengannya dan belajar kepadanya. Beliau memiliki dua puluh kitab
hasil mendengar ilmu dari Ibnu al-Qasim. Wafat di Thulaithulah tahun 212H.
diringkas dari Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 64, no. 47.
44 Beliau adalah seorang ulama yang mulia,
ahli hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Qurasyi, Mawla
Quraisy. Orang yang paling terpercaya dalam riwayat dari Imam Malik. Seorang
hafizh, hujjah. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya. Wafat di Mesir pada
tahun 197H. Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 58 – 59, no. 25.
Hari Raya
dan Ziarah Kubur45.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Banyak kaum muslimin yang antusias
melakukan ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, sejauh mana kebenaran perbuatan ini
menurut syariat Islam?
Jawaban:
Ziarah kubur menurut hukum asalnya adalah
sunnah karena mengingatkan manusia kepada akhirat. Disebutkan dalam hadits
Rasulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw ziarah ke makam ibunya, beliau menangis,
membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Rasulullah Saw berkata:
“Aku memohon izin kepada Tuhanku agar
aku memohonkan ampun untuknya, Ia tidak memberikan izin untukku. Aku memohon
izin agar aku ziarah ke makamnya, Ia memberi izin kepadaku. Maka ziarahlah kamu
ke kubur, karena ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian”. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih:
“Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke
kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan
mengingatkan kepada akhirat”.
Tidak ada waktu tertentu untuk melakukan
ziarah kubur, meskipun sebagian ulama menyatakan pahalanya lebih besar jika
dilakukan pada hari-hari tertentu seperti hari Kamis dan Jum’at karena kuatnya
hubungan ruh dengan orang-orang yang meninggal dunia, meskipun dalilnya tidak
kuat. Dari ini dapat kita ketahui bahwa ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, jika
tujuannya untuk mengambil pelajaran dan mengenang orang-orang yang telah
meninggal dunia, ketika masih hidup dulu mereka sama-sama merayakan hari raya,
memohonkan rahmat untuk mereka dengan berdoa, maka boleh bagi laki-laki. Adapun
bagi perempuan, hukum ziarah kubur bagi perempuan dijelaskan dalam fatwa
setelah fatwa ini.
Jika ziarah kubur setelah shalat ‘Ied
tersebut bertujuan untuk memperbaharui kesedihan, untuk takziah ke kubur, atau
membuat kemah, atau menyiapkan tempat untuk kesedihan, maka hukumnya makruh.
Karena takziah setelah tiga hari mayat dikebumikan dilarang secara haram atau
makruh. Karena hari raya adalah hari senang dan bahagia, maka tidak selayaknya
membangkitkan kesedihan di hari raya.
45 Fatawa al-Azhar, juz. VIII,
hal. 391 [Maktabah Syamilah].
Perempuan
dan Ziarah Kubur46.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apa hukum ziarah kubur bagi perempuan
jika tetap menjaga adab-adab ziarah kubur dan bertujuan untuk mengambil
pelajaran dan bersikap khusyu’?
Jawaban:
Pada awalnya Rasulullah Saw melarang
ziarah kubur untuk memutus tradisi jahiliah berbangga-bangga dengan ziarah
kubur dengan menyebut-nyebut peninggalan nenek moyang. Itu yang disebutkan
Allah Swt dalam firman-Nya:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.
Sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (Qs. At-Takatsur [102]: 1-2). Kemudian diberi keringanan berziarah
untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat,
sebagaimana yang diingatkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad shahih:
“Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke
kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan
mengingatkan kepada akhirat”. Dan hadits-hadits lain tentang ini yang diriwayatkan Imam Muslim
dan lainnya.
Kaum muslimin telah Ijma’ tentang anjuran
ziarah kubur, wajib menurut Mazhab Zhahiriah, hanya mereka menyatakan bahwa
ziarah itu khusus bagi laki-laki, bukan untuk perempuan. Ketika Rasulullah Saw
melihat bahwa perempuan pergi ziarah itu mengandung hal-hal tidak baik, maka
Rasulullah Saw melarang mereka ziarah kubur. Izin ziarah kubur bagi laki-laki
tetap berlaku. Ulama lain menyatakan bahwa larangan ziarah kubur bagi perempuan
adalah pada masa lalu karena larangan yang bersifat umum, yaitu larangan ziarah
kubur. Kemudian ada izin bagi laki-kai. Larangan tetap berlanjut bagi
perempuan. Bagaimana pun juga, ada beberapa pendapat tentang ziarah kubur bagi
perempuan, diringkas dalam beberapa poin berikut:
Pertama, haram secara mutlak, apakah ketika
perempuan melakukan ziarah itu ada fitnah dan hal tidak baik atau pun tidak
ada. Dalilnya adalah hadits:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw melaknat
perempuan-perempuan yang ziarah kubur”. (HR. at-Tirmidzi). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”. Akan tetapi al-Qurthubi berkata,
“Ada kemungkinan mengandung makna bahwa haram jika dilakukan beramai-ramai.
Karena menggunakan kata:
dalam bentuk Shighat Mubalaghah.
Kedua, haram ketika dikhawatirkan terjadi
fitnah atau hal tidak baik. Berdasarkan ini diharamkan bagi pemudi ziarah
kubur, demikian juga dengan wanita dewasa jika berhias berlebihan atau
menggunakan sesuatu yang menarik perhatian. Dibolehkan bagi wanita tua yang
tidak menimbulkan fitnah, tetap haram jika melakukan perbuatan yang diharamkan,
seperti meratap dan perbuatan lain yang dilarang Rasulullah Saw:
“Bukan golongan kami orang yang menampar wajah, merobek
kantong dan menyerukan seruan-seruan Jahiliah”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Tidak mudah bagi perempuan melepaskan
diri dari tradisi-tradisi tidak baik ini. Dalam hadits Ummu ‘Athiyyah
disebutkan, “Ketika berbai’at, Rasulullah Saw mengambil janji dari kami agar
jangan meratapi orang yang meninggal dunia. Tidak ada yang memenuhi janji itu
dari kami selain lima orang perempuan”. (HR. al-Bukhari).
Ketika istri-istri Ja’far bin Abi thalib
menangis saat Ja’far mati syahid, Rasulullah Saw memerintahkan seorang
laki-laki agar melarang mereka menangis, dua kali dilarang namun mereka tidak
patuh. Rasulullah Saw memerintahkan laki-laki itu agar menyiramkan debu ke
mulut mereka. (HR. al-Bukhari).
Ketiga, makruh. Dalilnya adalah Qiyas.
Diqiyaskan kepada mengiringi jenazah. Juga berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah,
“Rasulullah Saw melarang kami mengiringi jenazah. Akan tetapi Rasulullah Saw
tidak bersikap keras terhadap kami”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Keempat, boleh. Dalilnya adalah Rasulullah Saw
tidak mengingkari Aisyah ketika ia pergi ke pemakaman al-Baqi’. Rasulullah Saw
mengajarkan kepada Aisyah ketika ziarah kubur agar mengucapkan:
“Keselamatan untuk kamu wahai negeri kaum mu’min. Telah
datang kepada kamu apa yang dijanjikan untuk kamu esok hari masanya ditentukan.
Sesungguhnya insya Allah kami menyertai kamu”. (HR. Muslim). Juga sebagaimana
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melewati seorang perempuan yang menangis di
sisi kubur. Rasulullah Saw memerintahkannya agar bertakwa dan bersabar.
Rasulullah Saw melarangnya menangis karena Rasulullah Saw mendengar sesuatu
yang tidak ia sukai; ratapan dan lainnya. Rasulullah Saw tidak melarangnya
ziarah kubur.
Kelima, dianjurkan, sama seperti anjuran
ziarah kubur bagi laki-laki. Dalilnya adalah izin dari Rasulullah Saw yang
bersifat umum:
“Maka lakukanlah ziarah kubur”.
Tiga pendapat terakhir berlaku ketika
aman dari fitnah dan hal yang tidak baik. Jika terjadi fitnah dan hal yang
tidak baik, maka haram bagi perempuan melakukan ziarah kubur. Dengan demikian
maka jawaban telah dapat difahami. Meskipun saya cenderung kepada pendapat yang
menyatakan makruh, jika tidak ada hal-hal yang diharamkan dan terlarang seperti
membuka aurat, ratapan, menampar wajah, duduk diatas kubur, menginap di kuburan
dan lain sebagainya. Lebih utama bagi perempuan menetap di rumah, tidak pergi
meninggalkan rumah kecuali ada keperluan yang mendesak, untuk memelihara
perempuan dari hal-hal yang tidak baik.
46 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 462 [Maktabah Syamilah].
Puasa
Hari-Hari al-Bidh
dan Enam
Hari di Bulan Syawwal47.
Fatwa Syekh
‘Athiyyah Shaqar.
Pertanyaan:
Apakah dasar penamaan al-Ayyam al-Bidh? Apakah sebagiannya adalah puasa enam
hari di bulan Syawwal sebagaimana yang difahami banyak orang?
Jawaban:
Al-Ayyam al-Bidh ada di setiap bulan Qamariyyah, yaitu
ketika bulan ada diawal hingga akhir malam 13, 14 dan 15. Disebut Bidh karena ia memutihkan malam dengan
rembulan dan siang dengan matahari. Ada juga pendapat yang mengatakan karena
Allah Swt menerima taubat nabi Adam as pada hari-hari itu dan memutihkan
lembaran amalnya. Az-Zarqani
‘ala al-Mawahib, juz. 8, hal. 133.
Dalam al-Hawi li al-Fatawa karya Imam as-Suyuthi disebutkan, “Ada
yang mengatakan bahwa ketika nabi Adam as diturunkan dari surga, kulitnya
menghitam. Maka Allah Swt memerintahkan agar ia melaksanakan puasa al-Ayyam al-Bidh pada bulan Qamariyyah. Ketika ia
melaksanakan puasa pada hari pertama, sepertiga kulitnya memutih. Ketika ia
berpuasa pada hari kedua, sepertiga kedua kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa
pada hari ketiga, seluruh kulit tubuhnya memutih. Pendapat ini tidak benar.
Disebutkna dalam hadits yang disebutkan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Amaly dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari hadits Ibnu Mas’ud, hadits Marfu’, hadits Mauquf dari jalur riwayat lain, disebutkan Ibnu
al-Jauzi dalam al-Maudhu’at
dari jalur
riwayat Marfu’, ia berkata, “Hadits Maudhu’ (palsu), dalam sanadnya terdapat
sekelompok orang yang tidak dikenal”.
Terlepas dari apakah nabi Adam as
melaksanakannya atau pun tidak, sesungguhnya Islam mensyariatkan puasa ini
dalam menjadikannya sebagai amalan anjuran. Dalam az-Arqani ‘ala al-Mawahib dinyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah Saw tidak pernah berbuka (tidak berpuasa) pada hari-hari Bidh (13, 14 dan 15), baik ketika tidak
musafir maupun ketika musafir”. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Dari Hafshah Ummul
Mu’minin, “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah Saw;
puasa ‘Asyura’, sembilan hari di bulan Dzulhijjah, al-Ayyam al-Bidh (13, 14 dan 15) dan dua rakaat Fajar”.
(HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada
Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”.
Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah
menjawab, “Beliau tidak memperdulikan hari apa saja setiap bulan ia laksanakan
puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani berkata, “Hikmah
dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan
sesuatu adalah yang paling seimbang. Dan karena biasanya gerhana matahari dan
gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut. Terdapat perintah agar
meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan
dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk
menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah. Berbeda
dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan
puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap bulan.
Adapun tentang puasa enam hari di bulan
Syawal, penyebutannya sebagai Bidh adalah tidak benar. Terlepas dari
penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib.
Terdapat hadits tentang itu:
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan,
kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa
sepanjang tahun”. (HR. Muslim). Keutamaannya disebutkan dalam hadits riwayat
ath-Thabrani:
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan
dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal, ia keluar dari dosanya
seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahr adalah puasa sepanjang tahun. Penjelasan
ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan
Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Maknanya bahwa satu kebaikan itu
dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya. Satu bulan Ramadhan dibalas
dengan sepuluh bulan. Enam hari di bulan Syawwal dibalas dengan enam puluh
hari, artinya dua bulan. Dengan demikian lengkaplah 12 bulan. Keutamaan ini
bagi mereka yang melaksanakannya di bulan Syawwal, apakah dilaksanakan pada
awal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan
berturut-turut atau pun terpisah-pisah. Meskipun afdhal dilaksanakan di awal
bulan dan dilaksanakan berturut-turut. Keutamaan ini hilang bersama berakhirnya
bulan Syawwal.
Banyak kaum muslimah ingin
melaksanakannya, apakah mereka yang memiliki kewajiban qadha’ ramadhan atau pun tidak. Puasa Syawwal
ini dianjurkan, sebagaimana yang ditetapkan para ulama. Kami berharap agar para
muslimah tidak meyakini bahwa puasa Syawwal ini wajib. Puasa Syawwal ini
sunnat, tidak ada hukuman jika ditinggalkan. Demikianlah, bagi mereka yang
wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan dapat melaksanakan puasa
enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’. Cukup dengan puasa Qadha’, maka ia mendapatkan pahala puasa enam
hari di bulan Syawal,jika ia meniatkannya, amal itu dinilai dari niatnya. Jika
puasa Qadha’ dilaksanakan tersendiri dan puasa enam
hari di bulan Syawwal dilaksanakan tersendiri, maka itu afdhal. Akan tetapi
para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, “Balasan pahala puasa enam hari di bulan
Syawwal dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun tidak diniatkan, hanya saja
pahalanya lebih sedikit dibandingkan dengan niat. Disebutkan dalam Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz. I,
hal. 427, teksnya: “Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ di bulan Syawwal, apakah Qadha’ puasa Ramadhan, atau meng-qadha’ puasa lain, atau nazar, atau puasa sunnat
lainnya. Ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena intinya
adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak
memberitahukannya, atau melaksanakannya untuk orang lain dari yang telah
berlalu -artinya puasa nazar atau puasa sunnat lain- akan tetapi ia tidak
mendapatkan pahala yang sempurna seperti yang diinginkan melainkan dengan niat
puasa khusus enam hari di bulan Syawwal. Sama halnya dengan seseorang yang
tidak melaksanakan puasa Ramadhan, atau ia laksanakan di bulan Syawwal, karena
tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa Ramadhan dan
mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal. Ini sama seperti
pendapat tentang shalat Tahyat
al-Masjid, yaitu
shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid. Para ulama berpendapat, pahala
shalat Tahyat
al-Masjid diperoleh
dengan shalat fardhu atau shalat sunnat, meskipun tidak diniatkan. Karena
tujuannya adalah adanya shalat sebelum duduk. Shalat sebelum duduk tersebut
telah terwujud, maka tuntutan melaksanakan shalat Tahyat al-Masjid telah gugur, pahalanya diperoleh meskipun
tidak diniatkan, demikian menurut pendapat yang dijadikan pedoman sebagaimana
yang dinyatakan pengarang al-Bahjah. Pahalanya tetap diperoleh apakah dengan
fardhu atau pun dengan sunnat, yang penting tidak menafikan niatnya, tujuannya
tercapai apakah diniatkan atau pun tidak diniatkan.
Berdasarkan pendapat diatas, bagi
seseorang yang merasa berat untuk melaksanakan puasa qadha’ Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan
puasa qadha’ tersebut pada bulan Syawwal, ia juga ingin mendapatkan pahala
puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia berniat melaksanakan puasa qadha’ dan puasa enam hari di bulan Syawwal,
atau berniat puasa qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasa sunnat sudah termasuk ke
dalam puasa wajib. Ini kemudahan dan keringanan, tidak boleh terikat dengan
mazhab tertentu, juga tidak boleh menyatakan mazhab lain batil.
Hikmah
berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa yang lama di bulan Ramadhan -wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak
berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang
bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua
yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak
menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis, itu sudah menjadi suatu
ketetapan dalam kehidupan.
47 Fatawa al-Azhar, juz. IX,
hal. 261 [Maktabah Syamilah].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar