BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 61 dari 109
Di Sukamiskin njawa manusia tidak ada harganja, karena ia bisa. melajang untuk memperoleh sebungkus
rokok. Setiap orang berada dalam kekurangan dan memerlukan begitu banjak, sehingga orang dapat
menjuruh penggal musuhnja hanja dengan menjodorkan dua batang rokok dan membisikkan, ,,Kelihatan
orang disana itu jang pakai tanda dikuduknja ? Bunuh dia dan ini bagianmu." Pertjakapan selandjutnja tidak
perlu. Dengan djawaban ,,Baik" jang gembira orang itu lalu berdjalan-djalan mendekati sasarannja dan
menanamkan pisau kedalam perut orang jang dimaksud. Sukamiskin penuh dengan orang jang kehilangan
semangat hidup sebagai tahanan. Ada seorang jang dikenakan 53 tahun pendjara. Orang seperti dia ini tidak
akan rugi apa-apa kalau membunuh seorang kawan dalam kurungan. Terutama kalau dia bisa memperoleh
barang mewah dengan tjara itu. Begitulah lingkungan dimana putera sang fadjar berada.
Para pembelaku mentjoba meminta, agar aku mendjalani hukuman diluar dinding tembok itu seperti djuga
orang hukuman jang lain, akan tetapi permohonan ini ditolak. Hindia Belanda tidak keberatan memberi
kesempatan kepada Jack si Tukang Bunuh untuk mendjalani hukuman diluar, akan tetapi untuk Singa Podium
hal ini terlalu berbahaja.
Ternjata bahwa masuk bui disuatu saat sama sadja dengan jang lain. Otakku menderita kekurangan darah.
Kepalaku lekas sekali penuh dan selalu lelah. Sekalipun mereka mentjoba untuk menghantjurkan otak kami
sampai tak seorangpun jang mempunjai kemauan sendiri, namun aku tidak mau mentalku dirobek-robek oleh
pendjara. Bagaimanapun djuga aku membikin hari-hariku sendiri. Orang dapat melakukan hal ini kalau kuat
mentalnja. Djikalau orang menggantungkan tjita-tjitanja setinggi bintang-bintang dilangit. Aku memaksakan
diriku untuk menjadari bahwa tjita-tjita jang besar datangnja pada saat-saat jang sepi, lalu aku mentjoba
membuktikan kebenaran dari kata-kata mutiara, ,,Tjita-tjita jang besar dapat membelah dinding pendiara."
Ketika membangkitkan diri setjara mental, aku tidak sadja mendjadi biasa dengan keadaanku, akan tetapi
djuga kupergunakan keadaan itu untuk menjusun rentjana-rentjana dimasa jang akan datang.
Aku bahkan dapat berkata, bahwa aku berkembang dalam pendjara. Ketetapan hatiku semakin kuat. Ruang
pendjara adalah ruang sekolahku.
Karena dilarang membatja buku-buku jang berbau politik, maka aku mulai mendalami Islam. Pada dasarnja
bangsa kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakjat jang tahu akan kewadjiban kami terhadap Tuhan.
Ini dapat disaksikan di Bali, dimana seni dan tradisi samasekali dipersembahkan kepada Jang Maha Kuasa.
Kalau orang berdjalan-djalan dikampung-kampung di Djawa Barat, akan terdengar rakjat menjanjikan ajatajat
Al-Quranulkarim disore hari. Di Djawa Tengah berdiri sebuah monumen dari kehidupan kerohanian jang
tinggi dari nenek-mojang kami. Ia itu tjandi Prambanan sebagai lambang dari puntjak peradaban Hindu. 50
kilometer darisitu mendjulang tjandi Borobudur, tjandi Buddha jang terbesar diseluruh dunia. Orang
mendjumpai mesdjid dan geredja disetiap kampung. Bangsa Indonesia semendjak lahirnja mengabdi kepada
Tuhan. Tidak mendjadi soal djalan kepertjajaan mana jang ditempuh, kami mengakui bahwa hanja
kekuasaan Divina Providensia-lah jang dapat melahirkan kami melalui abad-abad penderitaan. Kami adalah
bangsa jang hidup dari pertanian dan siapakah jang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Chalik, Jang Maha
Pentjipta. Kami terima ini sebagai kenjataan hidup.
Djadi aku adalah orang jang takut kepada Tuhan dan tjinta kepada Tuhan sedjak dari lahir dan kejakinan ini
telah bersenjawa dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama jang teratur karena bapak tidak
mendalam dibidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani
keluarga Tjokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadijah. Gedung pertemuannja
terletak diseberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan dari djam delapan sampai djauh tengah
malam 100 orang berdesak-desak untuk mendengarkan peladjaran agama dan ini disusul dengan tanjadjawab.
Sungguhpun aku asjik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betul-betul dan
sungguh-sungguh sampai aku masuk pendjara. Didalam pendjaralah aku mendjadi penganut jang sebenarnja.
Tak pernah orang meragukan adanja Jang Maha Esa kalau orang bertahun-tahun lamanja terkurung dalam
dunia jang gelap. Seseorang merasa begitu dekat kepada Tuhan pada waktu ia mengintip melalui lobang
ketjil dalam selnja dan melihat bintang-bintang, kemudian merunduk disana selama berdjam-djam dalam
kesunjian jang sepi memikirkan akan suatu jang tidak ada batasnja dan segala sesuatu jang ada. Pengasingan
jang sepi mengurung seseorang samasekali dari dunia luar. Karena pengasingan jang sepi inilah aku semakin
lama semakin pertjaja. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinja bersembahjang dengan tenang.
Kepadamu kukatakan, saudara-saudaraku jang membatja buku ini—harapanku, sebagai usaha untuk dapat
memahami Sukarno sedikit lebih baik—lima kali sehari aku sudjud setjara lahir dan batin dalam mengadakan
hubungan dengan Maha Pentjipta. Mungkinkah orang seperti itu djadi Komunis ? Dimanapun aku berada
didunia ini aku sudjud menghadap ke Ka'bah disaat datangnja waktu Subuh, Lohor, Asar, Magrib dan Isa—dan
menjembahNja.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 62 dari 109
Segala sesuatu kudjawab dengan ,,Insja Allah" — kalau Tuhan menghendaki. Tanjalah, ,,Hei Sukarno, apakah
engkau pergi ke Bogor minggu ini ?" Aku akan mendjawab, ,,Insja Allah. Kalau Tuhan mengizinkan, saja
pergi." Mungkinkah orang jang demikian dapat mendjadi seorang Komunis ?
Aku sungguh-sungguh mulai menelan Al Quran ditahun 28. Jaitu, bila aku terbangun aku membatjanja. Lalu
aku memahami Tuhan bukanlah suatu pribadi. Aku menjadari. Tuhan tiada hingganja, meliputi seluruh
djagad. Maha Kuasa. Maha Ada. Tidak hanja disini atau disana, akan tetapi dmana-mana. Ia hanja satu—
Tuhan ada diatas puntjak gunung, diangkasa, dibalik awan, diatas bintang-bintang jang kulihat setiap
malam. Tuhan ada di Venus, dalam radius dari Saturnus. Ia tidak terbagi-bagi dimatahari dan dibulan. Tidak.
Ia berada dimana-mana, dihadapanku, dibelakangku, memimpinku, mendjagaku. Ketika kenjataan ini
hinggap dalam diriku, aku nsjaf bahwa aku tidak perlu takut-takut lagi, karena Tuhan tidak lebih djauh
daripada kesadaranku. Aku hanja perlu memandjat kedalam hatiku untuk menemuiNja. Aku menjadari
bahwa aku senantiasa dilindung-Nja untuk mengerdjakan sesuatu jang baik. Dan bahwa Ia memimpin setiap
langkahku menudju kemerdekaan.
Suatu malam, djauh dilarut malam, sambil bersudjud aku membisik kepada-Nja, ,,Tuhan," aku mendo'a,
,,setiap manusia dapat mendjadi seorang pemimpin asal sadja dari keluarganja sendiri. Akan tetapi saja
mengetahui bahwa Engkaulah Gembala jang sesungguhnja. Saja insjaf bahwa satu-satunja suara kemanusiaan
adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnja saja telah bersiap memikul tanggung-djawab dari
segala apa jang saja kerdjakan—tidak sadja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang djuga terhadap-Mu."
Orang Belanda memandang kami, orang Islam, sama dengan penjembah berhala. Dalam bahasa Indjil kami
adalah ,,keturunan jang sesat dan hilang", kata mereka. Jah, penjembah berhala atau tidak, aku seorang
Islam jang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali jang tertinggi dari Vatikan. Bahkan Presiden
dari Irlandiapun mengeluh padaku bahwa ia hanja memperoleh satu.
Dalam pendjaraku aku mempeladjari semua agama untuk melihat apakah aku ini termasuk salah seorang
jang ,,sesat dan hilang". Kalau ia lebih baik untukku, aku akan mengambilnja. Kupeladjari agama Kristen
pada Pendeta Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada ,,Chotbah diatas Bukit". Inspirasi Jesus
menjemangati orang-orang sjahid jang mula-mula, karena itu mereka berdjalan menudju kematiannja sambil
menjanjikan Zabur pudjian untukNja, karena mereka tahu ,,Kami meninggalkan Keradjaan ini, akan tetapi
kami akan memasuki Keradjaan Tuhan". Aku berpegang teguh pada itu. Aku membatja dan membatja
kembali Indjil. Perdjandjian Lama dan Perdjandjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali mengulang
mempeladjarinja.
Kemudian aku membatja Al Quran. Dan hanja setelah meneguk pikiran-pikiran Nabi Muhammad s.a.w. aku
tidak lagi mentjari-tjari buku sosiologi untuk memperoleh djawaban atas bagaimana dan mengapa segalagalanja
ini terdjadi. Aku memperoleh seluruh djawabannja dalam utjapan-utjapan Nabi. Dan aku sangat
puas.
Untunglah aku telah menemukan Tuhan dan djadilah Ia kawan jang paling kusajangi dan kupertjajai
bilamana aku menderita pukulan jang hebat. Suatu pendjara tak obahnja bagai sebuah djala ikan. Ia
mempunjai lobang-lobang. Melalui salahsatu lobang datanglah berita? bahwa P.N.I.—anak jang dilahirkan dan
aku sebagai bapaknja, kuasuh dan besarkan sehingga dewasa—telah terpetjah mendjadi dua dan persatuan
terpetjah-belah. Aku tak sanggup mendengarnja. Untuk inilah kiranja aku dipendjarakan, untuk inilah
kiranja aku harus mengalami penahanan jang keras. Aku sudah sanggup melalui siksaan batin, penghinaan
dan pengasingan, karena aku senantiasa dapat melhat diruang mataku tudjuan jang sutji. Tapi sekarang—
keadaan ini melebihi kekuatanku. Aku melakukan sesuatu jang tidak biasa kulakukan dalam hidupku. Aku
menangis.
Aku tidak menangis pada waktu drtangkap. Aku tidak mentjutjurkan airmata ketika aku dipendjarakan. Aku
tidak patah hati ketika anak kuntji berputar dan rnengurungku dari dunia bebas. Pun tidak barangkali kalau
aku merasa tertekan dan menjesal terhadap diriku sendiri dalam liang kuburku. Akupun tidak meratap bila
menerima kabar bahwa orangtuaku sakit. Akan tetapi ketika aku mendengar partaiku petjah dan kesempatan
ketjil bagi tanah-airku semakin menipis, kukatakan padamu saudara, aku tak dapat menerimanja. Aku
meratap seperti anak ketjil.
Namun tak sekalipun aku mempunjai pikiran untuk menjerah. Tidak pernah. Kekalahan tak pernah memasuki
pikiranku. Aku hanja mendoa, ,,Insja Allah, saja akan mempersatukannja kembali."
Sementara itu, ,,Indonesia Menggugat" telah tersebar keseluruh pengadilan di Eropa dan banjak protes resmi
datang dari ahli-ahli hukum. Pengadilan Austria mengemukakan bahwa, karena tuduhan terhadapku tidak
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 63 dari 109
pernah dibuktikan, maka putusan hukuman terhadap Sukarno sangat tidak berperikemanusiaan. Para ahlihukum
Belandapun mengeluarkan pendapatnja. Seorang professor hukum di Djakarta, karena kaget oleh
kekerasan itu, mengeluarkan pendapatnja dalam sebuah madjalah. Ia dipanggil setelah itu oleh Direktur
Kehakiman jang marah kepadanja dan menegurnja karena telah berani menentang keputusan Agustus dari Sri
Ratu dimuka umum. Demikian banjak tekanan telah dilakukan, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga
Gubernur Djendral merobah hukumanku mendjadi dua tahun.
Sesaat sebelum aku dibebaskan, ada sebuah tulisan dengan djudul ,,Saja Memulai Kehidupan Baru" jang
menguraikan tentang diriku dan disebarkan setjara luas. Dipagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada waktu
aku dalam pakaian preman untuk pertamakali selama dua tahun, Direktur Pendjara mengir:ngkanku kepintu
keluar dan bertanja, .
lr. Sukarno, dapatkah tuan menerima kebenaran dari kata-kata ini ? Apakah tuan betul-betul akan memulai
kehidupan baru ?" Sambil memegang dengan tangan kananku tiang pintu menudju kemerdekaan, aku
mendjawab, ,,Seorang pemimpin tidak berobah karena hukuman. Saja masuk pendjara untuk
memperdjoangkan kernerdekaan, dan saja meninggalkan pendjara dengan pikiran jang sama."
Bab 13
Keluar Dari Pendjara
BELANDA telah mendjalankan daja-upaja untuk mentjegah agar kebebasanku djangan menimbulkan pawai
dari rakjat. Dimana-mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tertjapai maksud tersebut, maka djalanan
disekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menjampaikan supaja bertindak lebih bidjaksana menghadapi
ini dan tidak mengadakan penjambutan setjara besar-besaran. Sungguhpun demikian Inggit dan beberapa
ratus pengikut jang setia berbaris dengan rapi dipinggir djalan pada djam tudjuh pagi jang tjerah, ketika aku
mengachiri tugasku dengan masjarakat Belanda.
Sudah mendjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan, apabila seseorang keluar dari
pendjara. Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang Indonesia bila keluar dari pendjara sadja. Jang
kumaksud, segala kedjadian—seperti dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ja, malah
keluar dari pendjarapun—ditandai oleh suatu pesta-kedamaian. Karena itu penjesuaian diriku kepada
masjarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan setjara berangsur-angsur. Dari kakus jang gelap dan sepi
langsung melompat kerumah Inggit, tempat bajar-makan jang ribut.
Peristiwa itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, disaat
itu jang pertama-tama kuinginkan bukanlah pesta jang gembira atau alas tempat-tidur sutera jang
mentereng maupun mandi jang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Jang pertama-tama kuinginkan adalah
seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanja kehendak ini terpaksa mengalah dulu. Karena
soal-soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menjerbu siang dan malam hendak melihat
wadjahku. Dimalam itu, kawanku Bung Thamrin menjatakan kepadaku, ,,Mata Bung Karno menjinarkan
tjahaja baru."
,,Tidak," djawabku. ,,Mata saja menondjol karena saja semakin kurus. Kalau muka kurus, mata kelihatan
tjekung."
,,Tidak," ia mehegaskan., Mata Bung djadi sangat besar. Biar gemuk sekalipun dia tetap bersinar menjalanjala.
Saja melihat ada tjahaja baru didalamnja."
,,Entahlah," djawabku, ,,Saja hanja merasa bahwa saja betul-betul dikuasai oleh suatu semangat."
Pidatoku jang paling terkenal jang pernah kuutjapkan selama hidupku adalah pidato jang kusampaikan
dimalam berikutnja. Aku berangkat ke Surabaja dengan kereta ekspres untuk menjampaikan kepada Kongres
Indonesia Raya supaja mereka tetap membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang sudah kembali
lagi dan sudah siap untuk berdjoang disisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata jang berlinang-linang, aku
mengachiri pidato itu dengan menjatakan ,,Ketjintaanku terhadap tanah-air kita jang tertjinta ini belumlah
padam. Pun tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,. Tidak. Tekad saja hendak
berdjoang. Insja Allah, disatu saat kita akan bersatu kembali."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 64 dari 109
Menghukum Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk
pendjara Sukamiskin, P.N.I. dengan resmi dinjatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil-wakilku
mendirikan Partai Indonesia, jang disingkat Partindo, akan tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaja.
Kegiatannja terbatas, djarang mengadakan pertemuan-pertemuan dan kalaupun diadakan, sedikit sekali
dikundjungi orang, karena tidak adanja tokoh jang mendjadi lambang kekuatan.
Karena tidak adanja kepemimpinan jang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh berpendidikan
Negeri Belanda jaitu Sutan Sjahrir dan Hatta, tidak menjetudjui tjara-tjara bergerak dari kawan-kawan
seperdjoangannja. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut Sukarno. Akibatnja
adalah perpetjahan jang tak dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan Gatot, jang dibebaskan
beberapa bulan sebelumku, untuk membenteng djurang jang timbul itu. Mereka tak sanggup. Maskun lalu
mengirimkan pesan kedalam pendjara, ,,Saja terlalu muda. Saja tidak dapat melakukannja." Gatot kemudian
memberi kabar lagi, ,,Kami berdua terlalu ketjil untuk dapat melakukan pekerdjaan ini. Lebih baik kami
tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar."
Segera setelah aku keluar dari pendjara, ketika anggota-anggotaku jang lama meminta supaja aku memasuki
Partindo, aku menolak. ,,Tidak," kataku dengan tegas. ,,Pertama saja harus berbitjara dengan Hatta dulu.
Saja ingin mendengar isi-hatinja."Mereka menjatakan kepadaku, ,,Rakjat akan mengikuti kemana Bung Karno
pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari Bung Hatta ?"
,,Tidak ada pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saja lebih tjondong untuk menempa kedua-duanja
kembali mendjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan kejakinanku untuk persatuan. Perpetjahan
ini hanja menguntungkan pihak lawan."
Aku bertemu dengan pihak jang bertentangan dirumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. ,,Baiklah
saudara-saudara, sekarang apa sesungguhnja jang mendjadi perbedaan pokok kita," kataku ketika kami
bertemu pertamakali.
Dengan tjara Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil," Hatta mengemukakan, seorang jang berlainan
samasekali denganku dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi
dagang dan pembawaannja. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang lulusan Fakultas
Ekonomi di Rotterdam, tjara berpikirnja masih sadja menurut buku-buku, mentjoba menerapkan rumusrumus
ilmiah jang tidak dapat dirobah kedalam suatu revolusi. Seperti biasa ia langsung memasuki pokok
persoalan tanpa omong-iseng setjara berolok-olok sebelumnja. ,,Pada waktu Bung Karno dengan ketiga orang
kawan kita lainnja masuk pendjara, seluruh pergerakan bertjerai-berai. Saja mempunjai ide untuk
mengadakan suatu inti dari organisasi jang akan melatih kader jang digembleng dengan tjita-tjita kita."
,,Apa gunanja kader ini ? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakjat-djelata dan membakar hati
mereka, seperti selama ini telah saja kerdjakan ?"
,,Tidak," katanja. ,,Konsepsi saja kita mendjalankan perdjoangan melalui pendidikan praktis untuk rakjat, ini
lebih baik daripada kita bekerdja atas dasar daja penarik pribadi dari satu orang pemimpin Dengan djalan
demikian, kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berdjalan dengan pimpinan bawahan
jang sudah sadar betul-betul untuk apa kita berdjoang. Dan menurut gilirannja, mereka akan menjampaikan
tjita-tjita ini kepada generasi jang akan datang, sehingga untuk seterusnja banjak tenaga jang akan
melandjutkan tjita-tjita kita. Kenjataannja sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak ada partai.
Ia terpetjah samasekali oleh karena tidak adanja kepertjajaan rakjat kepada partai itu sendiri Iang ada hanja
kepertjajaan terhadap Sukarno."
,,Mendidik rakjat supaja tjerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun, Bung Hatta. Djalan jang Bung
tempuh baru akan tertjapai kalau hari sudah kiamat," kataku.
,,Kemerdekaan tidak akan tertjapai selagi saja masih hidup" katanja mempertahankan. ,,Tapi setidaktidaknja
tjara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berdjalan selama bertahun-tahun."
,,Siapakah jang akan djadi pimpinan Bung ? Bukukah ? Kepada siapakah djutaan rakjat akan berpegang ?
Kepada kata-katakah ? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata-kata. Kita tidak mungkin memperoleh
kekuatan dengan kata-kata dalam buku peladjaran. Belanda tidak takut pada kata-kata itu. Mereka hanja
takut kepada kekuatan njata, jang terdiri dari rakjat jang menggerumutinja seperti semut. Mereka tahu,
bahwa dengan djalan mentjerdaskan rakjat kekuasaan mereka tidak akan terantjam. Memang dengan
mentjerdaskan rakjat kita terhindar dari pendjara, akan tetapi kita djuga akan terhindar dari kemerdekaan."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 65 dari 109
,,Rakjat akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk pendjara sekali lagi," djawab Hatta. ,,Rakjat akan
mengatakan: Itu salahnja sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka, sedang dia
tahu bahwa Belanda akan menjetopnja. Dia itu gila. Djadi perdjoangan untuk kemerdekaan masih akan
memakan wakru bertahun-tahun lagi. Rakjat harus dididik dulu kearah itu."
Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati jang tawar aku meninggalkan pertemuan jang berlangsung
selama beberapa djam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta samasekali tidak berobah
pendiriannja. Masih aku mentjoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa bulan aku
mentjoba. Pada pertemuan kami selandjutnja Hatta mengatakan, ,,Saja hendak memberikan djandji kepada
para pengikut kita. Kalau Belanda menghalang-halangi generasi kita ini untuk bergerak—dan tiap gerakan
selandjutnja daripada para pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan jang demikian—maka tak
usahlah generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinja kita mengadjar para intellektuil jang muda-muda
jang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan adjaran-adjaran kita dan jang nanti
dibelakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni adalah djandji kepada tanah-air kita. Ia
merupakan soal prinsip. Soal kehormatan."
Aku tak pernah mengerti samasekali perkara tetek-bengek setjara intellektuil jang chajal ini. Hatta dan
Sjahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa jang mereka kerdjakan hanja bitjara. Tidak ada tindakan,
hanja bersoal-djawab. Aku mentjoba usaha jang terachir. ,,lni adalah peperangan," kataku. ,,Suatu
perdjoangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi jang akan datang ataupun
suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan jang lebih bawah dapat memegang tegah
prinsip-prinsip jang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui. Kehormatan tidaklah pada
tempatnja dalam perdjoangan mati-matian ini. Ini adalah semata-mata persoaian kekuatan. Disaat Bung
Hatta dan Sjahrir madju terus dengan usaha pendidikan pada waktu itu pula kepala saudara-saudara akan
dipukul oleh musuh.
,,Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending—pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan.
Dengan tenaga jang terhimpun kita dapat mendesak musuh kepodjok dan kalau perlu menjerangnja.
Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebidjaksanaan penting jang berasal dari buku-buku tidaklah
praktis. Saja kuatir, Hatta, saudara berpidjak diatas landasan revolusioner jang chajal."
Pada tahun-tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku mendjadi eksponen-utama
dari non-kooperasi, sedang dia sebagai eksponen-utama dengan pendirian bahwa kerdja-sama dengan
Pemerintah tidak mendjadi halangan untuk mentjapai tudjuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam
getaran-gelombang jang sama. Tjara jang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah dengan
mentjeritakan tentang kedjadian disuatu sore, ketika dalam perdjalanan kesuatu tempat dan satu-satunja
penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis jang tjantik. Disuatu tempat jang sepi dan
terasing ban petjah. Djedjaka Hatta adalan seorang jang pemerah muka apabila bertemu dengan seorang
gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.
Ketika dua djam kemudian supirnja kembali dengan bantuan ia mendapati gadis itu berbaring enak disudut
jang djauh dalam kendaraan itu dan Hatta mendengkur disudut jang lain. Ah, susah orangnja. Kami tak
pernah sependapat mengenai suatu persoalan.
Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua.
Pergerakan ini hidup kembali.
Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi dimasa jang
akan datang, aku memperoleh kemadjuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku duduk
dimuka lajarputih. Maskun dan aku djuga mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin bersama-sama
koran partai, ,,Fikiran Rakjat", jang diselenggarakan dirumahku. Kemudian ada lagi orang jang bajar-makan.
Sudah tentu orang-orang seperti Maskun tidak bajar. Bagaimana aku bisa minta uang-makan daripadanja ?
Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannja kepada isterinja.
Kuingat betul dihari perkawinannja akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak berbulan
madu ketjuali mungkin dibawah pohon kaju disuatu tempat, karena segera setelah perkawinan mereka
tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah mendjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak bila orang
mengadakan pertjintaan dengan gadis itu. Dan karena kami tidak mempunjai kasur dihari-hari itu, djadi
tidak ada jang akan berderak-derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanja dipisahkan oleh dinding bilik,
kami tidak terganggu satu sama lain.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 66 dari 109
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa jang sulit dengan biro arsitek ini,
karena orang lebih menjukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan dengan kedua
bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Djadi setidak-tidaknja kami harus mendapatkan
271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami tidak menerimanja. Penghasilan Rooseno jang
terutama didapatnja dari mengadjar. Oleh karena kantongnja selalu lebih penuh daripada kami, kebanjakan
pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanja.
Sekali sebulan aku muntjul untuk menanjakan bagian keuntunganku. Karena aku mentjukupi kebutuhanku
dari kantongnja, aku akan bertanja, ,,Berapa kau berutang padaku ?"
Dan dia akan mendjawab, ,,Bagian Bung 15 rupiah."
Kataku, ,,Baik." Aku tidak pernah memeriksanja. Apa jang dikatakannja aku pertjaja sadja.
Kami mengadakan pembagian kerdja jang adil dan tjukup beralasan. Rooseno mendjadi insinjurkalkulatornja.
Dia mengerdjakan soal-soal detail. Dia jang membuat perhitungan dan kalkulasi dan
mengerdjakan perhitungan ilmu pasti jang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur bentuk-bentuk
jang baik dari gedung-gedung. Sudah tentu tidak banjak perlu diatur, akan tetapi sekalipun demikian ada
beberapa buah rumah jang kurentjanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rentjanaku bagusbagus.
Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah.
Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanja orang-orang jang tidak pernah
menghirup apinja nasionalisme jang dapat melibatkan dirinja dalam soal-soal biasa seperti itu. Kemerdekaan
adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada djiwaku. Inilah semua jang kumakan. Aku
sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnja ? Mendajungkan partaiku dan rakjatku setjara
bersama-sama kepulau harapan, untuk itulah aku hidup.
Sesuai dengan tjita-tjita dari P.N.I., partaiku jang lama, tentang bagaimana seharusnja seorang pemimpin
berpakaian, maka anggota-anggota mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti kain
katun atau linnen, Sukarno tiba-tiba diberi kain shantung Ganti kemedja-sport dengan leher terbuka,
Sukarno mulai memakai dasi jang bagus. Pergerakan kami begitu pertjaja padaku, sehingga pakaian ini
diusahakan mereka setjara sukarela. Aku teringat badju suteraku jang pertama. Pembelinja bernama
Saddak. O. dia sungguhsungguh memudjaku.
Ini seperti jang dikatakan oleh Indjil, ,,Jang kaja djiwanja membantu jang miskin dalam satu persaudaraan
jang besar." Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian—atau uang Dipagi hari aku keluar
dari pendjara sebagai seorang bebas, seorang laki-laki jang belum pernah kulihat sebelumnja,
menggenggamkan kepadaku dengan begitu sadja uang empatratus rupiah, lain tidak karena aku tidak
mempunjai uang. Pada waktu sekarang orang ini, jang bernama Dasaad , adalah seorang kapitalis-sosialis
jang paling kaja di Indonesia dan kawanku jang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menjodorkan redjeki jang
ketjil itu kepadaku, ia tak mengharapkan akan memperolehnja kembali. Seingatku ia tak pernah menerima
uang itu kembali. Aku masih sadja memindjam-mindjam kepadanja.
Dalam masa ini aku menjadari untuk lebih berhati-hati dengan utjapan-utjapanku. Pengaruhku terhadap
rakjat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata, ,,Makan batu", mereka akan memakannja.
Kukira ini timbul disebabkan karena apa jang kuutjapkan dengan keras sesungguhnja adalah apa jang mereka
sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati-sanubarinja. Aku merumuskan perasaan-perasaan jang tersembunji
dari rakjatku mendjadi istilah-istilah politik dan sosial, jang tentu akan mereka utjapkan sendiri kalau
mereka dapat. Aku menggugat jang tua-tua untuk mengingat kembali akan penderitaan-penderitaannja dan
melenjapkan penderitaan-penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk memikirkan nasib mereka
sendiri dan bekerdja keras untuk masa depan. Aku mendjadi mulut mereka.
Sebagai pemuda aku mula-mula mengisap kata-kata jang tertulis dari negarawan-negarawan besar didunia,
kemudian kuminum utjapan-utjapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok semua ini
dengan falsafah dasar jang digali dari hati rakjat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakjat Indonesia, lalu
mendjadi Bung Karno, penjambung lidah rakjat Indonesia.
Aku berbitjara kapan sadja dan dimana sadja. Didalam dan diluar. Dibawah teriknja sinar matahari dan
dimusim hudjan. Pada suatu kali air hudjan sudah sampai kemata-kakiku dan oleh karena banjak tempat jang
tidak bisa ditempuh, maka aku baru sampai djam tiga pada rapat jang seharusnja diadakan mulai djam
sembilan pagi. Rakjat jang sudah bertjerai-berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpajung daun pisang dan
lain-lain jang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat tjuatja demikian buruknja, sehingga
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 67 dari 109
sekalipun pakai djashudjan aku basah-kujup oleh air jang mentjutjur dari langit. Diwaktu itulah aku
mengadjak, ,,Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menjanji bersama-sama ?"
Disela-sela petir jang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian jang lain. Lalu ratusan
suara berpadu. Dan tidak lama antaranja menggemalah 20.000 suara mendjadi satu paduan jang gembira.
Dilapangan terbuka jang sederhana ini di Djawa Tengah maka njanjian-njanjian rakjat mengikat kami
mendjadi satu, ikatannja lebih erat daripada rantai besi. Ketika hudjan semakin reda, aku mengachiri
wedjanganku. Tak seorangpun jang meninggalkan tempat itu.
Salah seorang pengikut kemudian setelah itu memberikan komentarnja, ,,Ini adalah suatu kedjadian jang
tidak dapat dilakukan oleh orang semata-mata. Bakat jang demikian itu terletak Antara Bung dan alam."
Kusampaikan kepadanja, ,,Sebabnja ialah karena ini bukanlah kemauan saja pribadi untuk memperdjoangkan
kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saja mendjalankan kata-kata Tuhan. Untuk pekerdjaan inilah saja
dilahirkan.''
Pada waktu sekarang, orang-orang anti-Sukarno tertawa mengedjek bahwa segala sesuatu diatur terlebih
dulu untuk Sukarno sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanja mengatakan, memang benar bahwa rakjat
berdjedjal-djedjal dikiri-kanan djalan kalau Bapak akan berpidato. Djuga adalah benar, bahwa orang dapat
memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak akan dapat dipaksa untuk tersenjum dengan penuh
kepertjajaan atau memandang dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira. Aku
meminta kepada manusia umumnja untuk menjelidiki muka-muka jang menengadah dari rakjatku kalau aku
berpidato. Mereka melihat tersenjum kepadaku. Mendo'akan, Menjintaiku. Ini semua tidak dapat dipaksakan
oleh pemerintah.
Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda tidak
dapat menjuruh mereka BERHENTI tersenjum kepadaku dimasa tahun-tahun tiga-puluhan. Dengan tiba-tiba
semangat nasional mendjalari seluruh tanah-air. Dengan tiba-tiba keinginan merdeka menular kembali.
Aku berpidato di Solo dimana puteri-puteri dari kraton jang tjantikjantik pada keluar untuk
mendengarkanku. Wanita-wanita jang dipingit, dimuliakan dan jang halus ini begitu tertarik sehingga salah
seorang jang hamil memukul-mukul perutnja berkali-kali dan mendengungkan, ,,Saja ingin seorang anak
seperti Sukarno." Mendadak aku mendapat ilham. Aku menjerahkan kepada mereka beberapa petji dan
meminta mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk pergerakan kami. Ah,
Bung, sungguh menggemparkan.
Aku malahan mentjaplok terhadap Belanda. Seorang pemuda bernama Paris mendjadi muridku dan pindah
samasekali kepihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Djawa Timur. Patih ditempat
itu djuga hadir. Sebagai seorang pedjabat kolonial, adalah mendjadi kewadjibannja jang tak dapat disangkal
lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang jang sangat baik hati ini berdiri
mendengarkan pidatoku dengan sungguh-sungguh dan dengan seluruh hatinja. Tanpa berpikir dia lupa pada
dirinja sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk mendengarkan pidaboku. Diantara orang
banjak itu terdapat djuga Van der Plas, Direktur Urusan Bumiputera. Dan itulah kami. Kamilah orang
Bumiputera. Pekerdjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi orang-orang jang mengawasi kami—termasuk
patih itu.
Patih itu seketika djuga diperhentikan. Timbullah pertengkaran jang hebat didalam Dewan Rakjat. Thamrin
mentjoba untuk mempertahankannja. Dia mengemukakan alasan, ,,Apa salahnja dia turut bersorak?
Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak ? Mengapa dia harus
kehilangan djabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan diri ?"
Thamrin mentjoba dengan gagah-berani, sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan djabatannja. Ini
adalah djabatan jang penting dan dia orang jang penting. Orang jang baikhati ini mempunjai anak dan isteri
jang harus ditanggungnja. Akupun susah memikirkannja.
Polisi mulai memperkeras djaring-djaring mereka. Surat-suratkabar ketika itu penuh dengan berita
pemberontakan diatas kapal Zeven Provincien, jaitu sebuah kapal-perang jang para opsirnja terdiri dari
Belanda dan orang-bawahannja orang-orang Indonesia. Belanda, karena mengetahui tentang tjaraku
mempergunakan suatu keadaan. Pada waktunja, mengeluarkan larangan untuk mengadakan pembitjaraan
setjara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang rakjat untuk bangkit dan
memberontak.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 68 dari 109
Persoalanku adalah, bagaimana tjaranja untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato berikutnja.
Tangan polisi sudah gatalgatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan gelisah. kamipun
tegang dan gelisah. Kami mengatur atjara sehingga aku mendjadi pembitjara pertama. Ini maksudnja untuk
membikin bingung polisi, jang tentu tidak akan menjangka bahwa aku akan memberanikan diri untuk
menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan djalan ini, sekalipun mereka akan
menghentikan rapat kami, aku telah menjampaikan pesan-pesanku dan rakjat tentu sudah akan puas
melihatku. Djadi, berdirilah aku dan langsung berbitjara tentang peristiwa kapal Zeven Provincien itu. Polisi
langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup.
Aku kembali lagi ketempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar-hitam mereka, seperti aku takkan
lepas-lepas dari daftar itu.
Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa jang membatja ,,Fikiran Rakjat" atau memakai
petji akan dikenakan tahanan.
Kemudian aku menulis brosur jang bernama ,,Mentjapai Indonesia Merdeka". Brosur tersebut dianggap sangat
menghasut, sehingga ia dirampas dan dinjatakan terlarang segera setelah ia mulai beredar. Banjak jang
disita. Rumah-rumah digeledahi. Kumpulan jang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung. Perangkap
diperkeras.
Tanggal satu Agustus kami mengadakan pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Djakarta. Pertemuan ini
selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menudju djalan raja, disana sudah berdiri
seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang didepan rumah. Kedjadian ini adalah pengulangan
kembali dari penangkapan jang terdahulu. Dia rnengutjapkan kata-kata jang sama, ,,Tuan Sukarno, atas
nama Sri Ratu saja menangkap tuan."
Bab 14
Masuk Kurungan
Tepat delapan bulan sampai kepada hari-harinja aku sudah berada lagi dalam tahanan. Penahanan kembali
ini tidak disebabkan oleh satu kedjadian jang chusus. Kesalahanku tjuma oleh karena aku tidak menutup
mulutku jang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari pendjara.
Komisaris itu membelebab kepadaku. ,,Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berobah. Tidak ada harapan tingkahlaku
tuan bisa baik lagi. Menurut tjatatan kami, tuan hanja beberapa djam sadja sebagai orang bebas ketika
tuan naik kereta-api menudju Surabaja, lalu tuan kembali bikin katjau lagi dan sedjak waktu itu tidak
berhenti-henti bikin ribut. Djadi djelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa mendjadi
pengatjau."
,,Kemana tuan bawa saja ?" tanjaku. ,,Masuk tahanan." ,,Di Bandung lagi?"
,,Sekarang tidak. Sekarang ini tuan kami tahan di Hopbiro Polisi drsini."
Dikantor Polisi mereka tidak mengurungku. Kepadaku hanja ditundjukkan sebuah bangku pandjang dan
membiarkanku disana. Aku bertanja hepada perwira pengawas,
,Tuan, apakah bisa saja memanggil isteri saja ?" Dia tidak mendjawab.
,,Dapatkah saja menjampaikan `pesan kepada pembela saja?" Ia masih tidak mendjawab.
,,Bolehkah saja bertemu dengan salah seorang anggota Volksraad atau salah seorang pemimpin dari partai
saja ?" Tidak ada djawaban.Dia hanja menarik korsi kemedjanja dan menulis, terus menulis suatu dokumen
jang berisi tidak kurang dari seribu halaman dakwaan kepadaku. Karena aku seorang djahat jang begitu
berbahaja, mereka tidak membiarkanku seorang diri. Polisi jang bersendjata lengkap mengawalku dibangku
itu.
Aku nongkrong disana berdjam-djam lamanja. Dan aku mulai memikir. Selama saat-saat jang tegang dalam
kehidupan orang, seringkali pikiran manusia memusatkan diri kepada soal-soal jang paling tidak berarti atau
matjam soal-soal jang kelihatannja tidak ada sangkutpautnja. Ia seakan-akan mendjadi pintu pengaman
daripada tabi'at manusia untuk mengeluarkan tekanan ketakutan jang bertjokol dalam airinja. Disini aku
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 69 dari 109
mendjadi seorang jang kalah dua kali. Apakah jarg akan terdjadi terhadap diriku ? Apakah aku hanja akan
didjebloskan kedalam pendjara ? Apakah mereka melemparkanku ketempat pengasingan ? Atau
menggantungku ? Apakah sesungguhnja ? Apa ? Dalam usia 32 tahun maka seluruh kehidupanku ini sudah
menjelesaikan lingkarannja.
Satu-satunja jang dapat kulihat dalam pikiranku hanjalah permainan bulutangkis dan bolanja jang terbang
kian kemari menurut kemauan dari para pemainnja. Nehru jang telah sebelas kali keluar-masuk pendjara
pada suatu waktu menjamakan dirinja dengan bola bulutangkis. Sambil duduk disana aku berkata pada diriku
sendiri. ,,Tidak karno, engkau lebih menjerupai sebuah ranting dalam unggun kajubakar jang sedang
menjala." ,,Kenapa begitu ?" Aku bertanja pada diriku sendiri. ,,Karena," datang djawabnja, ,,ranting itu
turut mengambil bagian dalam menjalakan api jang berkobar-kobar, akan tetapi dibalik itu iapun dimakan
oleh apa jang hebat itu. Keadaan ini sama dengan keadaanmu. Engkau turut mengambil bagian dalam
mengobarkan apinja revolusi, akan tetapi..........
"Pertjakapan dengan diriku sendiri terputus dengan tiba-tiba. Djelas bahwa aku sesungguhnja dapat
disamakan dengan sepotong kajubakar, karena tiba-tiba—achirnja—nampaknja akupun dimakan oleh djilatan
api jang menggelora itu dalam mana aku turut mengambil bagian sebagai kaju pembakarnja.
Aku menghilangkan pikiran ini dari ingatanku dan mentjoba memikirkan soal jang lain. Tidak lama kemudian
aku dikuasai oleh kelelahan, lalu tertidur diatas bangku kaju jang keras itu. Ketika tjahaja diluar masih
keabu-abuan, mereka memasukkanku kedalam kereta-api. Tempat selandjutnja adalah Sukamiskin. Tetapi
mereka tidak perasa. Aku tidak dimasukkan kedalam selku jang lama.
Mereka mengurungku dalam sebuah sel chusus, dibuat ditengah-tengah ruangan besar jang telah
dikosongkan. Disitulah aku terkurung disebuah sel sempit dalam ruangan jang besar. Dan seorang diri.
Delapan bulan lamanja aku hidup seperti seorang pertapa jang bisu.
Kemudian mulai lagi pemeriksaan. Tjara bekerdjanja adalah demikian, mula-mula orang ditahan, dihudjani
dengan ribuan pertanjaan. lalu dikirim djauh-djauh—untuk tidak kembali lagi. Sesuai dengan ketentuanketentuan
dalam undang-undang luarbiasa, maka tidak perlu lagi d adakan pemeriksaan menurut hukum atau
pengesahan hukuman. Dengan hanja membuat keputusan sendiri untuk pembuangan, maka Gubernur
Djendral memerintahkan ribuan manusia untuk dibuang djauh-djauh untuk hilang begitu sadja tak tentu
rimbanja. Nampaknja Sukarno akan mengalami nasib jang demikian itu. Dengan tidak diadili terlebih dulu
hukuman sudah didjatuhkan kepadaku. Aku akan dibuang kesalahsatu pulau jang paling djauh. Berapa
lamakah ? Hingga semangatku dan djasadku mendjadi busuk.
Aku akan menghadapi pembuangan ini. Setelah pendjara, maka langkah selandjutnja akan menjusul setjara
otomatis. Sikapnja seakan-akan mereka sudah tjukup baik hati terhadapku dengan membebaskanku boberapa
bulan jang lalu. Dan aku membalas kebaikan mereka dengan berbuat hal-hal jang tidak baik seperti dahulu.
Nampaknja mirip seperti aku tak tahu berterimakasih.
Djam lima-tigapuluh disuatu pagi aku dimasukkan tjepat-tjepat kedalam kereta akspres dan dikurung dalam
kamar jang ketjil dari salahsatu gerbong jang sengadja dikosongkan. Dua orang berpakaian seragam
mengawalku. Seorang didalam. Seorang lagi diluar pintu. Sungguhpun aku tidak melihat tanda-tanda
kehadiran orang lain, kepadaku disampaikan bahwa keluargakupun ada dalam kereta-api itu. Keluargaku jang
baru bertambah terdiri djuga dari Ibu Amsi, mertuaku, dan Ratna Djuami, jaitu kemenakan Inggit jang masih
ketjiil dan mendjadi anak angkat kami. Menurut kebiasaan kami pengambilan anak angkat tidak memerlukan
pengesahan. Ia berarti bahwa seseorang tinggal denganmu dan engkau mentjintainja.
Sesampai di Surabaja keluargaku dipisahkan kehotel sedangkan aku disimpan lagi diantara empat dinding
tembok selama dua hari dua malam berada disana. Disinilah bapak dan ibu bertemu dengan si anak
tersajang, untuk mana mereka telah membina harapan-harapan jang begitu besar. Inilah pertamakali mereka
melihatku dibelakang djeradjak-besi dan aku kelihatan tidak banjak menjerupai Karno, pradjurit-pahlawan
besar dari Mahabharata itu. Pengalaman ini sangat menjajat hati mereka, hingga mereka hampir tak sanggup
memandangi keadaanku. Kedjadian ini sudah lebih dari tigapuluh tahun jang lalu, akan tetapi rasa pedih
jang meremukkan dari pertemuan kami itu masih tetap melekat dalam djiwaku sampai sekarang.
,,O, Karno........anakku Karno," bapakku tersedu-sedu, mentjurahkan seluruh kepiluan hatinja, ,,Apa jang
dapat kulakukanmengenai dirimu? Apa jang dapat kami kerdjakan untukmu ? Pertama, engkau meringkuk
beberapa tahun dalam tahanan, jang menjebabkan kesedihan hati kami jang amat sangat. Dan sekarang lagi
engkau dibuang djauh-djauh keluar Djawa.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 70 dari 109
"Pipikupun basah dengan airmata, akan tetapi aku berusaha untuk tersenjum sedikit. ,,Akan kuberikan segala
sesuatu, Pak, sekiranja saja mendapat kedudukan jang baik, jang akan memberikan kegembiraan kepada
orangtuaku sebagaimana sepantasnja dengan pendidikan jang diberikan kepada saja. Akan tetapi, rupanja
Tuhan tidak menghendakinja."
Sementara airmata mengalir diwadjahnja jang manis ibuku jang lembut hati itu membisikkan, ,,Sudah
suratan takdir bahwa Sukarno menjusun pergerakan jang menjebabkan dia dipendjarakan, lalu dibuang dan
kemudian dia akan membebaskan kita semua. Sukarno tidak lagi kepunjaan orangtuanja. Karno sudah
mendjadi kepunjaan rakjat Indonesia. Kami mau tidak mau menjesuaikan diri dengan kenjataan ini."
Kami hanja diizinkan bertemu selama tiga menit. Aku tjukup lama dibawa keluar sel untuk mendjabat tangan
bapak dan mentjium ibu. Kami merasa takut kalau pertemuan ini akan memisahkan kami untuk selamalamanja,
kami takut kalau perpisahan jang tergesa-gesa ini adalah detik jang terachir kami dapat saling
memandangi wadjah satu sama lain.
Hari berikutnja, dengan roda-roda jang mentjiut melalui tikungan, aku dilarikan kepelabuhan dimana orang
telah berdjedjal-djedjal dipinggiran djalan untuk melambaikan utjapan selamat djalan dengan benderabendera
Merah-Putih dari kertas jang mereka buat sendiri. Dengan didampingi dikiri-kanan oleh dua orang
reserse, aku dibawa naik keatas kapal barang dan ditahan dikamar kelas dua disebelah kandang ternak.
Delapan hari kemudian kami sampai ketempat tudjuan: Pulau Bunga, pulau jang terpentjil.
Bab 15
Pembuangan
ENDEH, sebuah kampung nelajan telah dipilih sebagai pendjara terbuka untukku jang ditentukan oleh
Gubernur Djendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunjai
penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannja masih terbelakang. Mereka djadi nelajan. Petani kelapa.
Petani biasa.
Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia baru dapat ditjapai dengan djip selama delapan djam
perdjalanan dari kota jang terdekat. Djalan rajanja adalah sebuah djalanan jang tidak diaspal jang ditebas
melalui hutan. Dimusim hudjan lumpurnja mendjadi bungkah-bungkah. Dan apabila matahari jang
menghanguskan memantjar dengan terik, maka bungkah-bungkah itu mendjadi keras dan terdjadilah lobang
dan aluran baru. Endeh dapat didjalani dari udjung keudjung dalam beberapa djam sadja. Ia tidak
mempunjai telpon, tidak punja telegrap. Satu-satunja hubungan jang ada dengan dunia luar dilakukan
dengan dua buah kapal pos jang keluar-masuk sekali sebulan. Djadi, dua kali dalam sebulan kami menerima
surat-surat dan surat kabar dari luar.
Didalam kota Endeh terdapat sebuah kampung jang lebih ketjil lagi, terdiri dari pondok-pondok beratap
ilalang, bernama Ambugaga. Djalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan dimana
terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air-leding. Kalau hendak mandi aku membawa
sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnja jang dingin dan ditengah-tengahnja berbingkah - bingkah
batu. Disekeliling dan sebelah-menjebelah rumah ini hanja terdapat kebun pisang, kelapa dan djagung.
Diseluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun matjam hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga jang terpentjil itu, bagiku mendjadi udjung dunia.
,,Kenapa, ja ? Kenapa disini ?" Inggit bertanja.
,,Pulau Muting, Banda atau tempat jang djelek seperti itu, ketempat-tempat mana rakjat kita diasingkan,
tidak akan lebih baik daripada ini," keluhku dengan berat ketika kami memeriksa rumah jang gelap dan
kosong dimalam hari kami sampai disana. ,,Diwaktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan pembuangan,
mula-mula orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menjadari, biar kemanapun kita
dieksternir, kita dapat menjusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda achirnja memutuskan untuk
mengasingkan para pemberontak didalam negeri sadja, dimana mereka langsung dapat mengawasi kita.
,,Kenapa dipilih Flores ?" Inggit mengulangi ketika membuka kerandjang buku, satu-satunja kekajaan
pribadiku jang kami bawa. ,,Kebanjakan para pemimpin diasingkan ke Digul."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 71 dari 109
,,Itu makanja," kuterangkan sambil mengeluarkan buku-buku sekolah jang kubawa, sehingga setiap pagi dan
malam aku dapat mengadjar Ratna Djuami dirumah. ,,Di Digul ada 2.600 orang jang dibuang. Tentu aku akan
memperoleh kehidupan jang enak disana. Dapatkah kaubajangkan, apa jang akan diperbuat Sukarno dengan
2.600 pradjurit jang sudah disiapkan itu ? Aku akan merobah muka Negeri Belanda dari New Guinea jang
terpentjil itu."
Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah mendjadi nasibnja dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan
pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan. Akan tetapi aku djuga
dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinja sendiri. Dia susah mengenai diriku. Memang
terasa lebih berat untuk memandang seseorang jang ditjintai kena siksa daripada mengalami sendiri siksaan
itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menjaksikan suaminja direnggutkan dari kekuatan hidupnja, dari
tjita-tjitanja, dari kegembiraan hidupnja, bahkan direnggutkan sedikit dari kelaki-lakiannja. Aku mendjadi
seekor burung elang jang telah dipotong sajapnja. Setiap kali Inggit memandangiku, setiap kali itu pula
setetes darah menitik dari uratnja.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami djarang membitjarakan soal
jang rumit dari hati kehati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputus-asaan, namun aku mentjoba
menggembirakan hatinja. Aku selalu memperlihatkan wadjah jang baik, sehingga wadjah itu tidak
menundjukkan apa jang sesungguhnja tergurat dalam hatiku.
Ach, saat jang sangat tidak menjenangkan bagiku. Kedua reserse jang mengantarku menjerahkanku dari
kapal seperti menjerahkan muatan ternak jang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat sauh, kedua
orang dengan siapa aku hanja boleh berbitjara, diluar keluargaku, sudah pergi. Setiap orang menjingkir
daripadaku. Endeh kembali mendjadi pendjaraku, hanja lebih besar dari jang sudah-sudah. Disini bukan
sadja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang jang turut dengan
kami. Mertuaku, Ibu Amsi jang baik dan tersajang itu meninggal diatas pangkuanku. Akulah jang
membawanja kekuburan. Ia menderita sakit arterio-sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok paginja
ia tidak bangun-bangun. Keesokan harinja tidak bangun. Dihari berikutnjapun tidak. Aku menggontjanggontjang
badannja dengan keras, akan tetapi dipagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah lima hari dalam
keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Dibulan-bulan pertama jang sangat menjiksa, ditempat pembuangan
itu dikala batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap djam setiap detik, diwaktu itu tidak satupun
perkataan jang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat tinggal bersama
dengan rukun adalah karena kami orang baik-baik. Aku djuga sedikit, barangkali. Ibu Amsi lebih sederhana
lagi daripada anaknja. Ia tidak bisa tulis-batja. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mentjintainja setulus hati.
Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannja. Aku sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu
tembok. Aku seorang diri mentjari batu-kali, memotong dan mengasahnja untuk batu-nisan. Dipekuburan
kampung jang sederhana melalui djalanan sempit djauh ditengah hutan berkumpullah beberapa gelintir
manusia untuk memberikan penghormatannja jang terachir. Ini adalah kemalanganku jang pertama. Dan,
terasa berat.
Satu-satunja manusia jang tinggal, dengan siapa aku dapat berbitjara, adalah Inggit. Disuatu malam ketika
kami duduk berdua diberanda ketjil, hanja berdua — seperti biasanja — Inggit mengalihkan pandangannja
sebentar dari djahitannja untuk mengungkapkan, ,,Tidak mungkin orang-orang disini tidak mengenalmu.
Mereka tentu sudah membatja tentang dirimu atau melihat gambarmu disuratkabar. Sudah pasti banjak
orang sini jang sudah mengenalmu. Sudah pasti banjak."
,,Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranja mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu
Belanda tidak mendjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakjat tidak tahu
samasekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini."
Aku mengerti kemana tudjuan Inggit. Ia ingin memperoleh djawaban, mengapa setiap orang menjingkir,
seperti aku ini hama penjakit. ,,Orang-orang jang terkemuka disini, tidak mengatjuhkanku, bukan karena
tidak kenal. Akan tetapi djustru karena mereka mengenalku," kataku. ,,Orang-orang terpandang disini terdiri
dari orang Belanda, amtenar-amtenar bangsa kita dan orang-orang jang memerintah seperti Radja. Mereka
samasekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama-sama denganku. Aku tentu
akan menjebabkan mereka kehilangan kedudukannja."
,,Lagi pula, negeri ini terlalu ketjil," bisiknja.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 72 dari 109
,,Jah," aku mengangguk dengan lesu, ,,negeri ini terlalu ketjil.?"
Kami keduanja membisu, akan tetapi bau dari pokok persoalan itu masih sadja mengapung dengan berat
dalam ruangan itu, seperti bau wangi-wangian jang murah. Akulah pertama memetjah kesunjian jang pekat
itu.
,,Orang tinggi-tinggi ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, ketjuali untuk mematamataiku.
Bahkan kaum keluarganja dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka tidak mau
melanggarnja, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut."
Inggit menambahkan, ,,Kudengar adik Radja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda
mengusirnja dari sekolah di Surabaja. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapa;t lagi
mempeladjari politik."
,,Itulah jang kumaksud," kataku. ,,Mana mungkin ia djadi kawanku. Dia berada disini karena alasan jang
sama denganku — sebagai hukuman."
,,Tapi rakjat biasapun menjingkir dari kita," Inggit menegaskan dengan suara ketjil.
,,Aku tahu."
,,Djadi bukan karena kita tidak mau kenal."
,,Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal."
Inggit sedang mendjahit badju kebaja untuk dia sendiri. Sambil meletakkan djahitannja ia memandang
kepadaku.
,,Tjoba," aku merenung dengan keras, ,,di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada dalam
kurungan. Disini aku diasingkan dari masjarakat, diasingkan dari orang-orang jang dapat mempersoalkan
tugas hidupku. Orang disini jang mengerti, takut untuk berbitjara. Mereka jang mau berbitjara, tidak
mengerti. Inilah maksud jang terutama dari pembuangan ini. Baiklah ! Kalau begitu keadaannja, aku akan
bekerdja tanpa bantuan orang-orang terpeladjar jang tolol ini. Aku akan mendekati rakjat djelata jang
paling rendah. Rakjat-rakjat jang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakjat-rakjat jang
tak dapat menulis dan jang merasa dirinja tidak kehilangan apa-apa. Dengan begini, setidak-tidaknja ada
orang dengan siapa aku berbitjara."
Aku membentuk masjarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, budjang jang tidak bekerdja — inilah
kawan-kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelajan. Kukatakan padanja bahwa
tidak ada larangan berkundjung kerumahku. Dia datang kerumahku. Kemudian dia membawa Darham tukangdjahit.
Setelah itu aku datang ketempat mereka. Dan begitulah mulanja.
Aku mendekat kepada rakjat djelata, karena aku melihat diriku sendiri didalam orang-orang jang melarat ini.
Seperti dipagi jang berhudjan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri disudut beranda jang ketjil itu.
Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku ! Aku merindukan pulau Djawa, aku merindukan kawan-kawan untuk
mentjintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu jang dirampas dariku. Selagi duduk disana aku melihat
seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah-kujup. Tiba-tiba ia menggigil. Kukira belas-kasihku meliputi
seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun badanku kering,
aku serta-merta merasa basah-kujup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan
tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang jang miskin — baik dia miskin harta maupun
miskin dalam djiwanja.
Disamping kekosongan kerdja, kesepian dan ketiadaan kawan aku djuga menderita suasana tertekan jang
hebat sekali. Flores adalah puntjak penganiajaan pada hari-hari pertama itu. Aku memerlukan suatu
pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnja aku mulai menulis tjerita sandiwara.
Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah.
Karjaku jang pertama didjiwai oleh Frankenstein, bernama ,,Dr. Setan". Peran utama adalah seorang tokoh
Boris Karloff Indonesia jang menghidupkan majat dengan memindahkan hati dari orang jang hidup. Seperti
semua karjaku jang lain, tjerita ini membawakan suatu moral. Pesan jang tersembunji didalamnja adalah,
bahwa tubuh Indonesia jang sudah tidak bernjawa dapat bangkit dan hidup lagi.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 73 dari 109
Aku menjusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau jang mempunjai air tiga
warna di Pulau Bunga. Aku mendjadi direkturnja. Setiap tjerita dilatih malam hari selama dua minggu
dibawah pohon kaju, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanja mempunjai satu naskah, karena itu aku
membatjakan setiap peran dan para pemainku jang bermain setjara sukarela mengingatnja dengan
mengulang-ulang. Kalau orang dalam keadaan ketjewa, betapapun besarnja rintangan akan dapat
disingkirkannja. Inilah satu-satunja napas kehidupanku. Aku harus mendjaganja supaja ia hidup terus. Kalau
salah seorang tidak dapat memainkan perannja dengan baik, aku melatihnja sampai djauh malam. Aku
malahan berbaring berkalikali dilantai untuk memberi tjontoh kepada Ali Pambe, seorang montir mobil,
bagaimana memerankan dengan baik seseorang jang mati.
Untuk melatih anggota-anggota sehingga mentjapai hasil baik sungguh banjak kesukaran jang harus
ditempuh. Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan djurubahasa dari bahasa Endeh kebahasa Indonesia.
Tetapi Ali butahuruf. lidah Indonesianja masih kaku. Karena itu aku harus mengadjarnja dulu berbahasa
Indonesia sebelum aku dapat mengadjarkan perannja.
Perkumpulan semua terdiri dari laki-laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Tjukup aneh,
di Pulau Bunga jang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah— bernama Keo — dimana sampai
sekarang anak-anak gadis diizinkan mengadakan hubungan djasmaniah dengan laki-laki. Dan jang paling baik
diantara mereka — paling pandai dalam memuaskan laki-laki — itulah jang paling diidamkan untuk
perkawinan. Dalam umur dua-puluhan gadis-gadis ini adalah jang kuberi istilah ,,djenis Afrika-jang-belumberadab,
liar dan tidak dapat didjinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua. Dalam umur
tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia empatpuluh ia adalah Amerika —
unggul dan djagoan. Sampai pada umur limapuluh tabun ia menjamai Eropa— laju dan berdjatuhan.
Lepas dari persamaan setjara ilmu bumi jang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang
peranan diatas panggung. bahkan djuga tidak nenek-nenek jang sudah berumur enampuluh tahun jang
mengingatkanku pada benua Australia — djustru terlalu djauh dari djalan jang ditempuh ! Alasan jang
pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bajangan. Jang kedua, wanita ini takut kepadaku. Dari
itu, aku memetjahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia
dimainkan oleh laki-laki.
Aku sendiri menjewa sebuah gudang dari geredja dan menjulapnja mendjadi gedung kesenian. Aku sendiri
jang mendjual kartjisnja. Setiap pertundjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain dihadapan 500
penonton. Ini adalah suatu kedjadian besar dalam masjarakat disana. Orang-orang Belanda djuga membeli
kartjis. Hasilnja dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami.
Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia
terlihat seperti hutan atau istana atau apa sadja jang hendak kami lukiskan. Aku membuat pita-pita reklame
dari kertas dan menggantungkannja ditempat-tempat umum seperti pasarmalam. Aku membuat alat dan
perabot kami. Aku melatih dua orang laki-laki dan dua wanita untuk menjanjikan kerontjong— lagu-lagu
gembira — jang diperdengarkan didalam waktu istirahat. Dan aku bersjukur atas usaha ini semua. Ia
memberikan keasjikan padaku. Ia mengisi detik-detik jang suram ini.
Setelah tiap kali pertundjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ja, aku bekerdja keras sekali untuk
menjelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menjenangkan hati pemain-pemainnja. Ini besar artinja bagiku.
Tidak ada jang dapat menghalang-halangiku bertindak. Aku mendjadi seorang penjelundup terkenal dan
berpengalaman dan aku djuga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelajaran antarpulau
awak kapalnja adalah orang-orang Indonesia dan semua mereka mendjadi simpatisan. Ketika terdengar
bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi setjara pribadi menjelundupkan satu untukku dalam
pelajaran selandjutnja. Tidak ada kesukaran dalam hal ini.
Disuatu pagi jang saju turunlah dari sebuah kapal jang akan menudju Surabaja seorang stokar berbadan
tegap lagi kekar. Ia datang kepadaku didermaga jang penuh-sesak, seperti biasanja kalau kapal datang.
Dengan diam-diam dia membisikkan kepadaku, ,,Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menjelundupkan
Bung Karno. Tidak ada orang jang akan tahu."
,,Terimakasih, saudara. Lebih baik djangan," aku memandang kepadanja dengan perasaan terirnakasih.
,,Memang seringkali terbuka djalan seperti jang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran menggoda,
untak lari setjara diam-diam dan kembaili bekerdja bagi rakjat kita."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 74 dari 109
,,Kalau begitu mengapa tidak ditjoba sadja ?" ia mendesak. ,,Kami akan sembunjikan Bung Karno dan memb
awa Bung ke tempat kawan-kawan. Kami djamin selamat."
,,Kalau saja lari, ini hanja saja lakukan untuk memperdjoangkan kemerdekaan. Begitu saja mulai bekerdja,
saja akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Djadi tidak ada gunanja."
,,Apakah Bung Karno tidak bisa bekerdja setjara rahasia ?"
,,Itu bukan tjaranja Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang diatas. Dengan tetap tinggal disini rakjat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnja djuga menderita untuk tjita-tjita. Saja telah memikirkan
budjukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk-baiknja. Nampaknja lebih baik bagi Sukarno untuk
tetap mendjadi lambang daripada pengorbanan menudju tjita-tjita."
,,Sekiranja disuatu saat berobah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami."
Aku merangkul kawanku itu kedadaku dan tanpa ragu-ragu mentjiumnja pada kedua belah pipinja.
,,Terimakasih, disatu masa kita semua akan merdeka, begitupun saja."
,,Bung betul-betul jakin ?" stokar itu bertanja.
Djawabanku chas menurut tjara Djawa. Aku mendjawab dengan kiasan. ,,Kalau ada asap dibelakang kapal
ini, tentu ada apinja. Kejakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal.'llmu'ljakin. Kalau saja berdjalan
dibelakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka kejakinanku berdasarkan
penglihatan.'Ainu'Ijakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saja salah. Kalau saja memasukkan tangan saja
kedalam api itu dan tangan saja hangus, maka ini adalah kejakinan jang sungguh-sungguh berdasarkan
kebenaran jang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku'ljakin inilah saja memahami, bahwa kita akan
merdeka.
,,Belanda berbaris berdampingan dengan kedju dan mentega, sedang kita berbaris bersama-sama dengan
mataharinja sedjarah. Disatu hari, betapapun djuga, kita akan menang. Dalam fadjar itu, saudara, saja tidak
akan lari dengan diam-diam, akan tetapi saja akan berpawai keluar dari sini dengan kepala jang tegak."
Dikurangi dengan padjak, maka hasilku dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar
seminggu. Kemari kami karenanja sering kosong. Karena itu aku mentjari uang tambahan dengan
mendjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap
barang jang kudjualkan. Dengan mendjadjakannja dari rumah kerumah membawa tjontoh, aku berkata,
,,Njonja, harga saja lebih murah dari toko-toko disini. Apa njonja mau memesan sama saja ?"
Kemudian kukirim poswisel ketoko ini dan setelah selang boberapa kapal kain itu datang. Lamanja sampai
berbulan-bulan, akan tetapi satu hal jang ada padaku, jaitu waktu. Apa perlunja aku tjepat-tiepat ? Aku
malahan mendapat bagian jang ketjil dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat harga rahasia
antara kami berdua. Berapa lebih jang dia peroleh itu mendjadi bagiannja. Dengan djalan begini dia
mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknja djangan ada diantara kawan-kawanku di Djawa jang membanggakan diri, bahwa dia terusmenerus
membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa ini. Ja, mungkin ada satudua,
akan tetapi djarang sekali. Kalaupun ada kiriman jang datang, aku segera meneruskan sebagian besar dari
isinja kepada kawan-kawan jang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan djuga kalau aku memperoleh sisa
uang boberapa rupiah.
Sekalipun kami hanja punja uang sedikit, kami berhasil mentjukupi diri sendiri. Aku orang jang sederhana.
Kebutuhanku sederhana. Misalnja, aku tidak minum susu atau minuman lain jang datang dari luarnegeri, pun
tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sajur, buah-buahan, terkadang
ajam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sajuran diambil dari jang kutanam dipekarangan samping
rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelajan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, djuga untuk menikmati kesenangan jang ketjil-ketjil. Aku dibolehkan pergi
ketepi pantai untuk menjaksikan kawan-kawanku para nelajan, akan tetapi tidak boleh naik perahu untuk
berbitjara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku djuga boleh berkeliaran dalam
batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap sadja, aku djadi sasaran hakuman.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 75 dari 109
Dikota ini ada delapan orang polisi, djadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu.
Disamping itu, hanja mereka jang memakai sepeda hitam dengan merek ,,Hima". Jang terlalu djelas adalah
bahwa mereka berada pada djarak jang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda jang misterius
selalu berada pada djarak 60 meter dibelakangku, maka tahulah aku.
Aku teringat disuatu sore ketika seorang ,,preman" membuntutiku didjalan-raja jang djuga didjalani oleh
angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah panggung dan menudju kesungai.
Djalan menudju kesitu pendek, djadi dia lalu mendajung mengembus-ngembus hampir bahu-membahu
denganku. Pada waktu dia berhenti disana untuk mendjalankan mata-mata, dua ekor andjing melompat
padanja sambil menjalak dan menggeram-geram. Pemaksa hukum jang tinggi kedjam ini karena kagetnja
memandjat keatas sepedanja dan berdiri diatas tempat duduk dengan kedua belah tangannja berpegang erat
kepohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor diwaktu itu, namun pemandangan ini lebih
menjegarkan badanku daripada air sungai jang sedjuk.
Setelah itu aku memprotes kepada kepalanja, ,,Saja tidak peduli apakah anak-buah tuan 'setjara rahasia'
membajangi saja, akan tetapi saja tidak ingin dia terlalu dekat."
Orang itu menjampaikan penjesalannja. ,,Ma'af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanja untuk
tetap berada dalam djarak 60 meter."
Aku berada dalam pengawasan tetap. Disuatu sore aku mengadjar sekelompok pemuda menjanjikan lagu
kebangsaan ,,Indonesia Raya". Karena ia terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat diluar
rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anak-anak ini. Masih sadja
ada orang jang melaporkan kedjahatan jang sungguh-sungguh ini.
Saudara dari Radja lalu diperintahkan untuk memperoleh kepastian, kedjahatan apa jang telah dilakukan
oleh Sukarno dengan tindakan pengkhianatannja merusak anak-anak dibawah umur. Dengan patuh dia
menjuarakan akibat psychologis terhadap penduduk preman. Djawabnja adalah, ,,Tidak ada samasekali.
Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia Raya'."
Sekalipun demikian, aku dipanggil kekantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F5,-—jaitu dua dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Disinilah aku mendengar,
bahwa Pak Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit keras, aku
menulis surat kepadanja, ,,Bapak, sebagai patriot besar jang menghimpun rakjat kita dalam perdjoangan
untuk kemerdekaan, tidak akan kami lupakan untuk selama-lamanja. Saja mendo'akan agar bapak segera
sembuh kembali." Berminggu-minggu kemudian, ketika kapal datang membawa suratkabar kami,
disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan
surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku jang tertjinta itu.
Djuga terdjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahjul. Selamanja aku pertjaja pada hari
baik dan hari nahas, aku pertjaja pada djimat jang membawa rahmat dan djimat jang mempunjai pengaruh
djahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk tjintjin pakai batu. Dalam batu itu terlihat lobang
berisi tjairan hitarn jang tidak pernah tenggelam. Seperti bidji ketjil jang mengapung dan selalu berada
diatas. Seorang pengagum memberikan benda jang aneh ini kepadaku dengan utjapan, ,,Sukarno, semoga
engkau tetap berada diatas seperti bidji jang mengapung ini." Ia dinodai oleh kekuatan guna-guna, tapi aku
mempertjajainja. Diwaktu itu aku mempertjajai apa sadja, karena aku memerlukan segala kekuatan jang
bisa kuperoleh.
,,Djangan lupa, Sukarno," katanja, ,,Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung."
Baiklah, aku pertjaja. Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu pertjaja lagi
kepadanja. Demikianlah, ketika kujakinkan pada diriku sendiri, kepertjajaan jang kegila-gilaan ini harus
dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, ,,Engkau sudah melihat, penjakit tahjul jang djahat, akan tetapi
mengapa engkau tidak pernah makan dipiring retak, oleh karena engkau pertjaja bahwa bentjana akan
menimpamu kalau engkau melakukannja ?"
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku sengadja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena
pikiran sudah tjukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepertjajaan jang kuat ini.
Akan tetapi kuletakkan djuga piring itu diatas medja dan memandangnja. Kemudian aku berpidato kepada
piring jang gandjil ini jang begitu berkuasa terhadap djiwaku. Kataku, ,,Hei engkau ............... engkau
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 76 dari 109
barang jang mati, tidak bernjawa dan dungu. Engkau tidak punja kuasa untuk menentukan nasibku.
Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu."
Beginilah tjaranja aku mengatasi tiap-tiap rasa takut jang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut ini
dengan tenang dan sedjak itu tidak takut lagi.
Aaaah, masih sadja batu itu ada padaku. Aku sangat ingin mempunjai keberanian untuk melepaskan
pembawa untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah
mendjadi sedjarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punja uang, sedangkan ini adalah harta jang senantiasa
diperlukannja. Sampai kini keadaannja sama sadja. Keadaanku sangat melarat ketika aku berkenalan dengan
seorang saudagar kopra jang makmur dikota itu. Aku memutuskan untuk mendjual pembawa untung jang
besar ini kepadanja.
Dan sebagai pendjual jang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan jang muluk-muluk.
,,Tjoba lihat," kataku mengadu untung, ,,Saja punja barang jang susah didapat. Orang akan selalu beruntung
besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanja ada satu-satunja. Tidak ada duanja didunia."
Kebetulan utjapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanjak mungkin dari dia.
Kemudian aku menekan gas jang terachir, ,,Dengarlah, begini. Saudara saja lihat adalah orang jang
mempunjai sifat-sifat baik, maka dari itu saja menawarkan suatu kesempatan jang sangat istimewa. Kalau
saudara menjerahkan seratus limapuluh rupiah, jang tidak berarti bagi saudara, saja akan berikan batu ini."
,,Setudju," teriaknja dan segera mengadakan pertukaran. Tjaraku melakukan djual-beli begitu berhasil,
sehingga ia betul-betul takut aku akan merobah pendirian lagi.
Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku jang terachir itu, benda pembawa untung dan terdjamin
kekuatannja. Tidakkah aku harus berienma-kasih kepada Puilau Bunga, karena aku dibebaskan dari belenggu
tahjul ?
Di Endeh jang terpentjil dan membosankan itu banjak waktuku teriuang untuk berpikir. Didepan rumahku
tumbuh sebatang pohon keluih. Djam demi djam aku lalu duduk bersandar disitu, berharap dan berkehendak.
Dibawah dahan-dahannja aku mendo'a dan memikirkan akan suatu hari ............... suatu hari ...............
Ia adalah perasaan jang sama seperti jang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan menggetarnja
setiap djaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan kejakinanku, bahwa bagaimanapun djuga —
disuatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanja patriotisme jang berkobar-kobarlah dan jang masih
tetap membakar panas dadaku didalam, jang menjebabkan aku terus hidup.
Inggit selamanja menjakinkan padaku, bahwa dia merasakan didalam tuiang-tuiangnja aku disatu hari akan
mendjadi orang jang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannja. Aku tidak pernah
berbitjara tentang masa depan, aku hanja memikirkannja. Pada setiap djam aku dalam keadaan bangun aku
memikirkannja.
Kukira, selama tiga setengah abad dibawah pendjadjahan Belanda dunia-iuar hanja satu kali mendengar
tentang negeri kami. Ditahun 1883 Rakata, gunung kami jang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan batu,
kerikil dan abu menempuh orbit jang mengelilingi bumi selama bertahun-tahun. Lama setelah itu, ketika
langit di Eropah mendjadi merah, orang menundjuk kepada gunung Rakata. Ini sama halnja denganku. Aku
telah membikin ribut-ribut dan sekarang aku disuruh diam.
Ketika sekawanan kutjing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku
lalu berdjalan-djalan kedalam hutan. Aku mentjari tempat jang tenang dimana angin mendesirkan daundaunan
bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti njanjian nina-bobok ditelingaku. Ialah
njanjian dari pulau Djawaku jang tertjinta.
Tempat pelarian menjendiri jang kugemari adalah dibawah pohon sukun jang menghadap kelaut. Sukun,
sedjenis buah-buahan seperti avocado, adalah sematjam buah jang kalau dikupas, diiris pandjang-pandjang
seperti ketimun, rasanja menjerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat
pekerdjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Jang Maha Pentjipta dalam tunas
jang berketjambah dikulit kaju jang keabu-abuan itu.Aku melihat Wishnu Jang Maha Pelindung dalam buah
jang londjong berwarna hidjau. Aku melihat Shiwa Jang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati jang gugur
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 77 dari 109
dari batangnja jang besar. Dan aku merasakan djaringan-djaringan jang sudah tua dalam badanku mendjadi
rontok dan mati didalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penjakit kepala dan merasa tidak sehat samasekali. Tapi setiap pagi aku masih
merangkak keluar tempattidur untuk duduk-duduk dibawah pohon sukun djauh dari rumah. Pohon sukun itu
berdiri diatas sebuah bukit ketjil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan kelaut lepas tiada jang
menghalangi, dengan langit biru jang tak ada batasnja dan mega putih jang menggelembung dan dimana
sesekali seekor kambing jang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun djam
demi djam.
Terkadang terasa udara jang dingin ditepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin,
sedang keadaan udara tidak dingin samasekali. Tapi masih sadja aku duduk disana. Suatu kekuatan gaib
menjeretku ketempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnja jang besar memukul pantai dengan
pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinja. Pasang naik dan pasang
surut, namun ia terus menggelora setjara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi
kami tidak mempunjai titik batasnja. Revolusi kami, seperti djuga samudra luas, adalah hasil tjiptaan Tuhan,
satu-satunja Maha-Penjebab dan Maha Pentjipta. Dan aku tahu diwaktu itu ............... aku harus tahu
sekarang ............... bahwa semua tjiptaan dari Jang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah-airku,
berada dibawah aturan hukum dari Jang Maha Ada.
Disuatu hari aku tidak mempunjai kekuatan untuk duduk dibawah pohon itu seperti biasanja. Aku tak dapat
bangun dari tempat-tidur.
Jaitu dihari dokter menjampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.
Bab 16
Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Djakarta, bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin lalu mengadjukan
protes dalam Dewan Rakjat. Katanja, ,,Pemerintah harus bertanggung-djawab atas keselamatan diri
Sukarno. Dia harus dipindahkan kenegeri jang lebih besar dan lebih sehat, dan keadaannja hendaklah
mendapat perhatian jang lebih besar."
,,Kita harus mentjari lebih dulu tempat lain dimana rakjatnja tidak berpolitik," djawab ketua berlindung.
,,Ja, ja, dan jang djuga primitif dan terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan. Ja, saja
mengetahui semua itu. Akan tetapi saja memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata Sukarno mati,
maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang jang bertanggung-djawab atas
pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit pajah. Hidup-matinja sekarang terletak
ditangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan setjepat mungkin."
Den Haag serta-merta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui disuatu malam seminggu kemudian. Aku sedang
berbaring dengan tenang dirumah ketika Darham, tukang djahit, tiba-tiba masuk dengan tjepat. la terengahengah
karena berlari.
,,Saja baru dari toko De Leeuw", katanja dengan napas turun-naik.
,,Toko rempah-rempah itu dari sini ada satu kilometer djauhnja. Kau berlari sedjauh itu ?" tanjaku.
,,Ja," katanja masih terengah. ,,Bung Karno tentu tahu, toko itu kepunjaan Lie Siang Tek saudagar kopra
jang sangat kaja."
,,Ja, ja," djawabku hendak mengetahui persoalannja, ,,tapi apa hubungannja sampai engkau berlari-lari
kesini ?"
,,Orangnja tjukup kaja untuk dapat memiliki radio," Darham melandjutkan tanpa menghiraukan ketidaksabaranku.
,,Tadi djam setengah delapan, sewaktu berbelandja, saja mendengar berita radio jang
menjatakan bahwa Ir. Sukarno akan dipindahkan ketempat lain."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 78 dari 109
Kudengarkan berita itu dengan tenang. Sesungguhnja aku terdiam sebentar oleh karena bersjukur kepada
Tuhan. Kemudian kutanjakan dengan segala ketenangan hati, ,,Kemana katanja ?"
,,Bengkulu."
,,Di Sumatera Selatan ?"
,,Ja."
,,Apakah disebutkan kapan ?"
,,Tidak, hanja itu jang diumumkan."
Ini terdjadi dibulan Februari 1938. Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga.
Disaat kami meninggalkan Endeh banjak orang datang untuk melepasku. Ada jang datang untuk
mengutjapkan selamat djalan. Ada lagi jang mendo'akanku jang tidak baik. Jang lain lagi hanja sekedar
untuk melihat-lihat sadja. Beberapa diantaranja malahan meminta untuk bisa ikut. Salah seorang dari
mereka adalah pelajan kami. Selama dalam perdjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang tidur dilantai
dekat tempat-tidurku dan selalu berada disitu seperti seekor andjing jang memperlihatkan kesetiaannja.
Jang seorang lagi adalah Darham jang tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemedja dan sepasang pijama
berwarna kuning-gading sebagai hadiah perpisahan, tapi kemudian diapun berlajar bersama-sama dengan
kami.
Belanda berusaha sebaik-baiknja mengelabui saat kedatangan kami, karena takut rakjat akan datang
beramai-ramai. Dalam siaran radio diberitakan, bahwa kedatangan kami diharapkan djam empat sore,
sedangkan dipagi hari itu sesungguhnja kami sudah sampai. Surabaja, pelabuhan jang biasa ramai, masih sepi
seperti dikesunjian malam ketika kapal kami menurunkan sauh. Polisi menutup daerah tjerotjok, sehingga
rakjat tidak dibolehkan berada didaerah sekitar itu. Ketika aku memidjakkan kaki keanak-tangga jang paling
bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas pandjang jang pertama dari negeri kelahiranku jang
tertjinta, pintu dari kendaraan jang telah menunggu terbuka dan aku dimasukkan kedalam. Aku dilarikan
dengan keretaapi malam menudju Merak, negeri jang paling udjung di Djawa Barat. Disana, dengan setjara
tjepat dan diam-diam, aku ditolakkan keatas kapal dagang menudju Bengkulu.
Bengkulu adalah negeri jang bergunung-gunung dilingkungi oleh Bukit Barisan dan merupakan kota pedagang
ketjil dan pemilik perkebunan ketjil. Disamping kembang raksasanja, Raflesia Arnoldi jang lebarnja sampai
tiga kaki, negeri ini tidak mempunjai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan.
Daerah jang merupakan benteng Islam itu masih sangat kolot. Wanitanja menutupi badannja dengan rapi.
Mereka djarang menemani suaminja. Pada waktu aku pertama menghadiri pertemuan kekeluargaan, aku
bertanja, ,,Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dari laki-laki ?" Tidak seorang djuga jang
mendjawab, karena itu aku menjingkirkan penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir memisahkanku
dari penduduk kota itu.
Mesdjid kami keadaannja kotor, kolot dan tua. Aku kemudian membuat rentjana sebuah mesdjid dengan
tiang-tiang jang tiantik, dengan ukiran timbul sederhana dan pagar tembok putih jang tidak ruwet dan
kubudjuk mereka untuk mendirikannja. Orang tua-tua dikota itu tidak suka kepada orang jang menginginkan
perobahan. Keluarlah utjapan-utjapan jang tidak enak diantara kami dan pada permulaan aku membuat
musuh. Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama karena aku begitu haus akan kawan.
Polisi keamanan tetap mengawasi rumahku siang-malam. Setiap tamu ditjatat namanja, esok harinja
dipanggil menghadap untuk ditanjai, kemudian dibajangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu heberanian
untuk dapat memperlihatkan keramahan pada Sukarno. Kawanku jang satu-satunja adalah seorang kepala
sekolah rakjat jang seringkali datang meskipun tahu bahwa ia ditandai oleh Pemerintah,— dan membawa
seorang anak gadis tjilik jang selalu kupeluk diatas pangkuanku.
Aku tak pernah melupakan keramahannja ini. Pada waktu aku sudah mendjadi Presiden, kepadanja
kutanjakan, ,,Apa jang dapat saja lakukan untuk saudara ? Katakanlah keinginan saudara." Temanku sedang
mendekati adjalnja, tapi djawabnja hanja, ,,Tolonglah keluarga saja kalau saja pergi. Lindungilah anak gadis
saja." Pesannja ini kupenuhi sebaik-baiknja. Aku bahkan mentjarikan suami buat anaknja.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 79 dari 109
Banjak baji jang dulu pernah kutimang diatas pangkuanku sekarang sudah mendjadi wanita-wanita tjantik
dan kemudian orangtuanja datang kepadaku memohon, ,,Tolonglah, Pak, tolong pilihkan djodoh buat anak
saja." Aku telah mentjarikan isteri Hatta untuknja. Aku mentjarikan isteri kawanku Rooseno untuknja.
Sekarang aku rnempunjai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satusatunja Kepala Negara
jang djuga mendjadi tjalo dalam mengatur perkawinan, kukira.
Kebetulan dalam masa-masa itu perkawinanku sendiripun perlu diatur kembali. Kemungkinan disebabkan
oleh tjara hidup orang Indonesia jang merasa tidak sernpurna kalau tidak memperoleh keturunan dari
perkawinannja. Malahan kebanjakan dari orang Indonesia jang beristeri satu, anaknja segerobak. Setiap
tahun djumlah djiwa kami bertambah dengan dua djuta lebih. Barangkali tidak ada hal lain jang dapat
diperbuat oleh rakjat kami jang miskin. Barangkali djuga karena kami adalah bangsa jang bernafsu besar dan
berdarah panas, dan mengisi malam-rnalam kami jang panas itu dengan berkasih-kasihan. Pada suatu kali
Djendral Romulo menjatakan, ,,Saja kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah bangsa jang paling
bagus.'' Djawabku, ,,Mungkin djuga, akan tetapi diantaranja orang Indonesialah jang paling bernafsu !"
Diantara kami terdapat keluarga jang mempunjai 11, 13, 18 orang anak. Saudara perempuan bapakku
melahirkan 23. Setiap orang mempunjai anak. Setiap orang, ketjuali Sukarno. Inggit tidak dapat melahirkan,
karena itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku tetap dalam keadaan kosong. Kehendakku belum
terpenuhi. Sudah hampir 20 tahun kami kawin. Namun masih belum memperoleh seorang putera. Terasa
olehku, bahwa selama ini sudah begitu banjak kebahagiaan jang telah dirampas dari diriku ...............
Mengapa keinginan inipun harus didjauhkan pula ?
Ketika perasaan jang menekan ini mulai memukul-mukul dadaku selama 24 djam dalam sehari, kutjoba
menghilangkannja dengan merapati anak-anak pada setiap kesempatan jang kuperoleh. Di Pulau Bunga aku
mengambil dua orang anak angkat lagi—Sukarti, anak seorang pegawai berasal dari Djawa dan Jumir, anak
keluarga djauh Inggit, jang pada waktu sekarang sudah mempunjai enam orang anak. Di Bengkulu aku
memperlakukan anak orang lain seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo, mempunjai
seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Berdjam-djam lamanja aku menghabiskan waktu bersama-sama
dengan Ahmad ini. Kalau ada anak Belanda meludahinja, akulah jang mengeringkan air-matanja dan
menguatkan hatinja dengan kata-kata, ,,Ahmad, negeri ini kita punja. Disatu waktu kita djadi tuan dinegeri
kita sendiri. Disatu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan kita, bukan menurut jang diperintahkan
kepada kita. Djangan kuatir."
Kemudian aku mendjadi seorang pendidik. Ketua Muhammadijah setempat, Pak Hassan Din, datang disuatu
pagi dengan tidak memberi tahu lebih dulu, seperti jang telah mendjadi kebiasaan kami. ,,Disini," ia
memulai, ,,Muhammadijah menjelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru.
Selama di Endeh kami tahu Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan 'Persatuan Islam' di
Bandung dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru jang tjerdas itu. Apakah Bung
bersedia pula membantu kami sebagai guru ?"
,,Saja menganggap permintaan ini sebagai rahmat," djawabku.
,,Tapi ............... ingatlah ............... djangan membitjarakan soal politik."
,,Ah, tidak," aku tersenjum menjeringai, ,,hanja saja akan menjinggung tentang Nabi Besar Muhammad jang
selalu mengadjarkan ketjintaan terhadap tanah-air."
Dalam kelasku terdapat Fatmawati, puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti ,,Teratai".Wati": ,,kepunjaan".
Rambutnja jang seperti sutera dibelah ditengah dan mendjurai kebelakang berdjalin dua. Fatmawati berasal
dari keluarga biasa di Tjurup, sebuah kampung beberapa kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih muda dari
Ratna Djuami. Dan ketika ia mengikuti Ratna Djuami memasuki sekolah rumah tangga di Bengkulu— jang
merupakan sekolah tertinggi jang ada didaerah itu — ia mentjari tempat tinggal. Dengan senang hati aku
menjambutnja sebagai anggota keluarga kami.
Aku senang terhadap Fatmawati. Kuadjar dia main bulutangkis. Ia berdjalan-djalan denganku sepandjang
tepi pantai jang berpasir dan, sementara alunan ombak jang berbuih putih memukul-mukul kaki, kami
mempersoalkan kehidupan atau mempersoalkan Ketuhanan dan agama Islam. Dalam kesempatan jang
demikian itulah ia menanjakan, ,,Mengapa orang Islam dibolehkan mempunjai isteri lebih dari satu ?"
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 80 dari 109
,,Ditahun 650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannja terhadap orang
Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganja sendiri," djawabku. ,,Sembojan jang dipakai didjaman
itu 'Pedang disatu tangan dan Al Quran ditangan jang lain'. Diantara laki-laki banjak terdapat korban."
,,Ini berarti banjak djanda," kata Fatmawati pelahan-lahan.
,,Pasti," kataku, ,,Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan
diantara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahju dari Tuhan jang mengizinkan laki-laki mempunjai isteri
sampai empat orang agar tertjapai suasana jang tenang. Tapi di Bali orang mendjalankan poligami jang tidak
terbatas. Seorang pangeran jang sudah berumur 76 tahun belum lama ini miengawin; isterinja jang ke-36.
Umurnja 16."
,,Usia jang tjotjok untuk perkawinan," kata Fatmawati jang berumur limabelas setengah tahun
mengemukakan pendapatnja.
Di Bante Pandjang arusnja didalam deras sekali dan banjak terdapat ikan ju. Orang tidak dibolehkan
berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu-karang jang bersegi-tiga jang merupakan kolam. Pada waktu
kami mengarunginja ia bertanja, ,,Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan ?"
,,Sebaliknja, adjaran Nabi menaikkan deradjat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan seperti
dalam neraka. Orang tua menguburkan anak-anak gadis hidup-hidup oleh karena dianggap tidak penting.
Laki-laki hanja menjerahkan mas-kawin kepada sibapak dan membeli anak gadisnja untuk didjadikan isteri.
Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang mendjadi
teman-hidup jang sama kedudukannja dalam perkawinan.
,,Hukum perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banjak djumlah perempuan
daripada laki-laki. Perempuan jang kelebihan ini berhak atas kehidupan perkawinan, karena itu Islam
memberi kesempatan kepada mereka untuk mendjadi isteri-isteri jang sjah dan terhormat dalam
masjarakat. Akan tetapi di Tibet, dimana laki-laki lebih banjak daripada perempuan, mereka
mempraktekkan polyandri. Inilah bukti penjesuaian hukum agama dengan hukum masjarakat di Timur."
,,Bagaimana orang Barat mengatasinja ?",,Seringkali orang Barat mempunjai njai. Kerugiannja, anak-anak
jang mereka peroleh disingkirkan dimasjarakat atau ditutup-tutup atau mendapat nama jang djelek seumur
hidupnja. Dalam masjarakat kita anak dari isteri kedua dan selandjutnja mendapat kedudukan jang baik dan
dihormati dalam masjarakat."
Fatmawati bungkem sambil berdjalan sepandjang pantai, kemudian bertanja, ,,Perlukah seorang Islam
mendapat persetudjuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri jang kedua ?"
,,Tidak wadjib. Hal ini tidak disebut-sebut dalam Quran. Ini ditambahkan kemudian dalam Fiqh,
..............."
,,............... hukum-hukum jang ditambah oleh manusia ditahun-tahun 700 dan 800-an jang, menurut
pertimbangan akal, didasarkan pada A1 Quran dan Hadith, jaitu qijas."
,,Benar" kataku tersenjum kepada muridku jang ketjil itu lagi tjerdas.
Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang tjerdik-pandai dari
kampung. Orang datang, kepadaku untuk minta nasehat. Seperti misalnja persoalan kerbau kepunjaan
seorang Marhaen jang dituntut oleh seorang pegawai. Marhaen. itu mendjadi hampir putus asa, karena
kerbau ini sangat besar artinja baginja. Ia datang padaku sebagai ,,Dukun"-nja. Aku menasehatkan
kepadanja, ,,Adjukan persoalan ini kepengadilan dan saja akan mendo'akan.'' Tiga hari kemudian kerbau itu
kembali.
Ada lagi perempuan jang datang menangis-nangis kepadaku, ,,Saja sudah tudjuh bulan tidak haid."
,,Apa jang dapat saja lakukan ? Saja bukan dokter," kataku.
,,Bapak menolong semua orang. Bapak adalah djuruselamat kami. Saja pertjaja kepada bapak dan saja
merasa sangat sakit. Tolonglah ............... tolonglah ............... tolonglah saja."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 81 dari 109
Kepertjajaannja kepadaku luarbiasa, dan aku tidak dapat berbuat sesuatu jang akan menimbulkan
keketjewaannja. Karena itu kubatjakan untuknja Surah pertama dari Quran ditambah dengan do'a jang
maksudnja sama dengan 'Bapak kami jang ada disorga'. Kemudian perempuan itu sembuh dari penjakitnja.
Tetanggaku, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Dia jakin, bahwa dengan mengemukakan
persoalannja itu kepadaku, bagaimanapun djuga akan dapat dipetjahkan. Memang ia benar. Aku keluar dan
menggadaikan badjuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen jang diperlukannja.
Djadi dimata orang kampung jang bersahadja itu lambat-laun aku dipandang seperti Dewa. Apa jang
ditundjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemudjaan kepahlawanan. Umurku lebih dari 20 tahun
daripadanja dan ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnja. Bagiku ia hanja seorang anak jang
menjenangkan, salah-seorang dari begitu banjak anak-anak jang mengelilingiku untuk menghilangkan
kesepian jang djadi melarut dalam hatiku. Jang kuberikan kepadanja adalah kasih-sajang seorang bapak.
Inggit tidak melihat hal itu dengan tjara jang demikian. Kami mempunjai radio dikamar belakang. Disuatu
malam kawan-kawan mendengarkannja bersama-sama kami. Fatmawatipun datang mendengarkan. Ada
tempat kosong disebelahku diatas divan, djadi ia duduk dekatku. Malam itu djuga Inggit menjatakan, ,,Aku
merasakan ada pertjintaan sedang menjala dirumah ini. Djangan tjoba-tjoba menjembunjikan. Seseorang
tidak bisa membohong dengan sorotan matanja jang rnenjinar, kalau ada orang lain mendekat."
,,Djangan begitu," djawabku dengan bernafsu. ,,Dia itu tidak ubahnja seperti anakku sendiri."
,,Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki-laki. Anak-anak gadis menurut kebiasaan
lebih rapat kepada siibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Sukarno, supaja mendudukkan hal ini menurut
tjara jang sepantasnja."
Maka terdjadilah, kalau ada pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit selalu
memihak kepada anak jang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak mau berdiri difihaknja.
Lalu mendjulanglah suatu dinding pemisah jang tidak terlihat, antara kami, dan aku didesak memihak
kepada Fatmawati.
Setelah dua tahun ia pindah kerumah neneknja tidak djauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih sadja
dalam satu lingkungan, karena bibinja kawin dengan kemenakanku dan adanja pesta-pesta, kemudian
berkumpul bersama-sama dihari libur dan sebagainja.
Tahun herganti tahun dan Fatmawati tidak lagi anak-anak. Ia sudah mendjadi seorang perempuan tjantik.
Umurnja sudah 17 tahun dan terdengar kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia 53
tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia jang utama dalam kehidupan. Aku menginginkan
anak. lsteriku tidak dapat memberikannja kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi
memikirkan soal-soal jang demikian. Disuatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menjadari
bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku memerlukannja. Kemudian aku menjadari pula,
bahwa aku berbalik kembali kemasa duapuluh tahun jang silam. Kembali ketengah kantjah perdjoangan ituitu
djuga, perdjoangan antara baik dan djahat. Aku memikirkan tentang Ardjuna, pahlawan Mahabharata,
jang bertanja kepada Dewa, Batara Krishna, ,,Hai, dimana engkau ?" Maka Krishna mendiawab ,,Aku berada
didalam sang baju. Aku ada didalam air. Aku berada dibulan. Aku ada didalam sinarnja sang tjandra. Akupun
ada dalam senjumnja gadis jang menjebabkan engkau tergila-gila."
Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau didalam senjuman indah dari gadis tjantik itu terdapat pula
Tuhan apakah dengan mengagumi senjuman itu aku berdosa karena berbuat kedjahatan ? Tidak. Kalau
begitu, apabila aku mentjintai senjuman indah gadis tjantik itu, apabila senjum itu suatu pantjaran dari
Tuhan dan Dia mentjiptakan gadis tjantik itu sedangkan aku hanja mengagumi tjiptaanNja itu, mengapalah
dianggap dosa kalau aku memetiknja !
Sekali lagi, ini adalah peperangan kekal antara baik dan djahat, mentjoba memakan habis kesenangan ketjil
jang kuperoleh ditengah-tengah kekosongan dalam hidupku. Ketika berdjalan-djalan disuatu sore, Fatmawati
bertanja kepadaku, ,,Djenis perempuan mana jang Bapak sukai ?"
Aku memandang kepada gadis desa ini jang berpakaian badjukurung merah, dan berkerudung kuning
diselubungkan dengan sopan. ,,Saja menjukai perempuan dengan kasliannja. Bukan wanita modern pakai rok
pendek, badju ketat dan gintju bibir jang menjilaukan. Saja lebih menjukai wanita kolot jang setia mendjaga
suaminja dan senantiasa mengambilkan alas kakinja. Saja tidak menjukai wanita Amerika dari generasi baru,
jang saja dengar menjuruh suaminja mentjutji piring."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 82 dari 109
,,Saja setudju," dia membisikkan, mengintip kemalu-maluan padaku melalui bulu-mata jang merebah.
,,Dan saja menjukai perempuan jang merasa berbahagia dengan anak banjak. Saja sangat mentjintat anakanak."
,,Saja djuga," katanja.
Minggu berganti bulan dan bulanpun silih berganti, perasaan tjoba-tjoba dalam hati bersemi mendjadi kasih.
Walaupun bagaimana kutjoba sekuatku memadamkan hati muda jang sedang bergolak, karena rasa
penghargaan jang besar terhadap Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinja.
,,Ini semua kesalahanku," dia mengulangi berkali-kali ketika mengemukakan persoalan ini disuatu malam
jang tidak menjenangkan. ,,Inilah djadinja, kalau menaruh anak orang lain dirumah. Tapi aku tak pernah
membajangkan akan kedjadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri."
,,Aku sangat bersjukur mengenai kehidupan kita berdua," aku menerangkan. ,,Selama ini kau djadi tulangpunggungku
dan mendjadi tangan kananku selama separo dari umurku. Tapi bagaimanapun djuga, aku ingin
merasakan kegembiraan mempunjai anak. Terutama aku berdo'a, disatu hari untuk memperoleh anak lakilaki."
,,Dan aku tidak bisa beranak, itukah jang dimaksud ?"
,,Ja," aku mengakui.
,,Aku tidak bisa menerima isteri kedua. Aku minta tjerai."
Kami tahu, bukanlah dia jang menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan sendiri.
,,Aku tidak berrnaksud mentjeraikanmu,'' kataku.
,,Aku tidak memerlukan kasihanmu," bentaknja.
,,Tidak ada maksudku untuk menjingkirkanmu," aku melandjutkan, ,,Adalah keinginanku untuk
menempatkanmu dalam kedudukan jang paling atas dan keinginankulah supaja engkau tetap mendjadi isteri
jang pertama, djadi memegang segala kehormatan jang bersangkut dengan ini dalam kebiasaan kita,
sementara aku mendjalankan hukum agama dan hukum sipil dan mengambil isteri jang kedua untuk
melandjutkan keturunanku."
,,Tidak."
,,Untuk kawin lagi adalah suatu keharusan bagiku, akan tetapi aku mengadjukan satu usul. Sekalipun aku
tjinta terhadap Fatmawati, akan kulupakan dia kalau kaudapatkan perempuan lain jang menurut
perkiraanmu lebih tjotjok untukku. Tundjuklah seorang jang tidak seperti anak lagi dan dengan demikian
dapat membebaskanmu dari kebentjian jang kaurasakan sekarang."
Airmata menggenangi mataku pada waktu aku bersoal dengan dia. ,,Kalau sekiranja aku mendjalani hidup
jang normal dengan kegembiraan jang normal pula, mungkin aku dapat menerima kekosongan ini tanpa
keturunan. Akan tetapi aku tidak mengalami selain daripada kemiskinan dan kesukaran-kesukaran hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam usia 28 aku sudah disingkirkan. Duabelas tahun dari masa muda seorang
laki-laki kuhabiskan dalam kehidupan pengasingan. Di suatu tempat ............... dengan djalan apapun
............... tentu akan ada imbalannja. Kurasakan, bahwa aku tidak dapat menahankan djika jang inipun
dirampas dariku."
Ratna Djuami kembali ke Djawa untuk melandjutkan sekolahnja. Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian.
Hubungan kami tegang, akan tetapi ia kami landjutkan djuga. Aku tidak tahu apa jang harus diperbuat oleh
karena itu kutjari keasjikan dengan bekerdja. Aku mengerdjakan rentjana rumah untuk rakjat. Aku
mengadjar guru-guru Muhammadijah. Aku mengorganisir Seminar Alim-Ulama AntarPulau Sumatera-Djawa
dan berhasil mengemukakan kepada mereka rentjana memodernkan Islam.
Akupun menerima tjalon menantu dari Residen sebagai murid dalam peladjaran bahasa Djawa, karena dia
bekerdja sebagai asisten kebun disuatu perkebunan teh dan para pekerdjanja berasal dari Djawa. Dan di
Bengkulu hanja Sukarno jang menguasai bahasadaerah itu. Pemuda ini dan aku mendjadi sahabat karib.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 83 dari 109
Ketika Jimmy achirnja melangsungkan perkawinannja aku ditundjuknja untuk bertindak sebagai walinja,
akan tetapi Residen itu rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan, ,,Tidak mungkin seorang tawananutama
dari negeri ini mendjadi wali dalam perkawinan anak saja." Sekalipu, demikian dia mengundangku
menghadiri upatjara perkawinan itu.
Setelah satu tahun, dalam waktu mana aku tidak mau menerima pembajaran, Jimmy menghadiahkan
kepadaku dua ekor Dachshaund. Aku sajang sekali kepada andjing-andjing itu. Ia kubawa tidur. Aku
memanggilnja dengan mengetuk-ngetukkan lidahku. ,,Tuktuktuktuk" dan karena aku tidak pernah
memberinja nama, lalu binatang-binatang ini dikenal sebagai ,,Ketuk Satu" dan ,,Ketuk Dua".
Aku mentjoba mengalihkan pikiranku dari persoalan pribadi dengan memelihara hewan-hewan lain. Aku
memperoleh 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah. Kemudian kubeli sangkar jang besar dan
menambahkan burung barau-barau sepasang, djadi dia tidak kesepian. Tapi kesenangan inipun tidak
menjenangkan hatiku. Kulepaskan binatang-binatang ini. Aku tidak sampai hati melihat machluk jang
dikurung dalam sangkar.
Karena sekumpulan binatang ini tidak memuaskan hatiku, aku berpindah pada pekerdjaan memperindah
halaman belakang. Djalanan menudju kedjalan besar ditutupi dengan batu-karang. Aku mempekerdjakan dua
orang kuli untuk mengangkatnja. Ketua organisasi pemuda setempat mengetahui apa jang kukerdjakan dan
disuatu hari Minggu dia datang dengan selusin kawan-kawan dan dalam tempo dua djam mereka
menjelesaikan segala-galanja.
Ketika pekerdjaan ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang, aku mengadakan kelompok
perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan ,,Teori Evolusi D?rwin" atau ,,Mana jang lebih baik,
beras atau djagung — dan mengapa ?" atau pokok pembitjaraan seperti ,,Apa pengaruh bulan terhadap
tingkah-laku perempuan". Aku menjusun pendapatku sambil berdebat. Terkadang aku pertjaja apa jang
kuutjapkan, terkadang tidak. Terkadang aku hanja mentjoba untuk menjalakan api dibawah semangatku
sendiri.
Aku djuga meminjaki otakku dengan menulis artikel. Karena ini terlarang, kupergunakan nama samaran
Guntur atau Abdurrachman. Satu kesukaranku ialah karena aku tidak mengetik dan tulisanku jang sangat
djelas dan mudah dibatja sudah diketahui orang. Tulisan tangan membukakan watak seseorang. Usaha untuk
merobahnja sedikit masih memperlihatkan tulisan jang sarna, karena itu aku merobahnja samasekali dengan
huruf tjetak atau menulisnja dengan tangan kiri.
Dibulan Mei 1940 Hitler menjerbu Negeri Belanda. Pemerintah segera memanggilku kemarkas di Fort
Marlborough, sebuah benteng dari batu dan besi menghadap kesebuah tebing jang tjuram. Muka-muka
mereka kelihatan suram. ,,Insinjur Sukarno," mereka berkata. ,,Kami hendak memperingati kedjadian jang
menjedihkan ini. Sebagai satu-satunja seniman di Bengkulu tuan ditundjuk untuk membuat tugu
peringatan.",,Maksud tuan, setelah menguber-uber saja karena saja menghendaki kemerdekaan untuk rakjat
saja, tiba-tiba sekarang meminta saja, sebagai tawanan tuan, untuk membuat tugu karena bangsa lain
merebut kemerdekaan negeri tuan ?"
,,Ja."
Betapapun aku berhasrat hendak memuaskan selera seniku, namun apa jang kuperbuat hanjalah
menumpukkan tiga buah batu, jang satu diatas jang lain. Dan itulah seluruhnja jang kukerdjakan. Untuk
menjatakan pendapat Belanda itu dengan kata-kata manis: mereka djidjik melihatnja. Akan tetapi
sebenarnja tidak timbul perasaanku untuk mentjiptakan suatu jang indah bagi mereka.
Menjinggung tentang peperangan, sewaktu masih di Bandung aku telah melihat lebih dulu pengaruh dari
ketegangan-ketegangan di Eropa dan berkembangnja Hitlerisme. Pada pertengahan tahun-tahun tigapuluhan
aku meramalkan bahwa Djepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh
dan bahwa dengan lindungan peristiwa ini Indonesia akan memperoleh kemerdekaannja. Sedjak dari waktu
itu aku memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung dan aku
menjirnpulkan, bahwa matarantai jang lemah dari rantai imperialisme Djepang adalah Indonesia. Negeri
kami jang terbentang luas adalah jang paling mudah untuk diputuskan. Lalu di Flores, ditahun 1938 aku
meramalkan bahwa Indonesia akan mendesak kedepan dan memutuskan belenggunja ditahun 1945. Aku
bahkan menulis suatu tjerita sandiwara mengenai kejakinanku berdjudul ,,Indonesra '45". Sementara aku
menunggu, menahankannja dengan sabar, aku gelisah dan takut.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 84 dari 109
Aku mendjadi pembantu tetap dari suratkabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis dengan memakai
namaku sendiri, karena walaupun hanja untuk sementara waktu, perasaanku membawaku kesatu pihak jang
sama dengan Negeri Belanda. Dibulan Djuli 1941 aku menulis dalam ,,Harian Pemandangan" sebagai berikut:
,,Patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalismedengan pengertian kebangsaan jang sempit jang —
seperti Italia dan Djerman — meletakkan kepentingan bangsa dan negeri diatas kepentingan kesedjahteraan
manusia-manusia didalamnja. Saja berdo'a kepada Allah Ta'ala agar melindungi kita dari kefasikan untuk
mempertjajai fasisme dalam menudju kemerdekaan.
,,Pemboman rumah-rumah, pembunahan perempuan dan anak-anak, penjerangan terhadap negeri-negeri
jang lemah, penangkapan orang-orang jang tidak bersalah, penjembelihan terhadap djutaan orang Jahudi,
itulah ISME jang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan adanja parlemen. Fasisme adalah usaha
terachir untuk menjelamatkan kapitalisme.
,,Seluruh manusia harus membentji Hitler-Hitler dan Mussolini-Mussolini jang ada dipermukaan bumi ini. Dan
pandjinja tjita-tjita Indonesia haruslah Anti-Nazisme dan Anti-Fasisme. Hari ini saja mengangkat pena saja
guna memuntahkan saja punja kebentjian terhadap penjakit ini jang mau tidak mau menjeret kita kedalam
peperangan dan bentjana besar.
,,Kebedjatan moral ini tidak sadja menghinggapi orang kulitputih. Akan tetapi Djepangpun dihinggapi oleh
nafsu untuk memperoleh kekuasaan ini, jang memerlukan konsesi minjak. batubara dan minjak-pelumas
untuk armadanja dan jang menjebabkan rakjatnja lupa alcan kesatriaan mereka dalam usahanja hendak
mentjekamkan kukunja kepada saudara-saudaranja.
,,Djepang, itu naga pembawa-bentjana dengan keserakahan untuk mentjaplok dalam waktu jang tidak lama
lagi akan terdjun kedalam peperangan buas jang membahajakan perdamaian dan keselamatan bangsa-bangsa
Asia dalam perlombaannja melawan Barat. Laksana tiga ekor radja-singa berhadapan satu-sama-lain jang
sudah siap untuk menerkam, Inggris siap di Singapura, Djepang mempersiapkan sendjata dalam lingkungan
perbatasannja dan dikepulauan Mariana, Amerika dengan benteng-bentengnja di Hawaii, Guam, Manila,
Pearl Harbour.
,,Saudara-saudara, waktunja sudah dekat, disaat mana air biru dari Samudra Pasifik akan mendjadi korban
berdarah jang tidak ada tandingannja didalam sedjarah dunia !"
Akan tetapi peperangan ini jang kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih djauh
didepan. Djadi ketika itu aku menjimpannja dalam pikiranku sadja untuk mempersendjatai raga-ku melawan
peperangan jang mengamuk-amuk didadaku.
Diachir tahun 1941 aku mengawatkan Ratna Djuami dan tunangannja Asmara Hadi, seorang pengikut lamaku,
untuk datang ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami bertiga berdjalandjalan
sepandjang Bante Pandjang. ,,Kuharapkan kalian mengerti," aku mengemukakan. ,,Aku ini hanja
seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Tjobalah, bagaimana pendapatmu keduanja ?"
Asmara Hadi menjatakan, ,,Setjara pribadi saja setudju dengan bapak. Saja mempersamakan bapak dengan
Napoleon dan para pemimpin besar lainnja dalam sedjarah, jang— saja batja — setjara fisik sangat kuat.
Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik. Sungguhpun bapak diasingkan djauh semendjak tahun
1934, bapak tetap mendjadi lambang kami. Rakjat mendo'akan agar bapak segera bangkit lagi dan memimpin
mereka kembali. Dan rakjat tahu dari tulisan-tulisan bapak, bahwa waktunja sudah dekat. Apa kata rakjat
nanti kalau bapak sekarang mentjeraikan ibu Inggit diwaktu dia sudah tua dan jang setia mendampingi bapak
selama masa pendjara dan pembuangan ? Bagaimana djadinja nanti ?"
,,Tjoba, Umi," kataku sungguh-sungguh kepada Ratna Djuami, menjebutnja dengan nama ketjilnja.
,,Dapatkah kau memahami kepedihanku ?"
,,Saja sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saja dapat merasakan kepedihan bapak, tapi saja rasa ini
akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik."
,,Tapi engkau masih muda. Engkau hendaknja lebih mengerti daripada ibumu," aku mempertahankan. ,,Dan
engkau tidak usah kuatir tentang dirimu. Kalaupun aku mengawini Fatmawati, aku masih tetap
mentjintaimu. Gelombang-gelombang jang berbuih putih ini akan mendjadi saksi."
Sebelum ,diperoleh suatu keputusan, Djepang menjerbu Sumatra. Harinja adalah 12 Februari 1942.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 85 dari 109
Bab 17
Pelarian
JANG mendjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Djepang adalah kota Palembang, Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang-langgang, Hanja untuk
satu hal Belanda tidak lari, jaitu untuk mengawasi Sukarno.
Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Djepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian djuga terhadap
Pasukan Sekutu.Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai. Lepasnja Sukarno
ketali-hati rakjat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah djalan untuk menguasai kembali
kepulauan Hindia.
Mereka bahkan lebih menjadari daripadaku, bahwa di Djawa dan dimana-mana rakjat masih belum melupkan
Sukano. Rakjat masih menempatkan Sukano dipuntjak impian mereka. Boleh djadi ini disebabkan, karena
tidak ada tokoh lain jang dapat menduduki tempat Sukarno didalam hati rakjat. Semendjak aku dibuang,
maka pergerakan kebangsaan telah bertjerai-berai. Semua pemimpin dimasukkan kedalam bui atau
diasingkan. Ditahun '36 sebuah partai jang telah dilemahkan, jaitu Gerindo, bergerak kembali, akan tetapi
tidak mempunjai tokoh jang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakjat. Apa jang dapat dilakukan
oleh massa hanjalah mengingat-ingat kembali waktu jang telah silam. Dan ini memang mereka lakukan.
Selama masa aku dipisahkan dari rakjat, mereka hanja mengenang detik-detik jang memberi pengharapan
dan kemenangan dibawah Singa Podium. Telah ternjata didalam sedjarah agama dan politik, bahwa djika
pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan djalan pengasingan atau lain-lain, namanja akan
semakin berurat-berakar dalam hati rakjat. Demikian pula halnja dengan Sukarno. Kepopuleranku dikalangan
rakjat sampai sedemikian, sehingga nampaknja seolah-olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Djepang sudah bergerak menudju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini
dua orang polisi dengan tergopoh-gopoh datang ketempatku. ,,Kemasi barang-barang," perintahnja. ,,Tuan
akan dibawa keluar."
,,Kapan ?"
,,Malam ini djuga. Dan djangan banjak tanja. Ikuti sadja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah
malam nanti. Setjara diam-diam dan rahasia. Hanja boleh membawa dua kopor ketjil berisi pakaian. Barang
lain tinggalkan. Tuan akan didjaga keras mulai dari sekarang, djadi djangan tjoba-tjoba melarikan diri."
Sukarti jang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan jang timbul. Karena takut dia
bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannja. ,,Pegang saja, Oom," bisiknja. Oom adalah paman
dalam bahasa Belanda.Ketika polisi itu meneriakkan perintahnja, aku membelai kepala anak itu untuk.
menenangkan hatinja. ,,Boleh saja bertanja kemana kami akan dibawa ?" tanjaku.
,,Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan disana untuk membantu pengungsian.
Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan dari Padang, jaitu pelabuhan tempat pemberangkatan
menudju Australia. 'Dan djuga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi jang terachir."
,,Berapa lama kita di Padang ?"
,,Hanja satu malam. Iring-iringan kapal sebanjak tudjuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat dihari
berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru-buru. Kita berlomba dengan waktu."
Kami mendapat kesempatan hanja beberapa djam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau
bingung. Timbul pertanjaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan dari
pendudukan tentara Djepang. Ataukah suatu kerugian, djika tetap berada dalam tjengkeraman Belanda.
Perasaanku katjau-balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menudju tempat pembuangan jang
baru. Kalau ini kuingat, hatiku djadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu-waktu jang lain, aku tidak ingin
meninggalkan tanah-airku jang tertjinta. Bagaimana aku bisa membanting-tulang demi kemerdekaan
negeriku dari tempat jang ribuan mil djauhnja.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 86 dari 109
Kedjadian-kedjadian susul-menjusul begitu tjepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanja
berhasil mentjuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanja ketjil dan dalam waktu lima menit
aku menjelundup kerumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul bersama-sama
untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penjerbuan. Aku mengetuk pintunja dengan lunak dan
berbitjara pelahan, ,,Saja Sukarno. Bukalah pintu. Saja datang untuk mengutjapkan perpisahan."
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik jang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami
berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanja, ,,Hanja Tuhanlah Jang Maha Tahu apa jang akan
terdjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih
hidup. Mungkin djuga kita terdampar dibagian dunia jang berdjauhan. Akan tetapi kemanapun djalan jang
akan kita tempuh, atau apapun jang akan terdjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku
menjadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati ketjintaan kita satu sama lain. Insja Allah,
entah kapan ...............entah dimana...............kita akan berdjumpa lagi."
Djam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuklinggau, kota penghubung djalan
keretaapi Palembang — Bengkulu. Ditengah malam itu kepala polisi datang dengan diam-diam. Tidak djauh
dari rumah kami dibelakang semak-belukar dia menjembunjikan sebuah mobil pick-up. Didalamnja empat
orang polisi. Dalam tempo limabelas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu — pembantu kami berumur
duapuluh tiga tahun jang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan barang-barang kami semua
dipadatkan dalam kendaraan jang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa-bensin. Jang satu terletak di Fort Marlborough tidak djauh dari situ;
jang satu lagi dipekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda mulai
mendjalankan politik bumi-hangusnja. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan bensin dan
minjak pelumas di Fort Marlborough terbang keudara dengan ledakan jang hebat. Ini sebagai tanda bagi
pendjaga kami untuk membakar pula drum-drum dirumahku. Tindakan ini mempunjai tudjuan berganda.
Disamping mentjegah, agar ia tidak djatuh ketangan musuh, iapun memberikan kesenangan. Ledakannja
dapat terdengar kesekitar sampai bermil-mil dan sedjauh-djauhnja mata memandang diseluruh kota hanja
kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota Bengkulu.
Untuk menghilangkan djedjak, polisi itu mengambil djalan kearah selatan. Setelah djelas bahwa tidak ada
orang jang mengikuti djedjak kami, mereka memutar haluan keutara menudju Muko-Muko, sekira 240
kilometer dari Bengkulu dimana kami akan bermalam. Selama dalam perdjalanan kami harus mengarungi
tigabelas buah sungai jang lebar berlumpur dan banjak buaja. Tidak ada djambatan samasekali. Kami
menjeberanginja dengan rakit dan perahu jang dibuat oleh rakjat setempat. Dihari berikutnja djam lima sore
rombongan jang kelelahan ini sampai di Muko-Muko.
Kami bermalam disebuah rumah jang didjaga keras oleh polisi. Djam tiga pagi kami dibangunkan lagi. ,,Mari
kita landjutkan perdjalanan," gerutu salah-seorang jang bertugas. ,,Sekarang berangkat."
,,Kenapa begini pagi ?" tanjaku.
,,Rantau kita masih djauh dan hari ini harus sampai sedjauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnja matahari."
Sesampai didjalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam
orang pengawal bermuka kaku dari Muko-Muko. Selain dari membawa tempat-minum mereka menjandang
senapan dan pistol. Ada lagi perobahan jang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak-sapi. Ia
dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng-kaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Tjukup
untuk seminggu, kukira.
,,Perdjalanan selandjutnja kita tempuh dengan djalan-kaki," kata seorang jang menjandang tempat-minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. ,,Djalan-kaki sampai ke Padang ?"
,,Betul."
,,Sedjauh tigaratus kilometer ?" tanjanja kehabisan napas.
,,Ja, betul," orang itu memotong. ,,Hajo kita. djalan."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 87 dari 109
,,Kenapa tidak dengan mobil sadja ?" tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang keatas gerobak.
,,Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah didjalani. Satu-satunja tjara supaja sampai di Padang dengan
menempuh djalan-setapak jang berkelok-kelok berliku-liku dan dibeberapa tempat susah dilalui."
Aku bisa tahan berdjalan kalau dibandingkan dengan jang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi
Inggitlah jang menimbulkan kekuatiranku. ,,Djangan kuatir," aku membudjuknja. ,,Polisi-polisi jang bebal
inipun bukan pedjalan marathon, sama sadja dengan kau."
Betapapun kekuatiran jang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Dibelakang kami, tentara Djepang.
Didepan, tentara Belanda. Dikiri-kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat
siang dan malam. Djadi kami berdjalanlah. Terus berdjalan. Tak henti-hentinja berdjalan. Menempuh hutan
jang lebat disepandjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanja pakai sandal
terbuka seperti jang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat meringankan
perdjalanan berhari-hari melalui hutan rotan dan rumput liar jang kering dan menggores-gores kaki setinggi
lutut bermil-mil djauhnja. Kaki Inggit letjet dan bengkak. Kadang-kadang ia naik gerobak-sapi itu. Akan
tetapi djalannja tjuram dan achirnja bukan sapi itu jang menolong kami, akan tetapi akulah jang harus
menolong sapi itu. Aku menariknja. Dan menolaknja. Seringkali binatang itu hanja berdiri sadja dan
menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri.
Ditengah hutan jang demikian sesekali kami mendjumpai sebuah pondok jang terpentjil kepunjaan pemburu
atau pentjari kajubakar. Djam enam sore kami berhenti dipondok seperti itu. Kami berada ditengah-tengah
pesawangan, dan kalaupun disuruh berdjalan terus tak seorangpun diantara kami jang masih sanggup
berdjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi,
badannja terbakar oleh terik matahari.
Pondok itu berbentuk rumah-panggung, supaja terhindar dari antjaman binatang. Sekalipun demikian kami
dapat mentjium adanja tamu-tamu jang tidak diundang. Seekor ular mendjalar melalui kaki. Tjitjak
berkeliaran diatas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar diatas tikar itu. Pahaku
mendjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanja diatas badan ibunja. Bunji binatang buas
dimalam hari disekeliling tempat pelarian kami membikin badan djadi dingin. Tetangga kami adalah
harimau, beruang, kutjing-hutan, rusa, babi-hutan dan monjet tak terhitung banjaknja. Teriakan monjet
jang membisingkan diatas pohon-pohon kaju tidak henti-hentinja. ,,Radja-hutan tidak akan menjerang,
ketjuali kalau dia lapar," tjerita polisi jang menjandang tempat-minum. Kami mendo'a, semoga binatangbinatang
itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal-kehormatan kami
jang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki djauhnja.
Ditengah malam Sukarti mengintip dipinggir teratak itu jang tidak berpintu. ,,Saja takut, Oom," dia
menggigil. ,,Oom tidak takut ?"
,,Ja, Karti," bisikku menenangkan hatinja. ,,Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani." Aku
merangkak dengan Karti kebagian pinggir dan mengintip kebawah. ,,Kaulihat keenam orang itu ? Ditengah
malam sunjipun polisi mendjaga berganti-ganti pakai bedil. Polisi berdjaga-djaga. Mereka lebih takut lagi
daripada kita kalau tidak menjelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung-djawab polisi untuk
menjerahkan Sukarno hidup-hidup ketangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita tidur dan
biarlah polisi mendjaga keselamatan kita. Ja ?"
Disubuh itu kami sarapan dengan buah-buahan dari hutan, nasi dari persediaan jang dibawa oleh pengawal
kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengajunkan langkah. Mendjelang siang
kami djumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian jang lekat dibadan diair yang djernih
dan sedjuk itu dan melepaskan dahaga sepuas-puas hati. Masuk sedikit lagi kedalam semak-belukar,
dikelilingi oleh sawah jang terhampar, ada sebuah dangau. Kami memasuki dangau itu untuk tidur-tiduran
sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang-liar pada dedaunan jang tidak bergerak dan kami melangkahi
djedjak harimau jang tak terhitung banjaknja, namun satu-satunja binatang jang menghalangi djalan kami
ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang-hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri
diatas kakinja jang belakang binatang-binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah
jang berat. Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, selain daripada djantung kami jang memukul-mukul dada
dengan keras.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 88 dari 109
Dengan menggunakan korek-api jang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan
sajuran kedalamnja dan menambahkan ikan jang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami jang sepuluh
orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami djuga tidak mati kelaparan karenanja. Inggit terlalu amat
lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. ,,Aku terlalu tjapek," ia mengeluh pandjang sambil
bersandar lesu ketebing suatu lurah jang sedang kami lalui. ,,Kalau aku duduk, takut nanti tidak bisa lagi
berdiri."
Dihari ketiga salah-seorang polisi Belanda menjerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanja
memikirkan diri kami sendiri, tetapi, disamping matahari jang membakar, haus, kehabisan tenaga dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan tindakan
jang kedjam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang jang menawan, kami semua
sama merasakan pahit-getirnja perdjalanan. Tetapi djarang terdjadi pertjakapan. Tiada manusia jang lewat
dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok-olok. Sudah mendjadi
pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananja. ,,Sekalipun ada penjerbuan, akan tetapi saja
berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saja,"
aku berolok-olok.
Seorang jang pendek dan botak tersenjum, ,,Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah
melangkah keluar batas jang didjaga kuat untuk tuan ?"
,,Ada, sekali. Saja membuat suatu tjerita sandiwara jang dipertundjukkan pada malam amal disuatu tempat
diluar batas. Ini terdjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pedjabat lama jang saja kenal baik.
Orangnja sedjenis manusia jang menghamba kepada.peraturan. Saja bertanja kepadanja, 'Tuan Residen,
dapatkah tuan meng izinkan saja untuk pergi ketempat ini jang terletak sedikit diluar batas ?"
,,Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan jang sangat penting ini rupanja tidak mungkin baginja.
Karena itu dia bersusahpajah mengirim telegram kepada Gubernur Djendral di Djawa. Lalu apa djawab
Gubernur Djendral. Dia menelegram kembali, menjatakan kegembiraannja mendengar semua itu. Katanja,
'Saja gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannja pada
pertundjukan sandiwara ? Apakah ini tidak menggelikan ? !"
Polisi itu terpaksa tertawa menundjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluntjur dari pohon kelapa dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnja jang segar, aku mentjeritakan kisah Manap Sofiano,
seorang pemain jang mendjalankan peran prima donna dalam pertundjukanku.
,,Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menjampaikan kepada tukang-lelang, 'Sukarno akan
mendjamin pembajarannja.' 'O, baik,' djawab orang itu setudju, 'kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.'
Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barang-barangnja hendak pindah. Sebelum dia pergi saja katakan,
'Hee, tinggalkan dulu surat perdjandjian jang diketahui oleh kepala kampung dan jang menjatakan bahwa
engkau berdjandji hendak membajarnja. Dengan begitu, kalau sekiranja kaulupa, saja mempunjai dasar jang
sja.'
,,Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar-berita dari Sofiano, saja menulis surat kepadanja, 'Sudah sampai
waktunja. Bajar sekarang, kalau tidak, akan saja adjukan kedepan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas,
'Saja tidak menjusahkan diri saja sendiri, akan tetapi saja mempunjai lima orang anak. Kalau saja masuk
pendjara, mereka akan terlantar.'
,,Tentu saja tidak mau menjakiti anak-anak jang tidak bersalah, djadi apa lagi jang dapat saja lakukan ? Saja
kemudian membajar utang sedjumlah 60 rupiah itu. Disamping itu," aku tersenjum meringis, ,,dia seorang
pemain jang baik, sehingga saja dapat mema'afkan segala-galanja."
Dengan pertjakapan ringan demikian ini aku mentjoba menaikkan semangat pasukan kami jang melarat itu.
Dihari jang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menudju kota. Bertepatan dengan
kedatanganku, kapal jang direntjanakan untuk mengangkut kami telah meledak mendjadi sepihan dekat
pulau Enggano, tidak djauh dari pantai. Tentara Djepang berada dalam djarak beberapa hari perdjalanan
dibelakang kami. Angkatan laut Djepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanja dalam satu hal orang tidak
ragu lagi, jaitu bahwa Belanda penakluk jang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang
meninggalkan tokonja. Terdjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. ,,Lihat," kata seorang
Belanda, jang tingginja satu meter delapan puluh lima, mengedjek ketika dia hendak lari membiarkan kami
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 89 dari 109
tidak dilindungi, ,Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri
sendiri."
Tentara Belanda mentjoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanja terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menjelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri
Belanda sekarang adalah bagaimana menjelamatkan dirinja sendiri. Mereka seperti pengetjut, mereka lari
pontang-panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakjat Indonesia djadi umpan tanpa pertahanan.
Tidak ada jang mempertahankannja, ketjuali Sukarno. Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah
kesalahan jang besar dari mereka.
Sesampai dihotel aku mengatakan pada Inggit, ,,Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini."
Dimana-mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu-buru pada detik-detik terachir.
,,Kau mau kemana ?" tanja Inggit gemetar ketakutan.
,,Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mentjarinja dan berusaha mentjari tempat tinggal."
Waworuntu menjambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. ,,Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan
airmata mengalir kepipinja. ,,Saja mendapat rumah bagus disini dan banjak kamarnja, tapi saja sendirian
sadja. Isteri saja dan anak-anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saja. Bawalah keluarga Bung
Karno kesini ........ bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri." Orang jang baik hati ini dengan
kemauannja sendiri pindah dari kamar-tidurnja jang besar didepan disebelah ruang-tarnu, dan
mengosongkannja untuk Inggit dan aku.
Ini terdjadi beberapa hari sebelum Balatentara Keradjaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku
berdjalan-djalan disepandjang djalan aku menjadari, bahwa saudara-saudaraku jang terlantar, lemah, patuh
dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun jang mengawasinja. Tidak
seorangpun, ketjuali Sukarno. Tindakan-tindakan jang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada
Tuhan. Aku menjadari, bahwa waktunja sudah datang lagi bagiku untuk terus madju dan mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanja dan dia berusaha mengumpulkan
orang-orangnja. Kemudian aku menjuruh Waworuntu kesatu djurusan dan Riwu kedjur-usan lain untuk
mengumpulkan jang lain. Diadakanlah rapat umum dilapangan pasar. Disana aku membentuk Komando
Rakjat jang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk mendjaga ketertiban. ,,Saudara-saudara,"
aku menggeledek dalam pidatoku jang pertama semendjak sembilan tahun, ,,Saja minta kepada saudarasaudara
untuk mematuhi tentara jang akan datang. Djepang mempunjai tentara jang kuat. Sebaliknja kita
sangat lemah. Tugas saudara-saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunjai
sendjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihantjur-leburkan, djikalau kita mentjoba-tjoba
untuk melakukan perlawanan setjara terang-terangan.
,,Orang jang tidak bersendjata tidak mungkin melawan pradjurit-pradjurit jang puluhan ribu, akan tetapi
sebaliknja ingatlah saudara-saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri diseluruh djagad ini
digabung mendjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu djiwa jang tunggal, karena ia telah
bertekad untuk tetap merdeka. Saudara-saudara, saja bertanja kepada saudara-saudara semua : Siapakah
jang dapat membelenggu suatu rakjat djikalau semangat rakjat itu sendiri tidak mau dibelenggu ?
,,Kita harus mentjari kemenangan jang sebesar-besarnja dari musuh ini. Maka dari itu, saudara-saudara,
hati-hatilah. Rakjat kita harus diperingatkan supaja djangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana,
hindarkanlah pertumpahan darah disaat-saat permulaan. Djangan panik. Saja ulangi : djangan panik.
Ketentuan pertama jang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Djepang. Dan pertjaja.
Pertjaja kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita."
Rapat itu diachiri dengan do'a bersama jang kupimpim sendiri sebagai Imam. Orang Islam tidak dapat
mengchotbahkan atau mengadib-kan isi daripada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu titik,
disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata-kata dari Ajat selandjutnja dan dihadapan ribuan
orang jang menunggu-nunggu landjutannja aku mendesis kepada seorang Hadji jang duduk bersila dekat itu,
,,Ehh — apa lagi terusnja ?"
Do'a itu berachir, rakjat bubar, aku kembali kerumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu djam empat pagi. Mungkin djuga djam lima. Aku
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 90 dari 109
berbaring ditempat-tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku njalang samasekali. Malam
itu adalah malam jang sunji sepi. Tiada terdengar suara jang gandjil. Sesungguhnja, pun tidak terdengar
suara jang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang. Tiba-tiba mereka terbangun oleh bunji jang semakin
santer. Mula-mula menderu seperti guntur. Suara jang menggulung-gulung itu semakin keras, semakin keras,
semakin keras lagi. Bunji jang menakutkan dan membikin badan djadi dingin-membeku adalah gunturnja
kereta-kereta berlapis-badja dan tank-tank dan balatentara berdjalan-kaki berbaris memasuki kota Padang.
Djepang sudah datang.
Bab 18
Djepang Mendarat
UDARANJA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring disana dengan badan gemetar. Aku melihat sambaran
petir ini sebagai gemuruhnja pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berachirnja suatu djaman.
Esok paginja aku bangun diwaktu subuh dan berdjalan dengan tenang sepandjang djalanan kota. Djepang
membuka toko-toko dengan paksa tanpa ada jang mendjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakjat untuk
menjerbu isi toko-toko itu. Kesempatan pertama bagi rakjat jang miskin untuk menikmati kemewahan.
Dalam pada itu Djepang dengan tjerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan keadaan didjalandjalan,
dengan demikian menambah kebentjian terhadap kekuasaan kulitputih.
Disetiap djalanan Djepang disambut dengan sorak-sorai kemenangan.
,,Apa sebabnja ini !" tanja Waworuntu.
,,Rakjat bentji kepada Belanda. Lebih-lebih lagi karena Belanda lari terbirit-birit dan membiarkan kita tidak
berdaja. Tidak ada satu orang Belanda jang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini.
Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah jang penghabisan, tapi njatanja lari ketakutan."
,,Tjoba pikir," kataku ketika kami melangkah pelahan. ,,Faktor pertama jang menjebabkan penjambutan
jang spontan ini adalah adanja perasaan dendam terhadap tuan-tuan Belanda, jang telah dikalahkan oleh
penakluk baru. Kalau engkau membentji seseorang tentu engkau akan mentjintai orang jang mendupaknja
keluar. Disamping itu, tuan-tuan kulitputih kita jang sombong dan mahakuat itu bertekuk-lutut setjara tidak
bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakjat menjambut Djepang sebagai pembebas
mereka."
Waworuntu, kawan baik dan kawanku jang sesungguhnja, jang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat tenang
kepadaku.
,,Dan apakah Bung djuga menjambutnja sebagai pembebas ?
,,Tidak ! Saja tahu siapa mereka. Saja sudah melihat perbuatan mereka dimasa jang lalu. Saja tahu bahwa
mereka orang Fasis. Akan tetapi sajapun tahu, bahwa inilah saat berachirnja Imperialisme Belanda. Pun
seperti jang saja ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Djepang, disusul kemudian
dengan menjingsingnja fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing untuk selamalamanja."
Diseberang djalan kami lihat serdadu Djepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan.
,,Lalu maksud Bung akan memperalat Djepang" tanja Waworuntu dengan tjepat.
Kami terus berdjalan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. ,,Sudah tentu," djawabku dengan suara redup.
,,Saja mengetahui semua tentang kekurang-adjaran mereka. Saja mengetahui tentang kelakuan orang
Nippon didaerah pendudukannja — tapi baiklah. Saja sudah siap sepenuhnja untuk mendjalani masa ini
selarna beberapa tahun. Saja harus mempertimbangkan dengan akal kebidjaksanaan, apa jang dapat
dilakukan oleh Djepang untuk rakjat kita."
Kita harus berterimakasih kepada Djepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam
lobang Kolonialisme dan tidak mempunjai kekuatan jang radikal supaja bebas dari lobang itu atau untuk
mengusir pendjadjahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 91 dari 109
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata-kata itu nampak meresap dalam hatinja.
,,Tjoba pikir, Bung," kataku, ,,Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan jang menjala-njala ini, —
ataupun perobahan ini sendiri — perlu sekali guna mentjapai tudjuan, untuk mana saja membaktikan seluruh
hidupku."
Kami terus berdjalan, bungkem. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Kemudian kawanku memberikan
pendapat, ,,Mungkin rakjat kita akan selalu memandangnja sebagai pembebas dan tetap tinggal pro-
Djepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk melepaskan negeri kita dari tjengkeramannja."
,,Tidak mungkin," djawabku menerangkan. ,,Pandirlah suatu bangsa pendjadjah kalau mereka mengimpikan
akan ditjintai terus atau mengchajalkan bahwa masjarakat jang terdjadjah akan tetap puas dibawah telapak
dominasinja. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau lalimnja pendjadjah jang lama dan tidak pandang
betapa baiknja pendjadjah jang baru dalam tingkah-laku atau ketjerdasannja, maka rakjat jang sekali sudah
terdjadjah selalu menganggap hilangnja dominasi asing sebagai pembebasan. Inipun akan terdjadi disini."
,,Kapan ini akan terdjadi ?"
,,Kalau kita sudah siap," kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan gerakan. Aku hanja menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan dari
daerah Padang datang kerumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinja. Berbitjara dalam bahasa Perantjis,
ia berkata, ,,Est-ce vous pouves parler Francais "
,,Oui," djawabku. ,,Je sais Francais."
,,Je suis Sakaguchi," katanja.
"Bon," kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n'est-ce pas ?"
,,Oui. Vous avez raison."
Menundjukkan tanda-pengenal resminja ia menerangkan, ,,Saja anggota dari Sendenbu, Departemen
Propaganda."
,,Apakah jang tuan kehendaki dari saja ?" aku bertanja dengan hati-hati.
,,Tidak apa-apa. Saja mengetahui bahwa saja perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saja datang.
Hanja itu. Saja datang bukan menjampaikan perintah kepada tuan."
Sakaguchi tersenjum lebar. Agaknja tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati
karena itu aku bertanja, ,,Mengapa tuan djustru datang kepada saja ?"
,,Menemui tuan Sukarno jang sudah terkenal adalah tugas saja jang pertama. Kami mengetahui semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang jang berpengaruh."
,,Itukah sebabnja tuan menemui saja disini, dan bukan meminta saja datang kekantor tuan ?"
,,Betul," ia membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinja. Tuan
Sukarno terkenal diseluruh kepulauan ini."
,,Boleh saja bertanja dari mana tuan mendapat keterangan ini ?"
,,Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banjak orang Djepang tinggal disini dan banjak jang kembali
kesini dalam tentara Diepang."
,,Oo."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 92 dari 109
,,Kami mempunjai djaring mata-mata jang paling rapi. Kami mengetahui segala-galanja mengenai semua
orang, begitu pula tempat-tempatnja. Segera setelah mendudaki Bengkulu kami menjelidiki dimana tuan
berada. Tindakan kami, jang pertama-tama ialah untuk datang kepada tuan."
,,Dan tindakan jang kedua ?"
,,Mendjaga tuan."
Ketika tentara Djepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah-Putih. Rakjat menjangka mereka
,,dibebaskan". Setelah berabad-abad larangan, sungguh menggetarkan hati menjaksikan bendera kami Sang
Merah-Putih jang sutji itu melambai-lambai dengan megahnja. Akan tetapi tidak lama, segera keluar
pengumuman jang ditempelkan dipohon-pohon dan didepan toko-toko, bahwa hanjalah bendera Matahari-
Terbit jang boleh dikibarkan. Serentak dengan kedjadian ini, jang terasa sebagai suatu tamparan, Djepang
menguasai surat-suratkabar. "Pembebasan" kota Padang tidak lama umurnja.
Aku pergi kekantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. ,,Perintah ini
sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan," kataku. ,,Kalau tidak dilakukan setjara
sebidjaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat jang serius untuk kedua belah pihak."
Sakaguchi menundjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. ,,Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknja djangan terlalu menunda-nunda hal ini."
Ini adalah hari jang gelap bagi rakjat dan bagi Sukarno. Mula-mula aku pergi kemesdjid dan aku sembahjang.
Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudara-saudaraku tuntuk menurunkan bendera
sampai ,,datang waktunja dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri, bebas dari segala dominasi
asing."
Setiap bendera turun kebawah. Aku bentji kepada Hitler, akan tetapi kedjadian ini dengan tidak sadar
mengingatkan daku pada salah satu utjapannja: Gross sein heisst es Massen bewegen können Besarlah
seseorang jang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno jang berbitjara, mungkin
mereka akan berontak, karena terlalu tiba-tiba seperti tersentak dari tidur mereka menjadari, bahwa
putera-putera dari negara Matahari-Terbit bukanlah pahlawan-pahlawan sebagaimana mereka bajangkan.
Dan aku kuatir akan terdjadinja pemberontakan. Kami adalah rakjat jang tidak berpengalaman untuk pada
saat itu biasa menendang kekuatan jang terlatih baik seperti tentara Djepang.
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbitjara dalam bahasa Perantjis. Berbulan-bulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. ,,Monsicur Sukarno," katanja
,,saja membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan."
"Memohon?" aku mengulangi.
,,Oui, Monsieur. Memohon."
Dari sikap kapten Sakaguchi jang merendah djelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan mendjadi kenjataan.
Djepang akan mengusulkan agar supaja aku bekerdja dengan mereka. Komandan dari divisi jang kuat itu jang
memasuki kota Padang dimalam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota Bukittinggi.
Dialah jang minta disampaikan supaja ,,memohon" tuan Sukamo untuk datang.
Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta-api dan dengan tjepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta-api.
Mereka jang berada dalam gerbong kami menjampaikan kepada gerbong-gerbong jang lain. Ketika berhenti
di Padangpandjang setiap orang dipelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno. Gerbong kami
diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku didjendela dan berpidato dengan singkat untuk
menenangkan rakjat. Tak satupun dari ini jang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Djauhnja satu setengah djam perdjalanan kekota pegunungan jang sedjuk itu. Pusat dari Minangkabau ini
terkenal dengan bendinja jang riang-menjenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan didjalanan jang
mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah-adat bergondjong bewarna-warni, simbolik daripada seni-bangunan
Minangkabau.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 93 dari 109
Bukittinggi adalah kota jang sangat penting. Letaknja strategis, dan hanja dapat ditjapai dari tiga djurusan,
dan letaknja didaerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknja menguasai semua lalu-lintas
keluar-masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunjaan seorang Belanda jang kaja, pun
terletak setjara strategis. Letaknja ketinggian diatas puntjak Lembah Ngarai, sebuah lembah jang dalam
dengan bukitnja jang tinggi pada kedua belah sisinja berbentuk dinding-batu terdjal dan gundul mendjulang
keatas. Dibawah, didalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai jang dengan seenaknja mentjari
djalannja sendiri. Disekeliling ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan menghidjau dengan lebat. Kalau
orang memandang keluar, dari djendela rumah Fujiyama, beribu-ribu kaki djauhaja kebawah terlihatlah
suatu pemandangan indah jang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan jang sampai sekarang tidak banjak orang mengetahuinja, akan tetapi
sesungguhnja merupakan pertemuan jang maha-penting. Pertemuan jang sangat besar artinja. Pertemuan
jang menentukan strategiku selandjutnja selama peperangan. Pertemuan jang sampai sekarang memberikan
tjap kepadaku sebagai ,,kollaborator Djepang"
Komandan Fujiyama berbitjara dalam bahasanja. Didalam ruangan itupun hadir seorang djurubahasa
berkebangsaan Amerika jang dibawa mereka ke Singapura. ,,Tuan Sukarno," kata Fujiyama sambil
menjilakanku duduk. ,,Peperangan ini bertudjuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme
Barat."
Aku menjadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih kata-kataku dengan hati-hati
sekali. Setiap patah kata jang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang-timbang dan mereka
udji. Aku mengetahuinja. ,,Orang Diepang mempunjai satu sembojan jang berbunji, 'Asia. Bebas'.
Benarkah ini ?" tanjaku setelah beberapa saat.
,,Ja, tuan Sukarno," sahutnja sambil menjodorkan rokok kepadaku. ,,Itu benar."
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak atjuh, ,,Dan apakah tuan bermaksud
hendak berpegang pada sembojan itu ?"
,,Ja, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada sembojan itu," katanja memandang kepadaku dengan teliti.
,,Jah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia ?"
,,Tentu, tuan Sukarno."
Aku menarik napas pandjang. ,,Kalau demikian, saja dapat menarik kesimpulan bahwa tudjuan tuan djuga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?"
Belum sampai satu debaran djantung antaranja, ,,Ja, tuan Sukarno. Tepat sekali."
Sementara berlangsung pembitjaraan tingkat tinggi ini seorang pradjurit Djepang berperawakan ketjil
beringsut menjuguhkan air teh. Sjarafku sangat tegang dan aku mentjarik-tjarik kuku djariku, suatu
kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunji mangkok teh jang gemerinting tidak
terdengar lagi. Bahkan setelah pradjurit itu pergi, bunji gemerintjing seolah-olah masih sadja mengapung
diudara jang hening. Setidak-tidaknja, dalam diriku. Gigiku dan tulang-belulangku semua gemerintjing.
Hidup atau matinja tanah-airku tergantung kepada sukses atau tidaknja pembitjaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melandjutkan. ,,Didalam rangka pengertian inilah kami ingin
mengetahui, apakah tuan mempunjai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon."
,,Dengan tjara bagaimana ?"
,,Dalam memelihara ketenteraman."
,,Bolehkah saja bertanja, bagaimana tjaranja saja seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk
tentara Djepang ?"
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Keradjaan Djepang ini tersenjum. Pada tingkatannja mereka
banjak melakukan seperti ini. ,,Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah jang menguasai massa rakjat.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 94 dari 109
Karena itu, tjara jang paling mudah untuk mendekati rakjat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami bukanlah
untuk mendekati rakjat Indonesia jang berdjuta-djuta. Tugas kami adalah untuk memenangkan satu orang
Indonesia. Jaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakjat jang djutaan itu untuk kami."
Sikapnja memperlihatkan dengan djelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Diluar, didjalanan rakjat
kami tidak lagi bersorak-sorai begitu keras menjambut rakjatnja. Kegembiraan jang pertama sudah mulai
luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salahsatu djalan, kalau dia
mentjoba-tjoba memaksaku, seluruh rakjat akan bangkit melawannja. Djepang memerlukan tenagaku dan ini
kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku untuk suatu revolusi.
Ini tidak obahnja seperti permainan volley. Hanja jang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel
Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo'a dalam hati, tundjukkanlah
kepadaku, djalan jang benar.
,,Nah," kataku. ,,Sekarang saja mengetahui apa jang tuan inginkan, saja kira tuan mengetahui keinginan
saja."
,,Tidak, tuan Sukarno, saja tidak tahu. Apakah sesungguhnja jang dikehendaki oleh rakjat Indonesia.?"
,,Merdeka."
,,Sebagai seorang patriot jang mentjintai rakjatnja dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus
menjadari bahwa Indonesia Merdeka.hanja dapat dibangun dengan bekerdja-sama dengan Djepang," ia
membalas.
,,Ja," aku mengangguk. ,,Sekarang sudah djelas dan terang bagi saja bahwa tali-hidup kami berada di
Djepang ............... Maukah pemerintah tuan membantu saja untuk kemerdekaan Indonesia?"
,,Kalau tuan mendjandjikan kerdja-sama jang mutlak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan
djandji jang tidak bersjarat untuk membina kemerdekaan tanah-air tuan."
,,Dapatkah tuan mendjamin bahwa, selama saja bekerdja untuk kepentingan tuan, saja djuga diberi
kebebasan bekerdja untuk rakjat saja dengan pengertian, bahwa tudjuan saja jang terachir adalah disatu
waktu............... dengan salah-satu djalan .............. membebaskan rakjat dari kekuasaan Belanda —
maupun Djepang ?"
,,Kami mendjamin. Pemerintah Djepang tidak akan menghalang-halangi tuan."
Aku memandang kepadanja. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi-hati satu sama lain.
,,Djadi, tuan Sukarno," ia melandjutkan menjatakan pengakuannja dengan hati-hati. ,,Saja seorang penguasa
pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudajaan, keturunan, agama dan berbagai
adat kebiasaan Djawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melaju, Polynesia, Tiongkok, Filipina, Arab dan
lain-lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ketempat lain sukar. Tugas saja adalah untuk
mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lantjar dengan segera. Tjara jang paling tepat ialah
dengan memelihara ketenteraman rakjat dan mendjalankan segala sesuatu dengan harmonis. Untuk
mentjapai tudjuan ini, kepada saja disampaikan bahwa saja harus bekerdja dengan Sukarno. Sebaliknja saja
mendjandjikan kerdja-sama jang resmi dan aktif didalam bidang politik."
Mau tidak mau aku harus mempertjajai orang jang berperawakan ketjil ini, oleh karena aku melihat kuntji
persoalan ada ditangannja. ,,Baiklah," kataku. ,,Kalau ini jang tuan djandjikan, saja setudju. Saja akan
berikan bantuan saja sepenuhnja. Saja akan mendjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanja kalau ia
berlangsung menurut garis menudju pembebasan Indonesia dan hanja dengan pengertian, bahwa sambil
bekerdja-sama dengan tuan sajapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakjat saja."
,,Setudju," katanja.
,,Djuga dengan pengertian bahwa djandji, dalam mana saja tetap tidak dikekang dalam usaha saja jang tidak
henti-hentinja untuk nasionalisme, tidak hanja diketahui oleh tuan sendiri melainkan djuga oleh seluruh
Komando Atasan."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 95 dari 109
,,Pemerintah saja tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Diatas dasar inilah kita bekerdja-sama, saling
bantu-membantu satu sama lain."
Sebagai kelandjutan dari pertemuan jang bersedjarah ini jang berlangsung selama dua djam, mereka
menjadjikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mentjobanja. Dan rasanja enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramah-tamah tidak berachir sampai disini sadja. Aku tidak disuruh pergi,
melainkan ditanjai kapan bermaksud hendak pulang. ,,Setelah menundjukkan bahwa aku sudah siap, aku
diiringkan sampai diluar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, ,,Izinkan kami untuk
menjediakan kendaraan untuk tuan," dan menundjuk kearah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banjak terdapat di Bukittinggi, djadi ini sudah pasti diambil dari seorang
saudagar kaja dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perdjalanan pakai
kendaraan.
,,Buick ini adalah untuk tuan," Sakaguchi membungkuk dengan hormat, ,,Diserahkan kepada tuan selama
tuan menghendakinja."
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh-sungguh bangga. Inilah aku, baru sadja lepas dari pembuangan,
sebuah Buick jang tjantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinja hampir tidak tjukup untuk
dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka memberiku makan dan
mereka telah memberiku kendaraan — akan tetapi tidak ada bensin.
Kawan-kawan — dan mereka jang bukan kawanku, akan tetapi jang kuharapkan dapat memahami Sukarno
lebih baik setelah membatja buku ini — ini adalah pertamakali aku mentjeritakan kisahku tentang
bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menjeret diriku
berdampingan dengan Djepang. Boneka............... pengchianat ............... aku tahu semua kata-kata itu.
Akan tetapi djika tidak dengan sjarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mentjapai kebebasan
negeriku, aku pasti takkan melakukannja. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan
sebagaimana mestinja. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanja tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku
untuk menuntut lebih banjak lagi kebebasan-kebebasan politik, aku terpaksa mengerdjakan berbagai hal
jang merobek-robek djantungku. Dengan hati jang berat aku melakukannja. Kalau aku tidak menepati
djandjiku, mereka tidak akan menepati djandji mereka pula.
Disuatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menjenangkan, akan tetapi keras. ,,Kami menghadapi
persoalan beras jang rumit," katanja dengan berkerut. ,,Nampaknja beras di Padang susah. Sebenarnja
hampir tidak ada. Saja memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Djepang tidak dapat beras, orang
Indonesia tidak akan dapat apa-apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari orangorang
jang mengendalikannja, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekatjauan dan bertentangan
dengan tjara kerdja-sama jang kita usahakan. Setidak-tidaknja tjara jang baik, jang sampai sekarang telah
kita tjoba untuk melakukannja. Tentu ada djalan lain, tuan Sukarno, karena saja jakin tuan mengetahui.
Saja menjarankan, supaja tuan mendesak rakjat kepala-batu agar berpikir sedikit."
Aku segera minta bantuan saudagar-saudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton dan
segera ! Jah, selama masih Sukarno jang memintanja, aku memperolehnja. Sebanjak jang kuminta dan
setjepat jang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memetjahkan persoalan setiap orang. Djepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan.
Suatu krisis jang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para pradjurit Djepang. Rupanja mereka tidak
memperoleh apa-apa selama beberpa waktu. Ini adalah semata-mata persoalan mereka, akan tetapi mereka
berada ditanah-aiiku. Perempuan jang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuan-perempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang jang ta'at beragama. Perempuannja dididik dan dibesarkan dengan hatihati
sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, ,,Kalau anak buah tuan mentjoba-tjoba berbuat sesuatu dengan
anak-anak gadis kami, rakjat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra."
Aku menginsjafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Djepang bermain-main dengan gadis Minang.
Dan akupun menginsjafi, bagaimana sikap Djepang kalau persoalan ini tidak dipetjahkan, dan aku akan
dihadapkan pada persoalan jang lebih besar lagi.
Kuminta pendapat seorang kiai. ,,Menurut agama Islam," kataku memulai, ,,Laki-laki tidak boleh bertjintaan
dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininja. Ini adalah perbuatan dosa."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 96 dari 109
,,Itu benar," katanja.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengutjapkan maksudku, karena itu aku berpikir sebentar,
lalu berkata, ,,Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?"
,,Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin," protes orang alim itu dengan kaget.
Kemudian kubentangkan rentjana itu. ,,Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saja bermaksud hendak menggunakan lajanan dari para pelatjur
didaerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinja dan tidak akan menoleh untuk
merusak anak gadis kita."
,,Dalam keadaan-keadaan jang demikian," kata orang alim itu dengan ramah, ,,sekalipun seseorang harus
membunuh, perbuatannja tidak dianggap sebagai dosa."
Dengan berpegang kepada djaminan ini, bahwa rentjanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa jang besar,
maka aku mendatangi para pelatjur. ,,Saja tidak akan menjarankan saudara-saudara untuk melakukan
sesuatu jang bertentangan dengan kebiasaanmu," aku menegaskan, ,,akan tetapi rentjana ini sedjalan
dengan pekerdjaan saudara-saudara sendiri." ,,Saja dengar, Djepang kaja-kaja dan rojal dengan uang," salah
seorang tertawa gembira, nampaknja senang dengan usulku ini. ,,Benar," aku menjetudjui. ,,Mereka djuga
punja djam tangan dan perhiasan lainnja."
,,Saja menganggap rentjana ini saling menguntungkan dalam segala segi," ulas perempuan jang djadi
djurubitjara. ,,Tidak hanja kami akan mendjadi patriot besar, tapi ini djuga suatu perdjandjian jang
menguntungkan."
Kukumpulkanlah 120 orang disatu daerah jang terpentjil dan menempatkan mereka dalam kamp jang dipagar
tinggi sekelilingnja. Setiap pradjurit diberi kartu dengan ketentuan hanja boleh mengundjungi tempat itu
sekali dalam seminggu. Dalam setiap kundjungan kartunja dilobangi. Barangkali tjerita ini tidak begitu baik
untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknja tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk
menjerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi nama djenis manusia
seperti itu. Akan tetapi persoalannja sungguh-sungguh gawat ketika itu, jang dapat membangkitkan bentjana
jang hebat. Karena itu aku mengobatinja dengan tjara jang kutahu paling baik. Hasilnjapun sangat baik,
kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rentjana itu.
Oleh karena Djepang memerlukan tenagaku untuk memetjahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka
senantiasa berusaha supaja aku tidak kekurangan apa-apa. Fujiyama menawarkan apa sadja. Semua tawaran
kutolak. Aku menerima hanja jang perlu-perlu sadja.
Tugasku dalam menghubungi rakjat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masjarakat jang djauh-djauh.
Dalam mengadakan perdjalanan keliling ini sudah tentu aku memertjikkan harapan-harapan kepada kepalakepala
setempat. Dan kepada rakjat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari depan.
Perdjalanan ini memerlukan bensin.
Fujiyama dalam waktu-waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi duaratus liter. Diapun memberikan
kartu pandjang jang ditjoret-tjoret dalam bahasa Djepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi
ketempat ini-ini dan didjalan ini-ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku mendjaga,
agar meminta tidak lebih daripada jang diperlukan. Seringkali orang-orangku masuk duapuluh kilometer
kedaerah pedalaman untuk mentjari gudang bensin jang disembunjikan oleh Belanda. Aku mentjoba setiap
sesuatu dan segala sesuatu supaja tidak bergantung lebih banjak kepada Djepang. Tidak lupa Fujiyama setiap
kali bertanja, ,,Apakah tuan Sukarno memerlukan uang ?"
Dan kudjawab dengan, ,,Tidak, terimakasih. Rakjat memberikan segala-galanja kepada saja. Ketika saja
sakit baru-baru ini, tersebarlah berita kepada rakjat. Didjalan-djalan terdengarlah rakjat meneruskan berita
dari jang satu kepada jang lain, 'Hee, tablet calcium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Tjoba
tjarikan.' Dan dalam waktu satu djam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.
,,Darimana diperolehnja ?" dia bertanja tak-atjuh.
,,Saja tidak tahu," djawabku tak-atjuh pula. Jang tidak kusampaikan kepadanja ialah, bahwa di Padang
banjak orang Tionghoa punja toko jang bisa mentjarikan apa sadja kalau mereka mau. Dan kalau untuk
Sukarno mereka mau.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 97 dari 109
,,Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal jang lain ?"
Dan aku mendjawab, ,,Tidak, terimakasih. Saja tinggal dirumah Waworuntu tidak membajar. Rumah itu
tjukup buat kami. Saja tidak memerlukan perlakuan jang istimewa."
,,Bolehkah saja membantu tuan dengan adjudan sebagai pembantu tuan ?"
,,Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami tjara bantuan kami jang diberikan dengan
sukarela, namun itulah tjara kami. Saja mempunjai lebih dari tjukup tenaga pembantu." Seorang wartawan
setempat mendjadi supirku. Namanja Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Dutabesar Indonesia di
India. Seorang lagi jang pernah mendjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia setjara sukarela
untuk memberikan tenaga tanpa bajaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerdja sebagai sekretaris penuh
tanpa gadji.
Karena ia tidak dapat membudjukku ketjuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian, menanjakan
kepada jang lain-lain apa jang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaja mendjawab, ,,Terimakasih, Bung
Karno tidak memerlukan apa-apa. Rakjat memberikan apa sadja jang diperlukannja."
Aku tidak banjak minta, djadi kalau menuntut sesuatu biasanja aku memperolehnja. Dan tidak lama
kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Djepang menjerbu pulau Djawa
dengan tjara jang sama seperti Sumatra : Belanda lari puntang-panting. Djepang sekarang berkuasa atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka.
Sebagai balasannja mulailah timbul kegiatan gerakan-bawah-tanah dari para nasionalis jang sangat anti
Djepang. Beberapa orang jang terlibat dalam sabotase dan permusuhan setjara terang-terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia jang sangat ditakuti. Salahsatu dari jang malang ini kukenal baik. Namanja Anwar. Orang
ini disiksa. Kenpeitai ingin mendjadikannja sebagai tjontoh perbuatan djahat, oleh karena dialah orang
subversif jang pertama-tama ditangkap, Djepang mentjabut kuku djarinja.
Aku tjepat-tjepat pergi ke Bukittinggi dan menjimpan tasku dirumah Munadji seorang kawan, dan pergi
menemui para pembesar. Sementara itu pentjuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku jang
sedikit itu, karena aku tidak pernah punja barang banjak. Melajanglah tasku itu, didalamnja kalung emas
kepunjaan Inggit dengan liontin pakai berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanja untuk menerima barang itu
tanpa bajaran. Di Bukittinggi, mereka hanja mau memberikan dan tidak mau menerima sesuatu dariku. Djadi
polisi menduga, pentjuri itu tentu orang pendatang. Mendjalarlah dari mulut kemulut bahwa Bung Karno
mendjadi korban pentjurian dan dua hari kemudian harta itu kembali setjara adjaib. Untuk menghindari
hukuman, sipentjuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim untuk menjembunjikan
barang itu disudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi kesana untuk mendo'a dan
..............lihat ! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kedjadiannja .
Dua hari telah berdjalan aku kembali memperdjoangkan persoalan Anwar kepada Djepang. Kataku, ,,Saja
kenal baik kepadanja. Selama tuan menepati djandji untuk kerdja-sama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia dan orang-orang nasionalis jang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanja salah terima
mengenai penurunan bendera Merah-Putih dan peristiwa-peristiwa lain jang terdjadi sebagai pertanda dari
pemutusan djandji tuan. Dia tidak bermaksud apa-apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannja,
saja jakin saja dapat menggunakan tenaganja dengan baik. Saja sendiri memberikan djaminan akan djiwa
patriotismenja."
Dua djam setelah kundjungan jang kedua ini mereka melepaskannja.
Bab 19
Pendudukan Djepang
SEMENTARA itu Djendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan jang bermarkas-besar di Djakarta,
memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan sipil, akan
tetapi mereka keberatan dengan alasan, ,,Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 98 dari 109
Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menjatakan "Sebagian besar daripada tentara
pendudukan beserta pimpinan. Jang mengendalikan tentara ini berada di Djawa. Tugas pemerintahan jang
sesungguhnja ada disini dan ternjata urusan sipil tidak berdjalan dengan baik. Kami sangat memerlukan
bantuan dari orang jang paling berpengaruh." Surat itu achirnja menjimpulkan, ,,Ini adalah perintah militer
supaja memberangkatkan Sukarno."
Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku
ke Djakarta, hatiku menari-nari gembira. Semendjak pendaratan Djepang di Padang empat bulan jang lalu
aku mendo'a agar dapat kembali kepulau Djawa jang tertjinta, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana
tjaranja memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do'aku dan memerintahkanku
kembali.
Dekat Palembang kami terlibat dalam suatu ketjelakaan. Dua buah kendaraan. Djepang dengan ketjepatan
jang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah djip. Itulah pertamakali
dalam hidupku aku melihat djip. Kendaraan jang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. didalam truk
itu tergontjang, akan tetapi tidak apa-apa selain dari babak-belur sedikit. Dengan memberanikan diri mereka
tjepat-tjepat lari meneruskan perdjalanan. Djip itu hantjur samasekali. Penumpangnja, seorang kapten,
mendapat luka parah. Adjudannja terpelanting kepinggir djalan dan hanja pusing dan terbaring dibawah
sebatang kaju. Sewaktu dia sadar lagi dia menjatakan kepada kami, ,,Kami perlu segera sampai di
Palembang. Saja bawa Buick ini."
,,Tapi," protesku, ,,Ini milik saja. Komandan daerah ini memberikan izin istimewa kepada saja."
Kutundjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinja."
Sebagian dari ,,pertjakapan" ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, adjudan itu
menghormat dengan kaku, mengutjapkan sesuatu seakan dia berkata, ,Ini urusan penting. Ma'af sadja." Lalu
dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar didjalanan itu. Polisi Militer jang
segera datang ketempat ketjelakaan ini mengerti tanda-tanda pengenalku. Kendaraan selandjutnja jang
kebetulan lewat adalah sebuah truk. Sertamerta kendaraan itu disita dan kami meneruskan perdjalanan
dengan meninggalkan pemiliknja dipinggir djalan itu.
Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang Indonesia jang terbanting dari atas truk besar tadi
menggeletak disemak-semak, mukanja tertelungkup ketanah bermandi darah jang menggenang. Ia sudah
tidak bernjawa lagi. Aku tidak dapat meninggalkan orang jang malang itu ditengah hutan, dikelilingi oleh
muka-muka masam. Dengan mengangkat majat jang berlumuran darah keatas truk, aku membawanja untuk
dikuburkan sebagaimana mestinja. Jang seorang lagi adalah pradjurit Djepang, ditugaskan untuk membawa
kami. Inggit disuruh duduk disebelahnja. Penumpang lain dibelakang, Satu-satunja kesukaran jang kuhadapi
ialah mengenai Inggit jang tidak mau duduk disebelah Djepang. Achirnja aku menjelesaikannja dengan
meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua diantara Inggit dan pradjurit itu.
Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran jang lebib banjak. Para pembesar disana tidak
mengizinkan kami meneruskan perdjalanan ke Djakarta sebagaimana instruksi jang telah kuterima. Orang
jang bertugas menolakku dengan utjapan singkat, ,Dilarang bepergian antara Sumatra dan Djawa.
,,Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini," aku memberi alasan. ,,Perintah ini saja terima dari
komandan atasan saudara sendiri."
,,Sekarang, ini tidak ada perdjalanan orang preman antara Sumatra dan Djawa," dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menjuruhku pergi.
Ketika aku bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan kemarkas Kenpetai jang menjeramkan.
Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. ,,Kami memerlukan lebih banjak
keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno," kata seorang perwira berperut buntjit melengking, sambil
mempermainkan pedang Samurai ditangannja. ,,Kami mendapat keterangan dari saluran-saluran kami,
bahwa tuan orang jang tidak baik, hatinja tidak bersih terhadap kepentingan kami."
,,Tidak benar," aku mendengus tidak sabar. ,,Saja dapat membuktikan , ketidak-benaran keterangan itu."
Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik jang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat
digunakan dalam keadaan-keadaan seperti ini. Dia membatja pelahan-lahan. Kemudian diulangnja membatja
sekali lagi. Dan setjarik karton berwama putih inilah jang menjelamatkan djiwaku. Namun persoalan
pengangkutan tidaklah dipertjepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menjelesaikan persoalan
setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 99 dari 109
Sibuntjit telah menjarungkan kembali pedang Samurainja. Sambil tersenjum dia berkata, ,,Kalau betul tuan
orang baik dan dengan maksud-maksud baik, saja minta tuan mengundurkan keberangkatan dan membantu
kami mengatasi kesukaran-kesukaran disini jang disebabkan oleh rakjat tuan jang pandir.
Dia duduk dipinggir medja. Aku dikorsi. Kami berhadap-hadapan dan pada djarak jang dekat mukanja itu
menarik sekali untuk dipeladjari. Mulutnja tersenjum, akan tetapi matanja tidak. ,,Lebih baik kami tidak
menahan tuan dengan paksa, tuan Sukarno," dia mendesis. ,,Akan saja bantu dengan apa jang dapat saja
berikan," djawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain jang dapat diutjapkan dalam suasana
demikian itu.
Orang Djepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku melakukan
satu hal jang tidak mereka senangi samasekali. Akan tetapi sebaliknja mereka lalu melakukan banjak hal
jang tidak kusukai djuga. Aku telah menjaksikan perbuatan-perbuatan kurang-adjar dan memuakkan dan
menjampaikan hal ini kepada mereka. Kukatakan kepada Sibuntjit, "Seringkali saja Iihat anak-buah tuan
terlalu mudah melajangkan tangan. Dengan mata kepala saja sendiri saja menjaksikan mereka berkalikali
menampar orang Indonesia."
Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Sibuntjit hanja memandang kepadaku, dengan sombong
mengajun-ajunkan kakinja - setiap kali hampir-hampir mengenai kakiku - dan menantikan utjapanku untuk
memberikan kesimpulan. ,,Pukulan-pukulan terhadap rakjat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah djalan
untuk mentjiptakan persahabatan dan membangkitkan kepertjajaan rakjat," aku menegaskan. ,,Kalau tuan
menghendaki kerdjasama dari saja jang baik, tuan hendaknja memperlihatkan kerdjasama pada saja."
,,Itu keliru," katanja memberungut. ,,Kelakuan buruk ini dilakukan oleh pradjurit-pradjurit Korea. Orang
Korea terkenal dengan sifatnja jang gatal tangan. Pradjurit-pradjurit Djepang sikapnja djauh lebih baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu."
,,Komandan," kataku. ,Orang Indonesia jang kena pukul tidak membedakan siapa jang bertindak itu. Soalnja
ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan ? Dan tidak dilakukan oleh siapapun ?"
,,Baik, tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saja. Para Komandan Bataljon akan diperintahkan
supaja segera menghentikan perbuatan lantjang tangan ini." Sedjak itu sikap mereka berobah.
Sebulan kemudian mereka membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Djepang di Palembang
hanja mempunjai sebuah kapal, jaitu sebuah perahu-motor dengan mesin caterpillar. Perahu jang akan
mengarungi lautan ini pandjangnja delapan meter, sedangkan penumpangnja terdiri dari seorang kapten,
dua pradjurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang-barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu dan
Ketuk Dua. Aku mentjoba untuk mengusahakan kapal jang lebih besar, akan tetapi kepadaku disampaikan
supaja kami menunggu. Jah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanja menunggu di Sumatra.
Tjukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama-sekali tidak memenuhi sjarat sebagai kapal laut, akan tetapi ini
adalah kesempatan pertama jang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus kupergunakan.
Empat hari empat malam lamanja kami terkatung-katung ditengah lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap
detik dan setiap menit angin laut dan kabut-air menjapu muka bumi selama duapuluh empat djam dalam
sehari. Pelajaran ini djauh daripada menjenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan
jang keras dan kami harus menahankannja diatas perahu jang terbuka, tanpa setjarikpun alat pelindung.
Kemudian perahu-motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau-karang jang rendah. Lagi pula aku
gelisah menghadapi tantangan-tantangan ini, oleh karena aku tak pernah beladjar berenang. Dimasa mudaku
sportku dalam air hanja memakai ban dalam jang dipompa, lalu duduk didalamnja dan mentjebur-tjebur.
Kami membawa sajuran jang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnja dalam stoples dan nasi
seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Jang masuk kedalam perutku hanjalah air djeruk sedikit. Aku
terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal ketjil kami melambung keatas dan dihempaskan lagi
oleh gelombang kebawah, tergontjang, mengoleng-oleng dan berpusing-pusing. Dan aku putjat seperti majat
selama empat hari itu.
Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak-ngentak, matahari membakarku angus, kabut
air-laut membikin bibirku petjah-petjah, perutku lapar dan badan lemah - ach, peduli amat ! Bukankah
sekarang aku pulang ? Aku sekarang kembali ke Djawa. Karena sangat bersjukur dapat kembali dalam
keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini adalah
permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainja dengan kesegaran baru.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 100 dari 109
Lintasan pertama dari tanahku jang tertjinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Djawa. Hari
sudah sore dan panas ketika kami menderum-derum melalui iring-iringan perahu-lajar penangkap-ikan dan
sampan-sampan nelajan jang berbau hanjir. Melewati perairan diluar aquarium jang dibuat didok dan
memasuki pelabuhan Pasar Ikan jang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu berpapasan.
Pasar ikan penuh sesak dengan tempat pendjualan hasil dari laut. Airnja kotor. Daun-daunan, kepala ikan
dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau hanjir dari ikan mati memenuhi udara, sekitar itu. Akan
tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ketangga batu jang membawaku keatas daratan, aku
berbitjara dalam hatiku, ,,Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat jang lebih indah
seumur hidupku."
Didarat tak seorangpun jang datang mendjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang nelajan
untuk menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengatjara jang membelaku dulu di Bandung,
jaitu Sartono, dan Hatta jang djuga berada di Djakarta. Diudjung darmaga tampak sebuah kantor-emperan.
Pradjurit pendjaganja mempersilakanku masuk dan menjuruhku duduk. Dan kududuklah disitu. Aku
menunggu.
Anwar jang pertama datang. Tuhan melindunginja. Dia datang berlari dengan mata berlinang-linang. Kami
berpelukan dan mentjium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak diiringi
dengan pukulan punggung jang keras. Suasananja menggambarkan perasaan sjukur jang diutjapkan dengan
tidak bersuara. Hanja airmata mengalir kepipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak banjak mengutjapkan
kata-kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannja. la tidak bisa lewat dari kerongkongan. Sebaliknja ia
mentjutjur dari mata kami.
,,Bagaimana kabamja Harsono ?" tanjaku, suaraku berobah karena terharu.
,,Baik."
,,Utari ?"
,,Semua baik. Jang lebih penting lagi saja menanjakan bagaimana keadaan Bung Karno."
,,Akupun baik."
Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada djarak satu lengan. Didepannja ia
lihat sekarang seorang laki-laki jang letih dan kurus, pakai djas putih jang lapang dan tjelana tidak
berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan djaman. la adalah buatan Darham, pendjahit dari Pulau Bunga jang
tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan.
Anwar memakai djas kuning-gading dengan potongan ,,doublebreast". Setelah aku menjeka pipi dan
mentjium tanah dibawahku, lalu menggosok mataku untuk mejakinkan apakah jang berdiri didepanku betulbetul
Anwar, bukan-pajangan, aku kemudian kembali pada kenjataan. Kuraba-raba djasnja. ,Djasmu bagus
sekali potongannja," aku memudji.
,,Bikinan De Koning," ia melagak.
Pendjahit paling terkenal di Djakarta diwaktu Belanda. !Bagaimana kau membajarnja ?"
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti tjorong kemulutnja dan berbitjara langsung ketelingaku. ,,Saja
masuk dari pintu belakang. Ongkosnja terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan jang bekerdja sebagai
pendjahit-pembantu ditoko De Koning." ,,Apa dia mau kira-kira membikinkan untukku ?" ,,Tentu mau. Kalau
Bung Karno sudah senggang sedikit, saja bawa kesana."
Seringkali generasi muda menukil kembali utjapan-utjapan jang abadi dan jang akan hidup terus. Utjapan
jang keluar dalam detik-detik jang besar didalam sedjarah. Utjapan jang akan menggeletarkan tulang
sumsum, utjapan jang membangkitkan semangat, utjapan jang dituliskan dengan kata-kata indah seperti ini
disaat pertemuan kami. Akan tetapi sajang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanjakan tentang
keadaan Anwar beserta keluarganja, pokok persoalan selandjutnja jang kutanjakan kepadanja hanjalah
mengenai tukang djahitnja. Diminggu itu djuga aku pergi mendjahitkan pakaian jang pertama selama
bertahun-tahun.
Setengah djam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama
bertahun-tahun. Dan sekalipun banjak jang hendak dikatakan dan banjak jang hendak ditanjakan, namun
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 101 dari 109
masing-masing kami hanja punja satu pertanjaan untuk jang lain. Hatta membisik, ,,Bagaimana pendapat
Bung Karno mengenai pendudukan ini ?" Aku membisikkan kembali, ,,Djepang tidak akan lama disini. Mereka
akan kalah dan kita akan hantjurkan mereka. Inipun asal kita tidak menentang mereka setjara terangterangan.
Kemudian aku bertanja, ,,Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakjat kita ?"
,,Semangat rakjat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakjat sudah mulai tjuriga kepada Djepang jang
mendjadi ,,pembebas" itu dan rakjat sangat menantikan kedatangan Bung Karno.
Djepang telah menjediakan sebuah rumah bertingkat-dua dan manis potongannja, terletak disebuah djalanraja
Djakarta. Rumah itu mempunjai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, ketjuali piringpiring
barang petjah-belah lainnja jang sudah dibanting-bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat.
Tentunja tidak ada penjambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun jang tahu kapan
Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanja larangan jang keras untuk mengadakan pertemuan. Sekalipun
demikian didalam rumah kudapati telah ada beberapa anggota dari ,,Panitia Penjambutan Bung Karno".
Wadjah mereka bersinar dengan kegembiraan jang tenang dan mereka berlutut, lalu mentjium tanganku.
Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu. Orang-orang jang kutjintai
ini telah ditundjuk untuk mentjarikanku rumah tinggal jang tjotjok.
,,Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp-tawanan," kata Ahmad Subardjo. ,,Kalau Bung Karno berdjalandjalan,
akan melihat banjak rumah-rumah bagus jang kosong. Isteri saja meneliti sebelah satu djalan. Isteri
Sartono diseberangnja. Dalam beberapa hari sadja mereka menemukan rumah ini." ,,Rumah ini besar sekali,"
kataku sambil memeriksa bagian dalam. ,,Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu memerlukan
ruangan banjak untuk tetamu. Semendjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang dalam waktu tidak
lama lagi, rakjat dari desa-desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah jang djauh semakin meluapluap.
Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toch sanggup untuk datang dan melihat sendiri wadjah
Bung Karno, Mereka tidak pertjaja bahwa Bung Karno betul-betul ada disini dan bebas dan sudah siap lagi
untuk menduduki tempat sebagai pahlawan mereka." Malam itu Inggit dan aku berdialan-djalan disekitar
rumah kami jang baru itu. Didjalanan jang lebar dengan dikiri-kanannja barisan pohon-pohon, jang
merupakan daerah elite di Djakarta. Telah pandjang waktu berlalu dibelakangku. Hampir tigabelas tahun.
Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan perang telah terdjadi. Tapi sjukur, Aku sudah pulang
ketempatku semula. Aku kembali mendjadi pemimpin dari rakjatku. Aku sudah kembali ......
Bab 20
Kollabolator Atau Pahlawan ?
MALAM itu aku pergi kerumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan jang pertama guna membitjarakan taktik
kami bekerdja untuk masa jang akan datang. ,,Bung Hatta dan saja dimasa jang lalu telah mengalarni
pertentangan jang mendalam," kataku. ,,Memang disatu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi
sekarang kita menghadapi suatu tugas jang djauh lebih besar daripada jang dapat dilakukan oleh salahseorang
dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada waktu sekarang kita satu.
Dan kita bersatu didalam perdjoangan bersama."
,,Saja setudju," Hatta menjatakan.
Kami berdjabat tangan dengan kesungguhan hati "inilah", kataku berdjandji, ,,djandji kita sebagai
Dwitunggal. Inilah sumpah kita jang djantan untuk bekerdja berdampingan dan tidak akan berpetjah hingga
negeri ini mentjapai kemerdekaan sepenuhnja."
Bersama-sama dengan Sjahrir, satu-satunja orang jang turut hadir, rentjana-rentjana gerakan untuk masa
jang akan datang kami susun dengan tjepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerdja dengan dua tjara.
Diatas-tanah setjara terang-terangan dan dibawah-tanah setjara rahasia. Jang satu memenuhi tugas jang
tidak dapat dilakukan oleh tjara jang lain.
"Untuk memperoleh konsesi-konsesi politik jang berkenaan dengan pendidikan militer dan djabatan-djabatan
pemerintahan bagi orang-orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan tjara kollaborasi." kataku.
,,Djelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa," Hatta menegaskan. ,,Djadi
Bung Karno harus bekerdja setjara terang-terangan." ,,Betul, Bung Hatta membantu saja. Karena Bung Hatta
terlalu terkenal untuk bisa bekerdja dibawah-tanah."
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 102 dari 109
,,Biarlah saja," Sjahrir menjarankan, ,,untuk mengadakan gerakan bawah-tanah dan menjusun bagian
penjadap-berita dan gerakan rahasia lainnja."
Pembitjaraan singkat itu, jang berlangsung selama satu djam, mengembangkan suatu landasan jang begitu
ringkas. Dan kelihatannja seolah-olah dikerdjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali duapuluh
tahun kemudian. Sebenarnja strategi kami adalah satu-satunja pilihan jang mungkin didjalankan ketika itu.
Djadi kami tidak mernpunjai pilihan lain. ,,Inilah kesempatan jang kita tunggu- tunggu," kataku
bersemangat. ,,Saja jakin akan hal ini. Pendudukan Djepang adalah kesempatan jang besar dan bagus sekali
untuk mendidik dan mempersiapkan rakjat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp-tawanan. Sebaliknja
djumlah orang Djepang tidak akan mentjukupi untuk melantjarkan roda pemerintahan diseluruh kepulauan
kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa madjikannja
tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita."
Aku berdjalan hilir-mudik ketika berpikir dengan keras, ,,Akan tetapi rakjat kita harus menderita, lebih dulu,
karena hanja dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakjat kita adalah bangsa jang suka damai, mau
senang dan mengalah dan perna'af. Sungguhpun rakjat Indonesia hampir mentjapai djumlah tudjuhpuluh
djuta dan diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakjat tidak pernah bergolak sedernikian
panas sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannja dengan
memberikan kebaikan-kebaikan palsu. Djepang tidak.
,,Kita tahu, bahwa Djepang tidak segan-segan memenggal kepala orang dengan sekali ajunan pedangnja. Kita
mengetahui muslihat mereka, memaksa sikorban merninum berliter-liter air dan kemudian melompat keatas
perutnja. Kita sudah mengenal djeritan ditengah malam jang menakutkan jang keluar dari markas Kenpetai.
Kita mendengar pradjurit-pradjurit Kenpetai dengan sengadja dalam keadaan mabuk-mabukan untuk
menumpulkan perasaannja. ,,Orang Djepang memang keras. Kedjam. Tjepat melakukan tindakan kurangadjar.
Dan ini akan membuka mata rakjat untuk mengadakan perlawanan.
,,Mereka djuga akan memberikan pada kita kepertjajaan terhadap diri sendiri." Hatta menguraikan. ,,Bangsa
Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat." ,,Kondisi-kondisi inilah jang akan mentjiptakan suatu
kebulatan tekad. Kalau rakjat kita betul-betul digentjet, maka akan datanglah revolusi mental. Setelah itu,
revolusi fisik."
Aku duduk. Melalui lobang sandal aku mengelupas kuku djari kakiku, suatu tanda jang pasti bahwa pikiranku
gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu-djari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah. ,,Kita harus
melantjarkan gerakan kebangsaan," kataku berbitjara dalam mulut.
,,Tidak mungkin," Hatta membalas. ,Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun dilarang."
,,Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakjat kalau tidak ada pergerakan rakjat," kunjatakan dengan
tegas. ,,Saja tidak bisa duduk-duduk sadja dibelakang medja setjara passif. Kalau hanja sebagai pemberi
nasehat, itu tidak tjukup bagi saja. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menjuruh rakjat berdjoang, sekalipun
dengan diam-diam, tanpa bimbingan. Kalau saja tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri, saja akan
mengadakan infiltrasi kedalarn gerakan jang didukung oleh Djepang. Bagaimana dengan Gerakan Tiga-A ?"
Gerakan Tiga-A adalah suatu organisasi jang setjara psychologis keliru. la bekerdja dengan sembojannja jang
menusuk hati: &"Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Tjahaja Asia"
,,Gerakan itu tidak betul," Sjahrir menggerutu. ,,Tudjuannja tadinja hendak mengumpulkan bahan makanan
dari kita, mengaut kekajaan alam kita dan bahkan djuga mengumpulkan tenaga manusia."
,,Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apa-apa sebagai balasannja," Hatta menambahkan. ,,Ditambah
lagi dengan propagandanja jang sangat dibesar-besarkan, tidak adanja pemimpin bangsa Indonesia jang
duduk dalam putjuk pimpinannja dan ketidak-senangan rakjat jang sernakin meningkat menjebabkan
gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno mendjauhkan diri dari Gerakan Tiga-A."
,,Tidak. Saja pikir, malah saja akan memasukinja." ,,Kenapa ?" ,,Ja. Untuk merombaknja."
Dimalam pertama aku di Djakarta aku pergi tidur dengan kepala jang pusing, oleh karena pikiranku gelisah.
Hitam-putihnja baru diketahui dihari esok. Aku harus menghadap Letnan Djendral Imamura. la menerimaku
dikamar-duduknja dalam istana jang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Djendral Hindia Belanda.
Kamar duduk itu sekarang mendjadi kamar-studiku. Djendral Imamura adalah seorang Samurai sedjati.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 103 dari 109
Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah mempersilakanku
duduk, iapun duduk. Sikapnja lurus seperti tongkat.
Aku berbitjara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Djepang. Kami mempunjai djurubahasa. Aku pergi
sendirian tanpa pengikut. Djendral itu dengan adjudannja tentu. Djendral-djendral selalu punja. Dialah
mula-mula membuka pembitjaraan ,,Saja memanggil tuan ke Djawa dengan maksud jang baik. Tuan tidak
akan dipaksakan bekerdja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembitjaraan kita - apakah tuan
bersedia untuk bekerdja-sama dengan kami atau tetap sebagai penonton sadja - samasekali tergantung
kepada tuan sendiri."
,,Boleh saja bertanja, apakah rentjana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia ?" Mendjawab Imamura, ,,Saja
hanja Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah jang berhak menentukan, apakah
negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti jang luas dibawah lindungan pemerintah-Nja. Ataukah akan
memperoleh kemerdekaan sebagai negara-bagian dalam suatu federasi dengan Dai Nippon. Ataupun
mendjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saja tidak dapat memberikan djandji jang tepat tentang
bentuk kemerdekaan jang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan jang demikian itu tidak dapat
diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami tjita-tjita dan sjaratsjarat
tuan, dan ini sedjalan dengan tjita-tjita kami." Kalimatku selandjutnja adalah, ,Terimakasih, Djendral.
Terima kasih karena tuanlah orang jang mendupak Belanda jang terkutuk itu keluar. Saja mentjobanja
selama bertahun-tahun. Negeri saja mentjoba selama berabad-abad. Akan tetapi Imamura-lah orang jang
berhasil." ,Boleh saja bertjeritera, Ir. Sukarno, bagaimana saja menaklukkan orang Kulitputih jang kuatperkasa
itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah ! Semata-mata gertak."
Wadjahku diwaktu itu tentu mentjerminkan kebingungan, karena Djendral itu berkenan untuk tersenjum dan
kemudian dengan riang mentjeriterakan kemenangan itu. ,,Pada waktu tentara saja mendarat di Djawa,
pasukan saja hanja tinggal beberapa bataljon dan saja harus memetjah-metjahnja lagi. Sebagian mendarat
di Djawa Barat, sebagian di Djawa Tengah, sebagian di Djakarta, beberapa lagi di Banten. Jang langsung
dibawah pimpinan saja mendarat di Kalidjati. Dan pasukan ini tjompang-tjamping. Orang-orang saja punja
senapan, tapi tidak punja uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Djendral sudah terbang ke Bandung."
,,Kota itu dilindungi oleh gunung-gunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan." ,,Betul,"
Imamura mengangguk. ,,Lalu saja mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannja ke
Kalidjati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saja bemarkas disebuah kamar
jang ketjil. Dengan suara-suara jang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menjokong keberanian saja, saja
menuntut, 'Nah, apakah tuan sekarang akan menjerah ? Kalau tidak, saja akan membom tuan sampai lenjap
dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnja segera terburu-buru dan menjerah."
,,Dengan sisa tentara jang terpetjah-petjah dan melarat," kataku kepada penakluk jang menghadapiku, tuan
mengusir orang-orang jang akan selalu dianggap sebagai penindas-penindas sedjati dari Indonesia. Saja
berterima-kasih kepada tuan untuk selama-lamanja."
Drama jang kupertundjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Djendral Aguinaldo. Dia
melawan Spanjol selama bertahun-tahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, jang
pertama-tama diutjapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, ,,Terima-kasih." Kemudian ketika
Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menjepakkannja keluar dengan
keras.
"Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?" tanjaku.
,,Terus-terang saja tidak tahu. Saja tidak mempujnjai rentjana sampai kesitu." Nah, dia belum. Tapi aku
sudah punja. Dan aku mulai dengan siasat jang pertama. ,,Untuk memimpin rakjat kami sesuai dengan
pemerintahan militer, saja memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanja
dapat dilantjarkan, kalau orang-orang Indonesia ditempatkan pada djabatan-djabatan pemerintahan. Hanja
orang Indonesialah jang mengetahui daerah, bahasa-bahasa daerah dan adat-istiadat saudara-saudaranja."
,,Kalau ini pemetjahan jang terbaik untuk memadjukan kemakmuran dan kesedjahteraan, maka orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menjelesaikan urusan dalam negeri setjara meningkat.
Djabatan-djabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan segera."
Kalau dilihat dari konsesi-konsesi jang diberikan kepadaku dibidang politik, maka kekuasaan berada
ditanganku. Sang Djendral adalab seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang sendjata. Aku seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Didalam tanganku ia seorang baji.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 104 dari 109
Kugariskan rentjanaku kepada Hatta malam itu djuga. ,Dengan biaja pemerintah Djepang akan kita didik
rakjat kita sebagai penjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak hanja
menerima perintah. Rakjat dipersiapkan mendjadi kepala. kepala dan administrator-administrator. Mereka
dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu-hari-jang-akan-datang, pada waktu mana kita
mengambil alih kekuasaan dan menjatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita
melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil" Tanpa menunggu djawaban atas keterangan itu aku
melandjutkan, ,,Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana-mana Belanda.... Belanda. ...... pendeknja
setiap satu djabatan diduduki oleh si Belanda buruk !" ,,Dan rakjat kita tjukup djadi pengantar-surat sadja
atau pesuruh," Hatta menambahkan, ,,Selalu dalam kedudukan menghambakan diri Selalu patuh." ,,Sekarang
rakjat jang kurus-kering, diindjak-indjak lagi bebal ini akan mendjadi pedjabat-pedjabat dalam
pemerintahan. Mereka akan beladjar membuat keputusan, mereka akan mempeladjari bagaimana
melantjarkan tugas, mereka akan mempeladjari bagaimana memberikan perintah. Saja sudah menanamkan
bibitnja dan Djepang akan memupuknja.
Aku meludah ketanah. ,,Itulah sebabnja mengapa setiap orang jang tjerdas membentji Belanda. Orang
Belanda mengharapkan kerdjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita jang
menguntungkan dari kerdjasama itu. Kalau saja mengingat-ingat perangai Belarida jang munafik, saja mau
muntah. Apakah jang dikerdjakan Belanda untuk kita ? Nol besar ! Saja menjadari, tentu ada orang jang
menentang saja, karena saja bekerdjasama dengan Djepang. Tapi, apa salahnja ? Memperalat apa jang sudah
diletakkan didepan saja adalah taktik jang paling baik. Dan itulah sebabnja mengapa saja bersedia
menerimanja."
Bulan Nopember Gerakan Tiga-A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang djabatan resmiku dalam
suatu badan baru jang bernama PUTERA. Tokyo menganggap ,,Pusat Tenaga Rakjat" ini sebagai alat dari
Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakjat digaris belakang bagi kepentingan peperangan mereka. Tapi
Sukarno mengartikannja sebagai alat jang nomor dua paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak
politik jang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan-kesulitan jang timbul didalam negeri.
Ambillah misalnja persoalan tekstil jang rumit. Oleh ketiadaan kain rakjat Marhaen memakai badju dari
karung atau bagor. Anak-anak jang baru--lahir dibungkus dengan taplak-medja. Aku pergi berkeliling
menjampaikan seruan kepada rakjat desa. Kataku, ,,Dinegeri kita tumbuh sematjam tanaman jang bemama
rosella. Seratnja bisa -ditenun mendjadi kain. Hajo kita tanani rosella. Mari kita tenun kain dari rosella."
Rakjat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakjat terpaksa mentjari akal untuk menutupi kekurangan, mereka
melakukannja. Akan tetapi sementara aku mendjalankan gerakan itu, aku memilih patriot-patriot jang
dipertjaja dan memperkerdjakannja pada pembesar-pembesar setempat. Kataku, ,,Pekerdjaan ini akan lebih
berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannja. Ini orangnja, djadikanlah dia sebagai
kepala dari gerakan ini. Saja sendiri mendjamin kesetiaannja."
Kami tidak mempunjai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaja membuat sabun dari minjakkelapa
dan abu daun-kelapa jang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia jang berbuih djika ditjampur
dengan minjak. Kemudian kupilih salah-seorang pengikutku jang paling dipertjaja, Ialu kusampaikan kepada
pedjabat jang berhubungan dengan itu, ,,Saja mempunjai seorang kawan disini jang mengetahui bagaimana
melakukannja. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan."
Kami tidak punja listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, ,,Hajo kita tanam djarak. Tanaman ini
mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bidjinja kita dapat membuat minjak kastroli jang bisa menjala
dengan terang." Apa sebabnja aku mengetahui hal ini ? Oleh karena aku orang Djawa. Oleh karena
keluargaku melarat dan terpaksa memakainja. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku harus
membakar bidji djarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnja mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah jang diduduki itu. Hanja
penduduk aslilah jang tahu, bagainiana memetjahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat menduduki
suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu - ini selalu - dimana sadja - bilamana sadja.
Kami tidak mempunjai obat-obatan. "Pakailah obat asli peninggalan nenek-mojang kita," aku mengandjurkan.
,,Untuk penjakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari alang-alang." Rakjat
Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan-penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan jang paling rumit untuk diatasi. Tentara Djepang merampas setiap
butir beras. Kalau bukan orang penting djangan diharap akan memperolehnja sekalipun satu kilo. Di Bali
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 105 dari 109
orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sedjumlah besar bidji pepaja dan membagikannja
kepada setiap orang masing-masing dua butir. Buah-buahan jang enak ini kemudian tumbuh disetiap
pendjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Djepang membuat djaringan radio jang tetap dengan
menempatkan pengeras-suara disetiap desa, sehingga setiap orang jang sebelum itu hanja mendengar nama
Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. ,,Saudara-saudara kaum wanita," terdengar suara Sukarno
mendengung melalui tiap pengeras-suara, ,,Dalam waktu saudara jang terluang, kerdjakanlah seperti jang
dikerdjakan oleh Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Dihalaman muka saudara sendiri saudara
dapat menanamnja tjukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara." Nah, karena Sukarno jang
mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnja. Dan disetiap halaman bertunaslah buah djagung.
Usaha ini ada ketolongannja.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebentjian rakjat terhadap orang Djepang, karena kekurangan
makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato-pidato seperti ini. ,,Agen-agen musuh membisikkan
ditelinga saudara, bahwa Dai Nippon jang mendjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan-bulan
jang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara-negara Sekutupun menderita
kemelaratan dan setiap hari rakjat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Djika mereka
mengatakan 'Tidak' itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara-saudara pertjaja kepada berita bohong ini,
maka saudara sama sadja seperti katak dibawah tempurung.
Bertahun-tahun jang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di Inggris.
Djadi, saudara-saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana-mana.
,,Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muang Thai. Akan tetapi kapal-kapal pengangkut itu sudah
ditenggelamkan kedasar laut. Kekurangan makanan adalah kedjadian jang biasa dalam peperangan. Akan
tetapi siapakah jang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini ? Belanda. Bukan Dai Nippon
Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merobah sawah-sawah kita mendjadi kebun tebu, tembakau atau hasil
lain jang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinja sendiri. Maka dari itu, sampai dihari kita berdiri sendiri
bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor beras."
Aku ditugaskan untuk ,,menjerang Sekutu, memudji negara-negara As - jaitu sekutu Djerman dan Djepang -
menimbulkan kebentjian terhadap musuh-musuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai
Nippon." Akan tetapi, sekalipun pidato-pidatoku diteliti terlebih dulu dengan katja-pembesar oleh Bagian
Propaganda, kalau dipeladjari sungguh-sungguh ternjatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata-mata
menanamkan kesadaran nasional.
Misalnja sadja, sambil menundjuk kepada seorang pradjurit Djepang jang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, ,,Lihat, dia mendjalankan tugasnja oleh karena dia tjinta kepada tanah-airnja. Dia
berperang untuk bangsanja. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah-airnja. Begitupun.......kita ......
harus ! Kemudian aku menanamkan kepada rakjat tentang kebesaran negeri kami sebelum mengalami
pendjadjahan. ,,Keradjaan Madjapahit memperoleh kemenangan jang gilang-gemilang setelah digembleng
dengan penderitaan dalam peperangan-peperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung Hanjokrokusumo
membikin negara Mataram mendjadi negara jang kuat setelah mengalami tjobaan-tjobaan didalam perang
Senapati. Dan orang Islam didjaman. keemasannja barulah mendjadi kuat setelah mengalami Perang Salib.
Tuhan Jang MahaKuasa berfirman dalam Quran: 'Ada masa-masa dimana kesukaranmu sangat berguna dan
perlu'."
Aku pandai memilih kata-kata sehingga orang-asing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat
menangkap arti kiasan jang chas menurut daerah. Aku memetik tjerita-tjerita dari Mahabharata, oleh karena
80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan tjerita itu. Mereka tahu, bahwa Ardjuna adalah pahlawan dari
Pandawa-Lima, dimana keradjaan mereka telah direbut setjara litjik dalam suatu peperangan besar.
Pandawa-Lima ini melambangkan kebaikan. Jang menaklukkan mereka adalah lambang kedjahatan.
Setiap nama mentjerminkan watak manusia didalam pikiran kami. Ardjuna perlambang dari pengendalian
diri-sendiri. Saudaranja, Werkudara, melambangkan seseorang Jang kuat berpegang kepada kebenaran.
Sebutlah Gatutkatja, serta-merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Tjakil, orang tahu bahwa
itu raksasa jang djahat. Dalam pewajangan maka tokoh-takoh jang baik selalu duduk dikanan, jang djahat
disebelah kiri. Muka-muka jang berwarna keemasan putih atau hitam menundjukkan orang jang baik-baik dan
jang merah bandit2nja. Dengan mudah sekali aku membawakan djalan pikiranku dalam perumpamaan ini.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 106 dari 109
Tjara jang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisan-tulisanku jang dibuat sebelum perang rakiat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Djepang sebagai imperialis modern di Asia. Djadi, dalam masa
inilah aku mentjetak satu perumpamaan jang terkenal: ,,Dibawah Matahari-Terbit, manakala Liong Barongsai
dari Tiongkok bekerdja-sama dengan Gadjah-Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan
Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan sekarang,
dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hantjur-lebur dari permukaan benua kita !"
Menurut tjara berpikir orang Indonesia ini tjukup djelas. Maksudnja ialah bahwa daerah-daerah jang diduduki
bersatu dalam tekad untuk melenjapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerdjasama dengan Matahari-
Terbit. Aku mengatakan, kita bekerdja-sama DIBAWAH Matahari-Terbit.
Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, jang dianggapnja semata-mata sebagai alat untuk
dapat mempertahankan daerah takluknja. Ketika aku minta izin untuk ,,menulis dan berkeliling guna
meringankan kesulitan-kesulitan didaerah jang tidak bisa ditjapai", dia menjediakan surat-suratkabar dan
pesawat-terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapat-rapat raksasa Aku berpidato
dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato dihadapan 100.000 orang dalam rapat-jang lain.
Tidak hanja nama Sukarno, melainkan djuga wadjah Sukarno telah mendjalar keseluruh pelosok kepulauan
Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Djepang. Sekali lagi aku menggelorakan hati rakjat.
Aku membangkitkan semangat rakjat. Aku mengojak-ojak kesadaran rakjat. Dan Dai Nippon semakin
memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, djanganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan mewah
selama peperangan. Tidak. Kalau rakjat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan, Sukarno djuga
tidak mempunjai makanan. Aku sendiri terpaksa mentjari beras untuk memberi makan keluargaku. Pemimpin
dari suatu bangsa pergi kekampung-kampung untuk mengumpulkan lima kilo beras, tak ubahnja dengan
rakjat desa jang paling miskin.
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Setjelah ketjil tjahaja
selama satu detik tampak bersinar dari luar jang gelap. Segera setelah aku mematikannja, terdengarlah
suara orang menggedor-gedor pintu dengan keras. Dengan tjepat Inggit mendjawabnja dan ia berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer.
,,Ada apa ?" tanja Inggit gemetar. Kaptennja menggeram, ,,Siapa jang punja rumah ini ?" ,,Saja," djawab
Inggit. ,,Tidak," teriaknja, ,,Kami maksud tuan rumah. Siapa suami njonja ?"
Aku sedang berada djauh didalam, akan tetapi aku keluar djuga Kapten itu membentak-bentak kepadaku
karena tjahaja lampu jang sedetik itu, kemudian tangannja melajang plang ...... plang ...........plang.......
plang, kemplangannja dengan tjepat melekat dimukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan
mendjerit, ,,Aduh....... Aduh.....djangan tampar dia. Saja jang harus bertanggung-djawab. Itu bukan
salahnja. Oooo, ma'afkanlah dia. Saja jang lalai ........ !"
Orang-orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku petjah-petjah. Dari bibir dan
hidungku banjak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengutjapkan sepatah kata. Aku tidak bertahan
untuk diriku sendiri. Aku hanja menahankannja dengan tenang sambil berkata kepada diriku sendiri,
,,Sukarno, kesakitan jang kaurasakan sekarang hanjalah merupakan kerikil didjalan raja menudju
kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau djatuh karenanja, berdirilah engkau kembali dan terus
berdjalan."
Aku melaporkan kedjadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu sadja dia
minta maaf dan menjatakan, ,,Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan" dan selandjutnja katanja, ,,segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu";, akan tetapi orang-orang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato dihadapan rakjat. Sambutan rakjat lembek. Aku
menterdjemahkannja dengan semangat jang berkobar-kobar dan dengan memberikan beberapa putar-balik
kata-kata gaja Sukarno. Rakjatku djadi gila karenanja. Pada setiap utjapan mereka bersorak dan berteriak
dan bertepuk. Hal ini membangkitkan ketjurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan kemarkasnja, dimana aku
dibentak-disenggak dan diantjam. Aku merasa jakin dalam diriku, bahwa aku akan digantung. Tapi
untunglah. Seorang djurubahasa jang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku. Akan tetapi orang ini
setia kepadaku dan dia mendjamin utjapan-utjapanku. Kemudian setelah mengalami detik-detik jang
menakutkan selama berdjam-djam aku dibebaskan kembali.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 107 dari 109
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira-perwira Djepang atau menelitiku setjara diam-diam.
Seringkali Kenpeitai datang diwaktu jang tidak tertentu. Aku harus mendjaga diriku setiap saat. Orang
Djepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempertjajaiku sepenuhnja. Kaki-tangan kami dalam gerakanbawah-
tanah mengabarkan, bahwa ada rentjana Djepang untuk membunuh semua pemimpin bangsa
Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Djepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil hati rakjat
untuk kepentingan mereka. Akan tetapi disaat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang pula. Aku
senantiasa dalam bahaja.
Berbahaja atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan-bawah-tanah.
Kadang-kadang djauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah
menutup pintunja, aku mengadakan pembitjaraan diklinik Dr. Suharto. Adakalanja aku mengadakan kontak
dengan seorang penghubung diluar tempat terbuka setjara beramah-tamah, kelihatan tersenjum seolah-olah
kami berbitjara dengan senang. Kemudian dihari berikutnja setjara berbisik-bisik tersebarlah instruksi
kepada anggota-anggota bawah-tanah, ,,Ini boleh kita kerdjakan ............ ini tidak." Perintah-perintah ini
datangnja dariku. Aku sendirilah jang memiliki fakta-fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi
kekedua djurusan. Akan tetapi Djepang mempunjai tjara-tjara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang jang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan-perempuan ditarik dari
rumahnja dan diangkut dengan kapal, katanja ke-"tempat-pendidikan", tapi kemudian mereka didjerumuskan
kedalam rumah perzinaan. Laki-laki dan perempuan jang tidak membungkukkan badan pada waktu melewati
seorang pendjaga didjalanan mendapat tamparan. Dari tjara hukuman jang demikian karena kesalahan
ketjil-ketjil dapatlah orang membajangkan, bagaimana hukuman jang harus dihadapi oleh orang-orang jang
kedapatan bergerak dibawah-tanah. Dan kenjataan ini memaksa orang untuk bertindak hati-hati sekali.
Tjutjunguk ada dimana-mana. Dengan menjamar sebagai tukang sate mereka berdjalan sepandjang waktu,
sambil mendengar-dengar kan suara titit.....titit dari radio, jang berarti bahwa ada seseorang jang sedang
menerima 'atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan radio gelap.
la didjatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperdjoanganku jang akrab dan kawan
sesungguhnja, tidak minta pertolonganku supaja berusaha melepaskannja, oleh karena dia menganggap
tuduhan itu terlalu berat dan djika aku turut membelanja dapat mendjerumuskan ku kedalam bahaja jang
besar.
Akan tetapi aku mempunjai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnja, kalau
ada kekeruhan tugas merekalah untuk menjalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan setjara lisan.
Tidak ada jang berani menjatakannja dengan tertulis. Berita itu diteruskannja kepada seorang agen jang
bekerdja di Sendenbu, jang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Achirnja sampailah kabar iepadaku, bahwa telah terdjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini ditahan
dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan mendjalani hukuman mati telah ditetapkan. Dan pada
suatu hari Suharto mendapati kemenakannja sudah kembali lagi dan sedang duduk diberanda depan
rumahnja. Semuanja terdjadi dengan sangat tjepat, tidak dengan ribut-ribut.
Orang Indonesia mempunjai keluarga jang besar dan ratusan sanaksaudara, sehingga berita dapat berdjalan
dari desa kedesa keseluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Tjara ini lebih baik daripada telpon.
Dengan tjara berita dari mulut kemulut ini datanglah pesan jang lain: ,,Pengatjara Sujudi ditahan.
Sampaikan kepada Sukarno." Sujudi telah mengorbankan reputasinja untukku. Dirumahnjalah aku ditangkap
dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar jang mengurus
perkaranja, memberikan diriku sendiri sebagai djaminan untuk menjelamatkan Sujudi. ,,Tidak mungkin dia
mengadakan komplot menentang Dai Nippon," aku mempertahankan. ,,Tuduhan ini tentu keliru. Sujudi
adalah nasionalis jang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon jang kami hormati, karena Nipponlah jang
membantu kami untuk kemerdekaan." Setelah itu ia bebas.
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salahseorang pemimpin kami dari gerakan-hawahtanah,
selama berminggu-minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinja keatas. Dia disuruh
meminum air-kentjingnja sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannja
dengan menegaskan kepada para pedjabat jang bersangkutan, ,,Bebaskan dia atau kalau tidak, djangan
diharap lagi kerdja-sama dari saja." Untuk dapat membuat pernjataan seperti itu, sungguh-sungguh
diperlukan hati jang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin ketika Djepang
mengeluarkannja, memerlukan kekuatan hati jang lebih besar lagi. Badannja kurus seperti lidi. Orang tidak
dapat pertjaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin
keluar dIm keadaan bernjawa.
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 108 dari 109
Aku telah banjak menjelesaikan persoalan-persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur djauh
didalam hatiku. Tidaklah kusorak-sorakkan djasa jang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap
rumah, betapapun djuga banjaknja. Selama hidupku aku telah mendjalankan amal djariah kepada semua
manusia, apabila aku sanggup nielakukannja. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah jang penting bagiku.
Bab 21
Puteraku Jang Pertama
SEBENARNJA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik djasmani maupun rohani.
Ketegangan-ketegangan jang timbul telah mengorek-ngorek djiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai
penderita malaria jang melarut aku dimasukkan kerumah-sakit selama berminggu-minggu terus- menerus.
Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat-tidur jang kosong, aku dimasukkan ke Kamar Bersalin.
Perempuan tjantik-tjantik dibawa masuk disebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu pajah untuk dapat
memperhatikan mereka.
Tambahan lagi aku menderita penjakit gindjal. Kadang-kadang aku meringkuk dengan kaki rapat kebadan,
oleh karena serangan-serangan jang tidak tertahankan sakitnja. Adakalanja keluar keringat dingin, bahkan
kadang-kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terdjadi, bahwa setelah
selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti jang diharapkan. Aku menghadapi persoalan-persoalan jang sungguhsungguh
berat. Kehidupanku diselubungi oleh gontjangan-gontjangan urat sjaraf. Hubungan Inggit denganku
tidak baik. Disuatu malam, karena ingin mendapat kata-kata jang menghibur hati dan ketenangan pikiran,
aku menemani seorang kawan kesebuah Rumah Geisha. Sekembali dirumah, Inggit mengamuk seperti orang
gila. Dia berteriak-teriak kepadaku. Barang-barang beterbangan dan sebuah tjangkir mengenai pinggir
kepalaku.
Rupanja persoalan Fatmawati masih mengapung-apung diantara kami, sekalipun tidak ada kontak antara
Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan
bahwa kami sudah selamat sampai di Djakarta. Hanja itu. Surat ini kupertjajakan kepada seorang suruhan
jang dipertjaja jang menitipkannja pula kepada tukang-mas dalam perdjalanan menudju Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal dirumah bertingkat. Dirumah baru ini
anak kami dengan suaminja Asmara Hadi tinggal bersama-sama dengan kami. Pada achirnja merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. ,,Bu," Ratna
Djuami menangis dihadapan Inggit pada suatu malam. ,,Bapak kelihatan sekarang sangat pentjemas dan
penggugup. Pikirannja nampaknja katjau. Dan kesehatannja selalu terganggu."
,,Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinja," sambung Asmara Hadi terus-terang. ,,Kalau sekiranja dia
tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnja. Akan tetapi perasaan tidak bahagia
ini jang ditumpukkan keatas bebannja jang sudah tjukup berat itu sangat melemahkan kekuatannja."
Aku meminta pengertian Inggit. ,Aku sendiri, akan mentjarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan
segala sesuatu jang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terdjadi pertengkaran dan ini
tentu tidak baik untukmu."
,,Ini djalan satu-satunja, Bu," Asmara Hadi mengeluh. ,,Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanja ibu,
ataupun saja maupun Ratna Djuami jang memerlukannja. Dia kepunjaan kita semua. Rakjat memerlukan
bapak sebagai pemimpinnja, tidak jang lain. Dan apa jang akan terdjadi terhadap Indonesia, kalau dia
hantjur ?"
Setelah pertjeraian telah disepakati bahwa Inggit kembali kekota kelahirannja. Dipagi itu ia harus pergi
kedokter-gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannja pergi seorang
diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan
kami tidak enak, dan sesampai dirumah kami mendapati serombongan wanita jang akan bertamu kepada
Inggit. Sedjam lamanja mereka berkundjung, sekalipun tidak banjak jang dipertjakapkan. Kuingat diwaktu
itu aku merasakan kegelisahan jang amat sangat. Saat jang melelahkan sekali.
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang-barangnja, mejakinkan diri kalau-kalau
ada sesuatu jang kurang, lalu aku mengutjapkan selamat tinggal kepadanja ................
BUNG KARNO PENJAMBUNG LIDAH RAKJAT INDONESIA Halaman 109 dari 109
Bulan Djuni 1943 Fatma dan aku kawin setjara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnja beserta orangtuanja
ke Djawa urusannja terlalu berbelit-belit dan pandjang, pun aku tidak bisa segera mendjemputnja ke
Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanja menunggu leliih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku jang
keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan
dan sesuatu jang mewakili mempelai laki-laki. Aku mempunjai lebih daripada sesuatu itu. Aku mempunjai
seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan jang akrab dan memintanja untuk mewakiliku. la
memperlihatkan telegram itu kepada orangtua Fatma dan usul ini mendapat persetudjuan. Pengantin dan
wakilku pergi menghadap'kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Djakarta, dengan demikian
kami sudah mengikat tali perkawinan.
Ditahun berikutnja Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan kegembiraan
jang diberikannja kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan achirnja Tuhan Jang Maha Pengasih mengaruniai
kami seorang anak.
Disaat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orangtua kami dari keduabelah pihak tinggal dengan kami
dipaviljun dekat rumah hingga sang baji lahir. Bapaklah jang mengawasi segala pekerdjaan. Dialah jang
duduk setiap djam memberi petundjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinja. Selalu aku
melihat mereka duduk bersama-sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan sesuatu seperti,
,,Nah, djangan lupa mentjatat bedak baji, pisau ketjil untuk pemotong talipusatnja dan emban untuk
menahan perutmu sendiri."
Dimalam Fatma akan melahirkan kanii mendjamu tamu-tamu penting - orang Djepang dan orang Indonesia.
Fatmawati sibuk melajani sebagai njonja-rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku sendiri
membimbingnja kekamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada disisinja, pun tidak
tidur barang satu kedjap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera jang tidak ternilai itu. Kududuk
diatas tempat-tidur mendampinginja, memegang tangannja sementara ia melahirkan. Aku bukanlah orang
jang bisa tahan melihat darah, akan tetapi disaat didjadikannja seorang manusia idamanku ini adalah saat
jang paling nikmat dari seluruh hidupku. Djam lima waktu subuh, ketika terdengar azan dari mesdjid
memanggil ummat untuk menjembah Tuhannja, anakku jang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Jang Maha-Penjajang dan Maha-Bidjaksana telah memandjangkan umur bapakku untuk dapat melihat
darah-dagingku mengindjak dunia ini. Setelah itu ia djatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan-bulan dengan
tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas jang penghabisan.
Aku teringat akan ,,Si Tukang Kebun", sebuah buku tjerita jang kubatja pada waktu masib berumur 13 tahun.
Waktu itu aku tidak mengerti maknanja jang lebih dalam. la mentjeritakan tentang bagaimana daun-daun
kaju jang sudah tjoklat dan kering harus djatuh dan memberikan tempatnja kepada putjuk jang hidjau dan
baru.
Duapuluh tahun kemudian barulah aku mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar