Februari tahun lalu, tepatnya 2 Februari 2010, Amarico Sarmento memutuskan memeluk Islam. Nama Amarico Sarmento segera berganti menjadi Muhammad Amiruddin.
Keinginan Amir, demikian sapaan akrabnya sekarang, untuk memeluk Islam sebenarnya sudah ada semenjak kecil. Namun, orang tua, khususnya sang ayah, mewanti-wanti agar Amir tidak masuk Islam. Amir yang berusia belia saat itu takut dan khawatir dengan ancaman sang ayah yang akan membuangnya dan tak membiayai sekolah.
Selepas menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, Amir yang merasa tidak lagi membebani orang tua dengan biaya sekolah, segera memutuskan untuk memeluk Islam. Amir mengaku memeluk Islam tanpa paksaan ataupun ajakan dari orang lain.
Bagi Amir, berislam adalah pilihan hati, tak bisa dibanding-bandingkan agama lama dan barunya. Dia masih ingat, ketika melihat temannya yang Muslim shalat dia merasa tertarik. Dia seolah tidak pernah melihat nuansa ritual yang kental seperti itu sebelumnya.
Baginya, agama juga tak sekadar ritual semata. Sebuah agama diharapkannya memberikan cahaya penerang sebagai penuntun dalam menjalani kehidupan. “Saya banyak baca, saya banyak bertanya tentang Islam, Alhamdulillah pilihan saya tidak salah,” kenang Amir.
Kini, Amir tengah mendalami pendidikan agama di Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba Center. Di pesantren itu, Amir belajar bahasa arab, bahasa yang menurutnya sulit untuk diucapkan. Dia belajar Iqra, shalat, dan puasa Senin-Kamis. Dia mengaku banyak mendapatkan bimbingan yang luar biasa dari guru di pesantren.
Dia sadar, sebagai seorang Muslim, dia belum sempurna menerapkan ajaran Islam. Namun, dia terus bekerja keras untuk lebih menyelami ajaran-ajaran Islam. “Islam itu luar biasa. Islam itu agama yang baik. Makanya saya heran mengapa Islam banyak dicap sebagai teroris,” kata dia.
Kenyang diolok-olok
Amir sadar, keputusannya memeluk Islam memunculkan konsekuensi; docemooh lingkungannya. Ia selalu diolok-olok teman-temannya ketika tahu bahwa dirinya seorang Muslim.
Bagi dia, olok-olok itu malahan mempertajam keyakinan Amir atas pilihannya. “Setiap kali diolok-olok, saya selalu katakan, saya sudah memilih Islam, saya pun siap dengan segala macam konsekuensi dari pilihan tersebut,” kata dia.
Keputusannya memeluk Islam membuat orang tuanya marah besar. Dia pun dikucilkan dari keluarganya. Setiap kali, Amir berusaha menjalin komunikasi, respons yang diterima sangat meyakitkan.
Amir punya mimpi, selesai mendalami ilmu dan Islam, dia berniat untuk menjadi pendakwah. Dia punya cita-cita untuk memberikan perlindungan terhadap saudara-saudara Muslimnya yang berada di Timor Leste. Menurut dia, saudara-saudaranya itu acapkali mendapatkan ancaman dan intimidasi. Akibatnya, kata Amir, sebagian dari saudaranya yang Muslim meninggalkan Islam. Amir juga punya impian untuk mengislamkan keluarganya.
Keinginan Amir, demikian sapaan akrabnya sekarang, untuk memeluk Islam sebenarnya sudah ada semenjak kecil. Namun, orang tua, khususnya sang ayah, mewanti-wanti agar Amir tidak masuk Islam. Amir yang berusia belia saat itu takut dan khawatir dengan ancaman sang ayah yang akan membuangnya dan tak membiayai sekolah.
Selepas menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, Amir yang merasa tidak lagi membebani orang tua dengan biaya sekolah, segera memutuskan untuk memeluk Islam. Amir mengaku memeluk Islam tanpa paksaan ataupun ajakan dari orang lain.
Bagi Amir, berislam adalah pilihan hati, tak bisa dibanding-bandingkan agama lama dan barunya. Dia masih ingat, ketika melihat temannya yang Muslim shalat dia merasa tertarik. Dia seolah tidak pernah melihat nuansa ritual yang kental seperti itu sebelumnya.
Baginya, agama juga tak sekadar ritual semata. Sebuah agama diharapkannya memberikan cahaya penerang sebagai penuntun dalam menjalani kehidupan. “Saya banyak baca, saya banyak bertanya tentang Islam, Alhamdulillah pilihan saya tidak salah,” kenang Amir.
Kini, Amir tengah mendalami pendidikan agama di Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba Center. Di pesantren itu, Amir belajar bahasa arab, bahasa yang menurutnya sulit untuk diucapkan. Dia belajar Iqra, shalat, dan puasa Senin-Kamis. Dia mengaku banyak mendapatkan bimbingan yang luar biasa dari guru di pesantren.
Dia sadar, sebagai seorang Muslim, dia belum sempurna menerapkan ajaran Islam. Namun, dia terus bekerja keras untuk lebih menyelami ajaran-ajaran Islam. “Islam itu luar biasa. Islam itu agama yang baik. Makanya saya heran mengapa Islam banyak dicap sebagai teroris,” kata dia.
Kenyang diolok-olok
Amir sadar, keputusannya memeluk Islam memunculkan konsekuensi; docemooh lingkungannya. Ia selalu diolok-olok teman-temannya ketika tahu bahwa dirinya seorang Muslim.
Bagi dia, olok-olok itu malahan mempertajam keyakinan Amir atas pilihannya. “Setiap kali diolok-olok, saya selalu katakan, saya sudah memilih Islam, saya pun siap dengan segala macam konsekuensi dari pilihan tersebut,” kata dia.
Keputusannya memeluk Islam membuat orang tuanya marah besar. Dia pun dikucilkan dari keluarganya. Setiap kali, Amir berusaha menjalin komunikasi, respons yang diterima sangat meyakitkan.
Amir punya mimpi, selesai mendalami ilmu dan Islam, dia berniat untuk menjadi pendakwah. Dia punya cita-cita untuk memberikan perlindungan terhadap saudara-saudara Muslimnya yang berada di Timor Leste. Menurut dia, saudara-saudaranya itu acapkali mendapatkan ancaman dan intimidasi. Akibatnya, kata Amir, sebagian dari saudaranya yang Muslim meninggalkan Islam. Amir juga punya impian untuk mengislamkan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar