Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Kamis, 09 Juni 2011

"Pak Harto The Untold Stories".









Duar! Ada Ledakan Saat Makam Soeharto Digali
Kejadian yang membuat merinding bulu kuduk terjadi saat linggis mengoyak tanah.

Minggu Wage, 27 Januari 2008. Jarum jam menunjuk ke angka 15.30. Azan Asar terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Suasana Astana Giribangun redup kala itu, Matahari entah ke mana. Tak ada awan, juga tiada tanda gerimis bakal jatuh.

Sejumlah orang berkumpul, mengelilingi sebidang petak tanah makam yang siap digali. Mereka melakukan upacara Bedah Bumi, tujuannya agar penggalian berjalan lancar dan selamat. Yang memimpin Begug Purnomosidi.

Lalu, linggis dihujamkan ke  tanah. Tak ada apapun yang terjadi. Begitu pula yang ke dua. Namun, kejadian yang membuat merinding bulu kuduk terjadi saat linggis mengoyak tanah  untuk kali ketiganya.

"Tiba-tiba, duar! Terdengar suara  ledakan yang sangat keras bergema di atas kepala kami," kata  Sukirno, juru kunci makam keluarga Soeharto di Astana  Giribangun, menceritakan pengalamannya menggali makam  Soeharto dalam buku "Pak Harto The Untold Stories".

Para penggali makam dan orang-orang di sekitarnya sontak kaget. Mereka berpandangan. Bingung. Mencoba mereka-reka dari mana asal suara menggelegar itu. "Bukan bunyi petir, lebih  mirip suara bom besar meledak di atas cungkup Astana Giribangun," kata Sukirno.

Namun, anehnya, tak ada yang porak poranda, tak ada yang benda yang  bergeser karena suara ledakan itu. Terbesit di pikiran, mungkin itu suara gaib. Semua yang ada di tempat itu terdiam, terpaku. Lalu, suara Begug memecah keheningan. "Bumi  mengisyaratkan penerimaan terhadap jenazah beliau," tutur  Sukirno, menirukan kalimat Bupati Wonogiri itu.

Isyarat kah itu? Terngiang di benak Sukirno, beberapa bulan sebelum kematian Soeharto, terjadi longsor mendadak di bawah Perbukitan Bangun. Apakah itu juga pertanda?

Selain pengalaman menggali makam Soeharto, pria kelahiran Karanganyar tahun 1953 itu juga masih ingat ketegangan yang terjadi di Astanagiribangun, tahun 1998, saat kekuasaan Soeharto berakhir. Ada kabar, makam keluarga Soeharto itu bakal diserang.

"Bersama warga saya memasang drum-drum di tengah jalan. Di depan pertigaan di depan SD Ibu Tien yang terletak di tanjakan menjelang Astana. Kami memalang puluhan batang bambu ori berduri. Siapa yang melintas dengan berjalan kaki sekalipun, tak bakal gampang menembusnya," cerita dia.

Malam-malam pun terasa panjang. Orang-orang berjaga di sekitar makam. Dari HT terdengar sandi, misalnya 1.000 "kuda lumping" yang artinya ada seribu pengedara sepeda motor mengarah ke Astana. Atau lima ratus "gerobak". Gerobak adalah sandi untuk mobil. "Anehnya tak pernah sekalipun merena yang kabarnya hendak melempari Astana  benar-benar tiba," kata Sukirno.

Sukirno adalah satu dari 113 orang yang menceritakan kisahnya di "Pak Harto The Untold Stories" -- buku yang diluncurkan tepat di peringatan kelahiran Soeharto ke-90.

Soeharto dan kepemimpinannya selama 32 tahun penuh dengan polemik. Juga kontradiksi. Ia dirindukan sekaligus dibenci. Dipahlawankan tapi juga dicaci maki. 

Begitu banyak kontroversi yang merubungnya. Dari pengambialihan kekuasan tahun 65, kontroversi soal keterlibataannya dalam G30S PKI. Bahkan jargon KKN (Kolusi Korupsi dan Nepotisme) selalu dilekatkan untuk masa pemerintahannya, di mana anak, kerabat, dan para kroninya mencecap sedemikian banyak keuntungan.

Meski banyak tudingan mengarah padanya, Soeharto tak pernah tersentuh hukum. Ia tak pernah diadili. Kejaksaan Agung mempetieskan perkaranya, hingga penguasa Orde Baru itu meninggal.

Wacana mempahlawankan Soeharto yang mengemuka akhir-akhir ini terus menuai pro dan kontra. Ais Ananta Said adalah anak sulung Ali Said, SH, Jaksa Agung di masa Soeharto berkuasa mendukung penuh Soeharto menjadi pahlawan. Jasa mantan presiden itu, katanya, terlalu banyak untuk diabaikan dari  gelar pahlawan.

Sejumlah anak tokoh Partai Komunis Indonesia dan korban pelanggaran HAM menolak keras.  "Dijatuhkan rakyat, kok jadi pahlawan," tanya Ilham Aidit, anak Dipa Nusantara Aidit.

Ilham Aidit: Dijatuhkan Rakyat, Dia Pahlawan?
Wawancara Ilham Aidit, anak bungsu Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral PKI.


Pukul enam lebih 30 menit. Februari 1983. Pagi itu kawasan Upas Tangkuban Perahu masih menggigil. Pensiunan letnan jenderal berusia 58 tahun itu menghampiri seorang anak muda 22 tahun.
Lama dia menatap, lalu memeluknya. Erat sekali, baru melepasnya. Seperti seorang ayah merindu pada anak. “Kamu sekarang jadi apa?” tanya si jenderal. “Kepala operasi,” anak muda itu menjawab.
Sang jenderal meminta waktu bicara berdua. Anak muda itu mengangguk. Lalu mereka menyingkir dari keramaian, ke tebing Kawah Upas. “Bagaimana kuliahmu?” tanya si pensiunan sembari memandang kawah. “Lancar,” anak muda itu menjawab.
Jendral tua yang bermata nanar pagi itu adalah Sarwo Edhie. Dan si anak muda itu adalah Ilham Aidit. Sarwo Edhie adalah komandan pasukan khusus yang membasmi anggota dan petinggi  Partai Komunis Indonesia (PKI) sesudah Gerakan 30 September 1965. Dan Ilham adalah anak bungsu Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua PKI, yang mati dihabisi tentara di Boyolali, 23 November 1965.
Datang dari dua masa lalu yang berselisih, minat mencintai alam mempersatukan keduanya di Wanadri. Sarwo Edhie sebagai anggota kehormatan, dan Ilham kepala operasi organisasi itu.
Dan pada Februari 1983 itu, adalah pertemuan kedua mereka. Pertemuan pertama berlangsung 1981. Di tempat yang sama. Bulan yang sama. Saat itu Ilham menjadi anggota baru Wanadri dan  Sarwo Edhie anggota kehormatan. Sarwo Edhie menyalami satu persatu-satu anggota baru, mulai dari ujung.
Ilham yang berdiri di barisan tengah, gemetar menunggu giliran. Dia tahu bahwa Sarwo Edhie paham bahwa dia adalah putra DN Aidit. Ketika tiba gilirannya, Sarwo Edhie langsung memeluk. Dari 74 anggota baru yang dilantik pagi itu, cuma Ilham yang dipeluk. Pelukan itu tanpa kata.
Baru pada pertemuan kedua itu mereka bicara dari hati ke hati. Sarwo Edhie bercerita tentang peristiwa 1965. “Kamu bisa menerima ini, kan?” tanya Sarwo Edhie.  Ilham mengangguk. Dia merasa lega dengan obrolan pagi itu. “Itu awal mula rekonsiliasi pribadi,” Keduanya kemudian beberapa kali bertemu di Wanadri, sampai Sarwo Edhie meninggal, 9 November 1989.
Rekonsiliasi berikutnya kemudian dengan keluarga Sarwo Edhie, pada tahun 2004. Digelar di  Daarut Tauhiid--milik dai kondang AA Gym, di Gegerkalong, Bandung, Jawa Barat--pertemuan itu dihadiri  menantu Sarwo Edhie, Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu sedang berjuang di putaran kedua Pemilu Presiden.
Hadir dalam  pertemuan  sejumlah anak-anak korban G 30 S PKI, DII/TII yang bergabung dalam Forum Silahturrahmi Anak Bangsa (FSAB).
Di situ, Ilham sempat bercerita kepada SBY soal pertemuannya dengan Sarwo Edhie. Mendengar cerita itu, tangan SBY memegang paha kiri Ilham, lalu bilang, “Kita harus menyelesaikan masa lalu, tapi dengan cara yang arif.”
Ilham mengangguk. Mereka lalu sepakat agar rekonsiliasi terus dilakukan.
Rekonsiliasi itu kembali digelar, 1 Oktober 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Berlangsung di Gedung MPR di Senayan, rekonsiliasi itu dihadiri sejumlah anak pahlawan Revolusi. Amelia Yani (Putri Jenderal Ahmad Yani), Christine Panjaitan (Putri Mayjen Panjaitan), Sukmawati Soekarnoputri.

Hadir pula Ilham Aidit, Svetlana (anaknya Nyoto), Feri Omar (anak Mantan KSAU Omar Dhani). Dan yang  menarik perhatian publik adalah kehadiran Tommy Soeharto, putra bungsu Jenderal (Purn) Soeharto, presiden Indonsia selama 32 tahun, yang memimpin penumpasan terhadap anggota dan petinggi PKI tahun 1965.

Dalam kata sambutannya, Tommy Soeharto menegaskan bahwa, “Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa depan bangsa kita sendiri. Atas nama pribadi saya mengucapkan maaf lahir batin."
Hadirin bertepuk tangan.
Masa lalu  sejumlah anak mantan petinggi negara itu memang banyak yang kelabu. Ilham Aidit, misalnya, yang saat peristiwa G30S meletus masih kecil, harus lari dari satu rumah ke rumah yang lain, sebab diburu para tentara. Saat kecil, dia bahkan pernah nyaris ditembak.
Beruntung ada keluarga jauh yang memberi pertolongan, dan kemudian membesarkan Ilham bersama dua kakaknya, Iwan Aidit dan Irfan Aidit. Dua kakak perempuan mereka lari dan menetap di Perancis.
Atas pertolongan  keluarga jauh itu, Ilham kuliah di Teknik Arsitektur Universitas Parahiyangan, Bandung. Tamat dari kuliah, Ilham yang ditolak jadi PNS itu, kemudian bekerja sebagai arsitek. VIVAnews mewawancarai Ilham, soal kontroversi apakah Soeharto pantas jadi pahlawan atau tidak.
Tanggal 1 Oktober  2010, Anda bertemu dengan anak-anak pahlawan revolusi dan anak Mantan Presiden Soeharto di DPR.  Apa yang Anda rasakan dalam pertemuan itu?
Dengan Amelia Yani, dan Christine Panjaitan dan beberapa orang lain, kami sudah sering bertemu. Karena kami bergabung dalam organisasi FSAB. Sudah sering bertemu, saling kenal. Kalau dengan Tommy Soeharto, baru pertama kali bertemu di DPR itu.

Bagaimana perasaan Anda saat bertemu dengan Tommy. Canggung atau bagaimana?

Memang agak canggung. Tapi bukan karena dia anak Soeharto, tetapi lebih karena  saya paham bahwa Tommy juga pernah menjadi bagian dari masalah penegakan hukum dan ekonomi di negeri ini. Dia punya beberapa kasus yang berhadapan dengan negara.  Dia dan negara sama-sama pernah merebut uang di Bank Paribas di Inggris.
Saat bertemu Tommy Anda bersalaman?
Iya, kami bersalaman tapi tidak akrab.
Anda menyimpan dendam dengan anak-anak Soeharto?
Tidak. Saya kira ada juga anak Soeharto yang baik. Mbak Mamiek, misalnya, dia  anak yang baik. Saya kira dia orang bersih, artinya tidak punya kasus seperti kasus korupsi, KKN, dan lain-lain. Saya belum pernah dengar dia  punya kasus.
Kalau anak-anak jenderal yang lainnya itu, bagaimana Anda menilainya?
Saya salut dengan anak-anaknya Sarwo Edhie. Terlepas dari perilaku bapaknya, saya kira Edhie Prabowo, yang kini menjadi Pangkostrad itu, adalah tentara yang berprestasi. Saya sangat hormat dengan Beliau. Dengan anak-anak Pak Ahmad Yani dan Pak Panjaitan hubungan kami baik. Kami tidak diwarisi konflik orang tua kami.
Kini Soeharto ramai dicalonkan menjadi pahlawan, Ada yang setuju, ada juga menolak. Anda sendiri bagaimana?
Saya jelas tidak setuju.
Alasannya?
Ada tiga alasannya. Pertama, saya kira ada banyak pelanggaran HAM  yang  terjadi saat Beliau memimpin militer Indonesia dan saat Beliau menjadi presiden. Peristiwa yang selalu disebut antara lain, G-30S, Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan beberapa peristiwa lain. Peran Beliau dalam sejumlah peristiwa itu sangat signifikan. Nilai Beliau dalam soal HAM ini merah.
Tapi kan Soeharto tidak pernah diadili dan terbukti bersalah dalam kasus-kasus itu?
Tidak diadili, tidak berarti Beliau tidak bersalah atau tidak tahu. Terlepas dari salah atau tidak, ratusan ribu pengikut PKI dibunuh sesudah tahun 1965, termasuk ayah saya. Apa Beliau sama sekali tidak punya peran dalam gemuruh perburuan dan pembunuhan para pengikut PKI itu?.
Kalau ada, betapapun kecil peran itu, apa pantas Beliau jadi pahlawan? Apa pantas orang yang diduga tahu soal pembunuhan itu, dan punya kuasa untuk menghentikannya, tapi diam saja, kita angkat jadi pahlawan?
Apa alasan lain?
Presiden Soeharto dijatuhkan lewat  unjuk rasa yang luar biasa masif di seluruh Indonesia. Unjuk rasa dilakukan hampir seluruh rakyat. Sampai-sampai mahasiswa panjat-panjat gedung dan menduduki atap gedung DPR. Apa pantas orang yang dijatuhkan dengan  kehendak rakyat yang begitu besar, kita angkat jadi pahlawan? Dijatuhkan rakyat, kok diangkat jadi pahlawan? Apa pembenarannya?
Tapi bukankah jasa Soeharto dalam pembangunan ekonomi besar? 
Pembangunan kita dibiayai oleh utang. Dan Anda tahu bahwa Profesor  Soemitro Djojohadikusumo, ketika masih menjadi besan Pak Harto, menegaskan bahwa sekitar 30 persen dari utang kita itu bocor. Bocor ke mana? Menurut Pak Sumitro dan para ahli ekonomi, ya bocor karena KKN.
Apa yang bocor ini pantas dibanggakan sehingga jadi pahlawan? Dan kalau sukses pembangunannya, apa alasan seluruh rakyat Indonesia waktu itu turun ke jalan menjatuhkan Beliau? Karena pembangunannya gagal, kan?
Pendukung Soeharto bilang, dalam hal KKN Soeharto toh tak pernah divonis bersalah. Tanggapan Anda?
Pengadilan untuk itu sudah ada, tapi Beliau sakit, sehingga kasusnya diendapkan dan kemudian dihentikan. Jadi, Beliau pernah diproses secara hukum. Lha, apa pantas Beliau yang pernah diproses hukum itu jadi pahlawan?

Dahlia Biki: Rumah Kami Dijaga 24 Jam
Wawancara Dahlia Biki, putri Amir Biki, tokoh Tragedi Tanjung Priok 1984.

Meski sudah 26 tahun lewat, Tragedi Tanjung Priok 1984 itu tak lekang dari ingatan Nur Dahlia Biki, putri da’i dan tokoh masyarakat Priok, Amir Biki.
Amir Biki, bersama sejumlah tokoh dan ribuan warga Priok, mendatangi Kodim Tanjung Priok meminta pembebasan empat warga, pada 12 September 1984. Mereka ditangkap dua hari sebelumnya setelah terlibat bentrok antara tentara dengan jamaah Mushala As-Sa’adah Tanjung Priok.
Amir yang bekas aktivis Posko 66 itu mencoba menengahi, tapi gagal.

Saat barisan massa yang marah menuju Kodim, mereka dihadang pasukan tentara. Menurut saksi mata, tentara lalu memberondong tembakan. Biki, seperti kesaksian bekas Wakil Ketua DPR/MPR AM Fatwa, tewas tertembus peluru. Versi pemerintah menyebutkan 53 tewas, sementara laporan versi LSM menyebut angka 400.
Meski Dahlia, 32 tahun, tak melihat langsung insiden itu, tapi dia mengingat suasana tegang di sekujur Priok, termasuk kematian ayahnya. Di tengah simpang siur nasib ayahnya, Dahlia bermimpi Biki meninggal. Lalu, mengapa dia sulit memaafkan mantan Presiden Soeharto, yang dianggapnya bertanggugjawab atas insiden itu?

Kepada Fina Dwi Yurhami dari VIVAnews, Dahlia yang menamatkan studi S2 Komunikasi di Universitas Indonesia itu menuturkan alasannya. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di Tanjung Priok, 21 Oktober 2010.

Apa peran ayah Anda, Amir Biki, di Tanjung Priok saat itu?

Papa itu termasuk salah satu yang disegani di Priok. Beliau itu aktivis 66, kegiatan sosial kemasyarakatannya kuat. Masyarakat Priok kan banyak suku, banyak pendatang. Jadi, kalau ada konflik antar suku, konflik apapun, biasanya Papa dipanggil untuk menyelesaikan, jadi mediator, sebagai penyambung ke pemerintah, dalam hal ini Kodim.

Berapa usia Anda saat peristiwa Tanjung Priok terjadi?

Waktu itu aku baru 6 tahun, kelas 2 SD, jadi masih kecil banget. Yang terlihat dan terekam, waktu itu malam mati lampu, gelap, kebetulan aku mimpi Papa meninggal. Malam itu Mama dapat telepon dari Wakil Gubernur DKI saat itu, Bapak Edi (Mayjen Edi Nalapraya, red), dikasih tahu Papa meninggal. Mama masih belum percaya. Mungkin saat itu dini hari jam dua, jam tigaan. Tapi terus aku mimpi, baru Mama yakin. Pada saat era Reformasi, aku mendampingi Mama. Kami berjuang ke Komnas HAM, dari mulai penyidikan sampai kemudian kami gali kubur, kami cari kuburan, kami identifikasi di RS Cipto Mangunkusumo.

Buat Anda, apa dampak kejadian itu?

Ngeri, karena rumah dijaga ABRI 24 jam. Tapi, karena kami masih anak kecil, bapak-bapak ABRI itu baik-baik saja. Yang terekam tuh ngeri aja, karena kami diawasi. Kemudian, tidak ada siapa pun yang datang. Dulu biasanya rumah kami itu tempat orang nongkrong. Setelah habis subuh, Papa sarungan, semua temannya datang ke rumah, sarapan. Setelah kejadian itu, sepi. Untung karena Mama bidan, pasiennya banyak banget. Itu saja yang jadi hiburan buat Mama.

Kenapa orang tidak berani datang?

Aku rasa takut. Karena siapa pun yang dekat sama kami, terus dikejar-kejar saat itu. Kami merasa dikucilkan, tapi di lingkungan sekolah tidak. Mereka malah support kami karena mereka tahu seperti apa perjuangannya. Mama pernah mendengar kabar, keluarga Amir Biki akan dihabisi sampai ke bawah. Mama benar-benar menjaga kami. Kami dimasukkan pesantren sebagai salah satu cara menjaga kami.

Tidak ada gerakan solidaritas dengan keluarga korban yang lain?

Saat itu belum ada. Paling orang datang ke rumah bilang, “Bu, anak saya hilang, gak pulang-pulang." Seperti itu saja.

Apa tindakan pemerintah saat itu?

Kami sering diinterogasi, rumah kami diacak-acak, sampai pasien Mama takut untuk datang.

Bagaimana pandangan Anda tentang sosok Soeharto kala itu?

Mengerikan. Zaman itu, siapa yang berani sama pemerintah? Saya pikir nggak ada, kecuali bapak saya.

Di mata pemerintah ketika itu, ayah Anda adalah pemberontak dan penghasut massa sehingga menyerbu markas Kodim.

Itu kan hanya ketakutan pemerintah, mereka buat secara sistematis kejadian seperti itu. Jadi, aku pikir itu memang sudah direncanakan jauh sebelum kejadian 12 September, di-set seperti itu. Yang aku tahu, Papa arahnya bukan seperti itu, bukan ingin menentang Pancasila, bukan menjadi pemberontak di negara, karena Papa sendiri kan berteman dengan kyai dari mana saja. Saya rasa bukan itu tujuan utamanya.

Pernah mendengar cerita Ibu mengenai pendapat ayah Anda tentang sosok Soeharto?

Nggak banyak yang bisa aku dengar tentang itu. Papa juga jarang ngobrol politik dengan mama. Namanya perempuan, mama takut, “Udah Pak, nanti kamu ditembak.” Papa bilang, “Udah, kamu tenang saja. Aku kuat.” Jadi, lebih ke obrolan suami-istri saja, mendukung secara mental.

Pernah mengalami kesulitan semasa pemerintahan Orde Baru?

Yang terasa sekali adalah saat mencari kerja. Waktu kuliah dulu, aku menjadi salah satu nominator penerima beasiswa Supersemar karena kebetulan prestasi akademisku bagus. Tapi begitu dilihat anaknya Amir Biki, gagal. Kemudian, waktu melamar pekerjaan. Waktu itu aku melamar jadi PNS, ikut-ikutan sama yang baru lulus di Departemen Hukum dan HAM. Di meja depan, aku lihat dokumenku langsung dipisahkan dari yang lain. Begitu dia buka, dia lihat nama belakangku Biki, langsung dipisahkan di depan mataku.

Apa reaksi Anda saat itu?

Nangis. Aku langsung mundur dari antrean panjang, aku langsung merasa.

Anda marah?

Kalau dibilang marah, ya marah sampai saat ini. Kok Papa meninggal dengan cara begitu. Beda kalau mungkin meninggalnya wajar, sakit, atau kecelakaan. Tapi ini aku tahu dia ditembak. Kalau menuruti hati, rasanya aku mau bergabung terus dengan teman-teman aktivis, tiap hari demo. Tapi kan buktinya pengadilan HAM nggak selesai. Dari sekian banyak tersangka, yang kena hanya yang menembak saja, 12 orang. Yang lain lepas.

Menjelang Soeharto wafat, muncul usul supaya pemerintah mengampuni Soeharto. Tanggapan Anda?

Pastinya nggak bisa kami terima, karena kami tahu itu sesuatu yang sistematis. Tidak mungkinlah penembak jitu dari ABRI berani menembak kalau nggak ada perintah atasan. Secara manusiawi, aku kasihan melihat Soeharto. Tapi, kalau mengingat berapa banyak manusia yang meninggal, yang hilang saat itu, sepertinya nggak seimbang.

Pandangan Anda tentang anak-anak Soeharto?

Saya tidak pernah berhubungan dengan mereka, tapi kalau melihat secara manusiawi, biasa saja.

Pernah dengar ada permintaan maaf Tommy Soeharto atas nama ayahnya kepada para keluarga korban kekerasan Orde Baru?

Saya tak pernah tahu. Sebagai manusia, kalau minta maaf ya sudah kami maafkan. Tapi kemudian apa yang bisa dia lakukan untuk kami? Tolong dong nama baik Papa direhabilitasi, biar imbasnya tidak terasa kepada kami anak cucunya. Papa dengan teman-temannya itu bukan gerombolan. Mereka berjuang untuk sesuatu yang benar. Waktu itu petugas Babinsa masuk masjid pakai sepatu. Orang Islam mana yang bisa terima? Pengumuman pengajian disiram pakai air got, siapa yang bisa terima?

Ada peristiwa yang secara langsung Anda lihat?

Melihat langsung tidak, tapi ketika masalah ini diangkat di Komnas HAM, kami gali kuburan massal di TPU Mengkok Sukapura dan Kramat Gangseng. Di Rindam tidak jadi digali karena dua tempat tadi sudah dianggap cukup untuk menjadi bukti terjadinya pelanggaran berat HAM. Ketika itu, sudah delapan mayat ditemukan. Papa itu satu-satunya mayat yang boleh dibawa pulang oleh keluarga, setelah kejadian itu.

Kini muncul usulan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Pendapat Anda?

Ini bukan setuju atau tidak setuju, tidak semata-mata melihat apa yang sudah dikerjakan Soeharto. Ada beberapa syarat mengenai ini, kemudian ada sisi lain yang juga harus ditimbang soal kasus-kasus pelanggaran berat yang sudah dilakukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar