Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Senin, 27 Desember 2010

MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF ?

Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan

akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan

terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan

perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta

menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian

hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang

yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari

pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang

subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.

PERTAMA

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di

antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti

mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi

mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka

kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-

Taubah : 100]

Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang

yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orangorang

terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orangorang

muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti

oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang

terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti

mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak

berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.

KEDUA

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian

umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam

setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang

benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa

mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap

kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka

adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa

Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.

Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus

untuk generasi sahabat saja.

Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi

obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang

mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan

dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun

benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman

konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka

adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga

mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya

karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka

tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan

kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa

mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :

KETIGA

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi

sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu

kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya

dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah

ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan

Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy

dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]

Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada

pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?

Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan

As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur

keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih,

sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah

ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada

bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian

dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati

para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya

sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad

Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang

tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu

apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan

di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai

kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa

Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati

Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu

memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian

melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu

'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik

para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka

berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum

muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang

mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah

Subahanhu wa Ta'ala. [2]

Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.

"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian

memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau

pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di

lembaran ini[3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ?

Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa

seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih

Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]

Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab

dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir

umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala

dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.

KEEMPAT

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),

ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)

manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-

Baqarah : 143]

Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat

pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama

dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga

mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah

Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan

menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah

Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran

sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya,

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang

mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]

Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala

maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama

merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah

menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak

memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat,

karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara

mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara

riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat,

maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada

mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini

tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para

sahabat.

Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat

merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan

As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal

ini dijelaskan dalam.

KELIMA

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]

Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa

Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah

(petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih

dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak

menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ;

sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang

mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka

itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]

Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah

baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a

mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka

jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.

KEENAM

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran

baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami

biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami

masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya

tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah

mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga

menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at

adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.

Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab

dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah

ini akan dijelaskan dalilnya.

[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada

Umar.

"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu

takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]

Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran

seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :

"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian

maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]

Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab

memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut,

sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia

adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.

Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan

beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi

beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah

Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah

shadaqahnya tersebut.

Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian

mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih

(pengarahan) bagian dari penerimaan.

[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.

"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab

Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"

Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata

Hafshah :

"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi

neraka itu" [Maryam : 71]

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa

dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan

berlutut" [Maryam : 72]

Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa

semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi

wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :

"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa"

[Maryam : 72]

Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui

kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks

kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks

kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan

menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang

bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga

dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab,

sedangkan selain mereka tidak demikian.

Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang

diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.

Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-

Nisaa : 115]

Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi

dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan

yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti

selain jalan mereka.

Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan

mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.

Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan

yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.

Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ;

karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain

mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :

"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan.

Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]

Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang

ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan

orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat)

kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa

sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain

jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan

Rasulnya.

Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara

tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka

sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]

Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari

keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum

mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu

ditinjau dari hal-hal berikut ;

[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan

secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti

penyelamat yang lainnya.

[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam

ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah siasia

dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa

penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri

seperti yang awal.

Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman

tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum

mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya

petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa

sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian

dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu

menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman

terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.

Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-

Nisaa : 115]

Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa

Ta'ala :

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran

baginya" [An-Nisaa : 115]

Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat

bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya

untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman

Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya

itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk

tempat kembali" [An-Nisaa : 115]

Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut

mendapatkan ancaman tersendiri. Hal ini di bawah ini dapat

menunjukkannya.

Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum)

penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak

mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin

merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.

Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum

mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan

datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan

mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang

kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah

mengikuti jalan mereka.

Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin

merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama

adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka

telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka

cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan

kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan

tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.

KETUJUH

Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala

"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka

sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran :

101]

Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah,

karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah

pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik

penolong".[Al-Hajj :78]

Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah

kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang

berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orangorang

yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan

kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh

karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin

(orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan

itu dijelaskan oleh:

KEDELAPAN

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa". [Al-Furqan

: 74]

Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan

ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam

banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini,

sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan

meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.

KESEMBILAN

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang

memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah

mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]

Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu

Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai

imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran

dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai

dengan kesabaran dan keyakinan.

Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam

lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut

karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari

umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam

ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah

terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari

umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat

mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-

Sunnah secara amalan, akal dan syariat.

KESEPULUH

Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :

"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya

bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan

berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah

shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai

shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa

berkata : kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala

ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang

adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah

bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya

pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah

penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umatku apa

yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]

Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan

dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan

beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang

terhadap langit.

Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan

kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama

dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi

adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai

dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa

nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para

sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak

mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.

Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan

bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan

hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya)

dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat

mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari

dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang

kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi

(pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang" [Ash-

Shaaffat : 9-10]

Dan firmanNya.

"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan

bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar

syaithan" [Al-Mulk : 5]

Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang

menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan

orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan

membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai

ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian

juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka

gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan

bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu

menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut"

[Al-An'am : 97]

Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan

diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari

pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada

kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya

maka tidak terlihat lagi.

Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-

Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah

dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya.

Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan

sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya

pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka

dan ini mustahil.

Kesebelas

Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat

dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan

dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan

berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah

Rasulullah- sangat banyak. Diantara hadits - hadits tersebut adalah sabda

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang

dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu

mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [4]

Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat,

berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

akan tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah

beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar.

Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan

pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim

menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu

jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang

tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka

apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah

dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya

mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang

besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya

seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang

cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang

membawa kepada jalan yang lebih lurus ?

KEDUABELAS

Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur

Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat Takhrijnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh

kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu

penjelasannya.

Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi

wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin

berkata :

Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para

Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan

pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah

beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.

KETIGABELAS

Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan

manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-

Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :

"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku" [Telah

lalu Takhrijnya]

Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau

adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau

manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan

para sahabatnya ?

Jawabanya : awaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :

Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya

setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah

dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya,

sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan

kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.

Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat

Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah

dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.

Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat

sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan

merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-

Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair

bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-

Farqu Bainal Firaq hal.119-120]

Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah

kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah

mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan

Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang

melecehkan dan mengkafirkan mereka.

Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan

merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan

mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian

mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami

dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu

mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad

hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.

Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah

murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa

orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan

satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah

menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi

wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ?

Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman

Al-Farisiy.

Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum

Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy

karya Al-Kulaniy, hal.115]

Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan

melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia

menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari

sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan

mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka

membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.

Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat)

sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang

tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan

dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.

Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq

yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun

(orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan

Anshar.

Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat

sedangkan mereka :

Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka

Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.

Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani

Kesimpulannya

Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap

Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih

pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.

Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-

Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman,

penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).

Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orangorang

yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan

otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini

merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan

hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika

kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang

mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para

Khulafaur Rasyidin setelah beliau.

Wallahu A’lam Bishshowab

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia

Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh

Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari,

penerjemah Kholid Syamhudi]

__________

Foote Note.

[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : "Sebaik-baiknya

generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar

apa yang telah saya tulis ini.

[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23

dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara

mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah

masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah

dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud,

sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat,

hal.21-22 silahkan dilihat.

[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib

menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka

kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengakungaku

bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-

Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah.

Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322

[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim 16/92-93 - An-

Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih

Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan

sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol

Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih

jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya

tahqiq (13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar