Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan
akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan
terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan
perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta
menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian
hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang
yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari
pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang
subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.
PERTAMA
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi
mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [At-
Taubah : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang
yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orangorang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orangorang
muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti
oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang
terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti
mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak
berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.
KEDUA
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah" [Ali Imran :110]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian
umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam
setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari'at yang terang
benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersaksikan bahwa
mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap
kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka
adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa
Ta'ala mewarisi bumi dan seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus
untuk generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi
obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan
dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun
benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman
konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka
adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga
mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya
karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai sifat mereka
tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan
kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa
mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :
KETIGA
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Sabik-baiknya manusia adalah generasiku [1] kemudian generasi
sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi, kemudian datang satu
kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya
dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Mutawatir, sebagaimana telah
ditegaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/12 dan
Al-Muanawiy dalam Faidhul Qadir 3/478 serta disetujui oleh Al-Kataaniy
dalam kitab Nadzmul Mutanatsir hal.127]
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada
pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka ... dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan
As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur
keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu" [Al-Hujuraat : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak melihat kepada
bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian
dan amalan kalian" [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melihat kepada hati-hati
para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkannya
sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang
tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu
apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan
di sisi Allah Subahanahu wa Ta'ala dan apa yang mereka pandang sebagai
kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abdullah bin Mas'ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu
memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian
melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik
para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka
berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa yang
mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah
Subahanhu wa Ta'ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
"Artinya : Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : 'Apakah kalian
memiliki kitab ? Beliau menjawab : 'Tidak kecuali Kitabullah atau
pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di
lembaran ini[3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ?
Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa
seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir" [Hadits Shahih
Riwayat Bukhari 1/204 - Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab
dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir
umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta'ala
dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.
KEEMPAT
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),
ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" [Al-
Baqarah : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka umat
pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama
dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga
mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah
Subhanahu wa Ta'ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan
menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah
Subhanahu wa Ta'ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran
sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang
mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [Az-Zukhruf : 86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala
maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama
merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah
menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak
memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat,
karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah memberikan sifat adil pada mereka secara
mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara
riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat,
maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak memberikan sifat adil ini kepada
mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini
tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para
sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat
merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan
As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal
ini dijelaskan dalam.
KELIMA
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku" [Luqman : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada mereka hidayah
(petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih
dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ;
sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah
baik Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'a
mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka
jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.
KEENAM
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga
menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari'at
adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab
dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah
ini akan dijelaskan dalilnya.
[a]. Dari Ya'la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada
Umar.
"Artinya : Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir" [An-Nisaa : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : "Saya telah heran
seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
"Artinya : Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada kalian
maka terimalah shadaqahNya" [Hadits Riwayat Muslim 5/196 - An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya'la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab
memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut,
sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia
adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
beliau Shallallahu 'alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi
beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah
Subahanahu wa Ta'ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah
shadaqahnya tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian
mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih
(pengarahan) bagian dari penerimaan.
[b]. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
"Artinya : Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab
Syajaroh yang berbaiat dibawahnya"
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata
Hafshah :
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi
neraka itu" [Maryam : 71]
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa
dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan
berlutut" [Maryam : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa
semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
"Artinya : Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa"
[Maryam : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakui
kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks
kata " tidak masuknya neraka" (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks
kata "wurud" (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan
menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang
bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga
dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab,
sedangkan selain mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang
diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-
Nisaa : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi
dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan
yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti
selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang ikut selain jalan
mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan
yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ;
karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain
mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
"Artinya : Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan.
Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)" [Yunus : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang
ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat)
kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain
jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan
Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara
tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya" [Al-Anfaal : 13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari
keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum
mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu
ditinjau dari hal-hal berikut ;
[a]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan
secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti
penyelamat yang lainnya.
[b]. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam
ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah siasia
dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa
penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri
seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman
tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum
mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya
petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian
dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu
menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman
terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min" [An-
Nisaa : 115]
Ma'thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya" [An-Nisaa : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat
bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya
untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuk
tempat kembali" [An-Nisaa : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut
mendapatkan ancaman tersendiri. Hal ini di bawah ini dapat
menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum)
penentangan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena orang yang tidak
mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin
merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum
mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan
datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan
mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang
kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah
mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin
merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama
adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka
telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka
cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan
kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan
tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.
KETUJUH
Firman Allah Subhnahu waa Ta'ala
"Artinya: Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus".[Ali Imran :
101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah,
karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya: Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
penolong".[Al-Hajj :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah
kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka adalah orangorang
yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan
kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh
karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin
(orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan
itu dijelaskan oleh:
KEDELAPAN
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Danjadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa". [Al-Furqan
: 74]
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan
ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam
banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini,
sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan
meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.
KESEMBILAN
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami".[As-Sajadah : 24]
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu
Wa Ta'ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai
imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran
dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai
dengan kesabaran dan keyakinan.
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut
karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari
umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam
ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah
terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari
umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat
mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-
Sunnah secara amalan, akal dan syariat.
KESEPULUH
Dari Abi Musa Al-Asy'ariy beliau berkata :
"Artinya : Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya
bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan
berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah
shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai
shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa
berkata : kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepala
ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang
adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah
bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya
pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah
penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umatku apa
yang dijanjikan" [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan
dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan
beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang
terhadap langit.
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan
kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama
dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi
adalah penjelas Al-Qur'an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai
dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa
nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para
sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak
mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan
bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan
hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya)
dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat
mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari
dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang
kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi
(pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang" [Ash-
Shaaffat : 9-10]
Dan firmanNya.
"Artinya : Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaithan" [Al-Mulk : 5]
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang
menghancurkan ta'wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan
orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur'an dan
membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai
ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian
juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka
gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan
bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk." [An-Nahl : 16]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut"
[Al-An'am : 97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan
diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari
pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada
kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya
maka tidak terlihat lagi.
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-
Sunnah dari kebid'ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah
dan ta'wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya.
Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan
sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya
pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka
dan ini mustahil.
Kesebelas
Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat
dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan
dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan
berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah
Rasulullah- sangat banyak. Diantara hadits - hadits tersebut adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang
dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu
mud atau setengah mudnya shadaqah mereka" [4]
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat,
berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
akan tetapi hal itu karena ittiba' dan pengamalan mereka terhadap sunnah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian besar.
Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan
pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim
menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu
jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang
tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka
apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah
dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya
mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang
besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya
seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang
cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang
membawa kepada jalan yang lebih lurus ?
KEDUABELAS
Diantaranya hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur
Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu" [Telah lewat Takhrijnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh
kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu
penjelasannya.
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin
berkata :
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para
Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan
pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.
KETIGABELAS
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensifatkan
manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-
Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :
"Artinya : Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku" [Telah
lalu Takhrijnya]
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau
adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau
manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya ?
Jawabanya : awaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya
setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah
dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya,
sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan
kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat
Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama'ah
dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu'tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat
sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan
merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-
Washil bin Atho' yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair
bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-
Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama'ah
kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah
mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan
Mu'awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang
melecehkan dan mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan
merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan
mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian
mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami
dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu
mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad
hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi'ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah
murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa
orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan
satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja'far, bahwa dia telah
menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ?
Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman
Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja'far, dia berkata : Kaum
Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy
karya Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan
melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia
menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) ... dan dari
sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan
mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur'an dalam rangka
membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : ... dan Nabi menutup matanya (wafat)
sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang
tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan
dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Adapun Murji'ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq
yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun
(orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan
Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat
sedangkan mereka :
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari'at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap
Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih
pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-
Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman,
penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orangorang
yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan
otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini
merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid'ah dan
hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika
kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang
mengambil sunnah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnahnya para
Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
Wallahu A’lam Bishshowab
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia
Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari,
penerjemah Kholid Syamhudi]
__________
Foote Note.
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : "Sebaik-baiknya
generasi". Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar
apa yang telah saya tulis ini.
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23
dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara
mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah
masyhur sebagai hadits marfu' dan itu tidak benar sebagaimana telah
dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas'ud,
sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid'ah wa Atsaruha fil Umat,
hal.21-22 silahkan dilihat.
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib
menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka
kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengakungaku
bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-
Qur'an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah.
Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 - Al-Fath dan Muslim 16/92-93 - An-
Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih
Muslim (16/92 - An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan
sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol
Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih
jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya
tahqiq (13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar