Oleh :M Junaidi Sahal Busyri
Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang memiliki kemuliaan dan derajat yang tinggi,baik di langit maupun di bumi. Kemuliaannya diakui oleh Alloh SWT dengan pernyataanNya,Innaka la ‘ala khuluqin ‘adhim, sesungguhnya Engkau (ya,Muhammad) berada diatas akhlak yang agung (QS.Al Qolam 4).Jika yang kecil menyifati sesuatu dengan ‘agung’,yang dewasa belum tentu menganggapnya agung.Tetapi jika Yang Maha Besar Alloh yang menyifati sesuatu dengan kata agung,maka tidak dapat terbayangkan betapa besar keagungannya.Dan sudah tentu,makhluk yang agung tidak keluar kecuali dari rahim yang agung pula !
Nabi Muhammad SAW adalah penghuni bumi yang paling baik nasabnya secara mutlak. Nasab beliau dari segi kemuliaan berada di puncaknya. Musuh-musuh beliau memberi pengakuan untuknya atas hal tersebut. Diantara musuh beliau yang memberikan pengakuan akan indahnya nasab beliau adalah Abu Sufyan(sebelum masuk islam), yang dikala itu berhadapan denga penguasa Romawi. Kaum yang paling mulia adalah kaumnya,kabilah yang paling mulia adalah kabilahnya dan marga yang paling mulia adalah marganya (Ibnu Qoyyim al Jauziyah,Zaadul Ma’ad,I/32)
Dan Rasulullah pernah bersabda,”Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang yang suci kedalam rahim-rahim wanita yang suci pula”(Dinukil oleh Al Hamid Al Husaini,dalam bukunya Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah,hal.600-601).Itu artinya Nabi saw adalah manusia tersuci yang telah disiapkan kelahirannya dengan membuatnya keluar dari rahim yang suci pula,yaitu Aminah ra.
Dinukil oleh Ibnul Jauzi,dalam kitab Al Wafa’ (terjemahan),hal.74 :Abdurrahman bin ‘Auf berkata,”Ketika Rasulullah saw dilahirkan,ada jin yang berbicara di bukit Abu Qubais di daerah ‘Ujun- yang pada mulanya tempat itu adalah sebuah kuburan dan orang-orang Quraisy merusakkan pakaian mereka di daerah itu-.Jin itu berkata dengan syair berikut :
“Aku bersumpah tidak seorang pun dari golongan manusia yang telah melahirkan Muhammad selain ia (Aminah).
Seorang wanita dari suku Zuhrah yang memiliki sifat-sifat terpuji dan selamat dari kecelaan para suku-suku, bahkan mereka memujinya.
Wanita itu telah melahirkan manusia terbaik yaitu Ahmad.
Orang yang terbaik itu dimuliakan
Serta orangtuanya pun dimuliakan juga”…
Bahkan Nabi SAW pernah menjelaskan bahwa nasabnya adalah suci (ayah-ayahnya adalah keturunan manusia yang suci),”Saya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthollib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar. Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali saya berada diantara yang terbaik dari keduanya. Maka saya lahir dari ayah – ibuku dan tidaklah saya terkena ajaran jahiliyyah dan saya terlahir dari pernikahan (yang sah).Tidaklah saya dilahirkan dari orang yang jahat sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka saya adalah pemilik nasab yang terbaik diantara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah” (Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah dan Imam Hakim dari Anas ra.) Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya juz 2,hal.404 dan juga oleh Imam Ath Thobari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.
Juga sabda Nabi SAW,”Saya adalah Nabi yang tidak berdusta, Saya adalah putra Abdul Mutholib.”(HR.Bukhori no.2709,2719,2772,Shahih Muslim no.1776)
Lihatlah dari hadis-hadis diatas,nampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orang tua Nabi adalah orang-orang kafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan kedua orang tuanya sebagai nasab yang terbaik.Bagaimana mungkin ada manusia yang tega mengatakan orang tua,bapak atau ibu Nabi saw lagi disiksa di neraka?Sungguh itu sama halnya menyakiti hati Nabi saw.
Demikian juga ucapan Nabi SAW kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di peperangan Uhud ketika beliau SAW melihat seorang kafir membakar seorang muslim,maka Rasulullah SAW bersabda kepada Sa’ad,”Panahlah dia,jaminan keselamatanmu adalah Ayah dan ibuku!’, maka Sa’ad berkata dengan gembira,’Rasulullah SAW mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!’ “(HR Bukhori,Bab. Manaqib Zubair bin Awam no.3442,hadis no.3446, Bab.Manaqib Sa’ad bin Abi Waqqosh Al-Zuhri.)
Bagaimana mungkin Sa’ad berbahagia disatukan dengan orang tua Rasulullah,jika keduanya orang-orang musyrik??
Maka apa kata dunia? Jika nabinya ummat Islam lahir dari rahim perempuan musyrik? Padahal Isa as. Lahir dari rahim perempuan yang suci!!.Apa kata dunia jika Nabinya ummat islam lahir dari rahim perempuan kafir?Padahal banyak perempuan yang beriman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan,sedangkan Rasul keistimewaannya diakui di dunia langit maupun bumi lahir dari perempuan musrik?. Sungguh tidak logis!!
Sungguh harus dipertimbangkan pendapat tentang kemusyrikan orang tua Nabi !
Ahlul Fatrah
Adalah suatu masa dimana terjadi kekosongan nubuwwah dan risalah. Seperti orang-orang jahiliyyah yang belum datang kepada mereka risalah kenabian,maka mereka masuk kategori ahlu fatrah,yang mereka termasuk ahli surga juga. (Prof.DR.Wahbah Zuhaili,tafsir Al Munir,juz 8, hal.42)
Hal itu berdasarkan firman Alloh QS. Al Isro’ 15 yang artinya,”Kami tidaklah mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus (kepada mereka) seorang rasul”
Dari ayat itu, maka orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalah Ahlu fatrah yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Alloh adalah mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkannya.
Dan dari ayat itu pula,dapat dipahami bahwa keluarga nabi saw sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi dan Rasul,adalah termasuk ahlu fatrah.Dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan kepada orang-orang musrik atau kafir.
Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi saw menangis dipusara ibunya?. Dan hadis tersebut dikaitkan sebagai asbabun nuzul ayat 113 dari QS .At Taubah; “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun[kepada Alloh] bagi orang-orang musyrik,walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya),sesudah jelas bagi mereka,bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam”.??
Beberapa ulama’ (salah satunya Ibn Katsir,Mukhtashor li Ali as Shobuni,juz 2,hal.173),menyebutkan sebuah riwayat,bahwa rasulullah saw. Suatu ketika berziarah ke kuburan dan menangis tersedu-sedu.Sayidina Umar bertanya tentang sebab tangis beliau.Beliau menjawab,”Aku menangis di kubur ibuku,Aminah. Aku memohon kepada Alloh kiranya beliau diampuni,tetapi alloh tidak memperkenankan dan turun kepadaku firmanNya (At Taubah 113-114). Aku sedih dan kasihan kepada ibuku, dan itulah yang menjadikan aku menangis”(HR.Ibn Hibbah,Abi Alatim dan Al Hakim melalui Ibn Mas’ud). Riwayat ini dinilai dhoif oleh pakar hadis Adz Dzahabi,karena dalam renteten perawinya terdapat nama Ayyub yang berstatus lemah (Prof.DR.Quraish Shihab,Al Misbah ,jilid 5,hal.735).Dan pakar tafsir lainnya seperti DR.Wahbah Zuhaily mengomentari ulama yang menyatakan hadis tersebut sebagai sebab turunnya ayat 113,QS at Taubah,dengan komentar bahwa itu jauh dari fakta sebab orang tua Rasul hidup di masa fatrah,sehingga tidak tepat hadis tentang tangisan nabi saw dipusara ibunya sebagai sebab turunnya ayat tersebut.[lihat tafsir Al Munir ,juz 6,hal 64]
Dan banyak lagi hadis yang senada dengan itu,namun dengan redaksi yang berbeda,seperti yang diriwayatakan,Ahmad,Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairoh. Dan jika kita terima kesahihan hadis tangisan Nabi diatas kuburan ibunya tersebut,maka ada beberapa hal harus dipertimbangkan untuk membatalkan hadis tersebut sebagai dalil kemusyrikan Ibu nabi SAW,sebagai berikut:
1. 1. Hadis tersebut secara manthuq (tekstual) tidak menyebut kekafiran atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas.Sehingga agak ceroboh kalau dengan ketidak jelasan manthuq hadis tersebut langsung menyatakan kemusrikan ibunda Nabi saw.
2. 2. Hadis-hadis tersebut yang menyatakan bahwa kejadian rasulullah menangis di kuburan ibunya di kota Mekkah,menurut ibnu Sa’ad berita itu salah,sebab makam ibu Nabi itu bukan di Mekkah tapi di ‘Abwa (suatu wilayah yang masih masuk kota Madinah). (Al Wafa’,ibn Al Jauzi,terjemahan hal.96, Lihat juga Zaadul Ma’ad jilid I,hal.36 terkait dalil tempat wafatnya ibunda Nabi saw).
3. 3. Hadis-hadis tersebut termasuk hadis ‘Inna Abiy wa abaaka finnar (Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (HR.Muslim) dibatalkan (mansukh) oleh QS.Al Isra’ 15.”Dan Kami tidak mengadzab (suatu kaum) hingga kami mengutus(kepada mereka) seorang rasul”(rujuklah pada Masaalikul Hunafa Fii Hayaati Abawayyil Musthofa,karya Imam As Suyuthi,hal.68).Alasan pembatalannya adalah mereka ayah dan ibunda Nabi saw hidup sebelum ada risalah nubuwwah,karena itu mereka termasuk ahlu fatrah yang terbebas dari syari’at Rasululloh saw.
4. 4. Khusus hadis riwayat Muslim,Inna Abiy wa Abaaka fin Nar/Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka,adalah bahwa yang dimaksud Abi di hadis tersebut adalah paman.Karena kebiasaan Alloh didalam al Quran,sering ketika ada kata-kata Abun,maka yang dimaksud adalah bukan orang tua kandung.Alloh berfirman dalam QS.Al Baqoroh 133,yang artinya ; “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub mau meninggal,ketika Ia berkata kepada anak-anaknya;Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab;’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu,Ibrahim,Isma’il dan Ishaq,yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” Padahal Ayah Ya’qub adalah Ishaq bukan Ibrahim atau Ismail.Namun Alloh menyebutkan Ibrahim dan Ismail sebagai Aaba’(ayah-ayah) dari Ya’qub,maksudnya adalah kakek atau paman dari Ya’qub.Dan untuk penyebutan orang tua kandung,biasanya Al quran menggunakan kata Waalid.Sebagaimana Alloh berfirman; “Robbanagh Fir Li Wa Li Waliidayya…/Ya Tuhan Kami Ampunilah aku dan ibu bapakku…”.QS.Ibrahim 41
5. 5. Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nash hadis lain seperti yang kami tulis diatas,bahwa nabi lahir dari nasab yang suci.
6. 6. Dikatakan oleh Al Qadhiy Abu Bakar Al A’raabiy bahwa orang yang mengatakan orang tua Nabi saw di neraka, mereka di laknat oleh Allah swt, sebagaimana FirmanNya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Ahzab: 57)Berkata Qadhiy Abu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW ketika dikatakan bahwa ayahnya atau orang tuanya berada di neraka, dan Nabi saw bersabda : ‘Janganlah kalian menyakiti yang hidup karena sebab yang telah wafat.’ (Masalikul Hunafa’ Fii Hayaati Abawayyil Musthofa, hal. 75 lil Imam Suyuthi)
Demikian pendapat ulama bahwa orang tua Nabi SAW bukan orang-orang musyrik, karena wafat sebelum kebangkitan Risalah dan menjadi ahli fatrah, dan tak ada pula nash yg menjelaskan mereka sebagai menyembah berhala. Diantara Ulama yang berpendapat bahwa orang tua Nabi bukan musyrik menurut Al Habib Munzhir bin Fuad Al Musawa adalah :
Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii, Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi, Al Hafidh Al Imam Assakhawiy, Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw, Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin, Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy, Al hafidh Al Imam At thabari, Al hafidh Al Imam Addaruquthniy dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii, Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi, Al Hafidh Al Imam Assakhawiy, Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw, Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin, Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy, Al hafidh Al Imam At thabari, Al hafidh Al Imam Addaruquthniy dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bagaimana dengan Abu Tholib ?
Dalam QS.Al Qoshosh 56,yang artinya:”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”
Asbabul nuzul ayat ini menurut Ibn Katsir, yang dinukil dari shohihan (Bukhori dan Muslim) terkait dengan detik-detik wafatnya pamanda Rasulullah saw.
Dari Sa’id bin Musayyab ra.,dari bapaknya katanya”Ketika Abu Tholib hampir meninggal dunia Rasulullah saw datang mengunjunginya,didapati beliau disana telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mighiroh. Kemudian Rasullah saw bersabda,”wahai paman ,ucapkanlah La ila ha ilaallah,yaitu sebuah kalimat yang aku akan menjadi saksi bagi paman nanti dihadapan Allah”.Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata;”Hai abu Tholib! Bencikah anda kepada agama Abdul Mutholib”.Rasulullah terus menerus mengulang-ulang ucapannya itu, tetapi akhirnya Abu Tholib mengatakan”Dia tetap memegang agama Abdul Mutholib dan enggan mengucapkan la ila ha illallah.Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Demi Allah! Akan kumohonkan ampun bagi paman,selama aku tidak dilarang melakukannya”.Kemudian turun QS.al Qoshos 56.(Bukhori dan Muslim,Mukhtashor Ibnu Katsir,juz 3,hal.19 oleh DR.Ali Ashobunny)
Dan ada pula anggapan bahwa hadis tersebut sebagai sebab turunnya QS.at Taubah 113,namun hal ini dibantah,karena QS.at Taubah 113 tersebut termasuk madaniyyah(Ayat yang turun di Madinah),sedangkan Abu Tholib meninggal di Mekkah sebelum hijrah,jadi tidak cocok dengan fakta sejarah.(lihat,Tafsir Al Munir,li Wahbah,juz 6,hal.61).
Dari hadis ini ada anggapan bahwa Abu Tholib mati dalam kondisi kafir,Tentu anggapan tersebut belum tentu benar karena argumentasi sebagai berikut:
1. Hadis tersebut dan nash lain tidak menyebut secara manthuq (tekstual) yang jelas tentang kekufuran Abu Tholib,sehingga masih ada peluang bagi kita untuk berkhusnudzon dengan beliau. Dan itu jauh lebih selamat dan aman bagi kita
2. Justru ada hadis dengan redaksi yang lain yang memperkuat argument pertama tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,Tirmidzi dan Al Baihaqi dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda kepada pamannya’”Wahai pamanku,ucapkanlah la ilaa ha illallah,niscaya aku akan bersaksi untukmu disisi Alloh pada hari Kiamat”Abu tholib menjawab,”Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata,’Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,niscaya aku mengucapkannya untukmu”.Maka turunlah firman Alloh QS.Al Qoshosh 56 itu (DR.Wahbah Zuhaily,juz 10,hal.498 dan Tafsir Ibnu Kastir,Mukhtashor,Ali ash shobuni,juz 3,hal 19)
Perhatikanlah! Abu Tholib enggan mengucapkan kalimat syahadat bukan karena tidak beriman dengan kalimat tersebut,namun karena taqqiyah (strategi membela diri dengan menyembunyikan keimanannya) agar terhindar dari celaan orang Quraisy yang menganggapnya masuk Islam karena mau mati saja. Padahal hakekatnya dibatin beliau telah menerima keimanan kepada Alloh dan rasulNya.Ini dibuktikan dalam tarikh/sejarah ketika Abu Tholib mengajak nabi pada saat umur 9 tahun ke Syam dan bertemu pendeta/ rahib Bahira yang melihat tanda kenabiannya dan hal itu disampaikan ke Abu Tholib agar berhati-hati karena orang-orang yahudi tidak menyukai hal itu(Zaadul Maa’ad,juz 1,hal.37). Sejak itu pasti beliu mengimani nubuwat yang dibawa rasul saw,Karena bagaimana mungkin beliau dianggap kafir atau musrik padahal beliau merahasiakan kenabian Muhammad dari musuh-musuhnya??Mungkin ada yang menjawab; ‘Dirahasiakannya karena dia menyayangi keponakannya itu’,namun itu dapat dibantah dengan Abu Lahab yang juga pamannya dan juga menyanginya,kenapa menentangnya? Renungkan wahai manusia yang beriman !!
Dan telah berkata al Zajjaj ; “Telah sepakat ummat islam bahwa ayat 56 dari al Qoshosh itu turun terkait pada Abu Tholib.Yang ketika itu beliau berkata disaat jelang kematiannya(kepada orang-orang Quraish) : ‘Wahai masyarakat bani abdi Manaf,ta’atlah kalian dan benarkan (shoddiquuhu) oleh kalian ajaran Muhammad!,maka kalian akan sukses dan mendapatkan petunjuk’.Maka bersabda Nabi saw : “Wahai pamanku,engkau menasehati mereka dan engkau meninggalkan dirimu?”.Berkata abu Tholib :’Maka apa yang kamu inginkan wahai keponakanku?’.Bersabda Nabi saw: “saya menginginkan darimu hanya satu kalimat saja agar di akhir hidupmu ini di dunia hendaknya dengan berkata ‘la ilaaha illalloh’,dan dengan kalimat itu saya akan bersaksi di sisi Alloh swt {kelak dikemudian hari}”.Berkata Abu Tholib:’Wahai keponakanku,sungguh saya tahu kalau [ajaran]mu benar,namun saya enggan dikatakan[kalau mengucapkan kalimat tersebut,]sebagai kesedihan saja dalam menghadapi kematian.Kalau sendainya[setelah mengucapkan kalimat tersebut] tidak terjadi pada dirimu dan bani ayahmu penghinaan dan celaan paska kematianku,sungguh aku akan mengatakan itu dihadapanmu ketika aku berpisah[mati],ketika aku lihat besarnya rasa cintamu dan nasehatmu.Namun sepertinya saya akan mati di atas agama abdul Muthollib,Hasim dan abdu Manaf.[Tafsir Al Munir,Wahbah juz 10 ,hal 499-500].
Tidak sulit untuk dibayangkan,seumpama ketika itu Abu Tholib memeluk islam dengan cara seperti yang dilakukan Oleh Hamzah,Abu Bakar,Umar dan Usman radliyallohu ‘anhum,tentu ia tidak akan dapat memberi perlindungan dan pembelaan kepada Rasululloh saw.Karena kaum musyrikin quraish pasti memandangnya sebagai musuh,bukan sebagai pemimpin masyarakat Mekkah yang harus dihormati dan disegani.Jika demikian tentu ia tidak mempunyai lagi kewibawaan untuk menumpulkan atau menekan perlawanan mereka terhadap Rasululloh saw,dan juga tidak dapat membentengi dakwah beliau.Memang benar ,pada lahirnya Abu Tholib nampak seagama dengan mereka,tetapi apa yang ada di dalam batinnya tentu hanya alloh yang tahu.Karena itu jangan ceroboh menuduhnya musyrik.
3. Bagaimana mungkin beliau dikatakan seorang yang kafir,padahal beliaulah yang membela dakwah Nabi saw dengan jiwa dan hartanya.Dan bagaimana pula beliau disamakan dengan orang kafir quraish yang selalu menentang dan mengintimidasi Nabi saw,padahal Abu Tholib melakukan sebaliknya.
4. Adapun QS Al Qoshosh 56,itu terkait bahwa nabi saw tidak dapat memaksakan kehendak berhidayahnya seseorang sekalipun kepada yang dicintai.Karena kewenangan memberikan hidayah taufiq hanya Alloh swt.Seolah ayat tersebut menginfokan kepada Nabi saw bahwa hidayah pamannya itu adalah berada dalam urusanNya.Dan tidak ada dari dhohirnya ayat tersebut yang menunjukkan kepada kufurnya Abu Tholib.
5. Perkara ini adalah khilafiyah atau terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlus sunnah sendiri.Maka seyogjanya kita mengambil pendapat yang tidak berefek madhorrot bagi aqidah kita atau minimal mengambil pendapat yang efek madhorrotnya paling ringan.Dan pendapat yang paling ringan adalah menganggap Abu Tholib seorang paman Nabi yang tidak masuk kafir,karena minimal itu dapat menjadi sikap husnuzhon kita atas beliau.Namun jika kita mengatakan beliau kafir,dan seandainya disisi Alloh beliau ternyata mukmin maka kita sudah terkena dosa fitnah atas tuduhan kekufuran kepadanya dan itu madhorrot yang besar dalam aqidah kita.Oleh karena itu lebih baik bagi kita adalah berhusnuzhon saja karena tidak ada gunanya bagi kita untuk mengkafirkan beliau.
Di sisi lain,kalaupun-seandainya- tidak ada perbedaan pendapat ulama menyangkut keislaman Abu Thalib dan semua sepakat menyatakan keengganannya beriman,namun karena hal tersebut pasti menyedihkan Nabi Muhammad saw,maka demi menjaga perasaan beliauserta mengingat jasa-jasa Abu Thalib kepada Nabi saw,maka hendaknya persoalan itu tidak dibahas secara panjang lebar,apalagi ayat diatas(at taubah 113 dan al Qoshosh 56) berbicara secara umum.dan dapat mencakup siapapun dan kapanpun.
Sayyid Muhammad Rasyid dalam Tafsir Al Manar menguraikan pendapat sementara ulama tentang hadis Nabi saw. Yang menyatakan :”Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri,niscaya pasti kupotong tangannya”(HR.Bukhari dan Muslim melalui ‘Aisyah ra).Menurutnya ada ulama yang enggan menyebut Fathimah dalam riwayat ini,dan menggantinya dengan kata Fulanah (si A) atas pertimbangan bahwa perasaan Nabi akan tersinggung bila orang lain menyebut nama putri beliau sebagai contoh untuk sesuatu yang buruk. Demikian kesimpulan dari pesan bijak DR.Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah.
Dan ada kata bijak lainnya yang patut direnungkan ; “Menuduh orang kafir sebagai mukmin tidaklah berdosa,namun menuduh orang mukmin sebagai orang yang kafir dan musyrik adalah dosa besar.”
Wallohu A’lam
Ya Alloh jadikan kami termasuk alkayyis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar