kewajiban suami
Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang
ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik,
tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan
wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan
bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
“Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”
(QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik
kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik
pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi
2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada
istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat
baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum,
tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah,
setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri.
Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan
oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat
tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan
dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf”
(QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf
(baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang
dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan
masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah
ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap
pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
“Bertakwalah
kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya
telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika
mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia
bertanya pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau
makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau
usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak
menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di
rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang
mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi
kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no.
5364).
Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban
suami?
Disebutkan dalam ayat,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi
patokan dalam hal nafkah:
1. Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan,
tempat dan zaman.
2. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan
dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian
dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di
atas.
Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan
jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas
yang mulia ini.
Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami yang
belum dibahas. Insya Allah akan berlanjut pada tulisan berikutnya.
Wallahu
waliyyut taufiq was sadaad.
Melanjutkan pelajaran terdahulu mengenai kewajiban suami, saat ini akan dikupas mengenai beberapa sikap yang seharusnya dimiliki
oleh seorang suami. Seperti lemah lembut, perhatian dan meluangkan waktu untuk
bercanda dengan istri tercinta. Sifat-sifat ini telah diajarkan oleh suri
tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sudah sepatutnya pun kita selaku seorang suami
meneladani dan mempraktekannya.
Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan
istri tercinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas
berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah
gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6:
264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda
gurau dengan istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke
arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku
sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti
gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no.
892). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang
ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada
istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?
Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar
curhatan istri
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah
itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam hadits yang
lumayan panjang berikut ini.
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji
dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami
mereka.
Wanita
pertama berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta
yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak
mudah untuk didaki dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud perkataan
di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus, sedikit
dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal yang
sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang terasa
lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan
suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan
suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri
ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan
bersenang-senang dengannya.]
Wanita
kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku tidak akan
menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak
mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan
urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.
[Maksud perkataan
di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika
diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena
saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar
seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang
menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan
berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan
ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.
Wanita
ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku
akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”.
[Maksud perkataan
di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk atau ada
yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri). Ia
mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung
menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti
wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.)
Wanita
keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak
panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud perkataan
di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak
panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si wanita
menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu
tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya
tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya
seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti
kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang
bersahabat.]
Wanita
kelima berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan
jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya
(yang didapatinya)”.
[Maksud perkataan
di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan.
Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran
pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan dan
menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak
kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah
seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan, minuman dan pakaian,
jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika
ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang
terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia keluar
dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang
terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia
melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan,
dapat ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah
seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang
sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai
buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya
keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya
padanya dan anak-anaknya.]
Wanita
keenam berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan
tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur
sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui
kondisiku yang sedih”.
[Maksud perkataan
di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja dan banyak
minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia
pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia
menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan
intim). Ini menunjukkan celaan.]
Wanita
ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak,
semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau
mengumpulkan seluruhnya untukmu”.
[Maksud perkataan
di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim dengan
istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia berhubungan
intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]
Wanita
kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan
kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud perkataan
di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada
istrinya.]
Wanita
kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang
sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat
pertemuan)”.
[Maksud perkataan
di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang
mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya.
Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh
orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia
terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia
dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
Wanita
kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan
siapakah gerangan si Malik? Malik adalah lebih baik dari pujian
yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit
tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal
maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”
[Maksud perkataan
di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk menyambut tamu.
Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan
pemuliaan yang luar biasa].
Wanita
kesebelas berkisah, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan
Abu Zar’? Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah
memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun
gembira.”
[Maksud perkataan
di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak
dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika
lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini
menjadikannya gembira. Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan
mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan
pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai
suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya.
Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang
paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus
dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.]
Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil
dalam kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik
kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku
berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku
minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud perkataan
di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang
menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang
mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke
kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang
dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak
lainnya. Jika ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak
pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena
mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari
dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia
minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah
memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang
lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya
dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga
istrinya.]
Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang
mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.
[Maksud perkataan
di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot
rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan
bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan
tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu
suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang
telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan
antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak
perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang
mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki
hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami.]
Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya
adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika
memakan lengan anak kambing betina.
[Maksud perkataan
di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani,
tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering
membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]
Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada
ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.
[Maksud perkataan
di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang tuanya
sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang putri
yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang lain
cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.]
Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia
menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak
makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta
tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud perkataan
di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga
rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam
rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat
mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan
sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]
Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat
dituangkannya susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka
ia pun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor
macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka
iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud perkataan
di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan
para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang
menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu tersebut.
Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang
menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab
tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang
dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki
dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih
muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu
Zar’]
Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang
terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi
lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah
berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan
yang disembelih dan berkata, “Makanlah
wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”.
Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan
mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu
menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga
memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang
lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut
kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa
bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.
Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang
kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya
memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah
yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama
dari sang wanita.]
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu
Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata:
“Wahai
Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR.
An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Kisah yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami,
ada yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk
yang harus kita jauhi.
Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian
suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu
saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung
pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak
curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti dalam kisah ini.
Demikian ulasan kita pada hari ini. Masih ada beberapa
kewajiban suami yang belum penulis ulas. Moga bisa diteruskan dalam
kesempatan yang lain.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi suami idaman,
penuh kelembutan, penuh kasih sayang dan amat perhatian pada istri. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, terbitan Al Maktabah At
Taufiqiyah, 3: 204-211.
Kelima: Mengajarkan istri masalah agama
Sebagian suami
kurang mempedulikan hal ini. Mereka hanya tahu bahwa kewajibannya hanyalah
memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal atau kesenangan dunia. Kewajiban kali
ini sebenarnya terbilang penting bahkan teramat penting karena berkaitan dengan
akhirat.Coba bayangkan jika suami melihat istrinya enggan berjilbab, malas shalat fardhu, sering bermaksiat, atau tidak bisa membaca Al Qur’an, apakah ia rela istrinya seperti itu? Semua itu tentu saja perlu didikan. Selain dibini, yah harus dibina pula. Bukan hanya biologis saja yang ia nikmati dari istri. Seharusnya ada simbiosis mutualisme. Istri bisa membahagiakan suami, begitu pula sebaliknya. Dan kebahagiaan rohani ini lebih dari segalanya, lebih pula dari kebahagiaan dunia.
Semoga menjadi renungan bagi kita –para suami- firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim: 6). Lihatlah tafsiran para salaf mengenai ayat tersebut.
Lihatlah apa yang dikatakan oleh sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,
“Ajarilah adab dan agama kepada mereka”.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
“Lakukanlah ketaatan pada Allah dan hati-hatilahlah dengan maksiat. Perintahkanlah keluargamu untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka”.
Mujahid berkata,
“Bertakwalah pada Allah dan nasehatilah keluargamu untuk bertakwa pada-Nya”.
Adh Dhohak dan Maqotil berkata,
“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya, termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 59)
Ingatlah, termasuk suatu kebahagiaan jika istri, anak dan kerabat kita mendapatkan hidayah. Lihatlah perkataan Al Hasan Al Bashri,
“Yang ingin dilihat Allah pada hamba muslim dari istri, saudara, dan sahabat karibnya adalah mereka semua taat pada Allah. Wallahi, demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketaatan pada Allah yang ia lihat pada anak, cucu, saudara dan sahabat karibnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 333).
Lalu bagaimana jika kita tidak bisa mendidik istri kita karena kita sendiri kurang dalam agama?
Jawabnya, hendaklah suami pun memperbaiki diri. Berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam sehingga ia bisa memperingatkan dan mendidik istrinya di rumah. Lebih maslahat jika istri dididik di rumah dibanding di luar. Itu jika mampu dan ini jalan yang lebih baik. Jika tidak bisa demikian, hendaklah si suami mengajak istri untuk datang ke majelis ilmu sebagaimana dirinya pun demikian. Belajarlah dari ilmu dasar, dimulai dari memperbaiki akidah, tauhid, dan memperbaiki amalan ibadah wajib serta ilmu penting lainnya. Dengan demikian, rumah akan terhiasi dengan cahaya ilmu dan itulah yang akan membuat keluarga semakin tentram dan bahagia.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mendidik istri dan anak-anak kita dalam hal agama, sehingga kita pun terbebas dari siksa neraka.
Keenam: Mengajak istri dan anak untuk rajin beribadah
Selain mendidik
istri dan anak dalam masalah diin (agama), suami pun berusaha untuk mengajak
keluarganya untuk memperhatikan ibadahnya. Terutama sekali hal yang wajib.
Didiklah istri dan anak untuk menjaga shalat lima waktu. Didiklah mereka
memperhatikan pula amalan wajib lainnya dan sempurnakanlah amalan tersebut
dengan amalan sunnah.Cobalah perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperhatikan shalat anak-anak kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud no. 495. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwaul Gholil 298).
Begitu pula beliau memerintahkan pada suami untuk memperhatikan shalat malam istrinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1450, An Nasai no. 1610, dan Ahmad 2: 250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 625).
Sungguh kemesraan yang luar biasa di akhir malam. Sedikit yang melakukannya. Dan sedikit pula yang mempedulikan pasangannya untuk shalat malam. Suami tentu saja bisa mengajak istri untuk rajin beribadah dengan ia terlebih dahulu membiasakan dirinya.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menjalankan ketaatan, menjaga ibadah wajib dan merutinkan sunnah, sehingga itu pun bisa tertular pada istri dan anak-anak kita.
Ketujuh: Tidak mempersoalkan
kesalahan kecil si istri
Inilah petunjuk Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhoi” (HR. Muslim no. 1469). Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan tidak bisa seratus persen perfect sebagaimana yang suami inginkan. Bersabarlah dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.
Kedelapan: Tidak memukul istri di
wajah dan tidak menjelek-jelekkan istri
Dari Mu’awiyah Al
Qusyairi radhiyallahu ‘anhu,
ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak mendiamkannya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Kenapa tidak boleh memukul wajah istri?
Karena wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Di wajah terdapat anggota lainnya yang mulia dan lembut. Hadits ini merupakan dalil wajibnya menjauhi memukul wajah ketika mendidik istri.
Dalam hadits di atas pun terdapat ajaran tidak menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela atau mendoakan jelek pada istri seperti dengan do’a “semoga Allah menjelakkanmu”. Seperti ini tidak dibolehkan (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).
Dalam hadits lainnya dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Salah seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti cambukan pada seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” (HR. Bukhari no. 5204).
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Boleh mendidik istri dengan memukul namun tidak di wajah dan tidak dengan pukulan yang keras atau tidak boleh dengan pukulan yang menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Kaedah dalam memukul istri
Diterangkan dalam ayat berikut ini,
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisa’: 34). Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul istri:
1.
Ketika
nasehat tidak lagi diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan
istri dari ranjang.
2.
Pukulannya
dalam rangka mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
3.
Tidak
lagi memukul istri ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada
perintah suami.
Kesembilan: Tidak meng-hajr
(pisah ranjang) dalam rangka mendidik selain di dalam rumah
Hal ini sebagaimana
diterangkan dalam ayat dan hadits sebelumnya di atas. Mengenai makna hajr di ranjang pada ayat,“Dan hajr-lah (pisahkanlah mereka) di tempat tidur mereka”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah tidak satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar dari kesalahannya (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 177).
Ibnul Jauzi menerangkan mengenai makna hajr di ranjang ada beberapa pendapat di kalangan pakar tafsir:
1.
Tidak
berhubungan intim
2.
Tidak
mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
3.
Mengeluarkan
kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
4.
Pisah
ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Dan hajr boleh dilakukan di luar rumah jika
ada maslahat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
meng-hajr istri-istrinya selama
sebulan di luar rumah mereka.
Kesepuluh: Memberikan hak istri
dalam hubungan intim
Hal ini dapat kita
ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.
Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan, pen), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan istri
kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab yang
sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk mengunjungi kerabatnya,
sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu Zar’ dan Abu Zar’
sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar rahasia
dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di hadapan
istri sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Keempatbelas: Selalu berprasangka baik
dengan istri
Inilah mengapa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan
istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
Hadits semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah memudahkan kita selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah dan selalu diisi dengan kasih sayang.
Wallahu waliyyut taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi:
1.
‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi
Daud,
Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyyib, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut,
cetakan kedua, tahun 1415 H
2.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid
Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 213-215
3.
Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, Asy Syamilah
4.
Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir
As Sa'di, terbitan Muassasah Ar Risalah , cetakan pertama, tahun 1423 H
5.
Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al
Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H
TERJEMAHAN ALQUR’AN 30 JUZ
13. SURAT 31. LUQMAN - SURAT 32. AS
SAJDAH - SURAT 33. AL AHZAB - SURAT 34. SABA' - SURAT 35. FATHIR
23. SURAT 101. AL QAARI'AH - SURAT
102. AT TAKAATSUR - SURAT 103. AL 'ASHR - SURAT 104. AL HUMAZAH - SURAT 105. AL
FIIL - SURAT 106. QURAISY - SURAT 107. AL MAA'UUN - SURAT 108. AL KAUTSAR - SURAT
109. AL KAAFIRUUN - SURAT 110. AN NASHR - SURAT 111. AL LAHAB
PENTING : Jika Anda merasa website ini
bermanfaat, mohon do'akan supaya
Allah mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur
keluarga kami dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu
memberi Keluarga kami rezeki yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh
kesehatan dan waktu luang, supaya kami dapat memperbanyak amal shalih
dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak
ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya [sesama muslim]
tanpa sepengetahuan saudaranya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu
juga kebaikan yang sama.”
(Hadits
Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
KEWAJIBAN ISTRI
BalasHapusPasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami" (Majmu' Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
BalasHapusIstri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
BalasHapusDari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
BalasHapusPara fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. ... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa sunnah yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]
[1] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.
[2] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal.
Jika Suami Tidak di Tempat
BalasHapusBerdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)