Mengintip Bayang-Bayang
oleh Winny Widya pada 6 November 2012 pukul 11:53Bismillah ...
Sekitar satu minggu menunggu putriku Zahra di rumah sakit, ditambah beberapa hari sebelumnya menjadi detektif yang pergi kesana kemari yang berhubungan dengan dokter, tabib dan obat-obatan, guna menyelidiki si misterius yang belakangan ini menggoda tubuh mungil itu, membuatku terjauh dari sudut favorit di rumahku tempat aku biasa menuangkan buah fikiran dan perasaanku dalam laptop mungil kesayanganku. Namun, hal itu tak menggangguku, karena perhatianku selama itu akan dan selamanya tercurah untuk kesembuhan Zahra.
Mungkin aku sering merasa jenuh, tapi hal itu lekas hilang jika kemudian aku telah bersenyawa dengan buku agenda atau pensil-ku. Dalam saat-saat yang memungkinkan di rumah sakit, dimana mata yang sedang terbaring sakit sedang terpejam, aku bisa segera asyik menggoreskan pensil di buku agendaku,entah itu sekedar mencoret-coreti lembarnya dengan prosa ataupun puisi, atau menggambar sketsa wajah Zahra yang sedang lena dan labu infus-nya yang menetes-netes mengetuk-ngetuk palung hatiku.
Pada saat-saat seperti itu, sering aku teringat pada masa setahun yang lalu. Di tempat beraroma obat yang sama, di sebuah rumah sakit di Bandung saat menunggui papaku yang terbaring sakit. Saat itu tiga hari sepeninggal almarhum Mama yang mendahuluinya menghadap Ar-Rahman, papaku tersenyum kepadaku. Seakan berterimakasih telah sudi menjadi kawannya di ruang yang sepi, serba putih dan bersih itu.
Papa jarang sekali berkata-kata, bahkan untuk sampai pada pertolongan dokter di rumah sakitpun beliau tak hendak membuat sulit putri-putrinya. Namun rintihannya dalam menahan sakit membuat kami tersadar, bahwa selama perhatian kami terpusat demi kesembuhan almarhum Mama dari cengkeraman Leukemia (kanker darah), Papa pun sesungguhnya sedang menanggung sakit juga. Aduhai, kami menanggung malu dihadapan kesabaran dan ketabahannya.
Dalam berduaan dengan lelaki sepuh yang kupanggil ia Papa, dan sejak kecil tak pernah merasa terlalu dekat dengannya karena sifat pendiamnya, aku merasakan hatiku hangat dengan cinta. Ia orang tuaku satu-satunya yang kupunya saat ini.
Dari Papa aku belajar untuk tak mengeluh saat tak dibelikan sebatang es krim yang kuinginkan. Ditunjuknya orang gelandangan di emperan toko, ada mereka yang lebih merana menahan laparnya setiap hari karena belum tentu bisa menemukan walau sebutir nasi berhari-hari.
Dari Papa aku belajar untuk tak menangis berlama-lama saat lututku terluka, Ditunjuknya orang-orang tuna netra, tuna rungu ataupun tuna daksa yang tetap bisa bahagia dalam segala yang tak mereka punya.
Dari Papa aku belajar untuk memulia dan menghargai insan, saat aku dan adik-adikku mentertawakan nama seseorang yang terdengar lucu di pendengaran. Papaku bilang :
"Jangan hina nama seseorang, ia pemberian tak ternilai orang tuanya. Orang tua yang mencintainya, seperti Papa yang mencintai kalian !" Sejak itu, aku tak pernah berani merendahkan seseorang, bahkan meski orang itu memang "rendah" dikatakan orang.
Dalam usia 4 tahunku, Papa memelukku saat aku bisa mengeja berita di koran paginya. Papa guru pertamaku yang mengajariku membaca. Hingga masa-masa kuliahku, Papalah yang setia mengantar menjemputku kemana tempat yang beliau khawatirkan aku tanpa perlindungannya.
Dalam sunyi diamnya, aku merasakan kasihnya.
Kini, saat kubelai kasih buah hatiku dalam sakitnya, selalu kuingat cinta orang tuaku. Setiap ucap lisannya terpatri jelas dalam sanubariku. Bahwa Allah selalu bersama, walau kita merasa jauh denganNYA. Maka tentramkan hati tanpa takut lagi. Semua akan baik-baik saja.
Tanggal 5 November 2012, hari senin dan jam terakhir menjelang kepulangan Zahra dari rumah sakit, kutemukan buku gambar di pembaringan saat sedang kurapihkan.
"Buku gambar Zahra !" Pekik hatiku.
Kubuka dan kujenguk isinya,penuh dengan gambar bercerita seperti buku komik layaknya. Ia membuat cerita imajinasinya lengkap dengan gambarnya. Namun yang membuatku tercekat adalah tulisan Zahra di lembaran terakhir buku gambarnya :
Ya Allah, terimakasih sudah mengambil penyakitku
Maafkan aku yang banyak mengeluh
Beri aku tambahan kesabaran lagi
Supaya aku bisa belajar dan sekolah lagi
Agar bisa aku membalas dan lebih berbakti kepada Umi dan Abi
I Love Umi
Runtuh hati dan menitis air mata untuk kesekian kali
Betapa selalu kudapat bahagia, meski dari tempat yang penuh nestapa
Terimakasih ya Allah, atas segala cinta ...
Bogor, 6 November 2012
You might also like:
TERJEMAHAN ALQUR’AN 30 JUZ
13. SURAT 31. LUQMAN - SURAT 32. AS
SAJDAH - SURAT 33. AL AHZAB - SURAT 34. SABA' - SURAT 35. FATHIR
23. SURAT 101. AL QAARI'AH - SURAT
102. AT TAKAATSUR - SURAT 103. AL 'ASHR - SURAT 104. AL HUMAZAH - SURAT 105. AL
FIIL - SURAT 106. QURAISY - SURAT 107. AL MAA'UUN - SURAT 108. AL KAUTSAR - SURAT
109. AL KAAFIRUUN - SURAT 110. AN NASHR - SURAT 111. AL LAHAB
PENTING : Jika Anda merasa website ini
bermanfaat, mohon do'akan supaya
Allah mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur
keluarga kami dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu
memberi Keluarga kami rezeki yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh
kesehatan dan waktu luang, supaya kami dapat memperbanyak amal shalih
dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak
ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya [sesama muslim]
tanpa sepengetahuan saudaranya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu
juga kebaikan yang sama.”
(Hadits
Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar