Macam-macam Puasa Terlarang
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ibadah harus dilakukan berdasarkan aturan. Ibadah tanpa aturan,
tidak akan membuahkan pahala, bahkan justru menjadi sebab dosa. Sehingga tidak
heran, ketika ada orang yang ahli ibadah, namun dia justru menjadi ahli neraka.
Sebagaimana yang dialami para rahib, yang menghabiskan hidupnya untuk beribadah
di kuilnya. Simak: Kultum Ramadhan – Ahli Ibadah Tapi Ahli Neraka
Demikian pula puasa. Semua orang memahami, puasa adalah ibadah
yang nilainya luar biasa. Namun jika puasa ini dilakukan tanpa aturan, puasa
ini justru akan menjadi sumber dosa dan bukan pahala. Ada 6 jenis puasa yang
terlarang dalam syariat, berikut rinciannya,
Pertama, puasa setiap hari (puasa dahr)
Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma pernah bertekad
untuk puasa setiap hari dan shalat tahajud sepanjang malam. Mengetahui hal ini,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menegurnya,
“Jika kamu lakukan tekadmu itu, membuat matamu cekung dan jiwamu
kecapekan. Tidak ada puasa bagi orang yang melakukan puasa dahr (puasa setiap
hari).” (HR. Bukhari 1979).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada puasa bagi orang yang puasa abadi.” (HR. Bukhari 1977
& Muslim 1159).
Dr. Musthafa Bagha – ulama syafiiyah kontemporer – menjelaskan
makna puasa abadi yang dilarang dalam hadis,
‘Orang tersebut berpuasa setiap hari sepanjang usianya dan tidak
pernah meninggalkan puasa, kecuali pada hari diharamkan untuk berpuasa, seperti
hari raya atau hari tasyrik.’ (Ta’liq Shahih Bukhari, 3/40).
Bahkan terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan puasa
sepanjang usianya. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Siapa yang melakukan puasa sepanjang masa, neraka jahannam akan
disempitkan untuknya seperti ini.” Kemudian beliau menggenggamkan tangannya.
(HR. Ahmad 19713. Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini shahih mauquf (keterangan
Abu Musa). Namun apakah itu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
diperslisihkan ulama tentang keshahihannya. Tetapi mengingat ini masalah ghaib,
tidak mungkin seorang sahabat berbicara murni dari pikirannya, sehingga
dihukumi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan,
‘Zahir hadis, jahanam disempitkan baginya dalam rangka
mengekangnya, karena dia menyiksa dirinya sendiri dan memaksa dirinya untuk
puasa sepanjang masa. Disamping dia membenci sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan meyakini bahwa selain sunah beliau (dengan puasa sepanjang masa),
itu lebih baik. Sikap ini menuntut adanya ancaman keras, sehingga hukumnya
haram.’ (Fathul Bari, 4/222).
Kedua, puasa di dua hari raya
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada saat
idul fitri dan hari berkurban.” (HR. Bukhari 1991, Ibn Majah 1721).
Dalam hadis lain, dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkhutbah, menjelaskan hukum terkait idul fitri dan idul adha,
“Ini adalah dua hari,dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang untuk melakukan puasa pada hari itu: pada hari kalian selesai
melaksanakan puasa (idul fitri) dan hari kedua adalah hari dimana kalian makan
dari hasil kurban kalian.” (HR. Bukhari 1990 dan Muslim 1137).
An-Nawawi menjelaskan,
“Ulama sepakat haramnya puasa di dua hari raya, apapun puasanya.
Baik puasa karena nazar, sunah, kafarah, atau sebab lainnya. Jika ada orang
uang bernazar puasa pada hari raya, Imam Syafii dan mayoritas ulama mengatakan,
‘Nazarnya batal dan dia tidak wajib qadha.’ Sementara Abu Hanifah mengatakan,
‘Nazarnya sah, dan dia wajib mengqadhanya.’” (Syarh Shahih Muslim, 8/15)
Ketiga, puasa sunah yang dilakukan wanita, tanpa izin suaminya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang wanita tidak boleh puasa (sunah) sementara suaminya ada
di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari 5192, dan Abu Daud 2458).
Larangan ini tidak berlaku jika suami tidak di rumah. Sang istri
boleh berpuasa sunah, meskipun dia tidak izin suaminya.
Ibnu Hazm mengatakan,
“Tidak halal bagi wanita yang bersuami untuk melakukan puasa
sunah tanpa izin suaminya. Jika suami tidak ada, sehingga dia tidak bisa
meminta izin, dia boleh berpuasa sunah, jika dia menginginkannya.” (Al-Muhalla,
4/453).
Karena memenuhi hak suami adalah wajib, sementara melaksanakan puasa
sunah sifatnya anjuran. Dan yang wajib lebih didahulukan dari pada yang sunah.
Keempat, puasa pada hari tasyriq
Dari Nubaisyah Al-Hudzali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim 1141)
An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim
dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
Ibnu ‘Abdil-Barr menegaskan bahwa ulama sepakat tentang larangan
ini. Beliau menyatakan,
“Tentang puasa pada hari-hari tasyriq, maka tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama di berbagai negeri bahwasannya tidak diperbolehkan
bagi seorang pun untuk berpuasa sunnah ketika itu” (At-Tamhiid, 12/127).
Al-Hafidz Ibn Rajab menjelaskan sebab larangan puasa di hari
tasyrik,
‘Dilarang berpuasa hari tasyrik, karena hari tasyrik termasuk
hari raya kaum muslimin, bersambung dengan hari raya kurban. Karena itu, tidak
boleh puasa padaha hari tasyrik, baik di Mina maupun lainnya menurut mayoritas
ulama. Tidak sebagaimana pendapat Atha yang mengatakan bahwa larangan ini hanya
khusus bagi mereka yang sedang berada di Mina. Yang dilarang adalah puasa
sunah, baik itu puasa rutinitas maupun bukan rutinitas.’ (Lathaif Al-Ma’arif,
hlm. 292).
Kelima, puasa hari syak (meragukan)
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
“Siapa yang puasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat
kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari
secara Muallaq, 3/27).
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
“Hadis ini dijadikan dalil haramnya puasa pada hari syak. Karena
sahabat Ammar tidak mungkin mengatakan demikian dari pendapat pribadinya,
sehingga dihukumi sebagaimana hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam). (Fathul Bari, 4/120).
Apa itu hari syak?
Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, hasil dari penggenapan
bulan sya’ban, karena hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau karena
cuaca yang kurang baik. (As-Syarhul Mumthi’, 6/478).
An-Nawawi mengatakan,
Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, dimana banyak orang
membicarakan bahwa hilal sudah terlihat, padahal tidak ada satupun saksi yang
adil, dirinya telah melihat. (Al-Majmu’, 6/401).
Salah satu contoh puasa hari syak adalah puasa yang dilakukan
oleh kaum muslimin di tanah air berdasarkan hisab, padahal hilal belum
kelihatan. Sehingga, sejatinya hari itu adalah tanggal 30 sya’ban dan bukan 1
ramadhan.
Keenam, mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari
sebelumnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Janganlah mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua
hari, kecuali orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, dia boleh melakukannya.”
(HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).
An-Nawawi mengatakan,
Dalam hadis ini terdapat larangan tegas mendahului ramadhan
dengan puasa sehari atau dua hari, bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan
puasa sunah yang bertepatan dengan hari itu, atau tidak bersambung dengan puasa
sunah sebelumnya. Jika bukan karena dua alasan tersebut, statusnya haram.
Inilah pendapat yang benar dalam madzhab kami (syafiiyah). (Syarh Shahih
Muslim, 7/194)
Sebagai contoh untuk lebih mudah memahami maksud hadis di atas,
Tahun 1984, tanggal 1 ramadhan jatuh pada hari selasa. Bolehkah
berpuasa pada hari senin sebelumnya?
Puasa pada hari senin itu boleh bagi 2 orang:
(1) mereka yang melaksanakan puasa sya’ban, dia sambung puasanya
hingga akhir sya’ban,
(2) mereka yang terbiasa puasa sunah hari senin.
Sementara selain itu, haram melakukan puasa sunah ketika itu.
Allahu a’alam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
You might also like:
TERJEMAHAN ALQUR’AN 30 JUZ
13.
SURAT 31. LUQMAN - SURAT 32. AS SAJDAH - SURAT 33. AL AHZAB - SURAT 34. SABA' - SURAT 35. FATHIR
23.
SURAT 101. AL QAARI'AH - SURAT 102. AT TAKAATSUR - SURAT 103. AL 'ASHR - SURAT 104. AL HUMAZAH - SURAT 105. AL FIIL - SURAT 106. QURAISY - SURAT 107. AL MAA'UUN - SURAT 108. AL KAUTSAR - SURAT 109. AL KAAFIRUUN - SURAT 110. AN NASHR - SURAT 111. AL LAHAB
PENTING : jika Anda merasa website ini bermanfaat, mohon do'akan supaya Allah
mengampuni seluruh dosa-dosa Keluarga kami, dan memanjangkan umur keluarga kami
dalam ketakwaan pada-Nya. Mohon do'akan juga supaya Allah selalu memberi Keluarga kami rezeki
yang halal,melimpah,mudah dan berkah, penuh kesehatan dan waktu luang, supaya
kami dapat memperbanyak amal shalih dengannya.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan
bagi saudaranya [sesama muslim] tanpa sepengetahuan saudaranya,
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.”
(Hadits Shahih, Riwayat Muslim No. 4912)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar