"Gerakan Koruptor Fight Back Luar Biasa"
Sosok yang sederhana. Maju menjadi calon komisioner. Soal konsep dan Nazaruddin.
Soal pemberantasan korupsi, kita harus berterimakasih kepada Abdullah Hehamahua. Tegas. Tanpa pandang bulu. Saat seorang petinggi kota Makasar dijerat kasus pengadaan mobil kebakaran, banyak kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menelepon Abdullah.Kebetulan sang tersangka, juga Abdullah yang menjadi penasehat KPK itu, sama-sama pernah aktif di organisasi itu. Tapi dia balik memberi wejangan. Semoga dengan masuk penjara, katanya, orang bisa bertobat. Dan sebagai senior, Abdullah merasa bertanggungjawab atas moral para yunior.
Dua periode bertugas di KPK, bukan sekali itu Abdullah dimintai bantuan. Bahkan juga ancaman. Meski agak takut, dia memilih jalan terus. “Kalau harus menjadi syuhada, saya ingin mengambil kesempatan itu,” katanya dalam wawancara khusus VIVAnews.com, Selasa sore, 16 Agustus 2011.
Lahir di Saparua, Ambon, 18 Agustus 1948, Abdullah Hehamahua lama merantau ke Malaysia diuber pemerintah Orde Baru. Seorang Muslin yang saleh, dari Sekolah Dasar hingga SMA rampung di sekolah Kristen. Diajari hakekat agama Kristen dan Injil. “Kalau sekolah di Madrasah, nanti gedenya cuma rebutan Masjid,” kata Abdullah menirukan alasan sang ayah mengirimnya ke sekolah Kristen.
Di kemudian hari, bekal dari masa kecil itu sangat berguna terutama untuk menasehati pegawai KPK atau koruptor yang beragama Kristen. Bertetangga kampung dengan Elias Pical, petinju yang sohor tahun 1980-an, Abdullah mengaku mengandrungi olahraga tinju. Dia mengaku sering menonton acara tinju legenda yang ditayangkan TVone.
Bertahun-tahun menekuni bela diri. Saat muda, doyan memecahkan tumpukan bata. “Plakkkkkkkk,” tiba-tiba Abdullah berpekik sembari memperagakan bagaimana memecahkan bata. Wartawan VIVAnews.com terkejut, sebab pekikan itu melengking di lantai satu Gedung KPK, yang Selasa sore itu agak sepi.
Abdullah ada sosok yang bersahaja, bukan saja kata-katanya, tapi juga hidup keseharian. Penampilannya khas. Baju batik lengan panjang. Songkok di kepala. Jenggot beruban yang dibiarkan menjuntai.
Memiliki rumah yang jauh di Rawa Denok, Depok, dia memilih kos di sekitar Manggarai. Tapi karena kamar mandi kos itu di luar – dan sang istri terpaksa selalu berkerudung jika ke kamar mandi – Abdullah lalu mengontrak sebuah rumah kecil di Jalan Barkah di daerah Matraman.
Mencalonkan diri menjadi komisioner KPK pada periode yang ketiga ini, dia sudah menyiapkan resep khusus mengurangi korupsi. Resep-resep itu diracik berdasarkan pengalaman selama dua periode sebagai penasehat komisi itu. Berikut petikan wawancaranya.
Anda terhitung orang yang paling lama di KPK. Dari pengalaman dua periode, titik terlemah KPK itu ada di mana?
Ada tiga titik terlemah. Internal, eksternal kemudian masyarakat. Titik lemah internal itu adalah soliditas. Karena pegawai di sini datang dari berbagai latar belakang, swasta dan pemerintah. Kalau swasta cenderung berprestasi tapi kurang memperhatikan aturan. Kejar target. Kalau pemerintah taat aturan, tapi target atau prestasi tidak terlalu diperhatikan sehingga ini jadi persoalan. Kami lalu membuat SOP, kode etik. Tapi butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri.
KPK merupakan lembaga negara yang boleh dibilang yang terbaik dari semua lembaga negara milik pemerintah. Berdasarkan hasil supervisi Korea Selatan setahun terakhir, dari sepuluh instansi pemerintah, KPK yang terbaik. Selama tiga tahun berturut-turut KPK selalu masuk tiga besar. Tahun ini the best. Tapi yang optimal belum tercapai. Kami sudah buat SOP dan kode etik. Tapi yang seharusnya hasil sudah mencapai 80 persen, baru bisa tercapai 75 persen.
Tapi trendnya membaik atau memburuk.
Trendnya membaik.
Apa yang Anda maksudkan dengan kelemahan eksternal tadi?
Kelemahan eksternal itu adalah persoalan perundang-undangan. Undang-undang menyangkut pemberantasan korupsi itu belum sinergis. Masih parsial. Misalnya illegal logging, illegal fishing, dan perpajakan itu bukan domain KPK. Kalau ada penyuapan kepada tim audit, misalnya, baru KPK bisa ikut.
Tapi kalau tidak ada penyuapan, prosesnya hanya dilakukan oleh PPNS yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Itu sebabnya ada pengadilan pajak. Hal yang sama juga berlaku untuk illegal logging dan illegal fishing, kecuali ada kasus penyuapan.
Kalau dari sisi pemerintah?
Konsep pemberantasan korupsi, secara nasional yang dirumuskan di Bappenas itu sudah ideal, tapi tidak berbanding lurus dengan pelaksanaan. Jadi selama ini pemerintah masih sebatas wacana saja, pelaksanaan belum.
Contohnya?
Misalnya undang-undang pengadilan Tipikor. Di situ penuntutan KPK mau dihilangkan. Itu rancangan pemerintah. Setelah ada reaksi dari masyarakat, LSM dan media massa, akhirnya tetap dipertahankan akan tetapi komposisi hakim pengadilan Tipikor berubah. Kalau dalam UU 31 tahun 1999 hakim pengadilan Tipikor terdiri dari tiga orang hakim ad hoc, dua orang hakim karir. Itu sudah ditetapkan undang-undang dan tidak bisa lagi diotak-atik.
Nah itulah sebabnya kalau dalam persidangan tiga hakim ad hoc ini selalu memihak KPK karena hakim ad hoc ini kan orang dari luar, mereka dari LSM, akademisi yang punya idealisme.
Nah sekarang, dalam UU yang baru, hakim pengadilan Tipikor itu ditentukan oleh ketua pengadilan negeri. Jadi kalau ditentukan oleh ketua pengadilan negeri, akan ada konflik kepentingan. Bisa saja dia tentukan hakimnya terdiri dari tiga hakim karir dan dua dari luar. Itu akan sama saja dengan pengadilan biasa. Itulah komitmen pemerintah yang ternyata tidak berbanding lurus dengan realisasi.
Jadi pengawalan oleh publik, LSM dan media itu masih sangat penting.
Sangat penting sekali. Baru-baru ini ada Undang-undang Tipikor yang menghilangkan hak penuntutan KPK. Akhirnya ditarik Menkumham karena reaksi masyarakat. Itu adalah contoh tidak berbanding lurusnya program dengan realisasi oleh pemerintah.
Contoh paling kongkrit adalah kasus cicak buaya . Seharusnya sudah jauh-jauh hari bisa diantisipasi. Tapi pemerintah tidak lakukan. Setelah kemudian menyebar kemana-mana dan diributkan publik, baru diantisipasi. Agak susah karena polisi dan jaksa kan juga punya pride.
Kelemahan dari masyarakat tadi apa maksudnya?
Satu-satunya undang-undang yang paling banyak mendapat judicial review adalah UU KPK. Dari 2004 sampai sekarang sudah 11 kali judicial review. Itu jelas menunjukan bahwa gerakan koruptor fight back luar biasa besar. Masyarakat melihat korupsi berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Misalnya ada koruptor, tapi karena dia seorang dermawan oleh masyarakat kemudian dibela mati-matian.
Ilustrasi yang paling kongkrit adalah bahwa tahun lalu KPK menahan Bupati Boven Digoel, tapi dalam Pilkada di sana dia menang. Walikota Tomohon juga begitu. Ditahan di sini, menang disana. Kemudian Bupati Kendal sudah incrakht sudah jalani hukuman, Pilkada disana istrinya yang menang. Bupati Kutai kita tahan disini sudah incrakht sudah jalani hukuman, Pilkada disana anaknya yang menang.
Menurut Anda, apa yang terjadi dengan masyarakat kita?
Masyarakat kita tidak memahami dampak dari korupsi. Bagaimana akibat dari tindakan itu. Hanya karena mereka dikasih 100 ribu rupiah, beberapa kilogram beras, baju kaos atau apalah, terus kemudian seperti itu. Kalau sudah begitu, bagaimana KPK bisa mencapai target sesuai dengan rencana.
Kita lihat pengaruhnya, khususnya dari yang eksternal itu terhadap IPK indeks persepsi korupsi. Tahun 2009 itu 2,8. Tahun 2010 tetap 2,8. Karena 2009 KPK dikriminalisasi maka jadi tidak naik, 2009-2010 tetap 2,8.
Dengan kasus Nazaruddin ini, indeks itu tentu susah lagi naiknya?
Saya tidak tahu dengan kasus Nazarudin ini. Pada tahun 2011 nanti tidak naik atau sama seperti sebelumnya.
Kalau terpilih jadi komisioner, apa yang akan Anda lakukan?
Untuk urusan internal adalah soliditas. Harus bisa disolidkan pegawai KPK itu dalam waktu enam bulan. Sehingga mereka kembali ke formasi sebelum dikriminalisasi dalam kasus cicak buaya itu. Sehingga mereka melupakan "malaikat-malaikat kecil" yang punya kekebalan yang luar biasa terhadap apa saja, sehingga tidak tergoda oleh mereka yang pada akhirnya bisa menurunkan kinerja.
Di KPK ada PNS dan ada yang direkrut dari swasta. Apa kesulitan terpenting dari menyatukan keduanya?
Saya menjawab dengan contoh saja. Misalnya kasus cicak buaya. Itu kan ada PP 63 2005 tentang sistem manajemen SDM KPK. Ada pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK baik PNS, polisi, jaksa dan auditor. Dalam PP itu disebutkan bahwa kalau menjadi pegawai KPK, PNS diberhentikan sementara dari instansi awalnya. Monoloyalitas kepada KPK.
Tetapi karirnya itu ditentukan oleh instansi sebelumnya. Itu persoalannya. Seperti orang main layang-layang, dilepaskan akan tetapi talinya masih dipegang si tuannya itu. Itu terbukti dalam kasus mantan Kapolri yang kemudian jadi Dubes Malaysia, Rusdihardjo.
Ketika dia ditahan KPK, Satgas yang menyidik kasus itu kemudian ditarik ke tempat asalnya yaitu Polri. Mereka kemudian dibuang, dikasih non job karena dianggap pengkhianat. Kok cucu buah menangkap kakek buahnya. Antara penyidik dengan Kapolri ini kan seperti kakek dengan cucunya kan. Mereka kemudian di perhatikan setelah ada pergantian pimpinan di sana.
Para jaksa juga begitu?
Saya selalu mengatakan bahwa yang selalu mengalami konflik batin di KPK adalah teman-teman penyidik dari polisi dan jaksa. Karena disana dianggap pengkhianat. Waktu kasus jaksa Urip, jaksa yang penyidik juga dianggap pengkhianat. Sementara itu disini (KPK) mereka juga dianggap orang luar. Nah ini selalu menjadi konflik batin.
Apa saran Anda?
Saya menyarankan, dan saran ini sudah saya sampaikan tahun lalu setelah kasus cicak dan buaya itu, supaya PP 63 2005 itu diamandemen. Di mana PNS, polisi, jaksa dan auditor begitu diterima sebagai pegawai KPK statusnya pegawai tetap sampai pensiun, kecuali mereka mau balik ke instansi asal. Kalau mereka tidak mau biar terus di sini. Karena PP 63 menyebutkan masa kerja disini 4 tahun. Kalau bekerja baik diperpanjang paling tinggi 4 tahun lagi dan sesudah itu kembali kesana. Kalau mau tetap disini dia harus mau berhenti jadi PNS.
Dengan demikian mereka tidak cemas dengan karirnya?
Mereka kerja disini tidak perlu takut karirnya disana diganggu. Tidak takut ditarik kemudian dibuang jauh atau tidak dikasih pekerjaan. Padahal posisi mereka penting. Orang yang di KPK itukan yang handal-handal, terus ditarik kesana dibuang tidak dikasih job.
Pak Yurod Saleh (Direktur Penyidikan KPK) sekarang, pernah menjadi anggota satgas kasus KBRI, ditarik kesana dan hampir satu tahun tidak dikasih job. Kalau Kapolri tidak diganti dia tetap begitu. Karena Kapolri ini tahu background dia, maka diikutkan dalam proses seleksi direktur.
Kami sudah tahu prestasi dia di sini. Dari beberapa calon kami pilih dia karena dia orang lama. Di sini sekitar 5-6 tahun. Kalau PP 63 ini tidak membeda-bedakan antara swasta dan negeri, maka soliditas itu akan semakin kuat.
Anda pernah bilang bahwa kedua lembaga itu, polisi dan jaksa perlu dirangkul seperti halnya merangkul orang yang jadi korban narkoba. Apa maksudnya?
Itu ada konteksnya. Teman-teman pers, teman-teman LSM sering menghakimi polisi dan jaksa. Pokoknya kayak orang kurap lah. Padahal kalau kita mau jujur melihat bahwa semenjak reformasi birokrasi 5 tahun lalu, sudah ada perubahan pada kedua isntansi itu. Tapi karena perubahannya tidak sistemik, ada saja yang nyelonong. Tapi kalau perubahannya dilakukan secara sistemik saya kira hasilnya akan bagus.
Nah, dalam uji kelayakan menjadi komisioner KPK periode ketiga ini, saya ditanya pansel soal ini. Karena dalam makalah yang saya presentasikan disebutkan bahwa perlu koordinasi dan supervisi terhadap kedua lembaga itu. Anggota pansel bilang bahwa Pak Abdullah kan keras bagaimana mau supervisi dan koordinasi dengan mereka yang memerlukan lobi dan segala macam.
Jawaban Anda?
Saya katakan bahwa yang dianggap keras itu kan sikap saya. Tetapi dalam proses menanggani perkara, orang tidak tahu apa dan bagaimana saya memberi advice. Wakut KPK jilid pertama, dan saya ditunjuk menjadi Ketua Komite Etik, saya berusaha mendamaikan pimpinan yang berbeda pendapat soal strategi penindakan. Karena pengalaman saat itu, kini saya ditunjuk lagi dalam kasus Nazaruddin ini.
Bagaimana Anda bisa menjadi seorang penasehat yang baik?
Saya punya pengalaman dan beruntung pernah balajar komunikasi. Selama 10 tahun saya memberikan program motivasi di Singapura dan Malaysia, mulai anak SD sampai orang tua.
Jadi saya sudah mengerti kalau ada orang yang seperti itu. Pegawai KPK ini kan stresnya luar biasa. Jadi saya bahkan sering memberi konseling. Suatu ketika ada seorang pegawai KPK yang mengeluh kepada saya bahwa setelah dia masuk KPK, ternyata gajinya lebih kecil dari kantor sebelumnya. Lantaran gajinya kecil, hubungannya dengan mertua jadi agak renggang. Mungkin matre kali.
Pegawai itu datang ke ruangan saya. Saya sarankan sejumlah solusi. Beberapa hari kemudian saya tanya kembali, gimana? "Masih susah pak," katanya. Saya bilang, ya sudah kamu istikhoroh saja. Kalau nyaman disini, ya teruskan. Kalau tidak, keluar saja demi keutuhan keluarga kamu. Akhirnya setelah 3 bulan dia resign demi keutuhan keluarganya.
Yang berkeluh kesah kepada saya itu banyak. Ada penyidik, jaksa, polisi sampai pimpinan yang ada masalah, konseling ke saya. Sudah banyak pengalaman seperti itu. Jadi harus dibedakan apa yang dilihat dalam pernyataan saya dengan apa yang saya lakukan dalam tugas-tugas saya.
Jabatan Ketua Komite Etik diragukan karena Anda orang dalam. Anda memeriksa teman-teman Anda sendiri. Jangan-jangan mereka yang curhat tadi?
Oh tidak. Tidak ada masalah. Paling tidak mereka sudah tahu watak saya, jadi ya diikuti saja. Komite etik ini kan yang diperiksa soal etik, sanksinya juga etik. Biasanya soal kesalahpahaman. Ada seorang anggota komite yang bertanya kepada saya soal etik itu. Dia bilang bahwa dia berasal dari satu daerah dengan seorang koruptor yang sudah keluar dari penjara. Apakah dia boleh bertemu dengan orang itu.
Dalam sebuah pesta, katanya, si mantan napi itu duduk sendirian dan tidak ada yang menemani. Kemudian si anggota komite itu memanggilnya dan ngobrol, Nah apakah dia melanggar kode etik sebagai anggota KPK?
Apa jawaban Anda?
Saya bilang kalau dalam hubungan sesama manusia, bertemu di tempat umum tidak ada persoalan. Yang menjadi persoalan adalah ketika direncanakan. Nah ini yang harus dipertanyakan. Meskipun tidak bicara kasus, untuk apa bertemu?. Karena bisa saja ada potensi konflik. Karena itu dalam kode etik diharuskan melapor kepada pimpinan yang lain. Tapi kalau sudah ngomong kasus, ada deal dan lain-lain, itu jelas pelanggaran.
Dalam kasus Nazaruddin, misalnya, kan mereka yang ketemu itu tidak tahu kalau suatu saat dia punya masalah atau tidak?
Dalam sebuah ilustrasi, ada seorang hakim dalam cerita Harun Al Rasyid. Sang hakim mau pergi ke kantor. Lantaran hujan dia lalu berteduh di bawah pohon. Lalu lewatlah seorang anak membawa payung. Si anak kecil itu menghampiri sang hakim menawarkan payung. Hakim itu menolak dengan halus. Anak itu bertanya, mengapa sang hakim menolak. Hakim itu menjawab bahwa dia seorang hakim dan dia tidak tahu apakah suatu saat nanti anak itu melakukan tindak pidana atau tidak. VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar