RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini
terjadi di Indonesia merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi
negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas
negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan
tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana,
terarah, terpadu,dan berkesinambungan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.bahwa adanya keterlibatan orang atau
kelompok orang serta keterlibatan warga negara Indonesia dalam organisasi di
dalam dan/atau di luar negeri yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang
mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan
kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara serta perdamaian dunia;
c.bahwa untuk memberikan landasan hukum
yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang;
d.bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
menjadi Undang-Undang;
Mengingat:
1.Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284)
diubah sebagai berikut:
1.Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Tindak
Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2.Terorisme
adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban
yang bersifat massal, dan/atau
menimbulkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup,
fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi,politik,atau
gangguan keamanan.
3.Kekerasan
adalah setiap perbuatan penyalahgunaan
kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan
menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk
menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
4.Ancaman
Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan,
gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana
dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut
terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang atau masyarakat.
5.Bahan
Peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom
pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua Bahan Peledak dari bahan kimia atau
bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.
6.Harta
Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud.
7.Objek
Vital yang Strategis adalah kawasan, tempat, lokasi, bangunan, atau instalasi
yang:
a.menyangkut hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa;
b.merupakan
sumber pendapatan negara yang mempunyai nilai politik, ekonomi, sosial, dan
budaya; atau
c.menyangkut pertahanan
dan keamanan yang
sangat tinggi.
8.Fasilitas
Publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara
umum.
9.Setiap
Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10.Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
11.Korban
Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu Tindak Pidana Terorisme.
12.Pemerintah
Republik Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri.
13.Perwakilan
Negara Asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta stafnya.
14.Organisasi
Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Internasional lainnya di luar
Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi yang menjalankan tugas mewakili
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2.Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Tindak
pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini harus dianggap bukan
tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal
balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Setiap
Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas
Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana mati.
4.Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1)Setiap
Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa,
mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme,
nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak
Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
mati.
(2)Setiap
Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak
atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme,
bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana
Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3)Dalam hal
bahan potensial atau
komponen sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun.
(4)Setiap
Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun.
5.Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 12A dan Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1)Setiap
Orang yang dengan maksud melakukan melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan,
menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang
berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun.
(2)Setiap
Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi
anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi
terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3)Pendiri,
pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan Korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal 12B
(1)Setiap
Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti
pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau
melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk
Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2)Setiap
Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk
mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(3)Setiap
Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan
tulisan atau dokumen, baik elektronik
maupun nonelektronik untuk
digunakan dalam pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4)Setiap
warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa
pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun.
(5)Pelaksanaan
pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4)
dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.
6.Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Setiap
Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja
menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan
untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau
Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
7.Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Setiap
Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana
Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c,
dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal
13A.
8.Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
Setiap
Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan
untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B,
Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b
dan huruf c, dan Pasal 13A.
9.Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
Setiap
Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
10.Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1)Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana
Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini.
(2)Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap
tersangka dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari.
(3)Jangka
waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan permohonan
perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari.
(4)Apabila
jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua
pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5)Untuk
kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap
terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
(6)Apabila
jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi,
dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua
pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7)Pelaksanaan
penahanan tersangka Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak
asasi manusia.
(8)Setiap
penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11.Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1)Penyidik
dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak
Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama
14 (empat belas) hari.
(2)Apabila
waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup,
penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk
waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kepada ketua pengadilan
negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat kedudukan penyidik.
(3)Pelaksanaan
penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip
hak asasi manusia.
(4)Setiap
penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana
sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana.
12.Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A
Penuntut
umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam waktu
paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak berkas perkara dari
penyidik diterima.
13.Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1)Berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:
a.membuka,
memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman
lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang
sedang diperiksa; dan
b.menyadap
pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan
untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme,
serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme.
(2)Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan
dari ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan
penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara
tertulis penyidik atau atasan penyidik.
(3)Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun.
(4)Hasil
penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan
Tindak Pidana Terorisme.
(5)Penyadapan
wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
14.Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
Dalam
keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap
orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan
Tindak Pidana Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
15.Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1)Penyidik,
penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan
beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme wajib diberi
pelindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan
perkara.
(2)Pelindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
16.Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
(1)Pelindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada penyidik, penuntut
umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya berupa:
a.pelindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.kerahasiaan
identitas; dan
c.bentuk pelindungan
lain yang diajukan secara khusus oleh penyidik, penuntut.
(2)Pelindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat penegak hukum dan
aparat keamanan.
(3)Ketentuan
mengenai tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
17.Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1)Pelindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada ahli, saksi, dan
pelapor beserta keluarganya berupa:
a.pelindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan
mental;
b.kerahasiaan
identitas;
c.pemberian keterangan
pada saat pemeriksaan
di sidang pengadilan tanpa
bertatap muka dengan terdakwa; dan
d.pemberian
keterangan tanpa hadirnya saksi yang dilakukan secara jarak jauh melalui alat
komunikasi audio visual.
(2)Pelindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan
urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(3)Tata
cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
18.Judul BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VI PELINDUNGAN TERHADAP KORBAN
19.Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1)Korban
merupakan tanggung jawab negara.
(2)Korban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.Korban
langsung; atau
b.Korban
tidak langsung.
(3)Korban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil
olah tempat kejadian Tindak Pidana Terorisme.
(4)Bentuk
tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berupa:
a.bantuan
medis;
b.rehabilitasi
psikososial dan psikologis;
c.santunan bagi
keluarga dalam hal
korban meninggal dunia; dan
d.kompensasi.
Pasal 35B
(1)Pemberian
bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, sertasantunan bagi yang
meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf a sampai
dengan huruf c dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang
pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerjasama dengan instansi/lembaga
terkait.
(2)Bantuan
medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesaat setelah terjadinya
Tindak Pidana Terorisme.
(3)Tata
cara pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan
psikologis,
serta santunan bagi yang meninggal dunia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
20.Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1)Kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf d diberikan kepada Korban
atau ahli warisnya.
(2)Kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara.
(3)Kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, keluarga, atau ahli
warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan
saksi dan korban,dimulai sejak saat penyidikan.
(4)Dalam
hal Korban, keluarga, atau ahli warisnya tidak mengajukan kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(5)Penuntut
umum menyampaikan jumlahkompensasi berdasarkan jumlah kerugian yang diderita
Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.
(6)Kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan.
(7)Dalam
hal Korban belum berumur 18 tahun dan tidak dibawah pengampuan, kompensasi
dititipkan kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan
saksi dan korban.
(8)Dalam
hal pelaku dinyatakan bebas berdasarkan putusan pengadilan, kompensasi
kepada Korban tetap diberikan.
(9)Dalam
hal pelaku Tindak Pidana Terorisme meninggal dunia atau tidak ditemukan siapa
pelakunya, Korban dapat diberikan kompensasi berdasarkan penetapan pengadilan.
(10)Pembayaran
Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
21.Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 36A dan Pasal 36B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1)Korban
berhak mendapatkan restitusi.
(2)Restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh
pelaku kepada Korban atau ahli warisnya.
(3)Restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) diajukan oleh Korban atau ahli warisnya kepada penyidik sejak tahap penyidikan.
(4)Penuntut
umum menyampaikan jumlah restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan jumlah kerugian yang diderita
Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.
(5)Restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan.
(6)Dalam
hal pelaku tidak membayar restitusi, pelaku dikenai pidana penjara pengganti
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 36B
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian,
pembayaran kompensasi dan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan
Pasal 36A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22.Pasal 37 dihapus.
23.Pasal 38 dihapus.
24.Pasal 39 dihapus.
25.Pasal 40 dihapus.
26.Pasal 41 dihapus.
27.Pasal 42 dihapus.
28.Ketentuan Pasal 43 tetap, penjelasan Pasal 43 diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.
29.Di antara BAB VII dan BAB VIII ditambahkan 3 (tiga) BAB baru,
yakni BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIC sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB
VIIA
PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA TERORISME
Bagian
Kesatu Umum
Pasal 43A
(1)Pemerintah
wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
(2)Dalam
upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah
antisipasi secara terus
menerus yang
dilandasi
dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan
prinsip
kehati-hatian.
(3)Pencegahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.kesiapsiagaan
nasional;
b.kontra
radikalisasi; dan
c.deradikalisasi.
Bagian
Kedua Kesiapsiagaan Nasional
Pasal 43B
(1)Kesiapsiagaan
nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya
Tindak Pidana Terorisme melalui proses terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan.
(2)Kesiapsiagaan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (3) huruf a dilakukan oleh
Pemerintah guna mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme.
(3)Pelaksanaan
kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang
menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.
(4)Kesiapsiagaan
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberdayaan
masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan danpeningkatan sarana
prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham
radikal terorisme.
(5)Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga Kontra Radikalisasi
Pasal 43C
(1)Kontra
Radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang
rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan
penyebaran paham radikal terorisme.
(2)Kontra
Radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah yang
dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang
penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
(3)Kontra
Radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau
tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.
(4)Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Kontra Radikalisasi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Deradikalisasi
Pasal 43D
(1)Deradikalisasi
merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan
membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.
(2)Deradikalisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:
a.tersangka;
b.terdakwa;
c.terpidana;
d.narapidana;
e.mantan
narapidana terorisme; atau
f.orang
atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorism
(3)Deradikalisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang
dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang
penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/ lembaga terkait.
(4)Deradikalisasi
terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d
diberikan melalui tahapan:
a.identifikasi
dan penilaian;
b.rehabilitasi;
c.reedukasi;
dan
d.reintegrasi
sosial.
(5)Deradikalisasi
terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
dan huruf f dapat dilaksanakan melalui:
a.pembinaan
wawasan kebangsaan;
b.pembinaan
wawasan keagamaan; dan/atau
c.kewirausahaan.
(6)Pelaksanaan
deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan
identifikasi dan penilaian.
(7)Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
BAB VIIB KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Pasal 43E
(1)Badan
yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan
terorisme
yang selanjutnya disebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2)Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian
krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan
kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber
daya dalam menangani terorisme.
(3)Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia.
Pasal 43F
Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi:
a.menyusun
dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme;
b.menyelenggarakan
koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan
terorisme; dan
c.melaksanakan
kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Pasal 43G
Dalam melaksanakan
fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43F, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
bertugas:
a.merumuskan,
mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional
penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi,
dan deradikalisasi;
b.mengoordinasikan
antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme;
c.mengoordinasikan
program pemulihan korban; dan
d.merumuskan,
mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional
penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.
Pasal 43H
Ketentuan
mengenai susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme diatur
dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Peran Tentara Nasional Indonesia
Pasal 43I
(1)Tugas
Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari
operasi militer selain perang.
(2)Dalam
mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
(3)Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan
mengatasi aksi
terorisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga Pengawasan
Pasal 43J
(1)Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan
terorisme.
(2)Ketentuan
mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB VIIC KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43K
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemeriksaan terhadap perkara Tindak
Pidana Terorisme yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pasal 43L
(1)Korban
langsung yang diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme sebelum Undang-Undang
ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau
rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan
medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis.
(2)Korban
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan
kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada
lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(3)Pengajuan
permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan
psikologis harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan dilengkapi dengan surat penetapan Korban yang
dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
(4)Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
paling
lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.
(5)Pemberian
kompensasi bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(6)Besaran
kompensasi kepada Korban dihitung dan ditetapkan oleh lembaga yang
menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban setelah
mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan.
(7)Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta
pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
30.Pasal 46 dihapus.
31.Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 46A dan Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan Tindak Pidana Terorisme yang ada dalam Undang-Undang ini
berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pendanaan terorisme.
Pasal 46B
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta pada tanggal ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
JOKO
WIDODO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal ...
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA
H. LAOLY
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
RANCANGAN
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
MENJADI UNDANG-UNDANG
I. UMUM
Tindak
Pidana Terorisme merupakan kejahatan serius yang dilakukan dengan menggunakan
Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dengan sengaja, sistematis, dan terencana,
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dengan target
aparat negara, penduduk sipil secara acak atau tidak terseleksi, serta Objek
Vital yang Strategis, lingkungan hidup, dan Fasilitas Publik atau fasilitas
internasional dan cenderung tumbuh menjadi bahaya simetrik yang membahayakan
keamanan dan kedaulatan negara, integritas teritorial, perdamaian,
kesejahteraan dan keamanan manusia, baik nasional, regional, maupun
internasional.
Tindak
Pidana Terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi karena
memiliki kekhasan yang bersifat klandestain yaitu rahasia, diam-diam, atau
gerakan bawah tanah, lintas negara yang didukung oleh pendayagunaan teknologi
modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi, dan persenjataan modern
sehingga memerlukan kerja sama di tingkat internasional untuk menanggulanginya.
Tindak
Pidana Terorisme dapat disertai dengan motif ideologi atau motif politik, atau
tujuan tertentu serta tujuan lain yang bersifat pribadi, ekonomi, dan
radikalisme yang membahayakan ideologi negara dan keamanan negara.Oleh karena
itu, Tindak Pidana Terorisme selalu diancam dengan pidana berat oleh hukum
pidana dalam jurisdiksi negara.
Dengan
adanya rangkaian peristiwa yang melibatkan warga negara Indonesia bergabung
dengan organisasi tertentu yang radikal dan telah ditetapkan sebagai organisasi
atau kelompok teroris, atau organisasi lain yang bermaksud melakukan
permufakatan jahat yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme, baik di dalam
maupun di luar negeri, telah menimbulkan ketakutan masyarakat dan berdampak
pada kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban
masyarakat, ketahanan nasional, serta hubungan internasional. Organisasi
tertentu yang radikal dan mengarah pada Tindak Pidana Terorisme tersebut
merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas
yang secara nyata telah menimbulkan terjadinya Tindak Pidana Terorisme yang
bersifat masif
jika
tidak segera diatasi mengancam perdamaian dan keamanan, baik
nasional
maupun internasional.
Sejalan
dengan salah satu tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa negara
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
perubahan Undang-Undang ini memberikan landasan normatif bahwa negara
bertanggung jawab dalam melindungi Korban dalam bentuk bantuan medis,
rehabilitasi psiokososial dan psikologis, dan santunan bagi yang meninggal
dunia serta kompensasi. Namun bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi
Korban tidak menghilangkan hak Korban untuk mendapatkan restitusi sebagai ganti
kerugian oleh pelaku kepada Korban.
Dalam
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme aspek pencegahan secara
simultan,terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk meminimalisasi
terjadinya Tindak Pidana Terorisme. Pencegahan secara optimal dilakukan dengan
melibatkan kementerian atau lembaga terkait serta seluruh komponen bangsa
melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi
yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Untuk
mengoptimalkan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perlu penguatan fungsi
kelembagaan khususnya fungsi koordinasi yang diselenggarakan dengan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme berikut mekanisme pengawasan yang dilakukan
oleh lembaga perwakilan dalam hal ini badan kelengkapan di Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia yang melaksanakan tugas di bidang penanggulangan
terorisme. Selain itu, penanganan Tindak Pidana Terorisme juga merupakan tanggung
jawab bersama lembaga-lembaga yang terkait, termasuk Tentara Nasional Indonesia
yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam mengatasi aksi terorisme. Peran
Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme tetap dalam koridor
pelaksanaan tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tentara Nasional Indonesia dan
Pertahanan Negara.
Dalam
rangka memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan
kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, perlu
dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan
antara kebutuhan penegakan hukum, pelindungan hak asasi manusia, dan kondisi
sosial politik di Indonesia.
Berdasarkan
hal tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dengan
Undang-Undang.
Beberapa
materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini,
antara
lain:
a. kriminalisasi baru terhadap berbagai
modus baru Tindak Pidana Terorisme seperti jenis Bahan Peledak, mengikuti pelatihan
militer/paramiliter/pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri
dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme;
b. pemberatan sanksi pidana terhadap
pelaku Tindak Pidana Terorisme,baik permufakatan jahat,persiapan, percobaan,
dan pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme;
c. perluasan sanksi pidana terhadap
Korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang
mengarahkan kegiatan Korporasi;
d. penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu;
e. kekhususan terhadap hukum acara pidana
seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan
dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum, serta penelitian
berkas perkara Tindak Pidana Terorisme oleh penuntut umum;
f. pelindungan Korban tindak pidana
sebagai bentuk tanggung jawab negara;
g. pencegahan Tindak Pidana Terorisme
dilaksanakan oleh instansi terkait sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme; dan
h. kelembagaan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, peran Tentara Nasional Indonesia, dan pengawasannya.
I. PASAL DEMI PASAL Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “korban yang bersifat massal” adalah korban yang berjumlah
banyak.
Cukup
jelas.
Huruf c
Angka 4
Pasal 10A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “barang”
adalah barang bergerak
atau tidak
bergerak,
baik yang berwujud maupun tidak berwujud, antara lain informasi, peta, gambar,
citra.
Angka 5
Pasal
12A
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Organisasi Terorisme dalam ketentuan ini organisasi yang bersifat
Ayat (3)
Cukup jelas.
klandestin
rahasia yaitu rahasia, diam-diam atau
gerakan
bawah tanah.
Pasal
12B Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelatihan lain” misalnya
pelatihan teknologi
informasi
dan pelatihan merakit bom.
Yang
dimaksud dengan “ikut berperang" antara lain ikut membantu, baik
langsung maupun
tidak langsung dalam perang, contohnya sebagai tenaga medis,
logistik, dan kurir.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 6
Pasal
13A
Yang
dimaksud dengan “dapat mengakibatkan” dalam ketentuan ini ditujukan bagi setiap
orang yang terdeteksi dan/atau memiliki hubungan dengan organisasi terorisme
dan dengan sengaja mengucapkan ucapan, sikap atau perilaku dengan tujuan
menghasut melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Angka 7
Pasal 14
Ketentuan
ini ditujukan terhadap aktor intelektual.
Yang
dimaksud dengan “menggerakkan” antara lain melakukan hasutan dan provokasi,
memberikan hadiah atau uang atau janji.
Angka 8
Pasal 15
Ketentuan
ini merupakan aturan khusus, karena itu tidak berlaku ancaman pidana pada
permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan tindak pidana yang yang
lebih rendah daripada ancaman tindak pidana yang telah selesai.
Yang
dimaksud dengan “persiapan” dalam ketentuan ini jika pembuat berusaha untuk
mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi, atau
menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan
untuk menciptakan kondisi dilakukannya perbuatan yang secara langsung ditujukan
bagi penyelesaian tindak pidana terorisme.
Angka 9
Pasal 16A Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 28
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup
jelas. Cukup jelas.
Dalam
ketentuan ini, penangkapan dilakukan dengan tetap mendasarkan
pada hak asasi manusia antara lain terduga
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 28A Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 31A Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 34A Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
diperlakukan
secara manusiawi, tidak disiksa, tidak
diperlakukan
secara kejam, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia.
Angka 19
Pasal
35A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a
Yang
dimaksud dengan “korban langsung” adalah korban yang langsung
mengalami
dan merasakan akibat tindak pidana terorisme. Misalnya korban meninggal atau
luka berat karena ledakan bom.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan “korban tidak
langsung” adalah mereka
yang
menggantungkan
hidupnya kepada korban langsung. Misalnya istri yang kehilangan suami yang
merupakan korban langsung.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan penyidik adalah penyidik yang melakukan olah
tempat
kejadian perkara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal
35B Ayat (1)
Yang dimaksud dengan instansi/lembaga terkait antara lain
kementerian/lembaga,
Pemerintah Daerah, Swasta, Organisasi non pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3)
Dalam ketentuan
ini, mekanisme pengajuan
kompensasi dilaksanakan
sejak
tahap penyidikan. Selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang
diderita korban akibat Tindak Pidana Terorisme bersama dengan tuntutan. Jumlah
kompensasi dihitung secara proporsional dan rasional dengan mendasarkan pada
kerugian materil dan immateril.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10)
Angka 21
Pasal 36A
Cukup
jelas.
Cukup
jelas.
Pasal
36B Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 43
Ketentuan
dalam pasal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas pencegahan,
penegakan hukum, dan pemulihan Korban.
Angka 29
Pasal 43A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
suatu
asas yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan tugas pencegahan,
pejabat yang berwenang selalu bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka
memberikan perlindungan hukum dan hak-hak perseorangan atau kelompok orang yang
dipercayakan kepada pejabat tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal
43B
Cukup
jelas.
Pasal
43C Cukup jelas. Cukup jelas.
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan “kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra
ideologi”
adalah berbagai upaya untuk melawan paham radikal terorisme dalam bentuk lisan, tulisan, dan media literasi
lainnya.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal
43D Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan “terencana” adalah
berdasarkan kebijakan dan rencana strategis nasional.
Yang dimaksud dengan “terpadu” adalah dengan melibatkan
kementerian/lembaga terkait.
Yang
dimaksud dengan “sistematis” adalah melalui tahapan dan program
tertentu.
Yang dimaksud
dengan “berkesinambungan” adalah
dilakukan secara
terus-menerus.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup
jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f
Yang
dimaksud dengan “orang atau kelompok orang yang sudah terpapar
paham
radikal terorisme” adalah orang atau kelompok orang yang memiliki paham radikal
terorisme dan berpotensi melakukan tindak pidana terorisme.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “identifikasi dan penilaian” adalah penggambaran
secara
rinci tingkat keterpaparan seseorang mengenai peran atau keterlibatannya dalam
kelompok atau jaringan sehingga dapat diketahui tingkat radikal terorismenya.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan atau penyembuhan
untuk
menurunkan tingkat radikal terorisme seseorang.
Huruf c
Yang dimaksud
dengan “reedukasi” adalah
pembinaan atau penguatan
kepada
seseorang agar meninggalkan paham radikal terorisme.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah serangkaian kegiatan
untuk
mengembalikan orang yang terpapar paham radikal terorisme agar dapat kembali ke
dalam keluarga dan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal
43E Ayat (1)
Penyebutan “Badan” yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya
dimaknai
sebagai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal
43F Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Dalam
ketentuan ini “menyelenggarakan koordinasi” dimaksudkan untuk
mencapai
sinergi antarlembaga terkait.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal
43G
Huruf a
Cukup
jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “koordinasi antarpenegak hukum” adalah
koordinasi
yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan penyidik,
penuntut umum, dan petugas pemasyarakatan termasuk instansi lain yang menunjang
pelaksanaan penegakan hukum yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Pasal
43H Cukup jelas.
Pasal
43I Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “dilaksanakan sesuai
dengan tugas pokok dan
fungsi
Tentara Nasional Indonesia” adalah tugas pokok dan fungsi sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tentara Nasional
Indonesia dan Undang-Undang yang mengatur mengenai pertahanan negara.
Ayat (3)
Pembentukan
Peraturan Presiden dalam ketentuan ini dilakukan setelah
berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal
43J Cukup jelas.
Pasal
43K Cukup jelas.
Pasal
43L Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “Korban langsung yang diakibatkan dari Tindak
Pidana
Terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku” adalah Korban yang
diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme yang terjadi sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah Pengganti
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 30 Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 46A Cukup jelas.
Pasal
46B Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...
Pasal 1 (Definisi terorisme)
BalasHapusDalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: (2.) Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Pasal 12B (Penindakan pelatihan militer)
1. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, dan/atau berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
2. Setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
3. Setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling laam 12 tahun.
4. Setiap warga Indonesia yang dijatuhi pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.
Pasal 13A (Organsasi Teroris)
Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebar ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 16A (Pelibatan Anak)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancama pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 25 (Penahanan)
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu 120 hari.
(3) Jangka waktu penahanan dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 hari.
(4) Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) tidak mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 hari.
(5) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa paling lama 60 hari.
(6) Apabila jangka waktu penahanan tidak mencukupi, dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu palng lama 30 hari.
(7) Pelaksanaan penahanan tersangka tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia
(8) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28 (Penangkapan)
BalasHapus(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari.
(2) Apabila waktu penangkapan tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk waktu paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
(3) Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia,
(4) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 31A (Penyadapan)
Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
Pasal 33 (Pelindungan)
Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 43A (Pencegahan)
(1) Pemerintah wajib melaksanakan pencegahan tindak pidana terorisme
(2) Dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.
(3) Pencegahan dilaksanakan melalui: a. Kesiapsiagaan nasional, b. Kontra-radikalisasi, c. Deradikalisasi. (Ketiga diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah)
Pasal 43I (Pelibatan TNI)
(1) TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang
(2) Dalam mengatasi aksi terorisme, dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.