Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Sabtu, 26 Mei 2018

Isi Lengkap RUU Anti TERORISME yang disahkan tanggal 25 Mei 2018




RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:   
a.bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah, terpadu,dan berkesinambungan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.bahwa adanya keterlibatan orang atau kelompok orang serta keterlibatan warga negara Indonesia dalam organisasi di dalam dan/atau di luar negeri yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara serta perdamaian dunia;
c.bahwa untuk memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;
d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan      Peraturan      Pemerintah      Pengganti Undang-Undang          Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Terorisme menjadi Undang-Undang;

Mengingat:      
1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284) diubah sebagai berikut:

1.Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2.Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau  menimbulkan kerusakan atau  kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi,politik,atau gangguan keamanan.
3.Kekerasan adalah  setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
4.Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.
5.Bahan Peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua Bahan Peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.
6.Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
7.Objek Vital yang Strategis adalah kawasan, tempat, lokasi, bangunan, atau instalasi yang:
a.menyangkut  hajat     hidup   orang   banyak,            harkat  dan martabat bangsa;
b.merupakan sumber pendapatan negara yang mempunyai nilai politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
c.menyangkut  pertahanan  dan  keamanan  yang  sangat tinggi.
8.Fasilitas Publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
9.Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10.Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
11.Korban Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana Terorisme.
12.Pemerintah Republik Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
13.Perwakilan Negara Asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta stafnya.
14.Organisasi Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.




2.Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5
Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

4.Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1)Setiap Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

(2)Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3)Dalam   hal   bahan   potensial   atau   komponen   sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(4)Setiap Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

5.Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A
(1)Setiap Orang yang dengan maksud melakukan melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2)Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3)Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 12B
(1)Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2)Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(3)Setiap Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik   maupun   nonelektronik   untuk   digunakan   dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4)Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(5)Pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.

6.Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A
Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

7.Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

8.Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

9.Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 16A
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).


10.Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25
(1)Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2)Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari.
(3)Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
(4)Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5)Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
(6)Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi, dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7)Pelaksanaan penahanan tersangka Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
(8)Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

11.Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
(1)Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
(2)Apabila waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak    cukup,    penyidik    dapat    mengajukan    permohonan perpanjangan penangkapan untuk waktu paling lama 7 (tujuh) hari  kepada  ketua  pengadilan  negeri  yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
(3)Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
(4)Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan Undang-Undang Hukum Pidana.

12.Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28A
Penuntut umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak berkas perkara dari penyidik diterima.

13.Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31
(1)Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:
a.membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan
b.menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme.
(2)Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.
(3)Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(4)Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan Tindak Pidana Terorisme.
(5)Penyadapan wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan  dilaporkan kepada  kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.


14.Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A
Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

15.Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33
(1)Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme wajib diberi pelindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2)Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

16.Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34
(1)Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya berupa:
a.pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b.kerahasiaan identitas; dan
c.bentuk  pelindungan  lain yang diajukan secara khusus oleh penyidik, penuntut.
(2)Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
(3)Ketentuan mengenai tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

17.Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A
(1)Pelindungan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal  33 yang diberikan kepada ahli, saksi, dan pelapor beserta keluarganya berupa:

a.pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan
mental;
b.kerahasiaan identitas;
c.pemberian  keterangan  pada  saat  pemeriksaan  di  sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan terdakwa; dan
d.pemberian keterangan tanpa hadirnya saksi yang dilakukan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.
(2)Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(3)Tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

18.Judul BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VI PELINDUNGAN TERHADAP KORBAN

19.Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A
(1)Korban merupakan tanggung jawab negara.
(2)Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.Korban langsung; atau
b.Korban tidak langsung.
(3)Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil olah tempat kejadian Tindak Pidana Terorisme.
(4)Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a.bantuan medis;
b.rehabilitasi psikososial dan psikologis;
c.santunan  bagi  keluarga  dalam  hal  korban  meninggal dunia; dan
d.kompensasi.

Pasal 35B
(1)Pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, sertasantunan bagi yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerjasama dengan instansi/lembaga terkait.
(2)Bantuan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesaat setelah terjadinya Tindak Pidana Terorisme.

(3)Tata cara pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan
psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20.Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36
(1)Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf d diberikan kepada Korban atau ahli warisnya.
(2)Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara.
(3)Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, keluarga, atau ahli warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban,dimulai sejak saat penyidikan.
(4)Dalam hal Korban, keluarga, atau ahli warisnya tidak mengajukan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(5)Penuntut umum menyampaikan jumlahkompensasi berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.
(6)Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
(7)Dalam hal Korban belum berumur 18 tahun dan tidak dibawah pengampuan, kompensasi dititipkan kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(8)Dalam hal pelaku  dinyatakan bebas  berdasarkan putusan pengadilan, kompensasi kepada Korban tetap diberikan.
(9)Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme meninggal dunia atau tidak ditemukan siapa pelakunya, Korban dapat diberikan kompensasi berdasarkan penetapan pengadilan.
(10)Pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

21.Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36A
(1)Korban berhak mendapatkan restitusi.
(2)Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada Korban atau ahli warisnya.
(3)Restitusi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  diajukan  oleh Korban atau      ahli warisnya kepada penyidik sejak tahap penyidikan.
(4)Penuntut umum  menyampaikan jumlah restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.
(5)Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
(6)Dalam hal pelaku tidak membayar restitusi, pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 36B
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi dan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 36A diatur dengan Peraturan Pemerintah.

22.Pasal 37 dihapus.

23.Pasal 38 dihapus.

24.Pasal 39 dihapus.

25.Pasal 40 dihapus.

26.Pasal 41 dihapus.

27.Pasal 42 dihapus.

28.Ketentuan Pasal 43 tetap, penjelasan Pasal 43 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.

29.Di antara BAB VII dan BAB VIII ditambahkan 3 (tiga) BAB baru, yakni BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIC sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VIIA
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME
Bagian Kesatu Umum

Pasal 43A
(1)Pemerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
(2)Dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan   langkah   antisipasi   secara   terus   menerus  yang

dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan
prinsip kehati-hatian.
(3)Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a.kesiapsiagaan nasional;
b.kontra radikalisasi; dan
c.deradikalisasi.

Bagian Kedua Kesiapsiagaan Nasional

Pasal 43B
(1)Kesiapsiagaan nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme melalui proses terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan.
(2)Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (3) huruf a dilakukan oleh Pemerintah guna mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme.
(3)Pelaksanaan kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.
(4)Kesiapsiagaan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan danpeningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Kontra Radikalisasi

Pasal 43C
(1)Kontra Radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme.
(2)Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
(3)Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Kontra Radikalisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Deradikalisasi

Pasal 43D
(1)Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.
(2)Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:
a.tersangka;
b.terdakwa;
c.terpidana;
d.narapidana;
e.mantan narapidana terorisme; atau
f.orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorism
(3)Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/ lembaga terkait.
(4)Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan:
a.identifikasi dan penilaian;
b.rehabilitasi;
c.reedukasi; dan
d.reintegrasi sosial.
(5)Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui:
a.pembinaan wawasan kebangsaan;
b.pembinaan wawasan keagamaan; dan/atau
c.kewirausahaan.
(6)Pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian.
(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

BAB VIIB KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Pasal 43E

(1)Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan
terorisme yang selanjutnya disebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2)Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.
(3)Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 43F
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi:
a.menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme;
b.menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; dan
c.melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Pasal 43G
Dalam  melaksanakan  fungsi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  43F, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas:
a.merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi;
b.mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme;
c.mengoordinasikan program pemulihan korban; dan
d.merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.

Pasal 43H
Ketentuan mengenai susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua
Peran Tentara Nasional Indonesia

Pasal 43I
(1)Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
(2)Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

(3)Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan  mengatasi  aksi
terorisme  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga Pengawasan

Pasal 43J
(1)Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
(2)Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.






BAB VIIC KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43K
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemeriksaan terhadap perkara Tindak Pidana Terorisme yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Pasal 43L
(1)Korban langsung yang diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis.
(2)Korban langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(3)Pengajuan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilengkapi dengan surat penetapan Korban yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

(4)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.
(5)Pemberian kompensasi bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
(6)Besaran kompensasi kepada Korban dihitung dan ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban setelah mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

30.Pasal 46 dihapus.



31.Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Tindak Pidana Terorisme yang ada dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pendanaan terorisme.

Pasal 46B
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



JOKO WIDODO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,



YASONNA H. LAOLY





LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...


RANCANGAN
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG

I.          UMUM
Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan serius yang dilakukan dengan menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dengan sengaja, sistematis, dan terencana, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau tidak terseleksi, serta Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup, dan Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dan cenderung tumbuh menjadi bahaya simetrik yang membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, integritas teritorial, perdamaian, kesejahteraan dan keamanan manusia, baik nasional, regional, maupun internasional.
Tindak Pidana Terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi karena memiliki kekhasan yang bersifat klandestain yaitu rahasia, diam-diam, atau gerakan bawah tanah, lintas negara yang didukung oleh pendayagunaan teknologi modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi, dan persenjataan modern sehingga memerlukan kerja sama di tingkat internasional untuk menanggulanginya.
Tindak Pidana Terorisme dapat disertai dengan motif ideologi atau motif politik, atau tujuan tertentu serta tujuan lain yang bersifat pribadi, ekonomi, dan radikalisme yang membahayakan ideologi negara dan keamanan negara.Oleh karena itu, Tindak Pidana Terorisme selalu diancam dengan pidana berat oleh hukum pidana dalam jurisdiksi negara.
Dengan adanya rangkaian peristiwa yang melibatkan warga negara Indonesia bergabung dengan organisasi tertentu yang radikal dan telah ditetapkan sebagai organisasi atau kelompok teroris, atau organisasi lain yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri, telah menimbulkan ketakutan masyarakat dan berdampak pada kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat, ketahanan nasional, serta hubungan internasional. Organisasi tertentu yang radikal dan mengarah pada Tindak Pidana Terorisme tersebut merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas yang secara nyata telah menimbulkan terjadinya Tindak Pidana Terorisme yang bersifat masif

jika tidak segera diatasi mengancam perdamaian dan keamanan, baik
nasional maupun internasional.
Sejalan dengan salah satu tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, perubahan Undang-Undang ini memberikan landasan normatif bahwa negara bertanggung jawab dalam melindungi Korban dalam bentuk bantuan medis, rehabilitasi psiokososial dan psikologis, dan santunan bagi yang meninggal dunia serta kompensasi. Namun bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi Korban tidak menghilangkan hak Korban untuk mendapatkan restitusi sebagai ganti kerugian oleh pelaku kepada Korban.
Dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme aspek pencegahan secara simultan,terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk meminimalisasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme. Pencegahan secara optimal dilakukan dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait serta seluruh komponen bangsa melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Untuk mengoptimalkan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perlu penguatan fungsi kelembagaan khususnya fungsi koordinasi yang diselenggarakan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berikut mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan dalam hal ini badan kelengkapan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang melaksanakan tugas di bidang penanggulangan terorisme. Selain itu, penanganan Tindak Pidana Terorisme juga merupakan tanggung jawab bersama lembaga-lembaga yang terkait, termasuk Tentara Nasional Indonesia yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam mengatasi aksi terorisme. Peran Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme tetap dalam koridor pelaksanaan tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Pertahanan Negara.
Dalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, perlu dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum, pelindungan hak asasi manusia, dan kondisi sosial politik di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang.



Beberapa materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini,
antara lain:
a.         kriminalisasi baru terhadap berbagai modus baru Tindak Pidana Terorisme seperti jenis Bahan Peledak, mengikuti pelatihan militer/paramiliter/pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme;
b.         pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme,baik permufakatan jahat,persiapan, percobaan, dan pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme;
c.         perluasan sanksi pidana terhadap Korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan kegiatan Korporasi;
d.         penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu;
e.         kekhususan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum, serta penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme oleh penuntut umum;
f.          pelindungan Korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara;
g.         pencegahan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan
h.         kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, peran Tentara Nasional Indonesia, dan pengawasannya.
I.          PASAL DEMI PASAL Pasal I
Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 5 Cukup jelas.


Angka 3
Pasal 6



Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b

Yang dimaksud dengan “korban yang bersifat massal” adalah korban yang berjumlah banyak.


Cukup jelas.

Huruf c


Angka 4 Pasal 10A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
Yang    dimaksud         dengan “barang”  adalah  barang  bergerak  atau  tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, antara lain informasi, peta, gambar, citra.



Angka 5          
Pasal 12A                                                                   
Ayat (1)                                                                      
Cukup jelas.                                                                
Ayat (2)                                                                      
Organisasi        Terorisme        dalam   ketentuan         ini        organisasi         yang     bersifat



Ayat (3) Cukup jelas.

klandestin rahasia yaitu rahasia, diam-diam atau
gerakan bawah tanah.



Pasal 12B Ayat (1)
Yang    dimaksud         dengan “pelatihan        lain”  misalnya  pelatihan  teknologi
informasi dan pelatihan merakit bom.
Yang dimaksud dengan “ikut berperang" antara lain ikut membantu, baik
langsung  maupun  tidak  langsung  dalam perang, contohnya sebagai tenaga medis, logistik, dan kurir.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


Angka 6
Pasal 13A
Yang dimaksud dengan “dapat mengakibatkan” dalam ketentuan ini ditujukan bagi setiap orang yang terdeteksi dan/atau memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja mengucapkan ucapan, sikap atau perilaku dengan tujuan menghasut melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Angka 7
Pasal 14
Ketentuan ini ditujukan terhadap aktor intelektual.
Yang dimaksud dengan “menggerakkan” antara lain melakukan hasutan dan provokasi, memberikan hadiah atau uang atau janji.

Angka 8
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus, karena itu tidak berlaku ancaman pidana pada permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan tindak pidana yang yang lebih rendah daripada ancaman tindak pidana yang telah selesai.
Yang dimaksud dengan “persiapan” dalam ketentuan ini jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi, atau menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi dilakukannya perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana terorisme.

Angka 9 Pasal 16A Cukup jelas.

Angka 10
Pasal 25 Cukup jelas.


Angka 11
Pasal 28
Ayat (1)

Ayat (2)

Ayat (3)




Cukup jelas. Cukup jelas.

Dalam ketentuan ini, penangkapan dilakukan dengan tetap mendasarkan
pada     hak      asasi     manusia           antara   lain      terduga




Ayat (4) Cukup jelas.

Angka 12 Pasal 28A Cukup jelas.

Angka 13
Pasal 31 Cukup jelas.

Angka 14 Pasal 31A Cukup jelas.

Angka 15
Pasal 33 Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 34 Cukup jelas.

Angka 17 Pasal 34A Cukup jelas.

Angka 18 Cukup jelas.

diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak
diperlakukan secara kejam, dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia.


Angka 19
Pasal 35A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a
Yang dimaksud dengan “korban langsung” adalah korban yang langsung
mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme. Misalnya korban meninggal atau luka berat karena ledakan bom.
Huruf b
Yang  dimaksud  dengan  “korban  tidak  langsung”  adalah  mereka  yang
menggantungkan hidupnya kepada korban langsung. Misalnya istri yang kehilangan suami yang merupakan korban langsung.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penyidik adalah penyidik yang melakukan olah
tempat kejadian perkara.
Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 35B Ayat (1)
Yang    dimaksud         dengan instansi/lembaga          terkait  antara   lain
kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Swasta, Organisasi non pemerintah.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Angka 20
Pasal 36
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3)
Dalam  ketentuan  ini,  mekanisme  pengajuan  kompensasi  dilaksanakan
sejak tahap penyidikan. Selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat Tindak Pidana Terorisme bersama dengan tuntutan. Jumlah kompensasi dihitung secara proporsional dan rasional dengan mendasarkan pada kerugian materil dan immateril.

Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10)

Angka 21 Pasal 36A















Cukup jelas.

Cukup jelas.

Pasal 36B Cukup jelas.

Angka 22
Pasal 37 Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 38 Cukup jelas.

Angka 24
Pasal 39 Cukup jelas.

Angka 25
Pasal 40 Cukup jelas.

Angka 26
Pasal 41 Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 42 Cukup jelas.

Angka 28
Pasal 43
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas pencegahan, penegakan hukum, dan pemulihan Korban.

Angka 29 Pasal 43A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
suatu asas yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan tugas pencegahan, pejabat yang berwenang selalu bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan hak-hak perseorangan atau kelompok orang yang dipercayakan kepada pejabat tersebut.
Ayat (3) Cukup jelas.


Pasal 43B
Cukup jelas.


Pasal 43C Cukup jelas. Cukup jelas.


Ayat (1)

Ayat (2)

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra
ideologi” adalah berbagai upaya untuk melawan paham radikal  terorisme dalam  bentuk lisan, tulisan, dan media literasi lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 43D Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “terencana”  adalah  berdasarkan  kebijakan  dan rencana strategis nasional.
Yang    dimaksud         dengan “terpadu”         adalah  dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah melalui tahapan dan program
tertentu.
Yang    dimaksud  dengan  “berkesinambungan”  adalah  dilakukan  secara
terus-menerus.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f
Yang dimaksud dengan “orang atau kelompok orang yang sudah terpapar
paham radikal terorisme” adalah orang atau kelompok orang yang memiliki paham radikal terorisme dan berpotensi melakukan tindak pidana terorisme.
Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “identifikasi dan penilaian” adalah penggambaran
secara rinci tingkat keterpaparan seseorang mengenai peran atau keterlibatannya dalam kelompok atau jaringan sehingga dapat diketahui tingkat radikal terorismenya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan atau penyembuhan
untuk menurunkan tingkat radikal terorisme seseorang.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  “reedukasi”  adalah  pembinaan  atau  penguatan
kepada seseorang agar meninggalkan paham radikal terorisme.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” adalah serangkaian kegiatan
untuk mengembalikan orang yang terpapar paham radikal terorisme agar dapat kembali ke dalam keluarga dan masyarakat.
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 43E Ayat (1)
Penyebutan      “Badan”           yang     ditentukan        dalam   pasal-pasal       sebelumnya
dimaknai sebagai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 43F Huruf a Cukup jelas.

Huruf b
Dalam ketentuan ini “menyelenggarakan koordinasi” dimaksudkan untuk
mencapai sinergi antarlembaga terkait.
Huruf c Cukup jelas.

Pasal 43G

Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang    dimaksud         dengan “koordinasi      antarpenegak   hukum”           adalah
koordinasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan penyidik, penuntut umum, dan petugas pemasyarakatan termasuk instansi lain yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.

Pasal 43H Cukup jelas.

Pasal 43I Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  “dilaksanakan  sesuai  dengan  tugas pokok dan
fungsi Tentara Nasional Indonesia” adalah tugas pokok dan fungsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang yang mengatur mengenai pertahanan negara.

Ayat (3)
Pembentukan Peraturan Presiden dalam ketentuan ini dilakukan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 43J Cukup jelas.

Pasal 43K Cukup jelas.

Pasal 43L Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Korban langsung yang diakibatkan dari Tindak
Pidana Terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku” adalah Korban yang diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme yang terjadi sejak berlakunya    Peraturan    Pemerintah    Pengganti



Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 30 Cukup jelas.

Angka 31 Pasal 46A Cukup jelas.

Pasal 46B Cukup jelas.

Pasal II Cukup jelas.

Undang-Undang          Nomor 1          Tahun  2002    tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.






TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...

2 komentar:

  1. Pasal 1 (Definisi terorisme)
    Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: (2.) Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.


    Pasal 12B (Penindakan pelatihan militer)
    1. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, dan/atau berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
    2. Setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
    3. Setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling laam 12 tahun.
    4. Setiap warga Indonesia yang dijatuhi pidana terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.

    Pasal 13A (Organsasi Teroris)
    Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebar ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun.
    Pasal 16A (Pelibatan Anak)
    Setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancama pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
    Pasal 25 (Penahanan)
    (2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu 120 hari.
    (3) Jangka waktu penahanan dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 hari.
    (4) Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) tidak mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 hari.
    (5) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa paling lama 60 hari.
    (6) Apabila jangka waktu penahanan tidak mencukupi, dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu palng lama 30 hari.
    (7) Pelaksanaan penahanan tersangka tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia
    (8) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    BalasHapus
  2. Pasal 28 (Penangkapan)
    (1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 hari.
    (2) Apabila waktu penangkapan tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk waktu paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
    (3) Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia,
    (4) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



    Pasal 31A (Penyadapan)
    Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.
    Pasal 33 (Pelindungan)
    Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
    Pasal 43A (Pencegahan)
    (1) Pemerintah wajib melaksanakan pencegahan tindak pidana terorisme
    (2) Dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.
    (3) Pencegahan dilaksanakan melalui: a. Kesiapsiagaan nasional, b. Kontra-radikalisasi, c. Deradikalisasi. (Ketiga diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah)

    Pasal 43I (Pelibatan TNI)
    (1) TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang
    (2) Dalam mengatasi aksi terorisme, dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

    BalasHapus