Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Selasa, 02 Juni 2009

ANTIHISTAMIN

Penggunaan antihistamin untuk mengatasi gejala alergi sebaiknya sebelum gejala terjadi. Karena antihistamin bekerja dengan menghambat reseptor histamin pada organ sasaran. Bila dipakai sesudah gejala alergi, antihistamin hanya mengurangi serta mencegah gejala berikutnya.

Hal itu diutarakan Kepala Subbagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM, dr Heru Sundaru SpPD KAI pada simposium sehari "Konsep Baru Penatalaksanaan Penyakit Alergi", Sabtu (18/9).

Pembicara lain dalam simposium yang diselenggarakan RSPAD Gatot Soebroto dan Yayasan Alergi Indonesia itu adalah dr Pradjna Paramita SpP FCCP dari Departemen Pulmonologi RSPAD Gatot Soebroto, dr Samsuridjal Djauzi SpPD KAI dari Subbagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Prof Dr dr Dinajani Mahdi SpPD KAI SH dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Kolonel CKM dr Himawan WH SpTHT dari Subbagian Alergi-Rinologi, Departemen THT RSPAD Gatot Soebroto, dan dr Maya Devita L SpKK dari Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin RSPAD Gatot Soebroto.

Menurut Heru, antihistamin berguna untuk menghilangkan gejala alergi seperti bersin, ingusan, hidung tersumbat. Namun antihistamin klasik seperti difenhidramin, klorfeniramin dan klemastin mempunyai efek samping depresi sistem saraf pusat berupa sedasi dan gangguan kinerja psikomotor. Efek samping lain adalah kembung, mual, konstipasi atau diare, bahkan penurunan jumlah sel darah putih. Obat tersebut juga berbahaya bagi penderita yang mempunyai glaukoma atau pembesaran prostat.

Sejak pertengahan 1980 diperkenalkan antihistamin generasi baru yang bersifat non-sedatif serta tak mempunyai efek antikolinergik. Kelebihan lain, hanya perlu dipakai sekali sehari, kecuali terfenadin dua kali sehari, sehingga meningkatkan ketaatan berobat. Namun antihistamin generasi baru harganya lebih mahal dan sebagian obat-golongan terfenadin dan astemisol-dapat mengganggu jantung.

Rinitis alergi

Himawan mengungkapkan, pada periode Januari-Desember 1998 di Departemen THT RSPAD jumlah penderita yang berobat dengan rinitis kronis, rinitis alergi dan sinusitis kronis ada 2.366 penderita (31 persen). Tindakan operatif dilakukan pada 343 penderita (14 persen), selebihnya diatasi dengan obat.

Rinitis alergi merupakan reaksi alergi dari mukosa hidung yang sensitif dengan gejala klinis berupa bersin, keluar
ingus dan hidung tersumbat. Pada umumnya keluhan rinitis alergi dapat dihilangkan dengan obat-obatan. Jika keluhan menetap perlu dicurigai adanya penyakit lain yang mungkin bisa diatasi dengan pembedahan dikombinasi dengan obat-obatan.

Agar pengobatan rinitis alergi berhasil baik diperlukan tiga hal. Yaitu, identifikasi dan menghindari atau mencegah alergen penyebab, pemakaian obat-obatan serta imunoterapi. Yang terbaik adalah menghindari alergen penyebab. Namun pada beberapa kasus tidak mudah, terutama bila alergen ada di udara terbuka.

Dalam pengobatan ada empat golongan yang dapat digunakan. Yaitu, antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan golongan stabilisator mastosit. Kombinasi antihistamin dan obat simpatomimetik atau dekongestan dianggap tepat, karena antihistamin menghilangkan ingusan, bersin, dan gatal, sedang dekongestan mengatasi sumbatan hidung, sehingga napas menjadi lega. Selain itu penderita dianjurkan olahraga untuk meningkatkan kebugaran dan daya tahan tubuh. (atk



Tidak ada komentar:

Posting Komentar