Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ila yaumil qiyamah.
Pembahasan ini amatlah urgent bagi setiap orang yang hendak terjun di dunia bisnis atau yang ingin bermuamalah dalam penukaran uang (valas). Jika ia sudah memahami hal ini, ia akan memahami kenapa syari’at Islam yang mulia memasukkan suatu hal ke dalam transaksi ribawi. Ini semua karena syari’at yang indah ini dibangun di atas kemaslahatan dan ingin mencegah bahaya. Bahasan ini adalah bahasan sekitar jual beli uang (valas) dan emas, yang di mana ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam jual beli tersebut. Moga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Ketika Uang Menjadi Komoditi Dagang
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“(Mata uang) dinar dan dirham asalnya bukan untuk dimanfaatkan zatnya. Tujuannya adalah sebagai alat ukur (untuk mengetahui nilai suatu barang). Dirham dan dinar bukan bertujuan untuk dimanfaatkan zatnya, keduanya hanyalah sebagai media untuk melakukan transaksi. Oleh karena itu fungsi mata uang tersebut hanyalah sebagai alat tukar, berbeda halnya dengan komoditi lainnya yang dimanfaatkan zatnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 19/251-252)
Imam Al Ghozali rahimahullah menjelaskan,
Orang yang melakukan transaksi riba dengan (mata uang) dinar dan dirham, sungguh ia telah kufur nikmat dan telah berbuat kezholiman. Karena (mata uang) dinar dan dirham diciptakan hanya sebagai media dan bukan sebagai tujuan. Maka bila mata uang tersebut diperdagangkan, maka ia akhirnya akan menjadi komoditi dan tujuan. Hal ini bertentangan dengan tujuan semula uang diciptakan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menjual (mata uang) dirham dan dengan dirham yang berbeda nominalnya dan tidak dibolehkan menjualnya secara berjangka. Maksud dari hal ini adalah agar mencegah orang-orang yang ingin menjadikan mata uang tersebut sebagai komoditi. Syarat ini jelas mendesak para pendagang untuk tidak meraup keuntungan. (Ihya’ ‘Ulumuddin, 4/88)
Kaedah Jual Beli Uang
Kaedah yang akan kami utarakan disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ».
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (HR. Muslim no. 1587, dari ‘Ubadah bin Shomith)
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ
“Menukar emas dan emas adalah riba kecuali jika dilakukan dengan cara tunai.” (HR. Bukhari no. 2134 dan Muslim no. 1586)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan beberapa syarat dalam transaksi penukaran mata uang, yaitu:
Pertama:
Menukar mata uang sejenis, seperti menukar uang rupiah dengan pecahan rupiah yang lebih kecil, syaratnya ada dua:
- Jumlah nominalnya harus sama.
- Serah terima dilakukan secara tunai.
Menukar emas dengan mata uang, artinya membeli emas harus memenuhi dua syarat yang dikemukakan di atas karena emas dan mata uang adalah barang yang sejenis.
Kedua:
Menukar mata uang yang berlainan jenis, seperti menukar uang rupiah dengan riyal, syaratnya hanya satu:
- Serah terima harus dilakuakan secara tunai. Artinya berlangsung sebelum berpisah dari majelis akad dan tidak disyaratkan jumlahnya sama). Maka dibolehkan jumlah nominal keduanya berbeda sesuai dengan kurs pasar di hari itu atau keduanya sepakat dengan kurs sendiri.
Kaedah penting dalam sistem moneter di atas jelas diabaikan oleh para ekonom di zaman ini. Mereka melalaikan syarat penukaran mata uang yang sejenis yang menjerumuskan mereka terjerumus dalam riba. Akibat tidak mengindahkan hal ini, nilai mata uang akhirnya mengalami fluktuasi setiap saat yang menyebabkan kezhaliman kepada seluruh pemegang uang.
Bentuk Jual Beli yang Tidak Mengindahkan Kaedah di Atas
1. Transaksi Spot
Transaksi spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
Comment: Transaksi ini tidak memenuhi syarat penukaran mata uang, yaitu harus tunai (berlangsung sebelum berpisah dari majelis akad)[1]
2. Transaksi Forward
Transaksi forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.
Comment: Transaksi ini jelas tidak dibolehkan karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.[2]
3. Pembayaran pembelian emas dengan menggunakan kartu kredit (ATM)
Comment: Karena ketika itu emas tidak diserahkan secara tunai.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
In the blessed morning, Panggang-GK, 23rd Shafar 1432 H (27/01/2011)
Reference:
Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’
Kajian Ustadz Erwandi Tirmidzi, MA (sedang menempuh Doktoral di Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud-Riyadh KSA), Fiqh Jual Beli Kontemporer (Jual Beli Uang dan Saham), 17 Desember 2010 (11 Muharrom 1432 H), Riyadh, KSA
[1] [1] Transaksi spot ini dibolehkan oleh DSN dalam Fatwa DSN no. 28/DSN-MUI/III/2002. Alasannya karena mereka menganggap transaksi tersebut tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
Kami menilai bahwa fatwa ini tidaklah tepat karena syarat yang diberikan oleh syari’at dalam penukaran mata uang adalah harus tunai. Jelas sekali bahwa penundaan sampai dua hari itu bukanlah tunai karena sudah berpisah jauh waktu dari majelis akad.
[2] Transaksi forward ini dibolehkan oleh DSN jika ada hajah (butuh) dalam Fatwa DSN no. 28/DSN-MUI/III/2002.
Kami menilai bahwa fatwa ini adalah fatwa yang tidak tepat karena kondisi hajah (butuh) bukan berlaku setiap saat dan kondisi hajah hanya sekadarnya saja.