Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 10 November 2010

BROKEN HOME

Salam Bu Leila. Saya gadis (21), anak kedua dari empat bersaudara. Hanya adik bungsu yang laki-laki. Saya punya masalah yang selalu mengganjal pikiran dan kemarahan yang tidak pernah terlampiaskan hingga membuat saya stres.

Ketika saya masih kecil (9) ayah nyeleweng dengan tetangga dan memukuli ibu saya tiap hari. Kemudian mereka pisah tanpa bercerai. Kami ikut ibu yang mempunyai rumah kecil dan sepetak sawah.Ibu bekerja sangat keras untuk menghidupi kami. Sementara bapak kaya dan uangnya selalu dibagi pada perempuan simpanannya. Antara rumah bapak dan ibu tidak begitu jauh.

Walaupun begitu kami tidak pernah pergi ke rumah bapak karena dia galak kepada kami. Ikut ibu yang miskin, kalau dapat makan setiap hari sudah untung. Ibu juga suka marah-marah, mungkin karena capek.

Sebagai anak saya tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan pada teman-teman. Pakaian selalu paling jelek, tidak punya mainan seperti yang lain, teman-teman selalu menghina kami. Kami seperti gembel yang tidak terurus.

Ketika lulus SD saya dan adik ikut bapak, karena dia yang minta. Dua tahun saya di sana. Mula-mula memang baik, tetapi makin lama makin berubah. Saya dan adik selalu dimaki-maki tiap hari dan tiap hari pula bapak pergi ke simpananannya. Lama-lama perempuan itu dibuatkan rumah baru di samping rumah kami dan simpanannya dibawa ke situ.

Setelah ada perempuan itu saya tidak dipedulikan lagi, tidak dikasih uang belanja lagi, sekolah berhenti dan saya harus cari uang sendiri juga untuk adik. Saya tidak tahan dan mencoba bekerja, lalu akhirnya pulang ke rumah ibu. Rumah kayu yang dulu kami tempati sudah kosong dan rusak. Bapak menyuruh saya memperbaiki, sedang dia tidak peduli pada rumah itu dan tidak peduli pada kami.

Bapak membuat kami menderita dan masih mendatangi saya dan menyuruh agar baik pada simpanannya. Juga dia menuduh saya tak mau baik sama perempuan itu karena takut kehilangan hartanya.

Hati saya sakit sekali. Padahal saya cuma sakit hati melihat bapak menyayangi orang lain. Juga anak gadis perempuan itu ikut bersama dia dan memanggil dia bapak. Saya ikut ibu dan membantunya semampu saya. Saya berusaha untuk menjadi anak baik, tidak pernah menuntut atau mengeluh, begitu juga saudara saya.

Namun malang sungguh nasib saya. Ibu yang menjadi harapan saya selama ini, sudah mencoreng muka saya di hadapan semua orang, sebab main serong dengan suami orang.

Terasa sebah dada saya. Semua harapan musnah, tinggal air mata saja terus mengalir meratapi nasib. Apa yang telah dia lakukan membuat saya membencinya dan tak ingin memberikan apa-apa, padahal selama ini saya selalu berharap ingin membahagiakannya. Saya kecewa, kecewa sekali. Padahal selama ini saya berusaha jadi anak baik, bekerja mencari ma-kan sendiri tak pernah mencuri atau jadi pelacur walau sesulit apa pun cari uang. Saya tidak mau membuat ibu saya malu karena anaknya.

Ibu tidak menghargai seorang anak, rasanya saya tidak sanggup lagi bersabar. Semua tetangga tahu, saya tidak sanggup lagi tinggal di rumah karena malu. Sementara bapak bersenang dengan orang lain, saya sakit hati memikirkannya. Saya berusaha menerima, tetapi hati saya tak mampu. Semua ini membuat hati saya penuh dendam, tetapi tak mampu melakukan apa pun kecuali berdiam diri, tak berani menyindir apalagi menuntut.

Namun walau sakit hati pada ibu saya, saya tetap menyayanginya dan ingin membahagiakannya setelah dia sadar, karena ibulah yang telah memperjuangkan hidup saya ketika saya belum mampu cari hidup sendiri. Juga agar bapak saya tahu betapa bergunanya seorang anak.

Rasa minder juga membuat saya tidak berani bergaul. Saya selalu mencari-cari kejelekan saya, saya selalu merasa jadi yang paling buruk, walau kenyataannya tidak begitu. Saya juga tidak bisa mempercayai laki-laki, saya anggap semuanya egois.

Ibu Leila, saya tulis surat ini sebab saya tak sanggup menyimpan sendiri, terasa dada saya sesak. Apakah salah kalau saya membenci bapak saya, sebab yang diberikan hanya penderitaan pada anak saja, bagaimana caranya saya dapat menerima apa yang terjadi, saya ingin hidup seperti orang lain...

Rina yang baik,

Sungguh berat jalan hidupmu. Bagai biduk kecil di tengah lautan yang dihempas kian kemari oleh badai dan topan. Meski di sana sini ada yang terkoyak, dengan rasa pedih dan getir yang mendalam, namun ia tetap bertahan dengan tegar. Si gadis cilik itu sudah tumbuh jadi kuat bahkan memiliki tatanan nilai yang baik. Meski hidup seperti gembel, ia tidak mau mencuri atau melacur. Meski sejak kecil ia tidak punya mainan dan pakaiannya adalah paling jelek, ia tidak mau menambah beban ibunda dengan menuntut ini dan itu, bahkan membantunya dan bercita-cita ingin membahagiakannya.

Bukankah berbagai keadaan ini adalah aset besar yang patut disyukuri kehadirannya, Rina? Belum tentu orang yang tinggal di rumah mentereng dan punya beberapa mobil mengkilap punya tatanan nilai yang begitu indah, atau punya anak yang demikian santun. Tentu ibu yang membesarkanmu punya andil dalam menanamkan nilai-nilai baik ini.

Sekarang ibumu sedang ada dalam kesukaran. Ia telah khilaf dan serong. Sampai Anda tidak sudi tinggal bersamanya lagi. Saya setuju, bahwa sikap ibumu tidak dapat dibenarkan. Namun belum tentu ia memang sudah sangat buruk, sebab selama ini ia tidak begitu. Selama lebih dari sepuluh tahun, ia bekerja keras menghidupi keempat anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri. Sukar dibayangkan betapa beratnya mencari nafkah sambil membesarkan keempat anak. Sementara ayah anak-anak ini hidup berkelebihan dengan gula-gulanya tidak jauh dari rumahnya.

Betapa tertekan batinnya dan hausnya ia akan pengertian, perhatian dan kasih sayang. Keadaan ini mempermudah jatuhnya ia pada orang yang memberi sedikit perhatian dan rasa sayang. Mungkin laki- laki yang sudah beristri itu awalnya hanya iseng saja memberikan perhatian pada ibumu. Mungkin pula karena kasihan atau simpati pada perjuangan hidupnya. Namun ibumu sudah kejeblos salah jalan. Ia sedang "sakit parah", bukankah sebaiknya ia ditolong dan tidak ditinggalkan?

Namun sebagai anak sukar bagimu untuk "menegur", menyindir apalagi menasihati orangtuamu. Terutama jika ibumu sedang "jatuh cinta", lagi mabuk kepayang, hingga yang buruk pun tampaknya bagus. Cobalah minta bantuan orang dewasa lain. Sebaiknya orang yang dihargai oleh ibumu, atau orang yang sangat dekat di hatinya. Mungkin kakaknya yang lebih tua, atau teman dekatnya, atau seorang ulama/ agamawan yang dapat menyadarkan dia dan membimbingnya ke jalan yang baik kembali. Atau kerja sama dengan istri bapak yang nyeleweng, agar suaminya kapok dan tidak mau nyeleweng lagi.

Bagi Rina sendiri, saya kira yang perlu diupayakan adalah berusaha jadi mandiri, punya penghasilan dan tempat tinggal sendiri. Upayakan dapat pekerjaan atau majikan yang bersedia mengembangkan Anda ke taraf hidup yang lebih baik. Misalkan memberi izin mengikuti kursus keterampilan yang dapat menghasilkan uang, seperti gunting rambut, atau membuat kue. Bergaullah dengan sekitarmu sambil tetap membuka hati buat jejaka yang baik. Sebab tidak semua perjaka egois, masih banyak yang dapat menjadi pasangan yang baik.

Jangan lupa Rina, banyak derita akan terasa lebih ringan jika ada ikatan yang kuat dengan sang Pencipta, perkuatlah imanmu. Jika Anda tidak suka pada ayah yang telah menyia-nyiakanmu, dan masih tetap menyayangi ibu yang membesarkanmu, meski ia sudah salah, tampaknya ini wajar saja. Bukankah yang menyayangi akan disayang pula, juga sebaliknya? Tegaklah Rina, saya yakin Anda dapat mengatasi persoalanmu dengan baik. Salam kompak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar