Suatu hari Arif dan Ani (sebut saja demikian) mengunjungi seorang konselor keluarga untuk minta pembekalan. Duduk berdampingan, sesekali mereka bercanda sambil saling cubit. Ah, mesranya. Maklum, dalam beberapa minggu lagi, mereka akan menempuh hidup baru.
"Enam bulan kemudian," tutur Dr. Gerard Paat, M.P.H., konselor itu, "mereka datang lagi. Ani menangis minta cerai. Katanya, ia tak menyangka Arif demikian galak, jorok, dan gemar main bentak."
"Rupanya mereka tidak berhasil mengatasi perbedaan," ujar konselor yang juga Kepala Biro Konsultasi Kesejahteraan Keluarga di RS St. Carolus, Jakarta.
Lalu bagaimana dengan dongeng-dongeng masa kecil yang sering kita dengar? Bukankah begitu sang putri bersanding dengan pangerannya, semuanya selalu berakhir bahagia? Dalam kehidupan nyata, pelaminan justru merupakan awal dari proses panjang yang jauh dari sederhana. Bahkan, terkadang malah menjadi medan peperangan. Semisal seperti lakon yang dialami sepasang suami istri, sebut saja Raditya dan Santi berikut ini.
Sama-sama lulusan perguruan tinggi, keduanya boleh dikata cukup sukses dalam karier. Suatu hari Raditya ketahuan menyimpan WIL (wanita idaman lain). Santi mengambil sikap, "Tanpa engkau, aku pun bisa hidup." Rumah segera dinyatakan dalam keadaan "darurat perang". Anak-anak dijauhkan dari ayahnya. Situasi direkayasa untuk menghukum Raditya, supaya kapok.
Alih-alih bertobat, Raditya yang merasakan suasana rumahnya sepanas neraka, semakin betah mencari kesejukan di pangkuan WIL-nya. Niat untuk kembali kepada istri yang sempat muncul, bagaikan bara yang disiram air dingin begitu menghadapi "barikade-barikade" yang dipasang Santi di rumah. Belakangan, perselingkuhan Raditya dilaporkan Santi kepada bosnya, sehingga Raditya dipecat.
Berbisnis sendiri, usaha Raditya semakin berkembang. Sakit hati berbalas sakit hati, peperangan ini akhirnya ditutup dengan perceraian.
Menikah, lebih panjang umur
Namun, menurut Paat, masih lebih banyak keluarga yang bahagia ketimbang yang tidak, meski di Indonesia belum ada data konkret.
Adalah Dr. Linda Waite, profesor sosiologi dari University of Chicago, yang Mei lalu memaparkan hasil penelitian yang cukup menggelitik dalam Smart Marriages Conference II di Washington, AS. Ada dua telaah yang dipaparkannya. Pertama, membandingkan usia pria dan wanita antara yang menikah dan yang tidak menikah dengan mengikuti perjalanan hidup mereka selama 18 tahun, sejak usia 48 tahun. Disimpulkan, 90% pria dan wanita yang menikah mencapai usia 65 tahun, sementara yang tidak menikah, cerai, atau lajang, 60 - 70% saja yang mencapai usia sepanjang itu.
Telaah kedua, 50.000 orang diikuti perkembangan hidupnya dari kelas terakhir SMU sampai usia 32 tahun. Berdasarkan pengamatan gaya hidup, ternyata pada yang lajang, perilaku buruknya (misalkan, minum-minum dan mengkonsumsi obat bius) meningkat tajam, sementara di kalangan yang menikah kasusnya terbalik. Frekuensi perilaku buruk mereka anjlok.
Sebagai pengamat di lapangan, hasil temuan itu ternyata tidak mengejutkan Gerard Paat. "Secara ilmiah sudah dianalisis dan dapat diramalkan, bahwa kehidupan perkawinan memang bisa memperbaiki kesehatan jiwa dan badan," komentarnya.
Soalnya, perkawinan mengubah pola hidup ke arah yang lebih disiplin, lebih tertib dan teratur. Belum lagi faktor jaminan bahwa pasangan biasanya saling mengurus dan mengingatkan. Irama hidup yang tadinya semau gue "terpaksa" dibuat lebih teratur, karena tenggang rasa pada pasangan. Kalau makan cukup, tidur pun teratur, tentu orang menjadi lebih sehat.
Dari segi kejiwaan, berbagi kebahagiaan dalam sebuah perkawinan yang harmonis juga menyehatkan. Semacam makanan rohani bagi kesehatan jiwa. Masalahnya, mengapa ada perkawinan yang gagal, jauh dari kebahagiaan, sehingga pasangan bak hidup di lautan stres? Padahal, bila tidak pandai mengelolanya, stres condong mengajak sobat kentalnya, yaitu pelbagai penyakit.
Relasi lain jadi oke
"Kebahagiaan dalam perkawinan tidak bisa datang sendiri. Harus dikejar, dipertahankan, ditumbuhkan, dan diciptakan," ujar Elly, dari Marriage Encounter (ME), Jakarta. Bersama suaminya, Rusli Prakarsa, sejak 1982 Elly adalah anggota tim pemberi week end, semacam pemandu acara yang biasanya diadakan di akhir minggu. Antara tahun 1994 - 1997, mereka adalah koordinator ME Jakarta.
Pertemuan akhir pekan ME, yang di Indonesia telah diikuti oleh 14.431 pasangan suami-istri dan di Jakarta oleh sekitar 4.000 pasangan, sebenarnya merupakan acara berbagi pengalaman komunikasi di antara suami-istri. Acara pertemuan ini juga memberikan pandangan baru mengenai cinta melalui sejumlah topik, yang menyangkut diri suami atau istri, hubungan antara keduanya, hubungan mereka dengan Tuhan dan dengan dunia sekitarnya.
Dalam pertemuan itu tiga pasang suami-istri yang tergabung dalam tim pemberi week end menyampaikan pengalaman pribadi mereka, sementara para peserta hanya diminta untuk saling menghayati melalui cara berkomunikasi yang unik dan indah, yang tekniknya dapat dibawa pulang untuk dilaksanakan seterusnya.
Bagi Rusli dan Elly, nyata benar pentingnya dibangun relasi yang baik antarsuami-istri. "Karena kalau relasi suami-istri baik, relasi dengan anak-anak, lingkungan sekitarnya, bahkan dengan Tuhan akan baik," ujar Elly yakin. Sehingga dapat dikatakan, kebahagiaan perkawinan merupakan awal dari seluruh relasi yang lain. Sedangkan kunci menuju relasi yang baik adalah komunikasi.
Rusli pun menyambung, "Bayangkanlah. Saat masih pacaran bisa tahan ngobrol sampai berjam-jam, setelah beberapa tahun menikah tak tahu lagi harus omong apa."
Selain komunikasi, memelihara relasi seks yang baik juga merupakan salah satu tiang penyangga utama perkawinan yang bahagia. Namun buru-buru ditambahkan, "Kami tidak memfokuskan pada adegan ranjang, karena kalau pasangan sudah mencapai usia lanjut, di mana aktivitas seks sudah tidak signifikan lagi, bahkan mungkin tidak ada, nyatanya pada pasangan yang harmonis, keintiman itu tetap ada." Ya, relasi seks dalam arti luas.
Secara bergantian, pasangan yang mengaku telah banyak jatuh-bangun dalam relasi perkawinan mereka ini membeberkan contoh-contoh kecil untuk memelihara seksualitas dalam arti luas itu. "Ciuman sebelum berpisah untuk bekerja di pagi hari, mengucapkan terima kasih secara non verbal dengan sentuhan, menonton TV sambil duduk berdampingan, jalan-jalan atau joging berdua di pagi hari, saling menelepon kalau kebetulan berjauhan, nonton bioskop berdua, makan berdua di restoran, dan lain-lain kegiatan yang membuat akrab relasi suami-istri."
Berdoa bersama secara teratur, kalaupun tidak setiap hari, pun sudah bermakna, karena tujuannya menghadirkan Tuhan dalam relasi mereka. Yang terakhir, saling memaafkan. Dalam relasi, memaafkan dan mengampuni itu selalu berarti maju. Andaikan ada bangkai tikus di dalam sumur, untuk menghilangkan baunya tak cukup hanya dengan menyemprotkan cairan pengharum ruangan, karena busuknya pasti akan timbul lagi. Untuk mengenyahkannya, bangkai itu harus diangkat dan dibuang. Caranya, mengkomunikasikan luka hati kepada pasangan dalam dialog yang mendalam.
Kehilangan setengah tubuh dan jiwanya
Namun, tetap saja cinta itu faktor paling penting. Ini membawa kita pada pertanyaan yang barangkali setua sejarah manusia itu sendiri. Apakah cinta itu?
"Bukan tertarik pada sesuatu, lalu menginginkannya untuk dimiliki. Cinta itu bukan untuk menguasai," ujar Rusli. "Cinta itu satu arah, memberi dan mengorbankan diri untuk dia."
Elly pun menyambung, "Dalam perkawinan, cinta itu terus diberikan. Bahkan kalau perlu mengorbankan diri demi orang lain." Ada banyak contoh bentuk pengorbanan dari kehidupan sehari-hari yang bisa dicuplik. Mengantarkan atau menjemput pasangan ke tempat yang jauh, meski diri sendiri sudah capek. Memberi tanpa syarat. Dalam satu kalimat, Rusli merangkumnya, "Cinta itu bukan sekadar perasaan, tetapi keputusan untuk mencintai."
Dengan cara lain, Gerard Paat menyimpulkan hal senada. Disajikannya sebuah contoh kasus yang ditemuinya di kamar konsultasi. Seorang ibu berusia sekitar 46 tahun datang mengeluh. Sebut saja Ibu Suti. Meski suaminya telah meninggal lima tahun lalu, ia merasa suaminya masih ada. "Kalau saya tidur, saya merasa ia masih berbaring di samping saya," katanya. Maka, meski ada kesempatan, ia enggan menikah lagi.
Sebuah kasus lain mengetengahkan suami-istri Hendrayana (bukan nama sebenarnya). Si istri sudah sakit-sakitan dan selama ini harus mengkonsumsi banyak obat secara rutin. Tak disangka, Pak Hendrayana jatuh sakit dan meninggal. Ibu Hendrayana mengeluh, "Untuk apa saya hidup, bapak sudah tidak ada." Obat-obatan dicuekkan, makan pun ogah. Setahun setelah suaminya meninggal, Ibu Hendrayana pun menyusul ke alam baka.
Perkawinan yang didasarkan cinta dan kebersamaan ternyata melahirkan ikatan lahir batin yang membahagiakan. Maka ketika pasangannya meninggal, seperti dialami seorang suami yang menjadi klien Paat, ia mengatakan, "Saya telah kehilangan setengah dari tubuh dan jiwa saya."
Paat pun setuju, cinta itu penting, tetapi bukan satu-satunya. Buktinya, ujar dokter lulusan UI yang mendalami konsultasi perkawinan bidang seksologi di George Washington University for Family Welfare, St. Louis, AS dan di Amsterdamse Rijksuniversiteit, Instituut voor Seksuele Opvoeding, Amsterdam, Belanda ini, ada pasangan yang ketika menikah "cinta banget" tetapi perkawinan mereka hanya bertahan beberapa tahun. Menurut pemahamannya, pasangan yang demikian itu gagal menciptakan kebersamaan. Sedangkan kebersamaan baru tercipta bila pasangan berhasil menumbuhkan semangat berkorban dan saling pengertian.
Pohon Keluarga
Sudah tentu proses yang demikian itu tidak gampang, karena di dunia ini tak ada seorang pun yang sama. "Satu suka singkong, satu suka keju," kata Paat. Dalam bahasa Elly, "Saya terbiasa sarapan roti, sedangkan Rusli nasi, dengan pecel, misalnya. Karena saya mencintainya, saya akan menyediakan nasi dan pecel untuk dia."
Cara keluarga mendidik anak-anak juga tidak ada yang sama. Pola pendidikan orang tua, keharmonisan hubungan orang tua, tata cara pergaulan dengan sanak famili, hal-hal yang langsung berkaitan dengan pengalaman masa kecil dan masa remaja, menentukan kokoh tidaknya Pohon Keluarga seseorang. Anak-anak dari pasangan yang bercerai, biasanya lebih labil jiwanya, karena tidak memperoleh cinta kasih, perhatian, dan keterlibatan yang penuh dari kedua orang tuanya. Sebaliknya, dengan anak-anak dari pasangan yang rukun dan harmonis. Biasanya, Pohon Keluarga mereka kokoh.
Betapa penting faktor Pohon Keluarga ini diilustrasikan dalam kasus nyata yang pernah muncul dalam salah satu acara pertemuan ME. Ketika diminta melukis Pohon Keluarga, seorang suami dengan sedih mengatakan, "Pohon Keluarga saya berwarna hitam." Sebagai sulung dalam keluarga, sejak kecil ia dititipkan pada nenek di kampung, sementara adiknya hidup disayang bersama orang tua di kota. Pelan-pelan timbul perasaan terbuang dan setelah dewasa ia pun merasa asing terhadap orang tuanya. Perasaan ini melahirkan kepekaan berlebihan dalam kehidupan perkawinan. Ia sering merasa kurang dicintai, gampang tersinggung, condong menarik diri, bahkan enggan bergaul dengan pihak keluarga istri karena perasaan rendah diri.
Cetusan perasaan yang lama terpendam itu membawa kesadaran baru, bahwa kepahitan inilah sumber dari segala kesulitan perangainya selama ini. Tidak hanya dirinya, istrinya pun mendapat pencerahan. Berbekal pemahaman ini, dengan kerja sama istri dan anak-anak, ia pun bekerja keras memperbaiki diri dan relasinya dengan orang lain.
Ada beberapa hal yang umumnya menjadi batu sandungan dalam relasi suami-istri. Gerard Paat menuding, perbedaan persepsi, wawasan, dan nilai sebagai biang keladi terjadinya pergesekan antara suami-istri. Kalau ditilik sisi perbedaannya, yang paling rawan disebutnya perbedaan agama, kemudian budaya, dan baru terakhir kepribadian.
Namun, pasangan Elly-Rusli lebih condong melihat pada sikap masing-masing dalam berelasi. Ada yang disebut married single: orang yang meski sudah terikat dalam perkawinan, tetap bersikap sebagai lajang. Kedua, sikap menyalahkan pihak lain tanpa mau introspeksi diri. Yang ketiga adalah sikap egois, yang oleh Paat diungkapkan dalam bentuk anjuran: cobalah saling memberi dan jangan mau menang sendiri. Yang keempat adalah sikap kurang tanggung jawab terhadap pasangan dan anak-anak.
Pasangan Elly-Rusli, yang sama-sama berprofesi akuntan, memiliki empat orang anak, dan tahun lalu telah merayakan perkawinan perak ini memaparkan, beberapa kebutuhan batin manusia yang mendasar: harga diri, kebebasan dalam arti bebas memiliki jati diri, kebutuhan untuk dicintai dan kebutuhan untuk dilibatkan.
Bila suami istri dapat saling menciptakan situasi dan kondisi tertentu agar kebutuhan batin masing-masing terpenuhi, maka mereka berada di jalur yang benar untuk membuat rumah mereka menjadi "istana" yang menenteramkan. Bila belum, dianjurkan untuk melakukan perubahan, mulai dengan diri sendiri. Bila timbul masalah, sesuai pesan Paat, "Lekas selesaikan sedini mungkin.
nggeh mbah..........
BalasHapus