Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 12 November 2010

DETEKSI DINI KONDISI MATA

EKSPRESI larangannya mungkin berbeda-beda, tetapi orangtua pada umumnya cenderung tidak membolehkan anak-anaknya menonton televisi terlalu dekat. "Nanti mata kamu lekas rusak," begitu biasanya pesan yang diucapkan berbarengan dengan larangan itu.

Dalam banyak kejadian, si anak cuma patuh saat itu. Ketika orangtuanya tidak ada, mulai lagi dia memelototi televisi dalam jarak dekat. Tak heran bila orangtua lebih keras lagi mengingatkan anaknya. Larangan bukan lagi dengan kata-kata, melainkan langsung menarik badan anaknya supaya menjauh dari televisi.

Kenyataan seperti ini disayangkan oleh dr Farida Sirlan, dokter mata di Jakarta. "Seharusnya orangtua segera mencari tahu kenapa anaknya suka nonton TV dari dekat. Biasanya anak nonton dekat-dekat karena dia merasa tidak jelas melihat dari jarak seperti yang dianjurkan orangtuanya," kata dokter yang sehari-harinya menjabat sebagai Kasubdit Bina Kesehatan Mata Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes.

Kebiasaan melihat televisi dari jarak dekat, menurut dia, merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai orangtua. Begitu juga orangtua harus mewaspadai bila anaknya suka membaca buku dengan jarak sangat dekat.

Dari survei tahun 1993-1996 yang pernah dilakukan di beberapa kota di Indonesia, fakta lapangan menyebutkan, sebagian masyarakat memang tidak mengetahui tanda-tanda anak yang harus memakai kacamata. Sementara sebagian yang mengetahui kalau anaknya harus memakai kacamata berpendapat bahwa kacamata diperlukan bila saat membaca, mata menjadi kabur atau merasa pusing.

Kecolongan

Ketidakpekaan orangtua mendeteksi gangguan penglihatan pada anak-anaknya agaknya bukan cuma terjadi pada orang awam. "Jujur saja, saya sebagai optalmologis kecolongan pada anak saya sendiri. Saya baru menyadari kalau salah seorang anak saya sudah butuh kacamata waktu dia di kelas IV SD. Padahal harusnya dia sudah memakai kacamata di kelas sebelumnya, tetapi saya tidak curiga, karena tidak ada masalah di sekolah," kata Prof Dr dr JHA Mandang, SpM, spesialis mata.

Kelalaian yang berlarut-larut bukan cuma bisa merugikan, tetapi kadang-kadang berakibat fatal. Sebab, kata Prof Mandang, mata sebagai alat indra penglihatan mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang, sekaligus juga perkembangan sosial anak.

Pada kasus-kasus tertentu, keterlambatan mengoreksi gangguan pada mata, bisa berakibat seumur hidup. Dalam hal ini Prof Mandang mengambil contoh masalah yang dikenal dengan mata malas (lazy eyes atau amblyopia). "Jika gangguan ini tidak segera dikoreksi atau baru diketahui sesudah usia 9-10 tahun, anak tidak akan tertolong seumur hidup," jelas Mandang tentang bahaya keterlambatan itu.

Artinya, salah satu mata tidak berfungsi dan seseorang harus menjalani sisa hidup mengandalkan mata yang sehat.

Mata malas merupakan gangguan yang terjadi pada masa perkembangan penglihatan. Karena ketajaman penglihatan berkurang, mata menjadi malas melakukan fungsinya. Saraf mata yang seharusnya berkembang, menjadi terhenti.

Prof Mandang menjelaskan, jika yang terjadi adalah gangguan hanya pada salah satu mata, besar kemungkinan orangtua tidak mengetahui adanya kelainan itu. "Sebab dengan hanya satu mata saja, orang bisa melakukan kegiatan dengan normal. Masalah baru datang kalau mata yang baik mengalami gangguan. Anak mulai mengeluh, barulah di sini akan ketahuan bahwa salah satu matanya sebenarnya malas melakukan fungsinya," kata Prof Mandang.

Dia mencontohkan anak yang mempunyai dua mata berkemampuan berbeda, yang satu 100 persen bagus, yang satunya lagi 50 persen. Karena dengan mata yang bagus saja sudah jelas, maka mata yang lain tidak difungsikan sebagaimana seharusnya. Akibatnya, mata yang kemampuannya cuma 50 persen itu semakin "ditinggalkan". Pada titik yang paling buruk, mata tersebut bisa tidak berfungsi sama sekali.

Bila selisih kemampuannya tidak sedemikian senjang, mata yang satu akan melakukan kompensasi. Yang bisa terjadi dalam hal ini adalah, mata cepat lelah (eyestrain). Contoh saja, mata kiri mempunyai kemampuan 80 persen, mata kanan 90 persen. Maka mata kanan yang lebih baik berusaha mengimbangi mata kiri, dengan akibat seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Bila mata malas segera dikoreksi, hasil yang diharapkan sangat besar. Dr Farida Sirlan menambahkan, faktor umur sangat mempengaruhi upaya perbaikan mata malas.

Pengobatan pada anak di bawah lima tahun, akan memberikan hasil yang baik. Lalu pada usia selanjutnya sampai tujuh tahun, hasilnya kurang memuaskan. Lebih dari umur tujuh tahun, demikian dr Farida, pengobatan akan memberi hasil yang agak mengecewakan.

Dalam upaya pengobatannya, lagi-lagi orangtua serta guru di sekolah sangat diharapkan bisa memberikan kerja sama. Sebab pengobatan mata malas ini bisa berjalan sampai setahun, membuat anak bisa menjadi bosan.

"Lazy eyes juga terjadi pada yang yang bermata juling yang tidak dikoreksi," kata Prof Mandang yang lalu mengingatkan orangtua yang mempunyai anak terlahir juling untuk melakukan upaya pengobatan.

Baru merasakan

Idealnya pemeriksaan mata harus dilakukan sedini mungkin, sama dengan pemeriksaan kesehatan lainnya. "Di sekolah-sekolah asing di Jakarta, anak usia play group sudah diperiksa matanya. Setiap tahun sebelum mulai sekolah, semua anak diwajibkan memeriksakan matanya," kata Prof Mandang yang juga konsultan pada salah satu klinik yang kliennya umumnya orang-orang asing.

Tidak demikian pada kebanyakan anak-anak Indonesia. Mereka baru diperiksakan matanya setelah timbul keluhan membaca atau melihat gambar di televisi. "Mungkin anak-anak itu-yang akhirnya harus memakai kacamata-sebenarnya sudah membutuhkannya sebelumnya. Tetapi karena masa balita tidak ada kebutuhan untuk membaca dan lain-lainnya, jadinya tidak terdeteksi," jelas Mandang.

Hal yang mirip sebenarnya terjadi pada anak-anak yang gemar bermain game. Korelasi antara permainan dengan terjadinya gangguan mata sejauh ini belum bisa dibuktikan. Yang sudah jelas adalah, anak yang doyan bermain game sementara ada gangguan pada matanya, akan mengeluh karena cepat lelah, pusing, dan sebagainya. "Play station misalnya, bukan penyebab, tetapi permainan itu mempercepat rasa lelah. Karena anak yang seharusnya memakai kacamata tidak memakainya, otomatis dia mengalami gangguan-gangguan waktu memainkan permainan itu. Ini yang biasanya lalu lebih cepat ketahuan," katanya.

Tidak heran kalau di sekolah-sekolah dasar di Jakarta umpamanya, ada kecenderungan makin banyak murid-murid SD memakai kacamata. Ditopang dengan kemampuan ekonomi yang memadai dengan pengetahuan tentang pentingnya pemeliharaan mata, anak-anak kecil yang memakai kacamata tampak semakin banyak.

"Tidak bisa dibilang ada pertambahan karena pola kebiasaan yang berubah. Dari dulu sebenarnya cukup banyak orang yang membutuhkan kacamata, termasuk anak-anak," kata Mandang.

Dari survei 1993-1996, diketahui 22,1 persen orang Indonesia membutuhkan kacamata, lima persen di antaranya adalah anak-anak.

Dari jumlah kebutuhan ini, data lain menunjukkan hal yang sangat memprihatinkan. Tahun 1982, misalnya, baru lima persen saja dari mereka yang seharusnya menggunakan kacamata, bisa memenuhinya. Bahkan sampai tahun 1996-1998 kenaikan yang terjadi relatif kecil, baru 7,5 persen dari kebutuhan.

Dengan data ini, bisa disimpulkan, lebih banyak orang Indonesia yang tidak berkacamata, padahal seharusnya mereka membutuhkannya, termasuk anak-anak.

Perkembangan penglihatan

Dr Farida Sirlan menjelaskan, penglihatan anak berkembang secara bertahap. Secara normal, pada bayi yang baru lahir ke dunia, sampai usia empat minggu, mereka hanya dapat membedakan terang dan gelap. Hal ini tampak bila bayi anak terkena sinar akan segera mengedip. Ketika usia bayi bertambah, sampai umur tiga bulan, kedua matanya mulai berfungsi bersamaan. Dalam fase ini dia sudah bisa mengikuti gerakan benda-benda di dekatnya.

Berikutnya sampai sekitar umur enam bulan, perkembangan matanya ditandai dengan kemampuan memperhatikan benda-benda dalam jarak jangkauannya dan dia selalu berusaha menyentuh benda tersebut.

Perkembangan penglihatan berjalan dengan pesat setelah bayi berumur enam bulan sampai dua tahun. Di sini tajam penglihatannya menuju ke tajam penglihatan optimal.

Untuk mencapai perkembangan penglihatan normal, demikian Farida, dibutuhkan rangsangan visual yang terus-menerus pada daerah selaput jala mata (retina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar