Bila kita berbicara tentang diskriminasi gender, yang terbersit di benak kita adalah bentuk perlakuan yang tidak adil terhadap kaum wanita. Padahal istilah gender sendiri melingkupi kaum wanita dan pria. Ataukah hal ini juga dapat dikatakan sebagai perlakuan diskriminatif baru bagi kaum pria ? Anyway, tulisan ini tidak akan memperdebatkan masalah itu, tetapi akan mencoba melihat diskriminasi gender dari sisi psikologinya.
Sebenarnya sadar atau tidak sadar kita semua pernah atau selalu mengalami perlakuan yang diskriminatif. Sebelum kita lahir,atas jasa kemajuan teknologi maka orang tua kita telah dapat mengetahui jenis kelamin kita, sehingga meskipun belum lahir pun kita telah mengalami bentuk diskriminasi. Bila ortu kita kebetulan tidak begitu berharap atas jenis kelamin kita ada sebagian ortu yang istilahnya ogah-ogahan mengandung kita. Dari penyiapan pakaian pun kita sudah dibedakan sejak kita bayi. Juga dalam hal mainan, anak cowok misalnya diberi mainan mobil-mobilan, pesawat, pistol, bola, dsb, sementara anak cewek diberi mainan boneka, alat masak-memasak, dsb. Sebenarnya perlakuan tersebut secara sepintas memang positif demi perkembangan kepribadian anak dalam menentukan sex groupnya. Tetapi akan berakibat tidak baik bagi perkembangan pengetahuannya bila anak tersebut terlalu diisolir dari dunia lawan jenisnya. Yang terpenting disini adalah bagaimana orang tua dapat memberikan pengertian mengenai batasan kewajaran dari tingkah laku anak-anaknya.
Menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, aktifitas, dsb. Seorang pemuda misalnya akan dianggap aneh bila rambutnya panjang sebahu, memakai anting, kalung dan cincin emas. Atau sebaliknya seorang remaja putri terlihat nyleneh kalau rambutnya dipotong cepak, memakai jeans dan jaket belel dan berlobang-lobang plus mengendarai motor tiger 2000.
Dalam pilihan warna dan motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya "halal" dipakai oleh remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang cowok lazimnya harus mahir dalam olah-raga, ketrampilan teknik dan elektronika, dsb. Sebaliknya cewek harus bisa memasak, menjahit dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olah raga aspek afektifnya juga telah mengalami diskriminasi tersendiri. Seorang cewek akan dianggap aneh bila hobinya menonton siaran langsung sepak bola sampai dini hari, atau hobi sekali membaca tabloid atau majalah olahraga dan otomotif.
Dalam dunia entertainment, seorang cowok akan dianggap banci bila suka menonton film-film romantis, dramatis, sinetron atau telenovela. Sebaliknya cewek tidak wajar bila suka menonton film-film laga, detektif, polisi atau bahkan film horor. Yang sangat melecehkan remaja cowok adalah adanya sementara anggapan publik bahwa remaja yang suka nonton film-film pornografi dan sejenisnya, tawuran, penyalahgunaan narkoba, pokoknya yang jelek-jelek hanya dilakukan oleh cowok saja.
Memasuki usia dewasa perlakuan diskriminatif trrah pad karier dan jabatan. Bidang teknik, pertambangan dan konstruksi misalnya menjadi monopoli laki-laki saja. Sedangkan sekretaris, public relation, teler bank, suster manjadi hak wanita. dalam lapangan kerja tingkat rendah misalnya, supir, kernet, kuli bangunan,montir bengkel menjadi milik pria. Sebaliknya penjaga/pelayan warung, baby sitter, pembantu, penjual jamu menjadi hak wanita. Dalam batasan usia perkawinan ada pembedaan batas minimal dan maksimal antara kaum oria dan wanita. Seorang pria yang menjaka sampai usia kepala tiga pun masih dianggap wajar-wajar saja, sedangkan seorang wanita yang berusia sama bila belum menikah dianggap perawan tua, tidak laku dsb. Aspek karier/jabatan puncak juga tak lepas dari diskriminasi. Presiden, perdana menteri,direktur perusahaan masih milik pria. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat juga ada perlakuan diskriminasi. Kenapa misalnya ada hari Kartini tetapi tidak ada hari Kartono misalnya? Ada hari Ibu tidak ada Hari Bapak ? Kenapa nama warung bakso,sate, bubur ayam selalu memakai nama Pak Kumis sedangkan sebenarnya yang sibuk memasak adalah Bu Kumis ?
Dari segi tata bahasa kenapa ada kata Ibu jari, Ibu Kota, Ibu Pertiwi tetapi tidak ada Bapak jari, Bapak Kota, dan Bapak pertiwi? Ini bukan lelucon lho.
Dari uraian di atas memang ada yang bernilai positif dalam arti demi kebaikan jenis kelamin tertentu, ada juga yang bersifat ketidak adilan bagi jenis kelamin tertentu. Tentu saja suatu perlakuan dianggap diskriminatif atau tidak adalah sesuai dengan batas kewajaran yang berlaku dalam masing-masing budaya dimana kita tinggal. oleh karena itu harapan penulis, andalah yang dapat menentukan mana yang positif, mana yang negatif, mana yang wajar atau tidak wajar sesuai dengan norma yang anda anut. Jangan sekali-kali meniru begitu saja bentuk emansipasi yang berdasarkan norma atau budaya yang jauh berbeda dengan budaya kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar