Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 12 November 2010

EXCUSITIS: "PENYAKIT" BELA DIRI

Membela diri secara berlebihan, itulah ciri khas pengidap kelainan excusitis. Pembelaan diri akan semakin menonjol saat ia menemui suatu kegagalan. Setiap kali gagal, berbagai alasan ia kemukakan untuk menutupi kekurangannya. Kalau gagal dalam ujian, umpamanya, penderita akan langsung memberikan berbagai alasan, misalnya dengan mengatakan, "Saat itu saya lagi nggak enak badan. Malam sebelumnya saya juga nggak bisa tidur. Kepala saya nyut-nyut-an saat mengerjakan soal." Padahal dalam kenyataan ia sehat-sehat saja.

Pada dasarnya kita memang cenderung memberikan alasan bila gagal mengerjakan sesuatu, dan itu wajar. Tetapi para penderita excusitis cenderung mendramatisasi keadaan dan selalu mencari-cari alasan. Bahkan, pada tingkat yang parah, sebelum orang bertanya, ia sudah sibuk memberikan berbagai pernyataan untuk membela diri.

Kenyataan kelainan ini memang lebih banyak menimpa mereka yang gagal dalam karier, jarang sekali pada orang yang sukses. Contohnya, almarhum Presiden AS John F. Kennedy. Walaupun ia Presiden AS termuda, ia tidak pernah merasa terlalu muda untuk menjadi presiden. Atau presiden AS Eisenhower, tidak pernah berdalih ataupun memperkarakan gangguan pada jantungnya yang kian parah. Eisenhower tetap bergerak aktif di bidang politik. Ia lebih memilih menjadi pemenang sejarah daripada terus memperkarakan penyakitnya.

Sebaliknya, seorang loser (pecundang), dalam memberikan alasan atas kegagalannya terkesan dibuat-buat dan tidak konsisten. Misalnya, "Habis, saya masih terlalu muda sih!", "Soalnya, saya ini sakit-sakitan", "Coba kalau orangtuaku kaya, pasti ...", "Yah, namanya juga nasib", dll. Jadi, selalu mencari kambing hitam, seolah-olah ia tak berdaya lagi untuk mencetak kesuksesan. Alasan kesehatan atau penyakit paling sering dikemukakan. Malah terkadang ditambah penyakitnya perlu segera diobati, kalau tidak akan semakin parah dan tidak tersembuhkan.

Kelainan excusitis ini muncul dalam berbagai bentuk, yang cukup serius adalah excusitis kesehatan, kecerdasan, usia, dan excusitis nasib. Cara mengenal kelainan ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Kalau dalam sehari kita menemui seseorang yang terus-menerus memberikan berbagai alasan atau pembelaan diri atas kegagalannya, kemungkinan besar ia seorang pengidap kelainan psikologis itu.

Sehat tapi sakit

Bila seseorang berulang kali menyatakan, "Maaf, saya lagi nggak enak badan" saat diajak untuk melakukan sesuatu, sangat mungkin ia menderita excusitis yang bisa berkembang menjadi hipokondriak (selalu merasa sakit padahal sehat). Akibatnya, ia sering mendatangi dokter karena selalu merasa dirinya sakit. Padahal saat diperiksa tak satu pun penyakit yang terdeteksi. Bila satu dokter gagal menemukan penyakitnya, ia akan berlari ke dokter lain yang menyatakan dirinya memang sakit.

Penderita hipokondriak akhirnya akan dijauhi teman serta kerabatnya karena orang bosan mendengar setiap kali ia mengeluh sakit, entah jantungnya sering deg-degan, perutnya sering mulas, kepalanya setiap hari pusing, pilek tidak sembuh-sembuh, dll. Ia menjadi manusia yang terlalu mengasihani diri sendiri, seolah-olah tidak berdaya dan ingin selalu mencari perhatian orang.

Pada excusitis kecerdasan, penderita selalu merasa dirinya "bodoh", padahal sebenarnya tidak. Tetapi perasaan bahwa dirinya bodoh ini terus disembunyikan (karena sebenarnya tidak ada orang yang senang dianggap bodoh). Perasaan terpendam ini akan berbahaya kalau terus menerus dia yakini. Perasaan seperti ini mungkin timbul karena penderita terlalu meremehkan kemampuannya, dan selalu menganggap intelegensi orang lain lebih tinggi daripada dirinya. Dengan kata lain orang ini minder dan tidak percaya diri.

Padahal sebenarnya, siapa pun dapat berusaha mengenal dirinya dengan menggali bakat dan potensi diri. Dengan demikian kita akan merasa dihargai. Penderita hendaknya berhenti selalu menilai intelegensi orang lain lebih tinggi. Perlu diyakinkan, setiap manusia mempunyai potensi dan bakat tersendiri, asalkan dibarengi ketekunan dan usaha keras.

Pada kelainan excusitis usia, penderita akan selalu mengatakan dirinya sudah tua atau terlalu muda untuk melakukan sesuatu. Seorang penderita kira-kira akan mengatakan, "Kalau saja saya masih muda, tentu jabatan manajer dapat saya peroleh. Mana mungkin setua saya dapat menandingi yang muda." Padahal walaupun sudah di atas 50 tahun, seseorang masih bisa naik ke jenjang tingkat manajer kalau memang ia berusaha dan berpotensi. Di sini alasan usia dikemukakan untuk menutupi kekurangan pada dirinya.

Sebaliknya, penderita excusitis muda kira-kira akan mengatakan, "Saya 'kan masih terlalu muda untuk jadi bos saat ini. Nanti sajalah kalau sudah siap." Di sini si penderita menutup diri terhadap kesempatan lantaran merasa tidak berani atau tidak mampu.

Paling parah kalau seseorang menganggap kegagalannya sudah merupakan nasib hidupnya. Ketika cita-cita yang diimpikan tidak tercapai, ia akan langsung menyalahkan nasib dan bahkan menyalahkan Tuhan. Gara-gara ia selalu menggantungkan diri pada nasib, dalam segala hal ia tidak mau berusaha keras alias santai. Ia menjadi tipe manusia yang loyo tanpa gairah hidup.

Seorang penderita excusitis nasib kira-kira akan mengatakan pada teman yang sukses demikian, "Selamat ya, kamu memang selalu beruntung. Nasibmu baik, tidak seperti saya."

Untuk menyembuhkan kelainan psikologis yang menghambat pergaulan hidup dan karier ini antara lain bisa dilakukan dengan dengan terus menyadarkannya (lewat bimbingan psikolog atau psikiater) bahwa keberhasilan seseorang lebih banyak tergantung pada keinginannya untuk terus maju.

MEMBELA DIRI TAK SELALU SALAH

Istilah excusitis merupakan rangkaian kata baru dari excuse dan "-itis". Padahal bahasa ilmunya disebut neologisme (neologism). Dalam istilah kedokteran imbuhan "-itis" banyak digunakan untuk menunjukkan suatu peradangan seperti meningitis, neuritis, dll. Jadi, sebenarnya tidak tepat kalau istilah "-itis" digunakan untuk menyatakan kelainan pada orang yang kegemarannya mencari alasan. Akan lebih tepat kelainan itu disebut the disease of making excuses (mal d'excuse).

Orang yang mencari alasan atas kegagalannya sampai pada taraf tertentu masih bisa diterima. Karena ini merupakan satu pembelaaan atau defense mechanism (mekanisme pertahanan). Sampai taraf tertentu menunjukkan proses kejiwaan demi tercapainya suatu keseimbangan dan kematangan jiwa seseorang agar tidak sampai terpuruk (mental breakdown).

Dalam membicarakan kelainan ini kita tidak bisa beranjak dari peninjauan segi ilmu kedokteran jiwa lintas budaya. Ilmu ini memandang dari segi budaya tentang apa saja yang bisa mempengaruhi dan berinteraksi pada si pasien sehingga tercetus suatu gangguan atau kelainan. Contohnya, ada kelompok masyarakat yang merasa malu bila sesuatu menimpa pada mereka. Untuk itu perlu diupayakan, pengubahan struktur keluarga agar terhindar dari rasa malu yang lebih besar. Misalnya, dengan mengusir salah satu anggota keluarga.

Kelainan excusitis kesehatan, kecerdasan, usia, atau pun nasib, sebenarnya mempunyai ciri yang sama yakni mencari alasan untuk dapat dimaafkan atau diterima bila terdapat kekurangan dalam kinerjanya. Sampai suatu taraf tertentu, agar tidak hilang muka, pada umumnya orang bersikap demikian masih dapat diterima (permissible). Namun, sudah barang tentu sampai batas abnormal, perlu diteliti lagi.

Pengidap excusitis sebenarnya bukan pecundang atau loser, tapi lebih pada upaya mencari alasan guna mencari keseimbangan dalam konstelasi kejiwaannya agar tidak rapuh atau terpuruk. Sekali lagi di sini menunjukkan suatu mekanisme pertahanan yang disebut behavioural science(ilmu perilaku).

Penghindaran (avoidance) ini diperbolehkan dalam psiko-dinamika orang tertentu agar mereka tetap dapat survive. Dengan mekanisme pertahanan tersebut orang dapat melanjutkan hidupnya serta keseimbangan jiwanya agar hidup lebih damai dan berkarya sesuai dengan harapan pada dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar