JIKA Anda sering lupa-nama orang, benda, tempat, kejadian, bahkan pada apa yang baru Anda katakan-hati-hati, bisa jadi itu merupakan tanda awal demensia yang bisa berlanjut pada Alzheimer.
Demensia atau kepikunan bukan penyakit, melainkan gejala yang ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan fungsi kognitif serta perubahan perilaku/kepribadian. Kepikunan sering dianggap normal pada orang lanjut usia seiring proses menuanya otak. Tetapi jika gejala ini timbul pada orang setengah baya dan menyebabkan ketergantungan pada orang lain, perlu dicurigai sesuatu telah terjadi pada otak.
Secara garis besar kelainan otak dibagi menjadi dua jenis. Gangguan pada jaringan otak (subkortikal) yang disebabkan gangguan peredaran darah otak atau stroke serta gangguan pada kulit otak (kortikal) yang disebabkan penyakit Alzheimer. Di Amerika dan Eropa, penyakit ini menjadi momok, karena merupakan pembunuh keempat setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke.
Mantan Presiden AS Ronald Reagan (88) yang mengumumkan dirinya terkena Alzheimer bulan November 1994, kini sudah sampai tahap tak mengenali orang lain kecuali istrinya, Nancy.
***
UNTUK mengantisipasi penyakit Alzheimer dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia-tahun 2000 diperkirakan akan mencapai 15,6 juta jiwa-kelompok studi fungsi luhur Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) menyelenggarakan seminar awam "Permasalahan Mudah Lupa Sampai Kepikunan Alzheimer", 18 Juli lalu. Sehari sebelumnya diselenggarakan simposium untuk dokter.
Pembicara dalam seminar adalah Prof dr Sidiarto Kusumoputro SpS(K) dan dr Lily Sidiarto SpS(K) dari Bagian Neurologi FKUI/RSCM, dr Syafruddin Yunus SpS(K) dari Bagian Neurologi FK Universitas Sriwijaya/RS M Hoesin, serta dr Troeboes Poerwadi SpS(K) Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Airlangga/RS Dr Soetomo.
Mudah lupa sebenarnya fenomena biasa pada orang tua. Sejalan dengan pertambahan usia, otak akan kehilangan puluhan ribu selnya dan beratnya pun berkurang. Penciutan permukaan otak (korteks) akan terjadi di bagian temporal (pelipis) dan frontalis (depan) yang berfungsi sebagai pusat daya ingat. Perubahan struktur anatomi otak itu akan diikuti gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat. Sehingga orang tua mengalami gejala mudah lupa (forgetfulness).
Mudah lupa dianggap wajar jika yang bersangkutan masih bisa mengingat lagi nama benda atau orang jika dibantu dengan menyebut suku kata depannya, bisa mengenali jika disebutkan deretan nama atau dijabarkan bentuk dan fungsinya. Atau sekali waktu lupa, lain kali ingat lagi serta masih bisa hidup mandiri secara normal.
Hasil penelitian dari Mayo Clinic, AS, yang dipublikasikan di Archives of Neurology Maret 1999 menunjukkan, ada kelompok penderita yang mengalami gangguan daya ingat di bawah normal umurnya, tetapi tak menderita Alzheimer. Kelompok ini disebut sebagai mild cognitive impairment (MCI). Diperkirakan di AS terdapat empat juta penderita Alzheimer dan 2,7 juta penderita MCI.
Penderita MCI terutama
mengalami gangguan memori jangka pendek, tetapi masih mampu berpikir, memahami dan membuat keputusan serta masih hidup normal. Namun perlu diperhatikan, MCI merupakan fase transisi gangguan memori fisiologis dengan patologis. Risiko orang MCI menjadi Alzheimer 12 kali lebih tinggi daripada orang normal.
***
ALZHEIMER, yang sampai kini belum diketahui pasti penyebabnya didefinisikan sebagai kemunduran daya ingat dan penurunan fungsi luhur (neurobehavioral) seperti gangguan bahasa, persepsi, orientasi, emosi, serta gangguan kognisi atau intelektual secara progresif, sehingga akhirnya penderita tak bisa meninggalkan tempat tidur sampai meninggal.
Oleh karenanya perlu diwaspadai jika orang mulai sering lupa, saat bicara artikulasi dan kelancarannya berkurang, sering mengulang, salah mengerti, sulit mengikuti pembicaraan. Pada fase lanjut, bicara mulai tak teratur, kehilangan keterampilan, misalnya tak bisa memegang sesuatu, tak mampu berpakaian, walau tak lumpuh. Penderita mulai tak mengenal orang dan lingkungan, seringkali kepribadiannya berubah, misalnya menjadi apatis, mudah tersinggung.
Umumnya perjalanan penyakit Alzheimer dari keluhan dan gejala samar pada stadium pertama sampai penderita meninggal makan waktu sekitar tujuh tahun. Namun ada yang bertahan sampai 10 tahun lebih.
Alzheimer tak dapat disembuhkan, tetapi dapat diperlambat keparahannya dengan pemberian obat seperti vitamin E, donepezil. Karena itu gejalanya perlu dideteksi secara dini agar cepat ditanggulangi.
Pemberian asuhan (caregiving) penderita demensia sebagian besar bisa dilakukan di rumah. Perlu kesiapan mental keluarga untuk menghadapi akibat kemunduran yang terjadi. Kunci penanganan pada proses kemunduran difokuskan pada apa yang masih bisa dilakukan dan dinikmati penderita. Dengan demikian kemunduran bisa diperlambat. (atk)
Teruslah Berpikir Agar Tak Pikun
Pikun akibat rusaknya jaringan otak bisa dicegah dengan banyak membaca.
NAMANYA indah: demensia. Tapi "sengatannya" sangat berbahaya: merusak jaringan otak. Akibatnya: pikun. Dan penyembuhannya sungguh mahal. Di Indonesia hanya tersedia satu obat untuk mengatasi kerusakan daya intelektual yang disebabkan rusaknya jaringan otak itu. Obat itu pun, Aricept namanya, berharga Rp 30 ribu-Rp 60 ribu sebutir dan harus ditelan sekali sehari-itu pun tak menyembuhkan, hanya mencegah kerusakan lebih parah.
Bukan hanya mahal, demensia juga mengancam nyawa seseorang. Ancaman paling besar adalah datangnya alzheimer, salah satu jenis demensia yang jumlah penderitanya sekitar 60 persen, terbanyak dari jenis itu. Catatan statistik penyakit ini memang tidak ada di Indonesia. Namun, di Amerika Serikat dan Eropa, alzheimer adalah penyebab kematian keempat setelah jantung, kanker, dan stroke. Tak mengherankan bila negara-negara makmur itu melakukan banyak penelitian tentang alzheimer. Menurut penelitian terbaru, demensia ternyata bisa dicegah dengan cara yang mudah dan sederhana: tetap berpikir. Hal itu, seperti ditulis Reuters Health, dibuktikan oleh Dr. C. Edward Coffey dari Henry Ford Health System.
Demensia adalah penyakit yang banyak menyerang orang berusia lanjut-makin tua makin besar kemungkinan terserang demensia. Penyebabnya adalah berubahnya struktur otak karena beberapa kondisi. Ada demensia akibat penurunan kualitas sel otak, rusaknya sistem pembuluh darah (stroke), racun, benturan, dan infeksi. Tapi yang paling sering menyerang adalah alzheimer, dementia lewy bodies (DLB), pick's dementia, dan vascular dementia. Tiga yang pertama terjadi akibat turunnya kualitas sel otak dan yang terakhir diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah.
Pada penderita demensia, terjadi gangguan fungsi intelektualnya, termasuk pula kemampuan mengingat, terutama ingatan jangka pendek. Penderita demensia juga sulit berpikir abstrak, sukar mengolah informasi baru atau mengatasi persoalan. Kepribadian seorang penderita demensia, misalnya respons emosionalnya, juga bisa berubah. Dalam beberapa kasus alzheimer, gejala itu bisa menjadi kronis dan progresif sehingga penderita kehilangan seluruh kemampuan intelektualnya.
Menurut penelitian Coffey, pendidikan bisa menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengompensasi perubahan otak. Hal itu dibuktikannya dengan meneliti struktur otak 320 orang berusia 66 tahun sampai 90 tahun yang tak terkena demensia. Yang ditelitinya adalah volume cairan otak yang disebut cerebrospinal fluid (CSF). Coffey menemukan, semakin banyak pendidikan yang dikenyam seseorang, makin besar pula CSF yang dimilikinya. Ia juga membuktikan, orang yang punya umur sama, jenis kelamin dan ukuran tempurung otak sama, ternyata bisa berbeda volume CSF-nya kalau masa sekolahnya berbeda. "Yang bersekolah selama 16 tahun, volume CSF-nya 8-10 persen lebih besar dibandingkan dengan mereka yang cuma empat tahun," kata Coffey.
Ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, juga sependapat. "Orang-orang yang sudah berusia 90 tahun otaknya bisa masih cemerlang karena dipakai terus. Sebaliknya, orang yang baru berusia 50 tahun, pensiun, menganggur, enggak melakukan apa-apa, dan depresi, otaknya akan menyusut. Itu karena jalur-jalur jaringan sel otaknya enggak terpakai lagi," kata Mahar.
Penjelasannya kurang lebih begini. Sel-sel otak itu saling berhubungan sehingga bila otak sering dipergunakan untuk berpikir, akan terjadi semacam aliran listrik. Makin sering berpikir, hubungan antarsel akan makin banyak. Sebaliknya, jika tidak dipakai berpikir, hubungan antarsel bisa rusak. "Makin banyak kita belajar, hubungan antarsel itu makin rimbun. Makin rimbun, kalau kena demensia alzheimer, relatif akan sedikit yang terkena ketimbang orang yang tidak rimbun selnya. Jadi, masih banyak hubungan antarsel yang masih bisa berlangsung," kata Prof. Dr. Sidiarto Kusumoputro, neurolog FKUI-RSCM.
Penelitian Coffey dengan demikian memperkuat keyakinan para dokter bahwa kemungkinan menderita demensia pada orang yang banyak belajar lebih kecil dibandingkan dengan yang malas belajar dan mandek belajar. Sidiarto bahkan yakin, dengan aktivitas pun demensia bisa dicegah. "Enggak usah dengan pendidikan, yang artinya harus sekolah lagi. Aktivitas pun bisa, misalnya baca-baca buku atau majalah. Kalau sudah pensiun, ya, bekerja di LSM, nonton televisi. Pokoknya, enggak diam saja, leha-leha terus." Nah, ingatlah, semakin banyak leha-leha, itu berarti Anda semakin cepat pikun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar