Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 12 November 2010

Disiplin Tidak Sama dengan Kekerasan



Dulu, ketika Ny Lisa masih kecil, dia selalu diikat oleh ibunya di tiang rumah jika bertengkar dengan adiknya. Lisa kecil juga sering tidak diperbolehkan makan jika dia menolak tidur siang. Sekarang, Lisa melakukan hal yang sama terhadap putrinya, Cika (4), jika putrinya nakal atau tidak disiplin.Pengalaman kekerasan yang dialami Lisa, tidak menjadi monopoli keluarga Lisa saja.

Suasana masa kecil yang sangat keras, ayah mendidik dengan kejam, ibu yang galak luar biasa, juga diderita oleh banyak anak-anak. Namun, ketika anak-anak itu dewasa dan menjadi orangtua, mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. "Sebenarnya saya tidak senang dengan keadaan ini. Saya sangat menderita ketika diikat dan tidak diperbolehkan makan. Namun ketika anak saya nakal, saya mengulang apa yang dilakukan ibu saya. Padahal saya tahu, hal itu membuat anak saya sedih dan menderita. Bagaimana lagi, saya tidak punya bayangan untuk melakukan hal yang lain," keluh Lisa.

***

"Pengulangan yang dilakukan Lisa sebenarnya bisa dimengerti karena Lisa hanya mengenal satu cara untuk mengajarkan disiplin, yakni dengan kekerasan. Namun sekarang, cara itu sudah tidak cocok lagi. Menerapkan disiplin tidak sama dengan menerapkan kekerasan," tegas Kristi Poerwandari, psikolog Universitas Indonesia (UI) dan aktivis Yayasan Pulih, Lembaga Prevensi dan Intervensi Trauma.

Penegasan Kristi itu disampaikan dalam seminar sehari bertema "Hak Anak dan Kekerasan pada Anak", yang diselenggarakan di TK Marsudirini, beberapa waktu lalu. Tampil sebagai pembicara juga adalah Dr Sulistyowati Irianto, staf pengajar Fakultas Hukum UI dan Program Kajian Wanita UI.

Kristi memaklumi orangtua mengalami dilema dalam mendidik anak. Di satu sisi, orangtua menyadari anak memerlukan kasih sayang, perhatian, dukungan agar tumbuh bahagia, mencintai keluarga dan diri sendiri. Di sisi lain, anak perlu dilatih mandiri, berdisiplin, agar kuat dan berhasil menghadapi hidup. Namun untuk mewujudkan itu, orangtua mengalami kesulitan karena orangtua hanya mengenal satu cara yakni kekerasan untuk mendidik.

Selain itu karakteristik keluarga sekarang adalah ayah-ibu bekerja. Ketika mereka sampai di rumah dalam keadaan lelah, dan melihat anak-anaknya tidak disiplin, satu-satunya cara yang ada di kepala mereka adalah marah. Jika sudah marah, maka mereka akan melakukan kekerasan pada anak.

Kekerasan yang dilakukan pada anak bermacam-macam. Ada yang mencubit, memukul, menampar, menendang, menyakiti dengan tangan kosong ataupun dengan bantuan alat. Ada juga kekerasan psikologis atau mental seperti mengancam, merendahkan, menghina, menuduh, membanding-bandingkan, memperlakukan berbeda, tidak bersedia mendengarkan penjelasan anak, dan sebagainya.

Ada kalanya orangtua me-nyalahgunakan anak dengan menjadikan anak sebagai "senjata" pertempuran suami-istri, anak-anak diberi tanggung jawab yang terlalu berat untuk usianya. Selain itu ada juga dimensi kekerasan-kekerasan lain yang bisa menimpa anak antara lain, kekersan seksual, menelantarkan, sengaja tidak memenuhi kebutuhan dasar anak, atau mengasingkan anak.

Pola hubungan suami-istri secara langsung maupun tidak langsung juga mempunyai pengaruh pada tumbuh kembang anak. Meski anak tidak mengalami kekerasan, tetapi adanya kekerasan dalam hubungan suami-istri dapat menumbuh-kan konsepsi buruk tentang hidup dan diri.

Kekerasan terhadap anak, selain tidak mendidik anak, juga melanggar hak-hak anak yang tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak 1989, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Kepres No 36 Tahun 1990. Dan Deklarasi Dunia 1990 tentang Pendidikan untuk Semua.

Menurut Sulistyowati, dengan adanya kedua instrumen hukum perlindungan terhadap anak, maka anak memiliki hak untuk hidup yang layak, hak untuk berkembang, hak untuk dilindungi, Hak untuk berperan serta, hak anak untuk menolak menjadi pekerja anak, dan hak untuk memperoleh pendidikan.

Sementara unsur-unsur pokok dalam Deklarasi tentang Pendidikan untuk Semua mengatakan, bahwa setiap anak harus mendapatkan kemudahan terhadap pendidikan dasar, tanpa melihat jenis kelamin, agama, ras, status ekonomi, lokasi geografis dan sebagainya. Kualitas pendidikan harus relevan dan berguna bagi kehidupan manusia.

Kesadaran orangtua dan masyarakat akan pentingnya pendidikan juga harus ditingkatkan. Semua potensi masyarakat harus dikerahkan agar dapat membawa perubahan pada sistem pendidikan. Dengan begitu akan merangsang tumbuhnya lingkungan belajar untuk anak-anak.

***

Lalu bagaimana caranya agar orangtua tidak melakukan kekerasan terhadap anak? "Tempatkan diri Anda sebagai seorang anak," tegas Kristi. Bayangkan apa yang dirasakan anak bila memiliki ayah-ibu yang selalu bertengkar, bahkan salah satu sering menghina dan memukul pasangannya.

"Dalam situasi demikian, apa yang mungkin terjadi pada anak? Apa yang mungkin dilakukannya di rumah atau dalam pergaulannya sehari-hari? Penelitian dan pendampingan kasus menunjukkan, anak yang hidup dalam keluarga dengan kekerasan, sadar ataupun tidak, akan mengembangkan pola yang sama pada masa dewasanya," ujar Kristi.

Bila orangtua sungguh-sungguh menyayangi anak, ia akan menimbang secara saksama baik-buruk akibatnya sebelum melakukan sebuah tindakan. "Cobalah terbuka pada anak, jelaskan alasan setiap tindakan secara jelas dan sederhana. Jika orangtua melakukan kesalahan, jangan ragu untuk minta maaf. Kemudian, jika menyadari adanya masalah-masalah pribadi yang terkait dengan masa lalunya, atau terkait dengan relasinya pada pasangan, jangan ragu untuk minta bantuan atau pertolongan dari pihak lain agar masalah inti bisa diselesaikan dulu," tegas Kristi.

Sedangkan disiplin bisa diterapkan dengan cara memberikan tugas-tugas yang melatih kemandirian dan tanggung jawab. Anak-anak bisa diberi tugas rumah tangga yang ringan, sehingga tidak menyerahkan segala pekerjaan pada pembantu.

Janganlah anak hanya dibawa ke mal, tetapi bawalah mereka ke rumah kerabat, teman, tempat kumuh atau ke panti asuhan, untuk menumbuhkan kepedulian pada sesama. Tegurlah anak jika dia bersikap kasar atau merendahkan orang lain.

"Jangan selalu menuruti permintaan anak. Tegurlah dengan lembut jika anak melakukan kesalahan dan jelaskan alasannya. Semua peraturan yang Anda buat, harus dilakukan secara konsisten dan jelas. Namun tetap menyadari bahwa setiap pribadi adalah unik, memiliki keterbatasan dan potensi sendiri. Temukan itu dan tumbuhkanlah seoptimal mungkin. Kemudian dalam setiap tindakan, sampaikan pesan kami menyayangi tanpa syarat,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar