Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Jumat, 12 November 2010

DOKTER KELUARGA, PAYUNG DI KALA HUJAN

Barangkali banyak di antara kita yang masih bingung dengan pengertian dokter keluarga. Nyatanya, sampai sekarang layanan dokter keluarga ini belum memasyarakat, bahkan di kalangan para dokter istilah ini pun masih rancu. Sebagian menafsirkan bahwa dokter keluarga itulah yang menangani keluarga-keluarga atau pelanggannya adalah keluarga. Sementara sebagian lagi justru menganggapnya sebagai bentuk kelas baru di antara yang sudah dikenal sebelumnya, seperti dokter umum dan dokter spesialis.

Lantas, siapa sebenarnya yang disebut dokter keluarga? Mereka adalah dokter yang bertanggungjawab melaksanakan pelayanan kesehatan personal, terpadu, berkesinambungan, dan proaktif yang dibutuhkan oleh pasiennya dalam kaitan sebagai anggota dari satu unit keluarga, serta komunitas tempat pasien itu berada. Sifat pelayanannya meliputi peningkatan derajat kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), kuratif, dan rehabilitatif.

Bila berhadapan dengan suatu masalah khusus yang tak mampu ditanggulangi, dokter keluarga bertindak sebagai koordinator dalam merencanakan konsultasi atau rujukan yang diperlukan kepada dokter spesialis yang lebih sesuai. Dari pengertian ini terlihat jelas bahwa sifat dan layanan kesehatan dokter keluarga amat berbeda dengan dokter lain.

Definisi yang ditetapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 1982 di atas sesuai dengan pengertian dokter keluarga yang disepakati oleh The American Academic of General Practice, dan Singapore College of General Practice.

Berhati besar, tasnya kecil
Dari prinsip pokok yang dimiliki, pelayanan dokter keluarga di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Pada zaman penjajahan dulu sempat populer dengan sebutan huisarts. Konsep kerja sang dokter lebih mengutamakan pelayanan proaktif yang tidak sekadar menunggu pasien di kamar praktik, tapi juga mendatangi pasien di rumah.

Dalam film serial televisi yang pernah diputar di sini, Little House on the Prairie, digambarkan dengan jelas bagaimana dr. Baker rajin mengunjungi keluarga-keluarga yang menjadi pasiennya. Dia kenal secara dekat orang-orang di kawasan pelayanannya. Setiap pasien diperlakukan sebagai manusia, bukan sebuah kasus penyakit. Itulah sebabnya, hubungan dokter dengan pasien amat manusiawi.

Secara jenaka M.H. Somers dan R.A. Sommers dalam bukunya Doctors, Patient and Health Insurance (The Brooking Inst, Washington DC, 1970) menggambarkan simbol pelayanan kesehatan tempo doeloe sebagai the kindly old family doctor with big heart and little bag, part healer, part priest, and part family conselor.

Sayangnya, pelayanan kedokteran yang lebih personal, lebih efektif, dan efisien ini lambat laun menghilang dari khazanah pelayanan kesehatan di tanah air. Bahkan sejak sekitar tahun 1960-an mulai ditinggalkan. Mungkin, tinggal para kakek dan nenek kita saja yang sekarang masih ingat.
Perkembangan dunia kedokteran yang antara lain ditandai munculnya banyak spesialisasi dan sub-spesialisi, serta meningkatnya penggunaan berbagai peralatan kedokteran canggih yang tidak diikuti oleh penataan sub-sistem pelayanan kesehatan serta sub-sistem pembiayaan kesehatan agaknya menjadi penyebab terjadinya pergeseran itu. Belum lagi munculnya dampak negatif lain sebagai konsekuensi logis kemajuan ilmu kedokteran. Ribuan jenis obat paten berbagai merek bermunculan di pasar dengan harga yang tinggi. Dokter spesialis membuka praktik di rumah-rumah dengan tarif yang lumayan mahal.

Namun, menumpahkan kesalahan pada kedua faktor tadi juga tidak beralasan, mengingat keduanya merupakan simbol kemajuan dunia kedokteran di tanah air.

"Kalau mengacu pada gambaran Somers tadi, yang kita lihat sekarang ini ibaratnya bukan lagi seorang dokter berhati besar dengan tas kecil (a doctor with big heart and little bag). Melainkan justru sebaliknya, seorang dokter dengan hati kecil tapi tasnya besar," ujar Prof. DR. dr. Azrul Azwar, dirjen Binkesmas Depkes RI.

Menurut Azrul Azwar, hilangnya sentuhan pelayanan dokter keluarga agaknya berhubungan erat dengan menurunnya kualitas pelayanan dokter umum. Sementara kemampuan dan keterampilan diagnosis maupun terapi yang dimiliki para dokter spesialis dan sub-spesialis meningkat dengan amat cepat, pengetahuan dan keterampilan diagnosis dan terapi yang dimiliki dokter umum malah menurun. Begitu pula keterampilan tindakan medis seorang dokter umum jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan para koleganya yang spesialis atau sub-spesialis.

Dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan jika masyarakat kurang menghargai pelayanan dokter umum. Banyak anggota masyarakat, meski hanya menderita penyakit sederhana dan bersifat ringan langsung datang ke dokter spesialis. Baru mengidap congek saja sudah lari ke spesialis THT. Sementara yang merasa kulitnya gatal-gatal, buru-buru ke dokter spesialis kulit.

Fenomena yang lebih memprihatinkan banyak terjadi di kota-kota besar. Pasien datang dan pergi serta berpindah-pindah dari satu tangan dokter spesialis ke dokter spesialis lainnya. "Kalau sudah demikian pelayanan kedokteran akhirnya menjadi tidak utuh, terkotak-kotak, tidak berkesinambungan, tidak efisien, serta amat mahal," lanjut Azwar yang juga ketua umum Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), lembaga studi dokter keluarga yang didirikan pada 1981 di bawah naungan IDI.

Akibat dari semua itu posisi dokter umum terjepit. Pelayanan dokter umum yang mestinya berperan penting dalam menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang lebih terpadu, berkesinambungan, dan personal terkadang tidak diperhitungkan lagi. Yang lebih parah, dokter umum dianggap dokter kelas dua.

Kembalikan konsep dokter keluarga
Belakangan ini pemerintah berusaha mengembangkan kembali konsep pelayanan dokter keluarga. Caranya? Tentu saja bukan dengan melahirkan pelayanan kedokteran keluarga yang bersifat spesialistis, atau mewajibkan dokter spesialis menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga. Satu-satunya pilihan yang tepat untuk mengembangkan pelayanan kedokteran keluarga di Indonesia adalah dengan lebih memantapkan dan menyempurnakan pelayanan kedokteran umum.

"Kualifikasi dokter keluarga adalah dokter umum plus. Ini terlihat dari konsekuensi pelayanannya, yakni sebagai manager health care bagi pasiennya. Sebagai contoh, rekam medis yang dibuatnya berbeda dengan yang dilakukan dokter umum. Rekam medisnya ditujukan untuk perawatan yang berkesinambungan. Jadi rekam medis tidak hanya terjadi kala sakit, tetapi juga di saat sehat," jelas dr. Zunilda S. Bustami, MS, sekretaris jenderal KDKI.

Nilai plus seorang dokter keluarga juga ditandai oleh pendidikan lanjutan yang diperolehnya setelah menyandang gelar dokter umum. Terutama yang mencakup pelbagai cabang ilmu kedokteran yang bersifat spesialistis, meski sama sekali tidak diarahkan pada konsep multispesialis.

Kehendak untuk mengembalikan pelayanan dokter keluarga di Inggris telah dimulai sejak 1844, tetapi saat itu banyak mendapat tantangan. Baru kemudian pada 1952 praktik dokter keluarga ini mendapat pengakuan. Sementara pemerintah Australia secara resmi mengakui program ini pada 1973, yakni dengan mulai diselenggarakannya family medicine program.

Uniknya, negara tetangga dekat justru selangkah lebih dulu dalam menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga. Filipina memulai sejak 1960 namun secara lembaga baru dikenal pada 1972 seiring dengan berdirinya The Philipine Academy of Family Physicians. Sedangkan Singapura melaksanakannya sejak 1971.

Belum populernya pelayanan dokter keluarga di mata masyarakat antara lain juga karena tingkat pemahaman masyarakat tentang paradigma sehat yang dicanangkan pemerintah masih berbeda-beda. Padahal pengertian pemeliharaan kesehatan bukan pada waktu sakit saja. Melainkan justru pada upaya untuk mempertahankan kesehatan pada saat tidak sakit.

Memang pandangan ini masih banyak menimbulkan suara pro-kontra. Dari ilmu ekonomi, melakukan investasi bahkan intervensi pada orang sehat atau mereka yang tidak sakit dirasakan akan lebih cost-effective daripada intervensi terhadap orang yang jelas sudah sakit. Tapi pendapat ini tidak terlalu beralasan mengingat biaya menjadi peserta program dokter keluarga tidak terlalu besar.

Program menunju sehat
Lantas bagaimana bentuk layanan dokter keluarga? Bagaimana caranya kalau kita mau ikut sebagai peserta? Salah satu contohnya, adalah program layanan dokter keluarga dengan tema Program Kemitraan Menuju Sehat (PROMIS) yang dilakukan oleh sebuah klinik layanan kesehatan di Jakarta. Klinik ini memiliki beberapa dokter keluarga dengan daerah layanannya di Jakarta Selatan dan sekitarnya.

Dalam program layanannya, setiap peserta akan dibuatkan semacam rapor kesehatan, berupa rekam medis yang dirancang untuk menjamin pelayanan kesehatan berkesinambungan. Rapor kesehatan ini terdiri atas data kesehatan (health profile) dan data kesakitan (illness profile) peserta, termasuk riwayat kesehatan anggota keluarganya. Kedua data ini berguna untuk menilai, memantau, dan memberikan pelayanan kesehatan mulai dari bayi sampai manula.

Untuk menggali informasi ini, peserta diminta mengisi silsilah kesehatan keluarga. Mulai dari data kakek-nenek sampai saudara yang tinggal serumah. Ayahnya mengidap penyakit apa, atau memiliki alergi apa. Kalaupun mereka sudah meninggal, kasus meninggalnya disebabkan karena apa. Ini antara lain dimaksudkan untuk mengetahui adanya faktor risiko penyakit keturunan yang barangkali dimiliki si peserta. Kalau misalnya ayah dan kakak Anda ternyata meninggal karena penyakit jantung, upaya preventif yang akan ditempuh difokuskan pada pencegahan munculnya penyakit yang sama.

Sementara informasi tentang penyakit dan riwayat kesehatan calon peserta, bisa didapatkan melalui wawancara langsung dengan yang bersangkutan.

Setelah profil kesehatan keluarga dan peserta diidentifikasi, langkah berikutnya adalah menjalani intial health assessment (IHA), yaitu pengujian kesehatan awal yang lengkap dan sistematis, sesuai umur dan faktor risiko yang ada pada diri calon peserta. Profil awal ini berguna untuk merancang upaya penanganan kesehatan yang spesifik dengan kondisi peserta.

"Dengan rekam medis seperti ini, penanganan masalah kesehatan seseorang tidak akan tumpang tindih dan segala peristiwa yang terkait dengan kesehatan akan terdokumentasikan dengan baik," tambah dr. Zunilda.

Biaya pengganti kartu peserta cukup dibayar satu kali saat pendaftaran, sebesar Rp 25.000,- per peserta. Sementara ongkos IHA cukup dibayar sekali saat mendaftar. Jumlah nominalnya akan berbeda-beda antara peserta yang satu dengan yang lain, sesuai dengan usia. Kurang dari usia 10 tahun biayanya Rp 50.000,-, 11 - 20 tahun Rp 100.000,-, 21 - 45 tahun Rp 150.000,-, 46 - 55 tahun Rp 200.000,-, sedangkan di atas 55 tahun Rp 250.000,-.

Ongkos jasa dokter selama setahun harus dibayar di muka sebesar Rp 96.000,- per peserta. Dengan membayar biaya itu, peserta tidak perlu lagi membayar setiap kali berkonsultasi dengan dokter keluarga. Namun, jika peserta memerlukan spesialis, dokter keluarga akan merujuknya dan biaya untuk itu di luar biaya kepesertaan.

Menurut Dr. Azrul Azwar, idealnya seorang dokter keluarga mampu melayani sekitar 500 keluarga. Kalau diasumsikan satu keluarga terdiri dari empat jiwa, rasionya seorang dokter bisa melayani 2.000 jiwa. Dengan catatan sang dokter bekerja full-time, hanya memusatkan perhatiannya pada pasien yang menjadi mitra pantauannya. Perbandingan ini berdasarkan asumsi bahwa baik kunjungan maupun komunikasi antardokter dan pasien dilakukan bila dirasa perlu dan tidak saban hari. Meskipun tidak tertutup kemungkinan pasien bisa menghubungi dokter kapan saja jika ada masalah.

Nggak apa-apa kok ditelepon
Dari pengalaman selama ini, secara psikologis masih ada sebagian masyarakat yang belum begitu siap dengan pendekatan proaktif dokter keluarganya. "Ada kalanya ketika saya menelepon ke rumah seorang pasien, dia malah kaget dan terkesan kurang siap. Mungkin saja dalam hatinya timbul pertanyaan, 'Nggak ada apa-apa kok ditelepon'. Padahal saya sekadar menanyakan perkembangan kesehatannya sebagai upaya pemantauan rutin paling tidak per 2 - 3 bulan jika pasien tak punya masalah," demikian pengakuan dr. Susi Oktowati Rinaldi yang tengah merintis layanan dokter keluarga di kompleks BDN, Sawangan, Bogor.

Di lain pihak pada kondisi tertentu, pendekatan ini sering justru secara psikologis berdampak besar. Ada pasien yang baru mendengar atau dikunjungi dokternya saja sudah merasa separuh sembuh.

Sebaliknya, untuk dokternya sendiri, baru dua menit pasien masuk ruang praktiknya, ia sudah dapat "membaca" kondisi pasien pegangannya. Sehingga, tanpa banyak menyita waktu, pengobatan dapat segera dilakukan. Tapi jika pasien ingin bertanya lebih banyak, tanpa sungkan-sungkan pasien dapat bertanya. Dokter keluarga selalu stand by selama 24 jam. Ia bisa dihubungi, kapan saja pasiennya membutuhkan.

Tetapi hal itu tidak membuat dokter terpaku di tempat praktik dan tidak bisa ke mana-mana untuk memperluas wawasan. Ia bisa ikut seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan diri, sementara seorang rekan sejawatnya bertindak sebagai penggantinya.

Begitu pula pasien yang menjadi mitra dokter keluarga, tak perlu harus seratus persen bergantung padanya. Sang dokter dapat membimbing pasien untuk melakukan pengobatan mandiri. Pasien cukup menelepon dokternya dan mengkonsultasikan obat yang diminumnya. "Karena dua pertiga kasus dari pasien yang datang ke dokter sebenarnya bisa ditangani sendiri," kata dr. Zunilda. Pasien harus tahu kesehatan dirinya sendiri karena itu adalah tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab dokter saja.

Bermitra dengan dokter keluarga memang masih belum dikenal luas di tanah air. Tapi banyak manfaat yang didapat seandainya Anda menjadi peserta program kemitraan dengan dokter keluarga. Adagium yang mengatakan health is not valued till sickness comes amat tepat untuk melukiskan betapa pentingnya peranan kemitraan Anda dengan dokter keluarga dalam memelihara kesehatan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar