WHO melaporkan penyakit menular merupakan pembunuh Balita paling berdarah dingin. Dari setiap 10 Balita yang meninggal di dunia, tujuh di antaranya karena serangan penyakit ini. Penyakit infeksi banyak jenis dan ragamnya. Namun umumnya bertalian erat dengan masalah gizi. Anak yang menderita kurang gizi, gampang terkena penyakit ini dan akhirnya meninggal.
Dari sekian jenis penyakit infeksi, sebenarnya hanya ada beberapa yang benar-benar bisa digolongkan sebagai pembunuh berdarah dingin. Beberapa penyakit itu adalah difteri,
pertusis, tetanus, dan hepatitis (khususnya hepa B). "Jika Balita tidak diberi vaksin atau imunisasi empat jenis penyakit itu, akibatnya akan vatal," ungkap dr Srikusumo Amdani dari RSAB Harapan Kita.
Program vaksinasi yang diwajibkan pemerintah sebenarnya tidak hanya mencakup empat penyakit itu. Tapi tujuh penyakit termasuk tuberkolusis, polio dan campak. Namun vaksinasi DPT menjadi populer di masyarakat mungkin karena penyakit ini sudah lama dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin bagi Balita meski sebenarnya tuberkolusis juga tidak kalah ganas.
Menurut dr Budi Purnomo, SpA dari RSAB Harapan Kita, program imunisasi untuk tujuh penyakit itu mulai dikembangkan pemerintah sejak 1977. Tujuan utamanya mencegah kematian Balita karena infeksi. Sejak imunisasi itu dijalankan, ada hasil positif yang diperoleh. Jika pada 1967, dari setiap 1.000 kelahiran hidup ada 145 bayi yang mati maka pada 1997, dari 1.000 kelahiran hidup, hanya 52 bayi yang mati.
Penyakit Difteri
Menurut dr Sri Kusumo, penyakit difteri disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae yaitu bakteri gram-positif yang mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menimbulkan gejala lokal maupun umum. Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia dan masih menjadi endemik di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia, kendati jumlahnya makin berkurang.
Bakteri disebarkan melalui batuk, bersin. dan bicara. Jika sudah masuk ke hidung atau mulut, maka bakteri akan diisolasi di selaput lendir saluran nafas atas. "Selama masa inkubasi yaitu 2-4 hari, bakteri akan mengeluarkan toksin yang menyebabkan nekrosis (kematian sel) pada jaringan sekitar," katanya.
Jaringan yang mati itu akan meluas dan mengeluarkan cairan fibrin abu-abu yang membentuk lapisan (membran) serta bisa menimbulkan pembengkakan. Jika infeksi menjalar lebih dalam yaitu ke laring dan trakeobronkial, maka akan menimbulkan sumbatan jalan nafas. Toksin yang diproduksi bakteri akan menyebar melalui darah dan cairan limfe ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan kerusakan jantung, sistem syaraf sampai ginjal.
Masa inkubasi penyakit ini tergolong cepat yaitu antara 1-6 hari. Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imun dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva, kulit, dan genital.
Infeksi difteri bisa menimbulkan kematian jika sudah komplikasi pada laring dan trakea. Komplikasi biasanya juga merusak jantung, sistem syaraf dan ginjal. Sebelum hal itu terjadi, lanjut dr Sri Kusumo, pasien harus segera mendapatkan obat antitoksin difteri dan antibiotika penisilin dan eritromisin. "Selain itu, perlu diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total 2-3 minggu," katanya.
Untuk mencegah berjangkitnya penyakit ini, lanjutnya, anak perlu mendapat imunisasi difteri toksoid bersama dengan tetanus toksoid dan pertusis antigen. Vaksinasi dasar diberikan mulai umur tiga bulan sebanyak tiga kali dengan interval 5-6 minggu. "Tetapi imunisasi ini tidak memberikan kekebalan 100% karena vaksin itu hanya untuk melawan toksin, bukan infeksi. Jadi seorang yang divaksinasi lengkap masih bisa terkena infeksi ringan," katanya.
Penyakit Pertusis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri bordetella pertussis, tetapi di beberapa daerah kadang-kadang juga oleh bordetella parapertusis. Bakteri bordetella termasuk bakteri gram-negatif yang dapat dibiakkan dari swab nasofaring penderita.
Penyakit ini sangat menular [melalui kontak langsung] pada populasi yang tidak diimunisasi, bahkan dikatakan penularannya mencapai 100%. Risiko tertinggi menyerang pada bayi usia enam bulan ke bawah.
Menurut dr Sri Kusumo, masa inkubasi penyakit ini antara 6-20 hari. Gejala umumnya dibagi dalam tiga fase yaitu (1) fase kataral [gejala infeksi saluran nafas], (2) fase serang-an [batuk berat disertai nafas berbunyi] serta (3) fase penyembuhan [batuk berkurang dan nafas membaik]. Jika sudah parah, lanjut dia, penyakit ini menimbulkan komplikasi radang paru [pneumonia] yang bertanggung jawab terhadap sekitar 90% kematian anak usia tiga tahun ke bawah.
Selain pneumonia, komplikasi juga menimbulkan kejang dan turunnya kesadaran akibat berkurangnya oksigen yang masuk ke otak. Kuatnya batuk juga bisa menyebabkan pendarahan pada konjungtiva mata serta menimbulkan hernia (kemaluan membesar).
"Pengobatan biasanya diberikan dengan erythomisin yang bisa menghilangkan kuman dalam waktu 3-4 hari. Antibiotika ini paling baik diberikan pada masa kataral, tetapi perlu didukung pengobatan suportif," katanya.
Untuk mencegah timbulnya penyakit, lanjutnya, anak perlu mendapat vaksinasi pertusis. Vaksin ini dikembangkan sejak 60 tahun lalu dan mulai dipakai efektif di dunia pada tahun 1960-an bersama dengan vaksin tetanus dan difteri. Ketiga vaksin itu akhirnya disatukan menjadi vaksin DPT.
Vaksin DPT yang beredar di Indonesia dibuat dari antigen pertusis bakteri bordetella pertussis yang telah dilemahkan. Jika disuntikkan kepada anak, maka vaksin ini mungkin bisa menimbulkan panas (demam) sampai 50%.
"Sebenarnya ada jenis vaksin pertusssis lain yaitu acellular vaccine yang tidak menimbulkan efek samping berupa panas atau demam, tetapi ini belum masuk ke Indonesia," katanya.
Penyakit Tetanus
Penyakit ini disebabkan oleh baksil clostridim tetani yaitu bakteri gram-positif dan bersifat anaerob (bisa berbiak di dalam lingkungan tanpa oksigen). Bakteri ini bisa membentuk spora di dalam tanah, kotoran manusia dan binatang. Bila tidak terkena sinar matahari, spora bisa tahan sampai bertahun-tahun.
Menurut dr Sri Kusumo, penyakit tetanus sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Hippocrates, sedangkan bakteri penyebabnya baru dapat diisolasi pada tahun 1889 oleh Kitasato. Bakteri tetanus lebih banyak ditemukan di dalam tanah olahan sehingga penduduk pedesaan lebih banyak menjadi karier dalam usus, kulit dan mulut.
Bakteri clostridim titani mengeluarkan toksin tetanospasmin. Jika racun ini masuk ke dalam tubuh melalui luka di bagian tubuh, maka akan berubah menjadi aktif dalam keadaan tanpa oksigen. Racun tetanospasmin kemudian menyebar dari luka melalui ujung syaraf dan menimbulkan kontraksi otot di sekitar daerah luka. Setelah itu, racun akan menjalar ke seluruh syaraf dan akhirnya mencapai sunsum tulang belakang. "Jika ini terjadi, maka akan menimbulkan kontraksi pada semua otot polos."
Masa inkubasi penyakit ini antara 3-21 hari. Makin jauh jarak luka [tempat masuknya spora] dengan pusat syaraf, maka makin lama masa inkubasinya. Anak yang terserang tetanus akan sering mengalami trismus (mulut terkunci) dan wajahnya berubah mengerikan (risus sadonicus). Gejala lainnya adalah panas, iritabel, gelisah, bulu kuduk kaku, sulit menelan, otot perut, punggung dan dada kaku.
Pengobatan tetanus dilakukan dengan jalan menetralisasi toksin, membersihkan luka, memberikan antibiotika penisilin atau tetrasiklin dan memperkuat nutrisi, cairan serta kalori. Sebagai pencegahan, menurut dr Sri Kusumo, anak perlu mendapat imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif merupakan vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid yang diberikan bersama vaksin pertusis dan difteri. Sedangkan imunisasi pasif diberikan dalam bentuk serum antitetanus (ATS profilaksis) pada penderita luka yang berisiko terinfeksi tetanus.
Penyakit Hepatitis B
Dr. Budi Purnomo menjelaskan penyakit hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan infeksi hepatitis virus B (HVB). Jika virus ini menyerang anak usia kurang dari satu tahun, maka kemungkinan menjadi kronis akan mencapai 90%. Tetapi jika menyerang anak usia 2-5 tahun, kemungkinan menjadi kronis hanya 50%. Dan jika menyerang anak usia di atas lima tahun, kemungkinan kronis hanya 5-10%.
Anak yang teserang hepatitis B biasanya tanpa gejala dan tampak biasa-biasa saja. Namun jika infeksi telah terjadi sejak dalam kandungan, penyakit itu akan berubah menjadi kronis. Infeksi hepatitis kronis bisa menyebabkan pembengkakan hati, sirosis (hati mengkerut) dan kanker hati. "Walaupun umumnya hepatitis B pada anak tidak menimbulkan gejala, tetapi sebagian kasus (kurang dari 1%) dapat menimbulkan hepatitis berat yang menimbulkan kematian."
Budi Purnomo menuturkan, infeksi hepatitis B sulit dibedakan dengan penyakit lain. Diagnosis yang pasti hanya bisa didasarkan pada pemeriksaan darah (serologi). "Pemeriksaan HbsAG merupakan test yang paling sering digunakan untuk mendeteksi infeksi hepatitis B kronis. HbsAg dapat dideteksi paling cepat 1-2 minggu dan paling lambat 11-12 minggu setelah terpapar," katanya.
Selama ini untuk mencegah timbulnya infeksi hepatitis B dilakukan dengan tiga cara yaitu (1) imunisasi aktif dengan hepatitis B rekombinan, (2) imunisasi pasif dengan hepatitis B immune globulin (HBIg) serta penanganan bayi yang baru lahir dari ibu pengidap hepatitis B.
Tujuan pemberian imunisasi aktif adalah untuk memotong jalur transmisi HVB terhadap bayi yang baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular HVB. Sedangkan imunisasi pasif adalah pemberian HBIg untuk proteksi cepat maupun lambat. HBIg diberikan pada keadaan paparan akut HVB dan harus diberikan segera setelah seseorang terserang penyakit ini.
Paparan akut HVB itu bisa akibat kontak darah yang mengandung HbsAg baik melalui suntikan, tertelan atau terciprat di selaput mukosa atau mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar