Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 27 Oktober 2010

EPILEPSI

Berdasarkan angka pustaka, penderita epilepsi berjumlah 1,9-2 persen dari total penduduk suatu negara. Jadi, di Indonesia penderitanya sekitar 4 juta. Mungkin malah lebih banyak karena tingkat gizi dan tingkat infeksi yang masih tinggi. Penyebab awal epilepsi terjadi pada masa perinatal atau awal kelahiran hingga bayi berusia satu tahun. Bayi-bayi yang kekurangan zat asam, gangguan di perut akibat ibunya demam tinggi, atau bayi lahir tak langsung menangis, bisa menyebabkan kelahiran bayi penderita epilepsi.

MEMPERTIMBANGKAN OPERASI EPILEPSI

Penelitian di berbagai negara membuktikan, 20-40 persen penderita epilepsi mengalami kegagalan pengobatan (epilepsi refrakter). Pada penderita epilepsi refrakter, pemakaian obat-obat terbaru atau kombinasi obat-obatan yang ada hanya menolong 4 persen penderitanya. Sedangkan operasi yang tepat bisa menolong 40 persen penderita epilepsi refrakter.

Memang, tak semua penderita ayan bisa ditolong dengan operasi. Penyebabnya, ada beberapa bagian otak manusia yang jika diangkat akan berdampak buruk pada kerja motorik lainnya. Padahal, prinsip operasi medis adalah untuk membuat hidup pasien menjadi lebih berkualitas. Kalau kerusakan terjadi pada lobus temporalis (bagian samping), dan bagian itu diambil, pasien tidak akan mengalami cacat. Namun, penderita epilepsi yang kerusakan otaknya terdapat pada pusat bicara atau bahasa, pusat gerak (area motoris) yang berada di otak depan sebelah belakang, atau pusat penglihatan, operasi tidak mungkin dilakukan karena dampaknya akan sangat fatal. Pasien bisa kehilangan memori bahasa, lumpuh separuh, atau buta.

KENDALA OPERASI EPILEPSI

OPERASI epilepsi mula-mula dikembangkan di Amerika Serikat dan Eropa lebih dari 20 tahun yang lalu. Dan saat ini di Amerika Serikat rata-rata setiap tahun ada 2.000 operasi epilepsi. Di Jepang operasi epilepsi setiap tahunnya mencapai 500 kasus. Sedangkan di Thailand dan India, menurut Dr Zaenal Muttaqin, pelayanan bedah sarafnya cukup maju. Karenanya ia yakin, di sana operasi epilepsi juga sudah dimulai.

Dr Zaenal Muttaqin mengatakan, di Indonesia memang baru pertama kali ini dilakukan operasi epilepsi. Ini karena ketersediaan sumber daya manusianya, khususnya dokter saraf dan dokter bedah saraf yang jumlahnya relatif masih sedikit. Ahli bedah saraf umumnya masih disibukkan oleh pekerjaan rutin seperti mengelola kasus-kasus cedera kepala, juga kasus stroke dan tumor otak. Mereka sudah sibuk dengan kasus-kasus tersebut, sehingga kasus-kasus yang jumlahnya memang tidak sebanyak kecelakaan lalu lintas, seperti epilepsi, menjadi terabaikan.

Ilmu bedah saraf di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda dahulu. Di Jakarta dahulu sudah ada pelayanan klinik bedah saraf yang dikelola oleh dokter-dokter bedah saraf yang datang setiap enam bulan dari negeri Belanda. Lalu berkembang ada beberapa orang Indonesia yang dididik bedah saraf di Jakarta. Kemudian sejak tahun 1983 pendidikan bedah saraf sudah dimulai di Indonesia, sedangkan sebelumnya pendidikan bedah saraf dilakukan dengan mengirim dokter-dokter Indonesia ke Belanda dan Jerman. Sekarang ini pendidikan bedah saraf di Indonesia baru dijalankan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Semarang sendiri saat ini belum menjadi pusat pendidikan bedah saraf. Namun dalam dua tahun mendatang Semarang diharapkan menjadi salah satu pusat pendidikan bedah saraf.

Sampai saat ini di Indonesia ada 58 orang dokter bedah saraf, tersebar terutama di kota-kota besar, antara lain Jakarta (15 orang lebih), Semarang (4 orang), Solo, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Lampung, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Ujungpandang, dan Manado.

***

BELUM berkembangnya operasi epilepsi di Indonesia, selain disebabkan kurang tersedianya sumber daya manusia, juga karena kurangnya sarana diagnostik untuk penderita epilepsi. Terutama untuk pemeriksaan pra-operasi, sampai saat ini di Indonesia belum ada Video Elektroensefalografi (Video EEG). Video EEG ini diperlukan untuk kasus-kasus yang dengan pemeriksaan EEG biasa sulit ditentukan lokasi pusat kejangnya. Kebetulan pada pasien yang dioperasi tanggal 24 Juli lalu itu tanpa alat tersebut sudah bisa ditemukan pusat kejangnya.

Kedua, alat MRI, yaitu alat foto untuk otak. Di Indonesia alat ini baru ada di Jakarta dan Surabaya sehingga terpaksa waktu itu si pasien dikirim ke RSCM di Jakarta untuk diambil foto MRI-nya. Selain itu biaya foto MRI cukup tinggi, Rp 1,5 juta untuk satu kali pengambilan. Selain itu, juga perlu ada perlengkapan sarana bedah saraf mikro yang baik. Di Indonesia belum semua rumah sakit memiliki peralatan ini.

***

TENTANG keberhasilan operasi, Dr Zaenal Muttaqin menyatakan ada beberapa tingkatan. Tingkatan yang paling sempurna apabila orang ini tidak mengalami serangan kejang lagi dan suatu saat nanti-biasanya sampai tiga tahun-obat dihentikan tanpa ada kekambuhan lagi.

Bisa pula derajat ini tidak bisa dicapai, namun ada tingkatan sedikit di bawahnya, yaitu frekuensi kejangnya menjadi berkurang sekali. Misalnya, kalau tadinya sebulan 3-4 kali, sekarang menjadi setahun 3-4 kali. Lalu bentuk serangannya. Kalau tadinya serangannya misalnya kejang seluruh tubuh kemudian disertai tidak sadar, maka sekarang hanya semacam gangguan psikis saja.

Sebagai contoh, Dr Zaenal Muttaqin menunjuk pasiennya dari Salatiga yang setiap kali menjelang terjadinya serangan mengalami gejala rasa takut yang tidak bisa dijelaskan. Tiba-tiba saja rasa takut ini muncul, kemudian ada rasa tidak enak di perut seperti isi perut naik ke atas mau keluar, kemudian tangan kanannya kejang dan tidak sadar. Itu perjalanan serangan yang dialaminya sebelum dilakukan tindakan operasi.

"Gejala yang sering tertinggal setelah menjalani operasi adalah gejala psikisnya. Rasa takut dan rasa tidak enak di perut itu mungkin akan masih tertinggal, tetapi tanpa disertai kejang, tanpa disertai tidak sadar. Keadaan ini masih bisa diterima kalau kemungkinan hasil maksimum tidak tercapai," kata Dr Zaenal Muttaqin.

Dengan pilihan pasien yang sesuai, yang tepat, dan data-data pemeriksaan aktivitas listrik otak dan lain sebagainya mendukung, keberhasilan operasi bisa di atas 80 persen, kata Dr Zaenal Muttaqin meyakinkan. (wgt)

PENGALAMAN OPERASI EPILEPSI

SETELAH menjalani operasi, Maria (34) tidak lagi seperti dulu. Gadis yang semula selalu menampakkan wajah murung itu, kini tampil dengan wajah yang ceria. Lebih supel dan mudah diajak bicara. Percaya dirinya juga mulai timbul.

Keluarganya mengaku, sekarang tidurnya lebih mudah dan emosi jengkelnya berkurang. Operasi epilepsi pertama di Indonesia, yang dilakukan oleh Dr dr Zaenal Muttaqin, SpBS di RS "Telogorejo" Semarang, ini tergolong sukses.

Maria mulai diketahui menderita penyakit Epilepsi pada saat berusia sekitar satu tahun. Gejalanya panas tinggi lalu "step". Upaya pengobatan sudah dilakukan ke pelbagai dokter anak, tetapi ia tak pernah sembuh total. Beberapa bulan sekali ia kejang-kejang. Semakin dewasa, serangan kejang-kejang semakin sering. Bahkan, sebelum menjalani operasi otak, serangan datang 3-4 kali sebulan.

Untuk penyembuhan, bukan satu dua dokter ahli bedah saja yang dikunjungi orangtuanya. Maria bahkan pernah dibawa ke dokter ahli bedah di Thailand 10 tahun lalu dan dokter ahli bedah di Singapura tiga tahun lalu. Beberapa orang sinse dan ahli pijat juga pernah dikunjungi. Sayang, penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Bulan Maret, pemeriksaan CT scan oleh ahli saraf dr Wibowo di Salatiga menunjukkan adanya semacam noktah di otak Maria. Maria pun dikonsultasikan kepada ahli bedah saraf, Dr dr Zaenal Muttaqin, SpBS. Setelah diperiksa MRI di RSCM Jakarta, dipastikan noktah tersebut bukan tumor maupun kanker. Selain itu, hasil pemeriksaan MRI ini berhasil menunjukkan lokasi pusat kejang Epilepsi Maria. Dan sesudah dipelajari, pusat kejang itu bisa diambil lewat operasi.

Dalam operasi ini yang diambil adalah jaringan otaknya, bagian otak samping sisi kiri sebelah dalam selebar 4 cm x 4 cm x 3 cm, yang disebut hipokampus. Semestinya, inilah pusat memori bahasa, tetapi dalam kasus ini-karena penderita mengalami sejak usia satu tahun-ia telah cacat. Akibatnya, perkembangan kemampuan bahasa atau daya memori anak ini terjadi di tempat lain.

Setelah benang jahitan operasi dilepas 29 Juli lalu, Maria kini cuma perlu makan satu macam obat saja. (wgt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar