Nathalie yang berusia tiga tahun tergeletak di tempat tidur yang berpagar jeruji. Ia lahir dengan kelainan kepala besar (hydrocephalus). Karena tekanan, otaknya rusak. Beberapa waktu lalu, tiba-tiba dia harus mendapatkan bantuan pernapasan. Anehnya, ketika ada benda asing di saluran pernapasannya, si kecil bisa protes dengan kaki dan tangannya. Dokter segera menenangkan Nathalie dengan obat-obatan. Di New Yorker Beth Israel Medical Center, para dokter mencoba memberinya pengobatan alternatif.
Dr. Joanne Loewy yang saat bertugas tidak mengenakan pakaian dokternya, tampak seperti dukun. Saat masuk ke kamar si kecil Nathalie, dia merundukan kepalanya ke pasien kecilnya itu. Lalu, dia mengelilingi tempat tidurnya sambil membunyikan peralatan musik dengan aneka nada. Saat "bermandikan" musik, Nathalie kelihatan sedikit tenang. Otot-ototnya pun tidak lagi kaku dan dari monitor tampak grafik denyut jantungnya menurun. Setelah mengelus-elus kepala Nathalie, Joanne meninggalkan kamar itu, napas si kecil tampak teratur dan wajahnya tampak tenang.
Selain mengurus Nathalie, Joanne memimpin tiga penelitian di Beth Israel Medical Center untuk mengetahui bagaimana musik bisa memperingan penderitaan anak AIDS, leukemia, asma, dan gangguan otak yang berat. Joanne melihat musik bisa banyak meringankan keadaan mereka. Menurut penelitian terbaru - seperti pada Nathalie - musik berpengaruh langsung ke otak dan berakibat ke proses kerja tubuh.
Pasien pilih musik sendiri
Di AS dan Jerman, dengan metode yang lebih modern sekelompok peneliti secara intensif mengamati musik yang sejak ratusan tahun diketahui punya kekuatan menyembuhkan. Musik sebagai terapi sudah sering dipakai, lewat walkman mini kondisi pasien kecil yang berada di inkubator distabilkan, untuk menenangkan mereka yang kesakitan di kursi dokter gigi atau yang sedang berada di ruang bersalin, bahkan juga dipakai di pusat rehabilitasi pasien stroke. Pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan seperti alzheimer, musik membantu kondisi mental sang pasien agar tidak makin mundur.
Salah seorang pioner terapi musik adalah dr. Ralph Spintge, seorang ahli anestesi dari rumah sakit olahraga Hellersen di Ludenscheid, Jerman. Di Hellersen, bukan cuma kamar saja yang dilengkapi musik, tetapi juga ruang operasinya. Dari peralatan teknologi modern yang terdiri atas enam saluran, pasien yang cuma dibius lokal bisa memilih irama musik yang dia sukai, mulai dari Big-Band-Sound ala Glenn Miller sampai musik klasik. Di ruang operasi ini, headphone boleh dipakai. Selama ini kebanyakan dokter bedah menilai positif penggunaan musik. Dalam suatu penelitian di State University of New York di Buffalo, dengan mendengarkan musik para pelaku operasi merasa rileks saat mengerjakan "tugasnya" - tekanan darah dan denyut jantung mereka memang naik karena tugas berat itu tapi cuma sedikit.
"Setelah empat tahun kami melakukan investasi musik, banyak yang dihemat!" ujar Ralph Spintge. Kebutuhan akan obat penenang turun sampai 50%. Selain itu, karena kebanyakan pasien lebih rileks saat dioperasi, komplikasi jarang terjadi sehingga masa rawat inap bisa diperpendek.
Spintge, dokter di Ludenscheid yang juga profesor tamu di Institut Penelitian Musik Universitas San Antonio, Texas, mempunyai beberapa pertanyaan berkaitan dengan pengaruh musik terhadap manusia. Mengapa musik bisa berperan dalam pengobatan? Sifat musik yang mana yang dapat mempengaruhi tubuh manusia, terutama sekali otak? Apakah mungkin ada jenis musik tertentu untuk penyakit tertentu?
Sampai di antariksa
Menurut penelitian terakhir dan pengamatan klinisnya, memang ada hubungan antara musik dan pengobatan. "Di dalam tubuh kita pun ada musik, mulai dari irama detak jantung, pernapasan, sampai berbagai aktivitas otak. Selain itu, tubuh juga terpapar musik dari luar," katanya. Dasar penelitiannya sampai saat ini memang masih harus dilengkapi. Namun, dia melihat musik sering dipakai sebagai pengatur kegiatan manusia. Roket, kapal selam, pesawat ruang angkasa MIR Rusia pun dilengkapi peralatan musik dengan program khusus untuk mengatur agar para penumpangnya mengantuk atau jangan mengantuk. Berdasarkan data-data penelitiannya, Spintge bersama para ahli matematika dan fisika, masih menyelidiki metronom biologis apa yang berdetak dalam diri kita dan bagaimana musik dapat berpengaruh dalam pengobatan.
Dari hasil EKG (elektrokardiogram), dalam keadaan tenang dan tidak kesakitan, grafik jantung seseorang tidak melompat-lompat. Sebaliknya, pada saat sedang ketakutan, kesakitan, atau dilanda stres, ritme jantungnya "membeku" di frekuensi tertentu. Berdasarkan hal ini, para medis merasa perlu membuat rileks para pasien dengan memperdengarkan musik. Ternyata cukup berhasil.
Musik sebagai alat terapi yang dapat menyembuhkan bisa terlihat pada Imme Kramer. Warga Frankfurt ini menderita penyakit keturunan yang amat menyakitkan dan sampai saat ini belum ada obatnya. Jaringan ikatnya melemah hingga mengganggu organ dalam lainnya, termasuk jantung. Sudah tiga kali ia mengalami serangan jantung ringan. Dr. Ralph Spintge merasa, wanita yang berusia 48 tahun ini perlu dirilekskan. Pada mulanya dibutuhkan paparan musik dari headphone selama 15 menit untuk membebaskan dia dari keadaan stres, berdasarkan pantauan terhadap aktivitas ototnya. Setelah tiga minggu dirawat dengan terapi musik, cuma lima menit mendengarkan musik, dia sudah bisa tenang kembali.
Prof. Thaut menganggap, musik merupakan komponen penting dalam terapi. Prof. Thaut yang kelahiran Hamburg dan direktur pusat penelitian musik untuk biomedis dan rehabilitasi saraf di Colorado State University di Fort Collins meneliti pengaruh musik terhadap organ alat gerak. Dia melihat, para penari langsung menggoyangkan kaki begitu mendengar musik.
"Keajaiban" untuk pasien stroke
Baru-baru ini, para ilmuwan mulai mengamati mekanisme fisiologis yang menghubungkan alat pendengar dengan sistem motorik manusia. "Baru sekarang dapat dilakukan karena baru kini tersedia teknologi komputer yang menciptakan irama tertentu, dan juga video yang bisa merekam setiap gerakan para sukarelawan. Dengan video ini bisa dilihat setiap perubahan gerakan sekecil apa pun," ujar Thaut.
Ternyata organ pendengaran pada manusia lebih baik daripada organ penglihatan. Pada zaman nenek moyang, hanya manusia yang punya pendengaran baik yang bisa bertahan hidup. Karena dengan mengandalkan pendengaran yang baik itu, mereka bisa menghindar dari serangan binatang-binatang buas.
Salah satu kemampuan dasar indera pendengaran adalah mendengar irama. Sejak berupa embrio, manusia sudah mendengar irama, yakni irama detak jantung sang ibu. Menurut kelompok kerja Michael Thauts pada Fort Collins, otak manusia sangat cepat menerima ritme dari luar dan mengubahnya menjadi gerakan. Hal ini terlihat pada para sukarelawan yang gerakannya direkam dengan video. Menurut Thaut, "Otak sangat cepat menerima irama dan segera memerintahkan gerak motorik untuk bekerja."
Dari sudut pandang medis, Thaut mempertanyakan apakah mekanisme yang merangsang ini tetap bisa berpengaruh terhadap manusia yang otaknya rusak? Banyak pasien stroke atau pasien parkinson tidak bisa melangkahkan kakinya atau mengkoordinasikan langkah mereka. Anehnya, menurut kelompok kerja Prof. Thaut, mereka bisa melangkahkan kaki kembali setelah mendengarkan musik dengan irama tertentu. Seperti ada suatu kekuatan yang memungkinkan mereka dapat berjalan kembali. "Mereka tidak perlu belajar lagi jalan!" ujar Prof. Thaut.
Di pusat rehabilitasi di AS, para pasien stroke disuruh berbaris sambil mendengarkan musik mars yang berirama dua dan empat ketukan lewat walkman. Ternyata, jenis musik ini mampu menstimulasi otak. Tujuan perawatan ini agar si pasien terbiasa dengan irama dan kebutuhan telinga dalam bisa terpenuhi. Dengan ini, lama kelamaan mereka dapat bergerak normal lagi walau tanpa musik. Hasil penyelidikan menunjukkan, kemampuan koordinasi motorik otak yang terlatih tadi lama kelamaan akan menunjukkan perbaikan.
Contoh lain tentang kehebatan musik tampak pada seorang pasien alzheimer yang sudah tak ada harapan di pusat rehabilitasi New Yorker Beth Abraham. "Pasien ini menderita parkinson hebat, tubuhnya gemetar seperti orang kedinginan. Walau demikian, dia masih berusaha untuk bermain piano. Dia memainkan lagu-lagu dari komponis favoritnya, yakni Frederic Chopin. Kalau sudah demikian, dia bisa duduk berjam-jam di depan piano dan lupa akan penyakitnya. Rupanya, saat dia bermain dan terbuai oleh lagunya itu, tubuhnya bereaksi," ujar Concetta Tomaino, direktur program terapi musik pada rumah sakit Beth Abraham.
Berdasarkan pengamatan di kliniknya, Concetta Tomaino melihat musik mampu "menggali" ingatan pasien-pasiennya. "Saya pernah mencobanya pada pasien alzheimer yang kemampuan berpikirnya hampir hilang sama sekali. Ketika saya memainkan musik yang dia kenal sewaktu mudanya, tiba-tiba dia jadi ingat akan tempat dan orang-orang yang pernah dia kenal."
Memang fenomena seperti itu sampai sekarang belum jelas seluruhnya. Yang penting musik telah berhasil mengaktifkan kembali otak. Concetta Tomaino yang bekerja sama dengan para ahli saraf dan otak dari New Yorker Albert Einstein College of Medicine memperkirakan, "stimulasi total" dengan musik bisa memperbaiki minimal sebagian daerah fungsi otak yang rusak.
Hal ini juga terjadi pada pasien stroke. Mereka tidak bisa bicara, tapi bisa sedikit bernyanyi. Ini berhubung daerah otak yang mengendalikan kedua jenis aktivitas itu memang berbeda. Pada beberapa kasus, fungsi bicara bisa diaktifkan kembali dengan nyanyian, tetapi butuh waktu yang agak lama. "Tampaknya jaringan saraf yang 'lumpuh' bisa diaktifkan kembali dengan stimulasi yang tepat. Yakni dengan musik," ujar Concetta Tomaino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar