Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan

Rabu, 27 Oktober 2010

Jika Anak Takut ke Sekolah

Dulu orang sering menyebut bahwa masa kecil adalah saat bermain yang paling indah. Tapi apakah anak-anak kita kelak masih bisa mengenang masa kecilnya sebagai saat yang membahagiakan, jika sekolah memberi beban terlalu berat?

Sekarang anak-anak usia Sekolah Dasar berangkat sekolah dengan tas koper kecil yang diseret. Ini karena tas biasa sudah tidak mungkin lagi memuat buku-bukunya.

Pulang sekolah mereka nyaris tidak bisa bermain karena harus ikut les ini dan itu. Akibatnya, tidak sedikit anak-anak yang tidak tahan dengan tekanan ini lalu mogok sekolah.

Della semula sangat bersemangat ketika menyadari dirinya bukan lagi anak TK tapi sudah menjadi anak SD. Puteri karyawan bank BUMN ini dengan bangga memasuki mobil yang akan mengantarnya ke sekolah tanpa ditemani lagi oleh pengasuhnya.

Tapi apa yang terjadi saat pulang sekolah? Dia langsung melapor kepada ibunya bahwa besok tidak mau sekolah lagi, dan memang keesokannya Della betul-betul tidak mau berangkat sekolah.

"Dia bilang gurunya galak, tidak seperti waktu di TK dulu. Lagi pula hari pertama pe-er yang diberikan langsung banyak. Kelihatannya anak saya kaget dengan perubahan ini," ujar Wulandari, sang ibu.

Sakit Perut
Henri (18 tahun) mengenang masa kecilnya sebagai masa terburuk di dalam hidupnya. Hampir setiap pagi ia mengalami sakit perut. Perutnya terasa mulas bukan karena kebanyakan makanan pedas. Sakitnya semakin menjadi-jadi setiap kali menjelang ulangan atau pelajaran matematika.

"Hampir semua guru matematika di SD, SMP dan SMU jutek-jutek. Maksudnya galak sekali. Saya jadi cemas setiap ikut pelajaran. Bayangkan, setiap pelajaran ada buku PR, latihan, cetak dan sebagainya. Semuanya harus dibawa. Kalau tidak, guru yang bersangkutan bisa marah besar. Makanya tas jadi luar biasa berat untuk ukuran anak SD," kenangnya.

Tidak tahan dengan tekanan yang harus dihadapinya setiap hari, sewaktu duduk di kelas 3 SD Henri pernah sama sekali mogok sekolah. Ajaib bagi Henri karena gejala sakit perutnya hilang setelah tidak pergi ke sekolah.

"Saya bingung sekali mengapa dia tiba-tiba mogok sekolah. Waktu itu Henri benar-benar tidak mau bangun dan mandi. Dipaksa bangun, dia malah menangis. Seharian dia tiduran di kamar seperti anak yang sakit. Karena dia benar-benar tidak mau sekolah, akhirnya saya pergi ke sekolah mengantar surat sakit ke wali kelasnya," cerita ibu Henri. Tiga hari lamanya ia tidak masuk sekolah.

Double Stress
Melihat kondisi seperti yang dialami Della, Henri dan banyak anak lainnya, psikolog DR.Seto Mulyadi sangat prihatin. Keadaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini dianggapnya sebagai pelanggaran hak-hak anak akibat sistem yang keliru.

"Seharusnya kurikulum itu untuk anak atau pendidikan untuk anak, tapi yang terjadi malah sebaliknya, anak untuk kurikulum," ujar pecinta anak-anak ini. Kurikulum yang sangat ketat sudah membuat anak tertekan, apalagi jika ditambah dengan guru-guru yang sangat galak.

"Di rumah pun mereka menghadapi tuntutan dari orangtua untuk berprestasi. Akibatnya anak mengalami double stress," urainya. Dan salah satu reaksi yang muncul adalah takut dan mogok ke sekolah.

Karena itu DR.Seto menyarankan agar para orangtua tidak ikut-ikutan memberi stres pada anak. Orangtua seyogyanya memberi ruang yang nyaman untuk pendidikan anak-anak di rumah. Langkah ini dinilainya cukup ampuh untuk meminimalisasi stres yang diterima anak di luar rumah.

Sakit Psikologis
Mogok sekolah pada Della maupun Henri adalah perwujudan dari akumulasi stresnya. Ia menyarankan orangtua untuk mengijinkan anak tidak pergi sekolah sementara waktu.

"Pahami anak dengan cari memberi waktu untuk mengendorkan stres dan luka-luka hati atas situasi belajarnya. Ini 'kan sama dengan anak yang jatuh sakit. Kalau dalam kasus ini anak sakit dari sisi psikologisnya," ujar pria yang akrab dipanggil Kak Seto ini.

Anak yang stres, tambah Kak Seto, kalau dipaksa sekolah justru akan semakin parah stresnya. Ibaratnya, dengan absen sekolah, anak mundur selangkah untuk maju beberapa langkah.

Sementara anak tidak masuk sekolah, orangtua dapat mendampingi anak untuk menyusun kembali kekuatannya. "Karena kekuatan ini penting untuk bekal kembali ke sekolah. Kekuatan itu bisa dibangun dengan memberikan dukungan dan kasih sayang," tambahnya.

Bila perlu anak diajak belajar dengan cara yang menyenangkan. Misalnya jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor, kalau tinggalnya tidak jauh. Di sana anak bisa belajar banyak tentang tumbuh-tumbuhan dengan santai. Atau bisa juga anak diajak mengamati sesuatu kemudian menuliskannya menjadi sebuah karangan.

DR.Seto juga menambahkan, yang diperlukan dari dukungan orangtua pada pendidikan anak adalah bukan mementingkan aspek kognitif, melainkan memperhatikan apakah anak merasa senang atau tidak.

"Pertanyaan mengenai anak ranking berapa lebih baik diganti menjadi apakah anak senang atau tidak di sekolah," katanya memberi contoh. Demikian juga untuk berbagai kursus yang dijalani anak. Bukan kursus aritmatika, musik, balet atau renang yang penting, melainkan apakah anak senang dengan kursus-kursus yang dilakoninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar